"... jangan lupa siapkan kamar kosong untuk tempat singgah Nyai." "Jaga dirimu baik-baik, peralat Zidan sebaik mungkin. Jangan sampai nasibmu berakhir seperti Burhan. Ibu tak ingin kehilangan anak lagi karena kebodohan yang sengaja atau tidak kalian lakukan. Buang jauh-jauh rasa kemanusiaan itu, tujuan kita bergabung dengan organisasi adalah untuk menjadi pengikut Nyai, dan mendapatkan kesenangan duniawi!" Di depan sebuah kamar kosong yang terletak jauh di belakang, Nisya berdiri. Beberapa kali ponsel di genggaman tangannya berbunyi, muncul notifikasi dari kakak dan ibunya yang sejak semalam dia abaikan. [ Kenapa kamu tidak menghadiri ritual malam tadi? ] [ Tubuhmu bukan hanya milik Zidan, Adik Bodoh! ] [ Sudah saatnya kamu mengandung Tumbal Spesial, jadi berhenti bermain-main!!] Nisya menghela napas panjang setelah tak sengaja membaca notifikasi pesan dari Bu Yuli dan Bahar yang tertera di bar status yang selalu muncul di atas ponsel pintarnya. Dia memijit kening, kemudian m
"Baru ditinggal sebentar, sudah buat keributan. Kalian pikir Oma bodoh dengan meninggalkan anak-anak nakal bebas berkeliaran tanpa pengawasan? Asal tahu saja, seluruh penjuru rumah ini sudah dipenuhi dengan CCTV, bahkan ada para preman berbadan besar yang sudah siap menghadang di luar! Jangan pernah berpikir untuk kabur, Tikus-tikus kecil. Tempat kalian di sini!" Galih, Gina, dan adik-adiknya hanya bisa gemetar ketakutan dalam kukungan Bu Yuli, mereka tak menyangka bahwa upaya melarikan diri untuk yang pertama kalinya ini bisa berakhir gagal total. Gerak-gerik Galih dicurigai salah satu pegawaai Bu Yuli. Walhasil mereka tertangkap dan berakhir di kamar eksekusi sebagai hukuman akan sikap mereka yang bebal. "Se-sebenarnya kita mau bawa Farrel ke rumah sakit, Oma. Dia demam," cicit Galih tak sepenuhnya berbohong, karena secara kebetulan adik dari Gina itu tiba-tiba demam tinggi dan kehilangan kesadaraan saat mereka dalam pelarian. Bu Yuli mendekat. Meskipun cepat atau lambat anak-a
Satu jam sebelumnya .... Anak laki-laki dan dua adik kembarnya itu berlari terseok dengan bertelanjang kaki. Sesekali rintihan kecil dan erangan kesakitan meluncur dari mulut mungil mereka, kala telapak-telapak kaki berkulit mulus itu melindas bebatuan tajam atau trotoar panas yang terbakar teriknya matahari menjelang siang hari ini. Si kembar Rara tiba-tiba berhenti. Napasnya terengah dan putus-putus. "Kak, aku haus," lirihnya. "Iya, kita jalan juga sudah lumayan jauh, aku yakin mereka nggak akan menemukan kita di sini," timpal Riri. "Dikit lagi, ya, Dek. Sampai mobil merah di depan mini market itu. Sekalian kita beli minum, untungnya di kantong kakak ada uang lima ribu. Kalau sampai kita ketangkep kasian Kak Gina yang udah ngorbanin diri," ujar Galih meminta pengertian dari kedua adiknya. Rara dan Riri mengerucutkan bibir, meskipun sudah sangat kelelahan terpaksa mereka kembali berlari sembari berbincang kecil. "Kenapa ibu nggak jemput kita, ya, Ri? Kita salah apa?" "Mungk
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu? Bagaimana kabarmu? Kudengar kamu sudah menjadi dokter yang hebat." Jihan memeluk erat tubuh yang berdiri kaku itu dengan begitu erat. "Kabar? Kau ingin tahu bagaimana kabarku selama ini? Buruk atau sangat buruk? Kau yakin ini pertemuan pertama kita setelah bertahun-tahun lamanya. Mbak Jihan, oh Mbak Jihan sampai kapan kau akan berpura-pura bodoh seperti ini?" Deg! Refleks, Jihan melerai pelukan lalu menatap penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Bekal Rara dan Riri sudah masuk tasnya, ya!" "Baju Galih sudah saya setrika." "Makan malamnya mau disiapkan sekarang atau nunggu bapak pulang?" Kalimat-kalimat yang Niar ucapkan saat meniru perannya sebagai Sari membuat Jihan benar-benar tercengang. Mulut perempuan itu terbuka setengah dengan mata membelalak lebar. "Ba-bagaimana mungkin?" Kali ini Jihan membekap mulutnya, kedua tangan perempuan itu sudah gemetar. Detektif Fahri yang berdiri di belakang sudah bersiap men
