Ketukan pintu terdengar beberapa kali di depan pintu kamar Gina yang entah sejak kapan tak pernah lagi dibuka olehnya. Rumah besar dengan nuansa kelam itu memang acap kali membuat para penghuninya tak nyaman sesingkat apa pun mereka singgah. Sudah dua hari sejak gadis berusia empat belas tahun itu tinggal di rumah neneknya. Sejak tragedi kesurupan tersebut, Gina memang kehilangan keceriaan dan binar di mananya. Tak ada lagi ekspresi semangat yang biasa ditunjukkan. Dia seolah makin pasrah menerima nasib yang sudah ditentukan. "Na, Gina!" Kali itu ketukannya ditambah dengan panggilan yang cukup keras. Akhirnya setelah beberapa saat menimang-nimang, Gina beranjak dari ranjang dan menanggapi panggilan yang dia ketahui berasal dari sepupunya, Galih. Pintu terbuka. Tanpa kata Gina menatap Galih sejenak, lalu kembali ke tempat semula. Memeluk lutut sembari bersandar di kepala ranjang. "Hei, ada apa?" tanya Galih sembari menepuk bahu gadis yang kini tak lagi menguncir rambutnya. "Kita u
"... jangan lupa siapkan kamar kosong untuk tempat singgah Nyai." "Jaga dirimu baik-baik, peralat Zidan sebaik mungkin. Jangan sampai nasibmu berakhir seperti Burhan. Ibu tak ingin kehilangan anak lagi karena kebodohan yang sengaja atau tidak kalian lakukan. Buang jauh-jauh rasa kemanusiaan itu, tujuan kita bergabung dengan organisasi adalah untuk menjadi pengikut Nyai, dan mendapatkan kesenangan duniawi!" Di depan sebuah kamar kosong yang terletak jauh di belakang, Nisya berdiri. Beberapa kali ponsel di genggaman tangannya berbunyi, muncul notifikasi dari kakak dan ibunya yang sejak semalam dia abaikan. [ Kenapa kamu tidak menghadiri ritual malam tadi? ] [ Tubuhmu bukan hanya milik Zidan, Adik Bodoh! ] [ Sudah saatnya kamu mengandung Tumbal Spesial, jadi berhenti bermain-main!!] Nisya menghela napas panjang setelah tak sengaja membaca notifikasi pesan dari Bu Yuli dan Bahar yang tertera di bar status yang selalu muncul di atas ponsel pintarnya. Dia memijit kening, kemudian m
"Baru ditinggal sebentar, sudah buat keributan. Kalian pikir Oma bodoh dengan meninggalkan anak-anak nakal bebas berkeliaran tanpa pengawasan? Asal tahu saja, seluruh penjuru rumah ini sudah dipenuhi dengan CCTV, bahkan ada para preman berbadan besar yang sudah siap menghadang di luar! Jangan pernah berpikir untuk kabur, Tikus-tikus kecil. Tempat kalian di sini!" Galih, Gina, dan adik-adiknya hanya bisa gemetar ketakutan dalam kukungan Bu Yuli, mereka tak menyangka bahwa upaya melarikan diri untuk yang pertama kalinya ini bisa berakhir gagal total. Gerak-gerik Galih dicurigai salah satu pegawaai Bu Yuli. Walhasil mereka tertangkap dan berakhir di kamar eksekusi sebagai hukuman akan sikap mereka yang bebal. "Se-sebenarnya kita mau bawa Farrel ke rumah sakit, Oma. Dia demam," cicit Galih tak sepenuhnya berbohong, karena secara kebetulan adik dari Gina itu tiba-tiba demam tinggi dan kehilangan kesadaraan saat mereka dalam pelarian. Bu Yuli mendekat. Meskipun cepat atau lambat anak-a