November 2003Dua insan yang putus asa itu melangkah menuju sebuah gedung terbengkalai untuk tujuan yang sama. Tubuh mereka bergetar hebat tatkala pintu terbuka dan keduanya melangkah menuju ruangan yang penuh dengan aura mistis. Dingin menusuk, berdesakkan dengan makhluk tak kasat mata yang membuat napas sesak dibuatnya. Sekali lagi Bu Yuli menuntun mereka berdua yang terlihat ragu untuk melangkah lebih jauh menuju singgasana. Berhadapan langsung dengan sang pemimpin organisasi yang baru lima tahun berdiri. Seseorang dengan jubah merah dan topeng menyeramkan, memiliki suara deep yang begitu berat dan dalam seperti disamarkan.Niar dan Burhan berpandangan, sekali lagi mereka meyakinkan bahwa ini adalah jalan keluar yang benar-benar diinginkan meskipun harga yang harus dibayar sangatlah mahal."Jadi, kalian sudah siap menjual jiwa pada Nyai dan mengikat kontrak dengan segala konsekuensi yang disepakati?" ucap sang pimpinan dengan mengintimidasi.Keheningan panjang menyelimuti. Entah B
Plak!Suara tamparan keras itu terdengar di kamar Burhan dan Jihan tepat saat Niar yang sedang berperan sebagai Sari melintas di depannya. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka dia melihat Jihan terisak-isak sembari memukuli dada Burhan yang hanya bisa berdiri pasrah mendengar segala caci-maki istrinya yang selama ini lebih banyak diam."Ceraikan aku dulu, sebelum kamu menikahi wanita itu. Semua kesalahanmu masih bisa kuterima, tapi didua dengan status yang sama aku tak akan pernah bisa menerimanya. Hidup dengan bajingan sepertimu sudah cukup membuatku tertekan, jangan tambah lagi wanita jalang!"Senyum lirih tersungging di bibir Niar. Dia tak bisa tersinggung dengan perkataan Jihan. Karena apa yang dikatakannya memang benar. Banyak alasan untuk berpoligami, tapi menikahi wanita simpanan tak termasuk di dalamnya.Blam!Suara pintu yang terbanting keras membuat Niar terlonjak dari lamunan. Dia melihat Jihan berjalan cepat menuruni tangga. Beberapa saat kemudian terdengar suara kl
"Apa yang terjadi dengan tempat ini?" lirih Jihan saat melihat lahan kosong sejauh mata memandang bersama dengan Detektif Fahri, Zakir, dan Nova. Sudah dua minggu sejak kematian Niar yang juga mengungkap siapa dia sebenarnya. Mereka berempat mulai menyelidiki tentang benang merah yang menghubungkan kasus yang melibatkan banyak orang ini.Pertama, Jihan heran karena di pemakaman Niar tak ada satu pun orangtua atau kerabatnya yang datang. Apakah mereka sudah dikorbankan? Jihan hanya melihat sekilas beberapa staf rumah sakit di mana Niar bekerja sebagai dokter forensik. Sementara itu di rumah Niar, polisi menemukan ketiga anaknya yang entah bagaimana bisa ada di sana, Detektif Fahri dan timnya pun menemukan lab rahasia berisi banyak sekali anggota tubuh manusia yang diawetkan. Namun, tak ada satu pun petunjuk yang mengarahkan mereka pada dalang sebenarnya.Melalui kuasa hukumnya, Niar bahkan berwasiat agar semua harta yang dia tinggalkan agar dibakar sampai tak bersisa, karena Niar tak m
"Apa yang terjadi padamu, Nisya?!" Bu Yuli mengguncang tubuh putri bungsunya. "Dua kali pertemuan kamu absen tanpa alasan, lalu datang hanya untuk mengacaukan prosesi ritual. Bagaimana bisa kamu menghajar partnermu di tengah acara sakral, Anak Sial!" Nisya duduk geming mendengar segala caci-maki yang ibunya lontarkan, sebab ritual pertemuan yang baru saja dia kacaukan di akhir pekan. Entah apa yang mendasari tindakannya saat memukuli partner seorganisasi yang hendak menjamah tubuhnya saat proses ritual dilakukan. Perempuan itu hanya merasa bahwa ini adalah jalan yang dia anggap benar. "Apa yang sudah si brengsek itu lakukan? Bukankah seharusnya dia yang terbuai, bukan malah kamu yang dilumpuhkan. Zidan benar-benar sudah mencuci otakmu, Nisya. Sadarlah!" "Ma!" Setelah sekian lama akhirnya Nisya menyela. Dia mengangkat kepala dan menatap nyalang tepat di manik mata ibunya. "Apa ini hidup yang benar-benar kita inginkan?" Bu Yuli terdiam. "Berapa banyak lagi korban? Sedalam apa lagi