Satu jam sebelumnya .... Anak laki-laki dan dua adik kembarnya itu berlari terseok dengan bertelanjang kaki. Sesekali rintihan kecil dan erangan kesakitan meluncur dari mulut mungil mereka, kala telapak-telapak kaki berkulit mulus itu melindas bebatuan tajam atau trotoar panas yang terbakar teriknya matahari menjelang siang hari ini. Si kembar Rara tiba-tiba berhenti. Napasnya terengah dan putus-putus. "Kak, aku haus," lirihnya. "Iya, kita jalan juga sudah lumayan jauh, aku yakin mereka nggak akan menemukan kita di sini," timpal Riri. "Dikit lagi, ya, Dek. Sampai mobil merah di depan mini market itu. Sekalian kita beli minum, untungnya di kantong kakak ada uang lima ribu. Kalau sampai kita ketangkep kasian Kak Gina yang udah ngorbanin diri," ujar Galih meminta pengertian dari kedua adiknya. Rara dan Riri mengerucutkan bibir, meskipun sudah sangat kelelahan terpaksa mereka kembali berlari sembari berbincang kecil. "Kenapa ibu nggak jemput kita, ya, Ri? Kita salah apa?" "Mungk
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu? Bagaimana kabarmu? Kudengar kamu sudah menjadi dokter yang hebat." Jihan memeluk erat tubuh yang berdiri kaku itu dengan begitu erat. "Kabar? Kau ingin tahu bagaimana kabarku selama ini? Buruk atau sangat buruk? Kau yakin ini pertemuan pertama kita setelah bertahun-tahun lamanya. Mbak Jihan, oh Mbak Jihan sampai kapan kau akan berpura-pura bodoh seperti ini?" Deg! Refleks, Jihan melerai pelukan lalu menatap penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Bekal Rara dan Riri sudah masuk tasnya, ya!" "Baju Galih sudah saya setrika." "Makan malamnya mau disiapkan sekarang atau nunggu bapak pulang?" Kalimat-kalimat yang Niar ucapkan saat meniru perannya sebagai Sari membuat Jihan benar-benar tercengang. Mulut perempuan itu terbuka setengah dengan mata membelalak lebar. "Ba-bagaimana mungkin?" Kali ini Jihan membekap mulutnya, kedua tangan perempuan itu sudah gemetar. Detektif Fahri yang berdiri di belakang sudah bersiap men
November 2003Dua insan yang putus asa itu melangkah menuju sebuah gedung terbengkalai untuk tujuan yang sama. Tubuh mereka bergetar hebat tatkala pintu terbuka dan keduanya melangkah menuju ruangan yang penuh dengan aura mistis. Dingin menusuk, berdesakkan dengan makhluk tak kasat mata yang membuat napas sesak dibuatnya. Sekali lagi Bu Yuli menuntun mereka berdua yang terlihat ragu untuk melangkah lebih jauh menuju singgasana. Berhadapan langsung dengan sang pemimpin organisasi yang baru lima tahun berdiri. Seseorang dengan jubah merah dan topeng menyeramkan, memiliki suara deep yang begitu berat dan dalam seperti disamarkan.Niar dan Burhan berpandangan, sekali lagi mereka meyakinkan bahwa ini adalah jalan keluar yang benar-benar diinginkan meskipun harga yang harus dibayar sangatlah mahal."Jadi, kalian sudah siap menjual jiwa pada Nyai dan mengikat kontrak dengan segala konsekuensi yang disepakati?" ucap sang pimpinan dengan mengintimidasi.Keheningan panjang menyelimuti. Entah B
Plak!Suara tamparan keras itu terdengar di kamar Burhan dan Jihan tepat saat Niar yang sedang berperan sebagai Sari melintas di depannya. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka dia melihat Jihan terisak-isak sembari memukuli dada Burhan yang hanya bisa berdiri pasrah mendengar segala caci-maki istrinya yang selama ini lebih banyak diam."Ceraikan aku dulu, sebelum kamu menikahi wanita itu. Semua kesalahanmu masih bisa kuterima, tapi didua dengan status yang sama aku tak akan pernah bisa menerimanya. Hidup dengan bajingan sepertimu sudah cukup membuatku tertekan, jangan tambah lagi wanita jalang!"Senyum lirih tersungging di bibir Niar. Dia tak bisa tersinggung dengan perkataan Jihan. Karena apa yang dikatakannya memang benar. Banyak alasan untuk berpoligami, tapi menikahi wanita simpanan tak termasuk di dalamnya.Blam!Suara pintu yang terbanting keras membuat Niar terlonjak dari lamunan. Dia melihat Jihan berjalan cepat menuruni tangga. Beberapa saat kemudian terdengar suara kl
"Apa yang terjadi dengan tempat ini?" lirih Jihan saat melihat lahan kosong sejauh mata memandang bersama dengan Detektif Fahri, Zakir, dan Nova. Sudah dua minggu sejak kematian Niar yang juga mengungkap siapa dia sebenarnya. Mereka berempat mulai menyelidiki tentang benang merah yang menghubungkan kasus yang melibatkan banyak orang ini.Pertama, Jihan heran karena di pemakaman Niar tak ada satu pun orangtua atau kerabatnya yang datang. Apakah mereka sudah dikorbankan? Jihan hanya melihat sekilas beberapa staf rumah sakit di mana Niar bekerja sebagai dokter forensik. Sementara itu di rumah Niar, polisi menemukan ketiga anaknya yang entah bagaimana bisa ada di sana, Detektif Fahri dan timnya pun menemukan lab rahasia berisi banyak sekali anggota tubuh manusia yang diawetkan. Namun, tak ada satu pun petunjuk yang mengarahkan mereka pada dalang sebenarnya.Melalui kuasa hukumnya, Niar bahkan berwasiat agar semua harta yang dia tinggalkan agar dibakar sampai tak bersisa, karena Niar tak m
Gumpalan awan pekat menyelimuti langit di atas lapas Nusa Kumbangan yang menampung ribuan tahanan kelas berat. Bunyi guntur bersahutan membawa serta angin dan hujan yang mengguyur salah satu kota besar di Tahan Air tersebut. Di dalam block tahanan kelas berat dengan masa hukuman seumur hidup terdengar keributan di tengah riuhnya suara hujan. Para tahanan itu baru saja menyaksikan seorang tahanan dibvnuh dengan brutal oleh sosok yang tak dikenal menggunakan jubah hitam yang menelusup masuk di antara ketatnya penjagaan. Kepala lelaki malang itu nyaris putus. Darah segar masih mengalir dari lehernya yang dig0rok dengan kejam. Namun, ajaibnya napas lelaki itu masih berembus, pendek-pendek, dengan mata yang mengerjap lemah. Mulutnya membuka dan menutup seolah hendak mengucapkan sesuatu. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, para petugas yang menunggu laporan datang berbondong-bodong menuju lokasi kejadian. Mereka tercengang saat melihat sel dalam keadaan terbuka, dan korban sudah sekar
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, setiap yang pergi pasti akan kembali, dan setiap yang hilang pasti akan digantikan lagi. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Pernikahan sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menutup diri dari takdirnya sendiri, mungkin saja ada duka yang diselimuti kecewa hingga dia takut untuk memulainya lagi. Jihan dan Zakir pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang-orang yang sangat mereka kasihi, alasan itulah yang membuat keduanya sempat menutup diri. Namun, saling melengkapi adalah salah satu kunci untuk menutup lubang yang tersembunyi di dalam hati. Setelah berbagai pertimbangan keduanya resmi mengikat janji untuk menjalin komitmen sehidup semati. "Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Annisa binti almarhumah Hana Latifa dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah. Tunai!" Ikrar itu terucap lantang di Masjid Al-Jami. Tanpa malu akan statusnya se
Bak wabah yang menjamur dan tak terelakkan, begitu pun dengan isu Oraganisasi Rahasia Ular Putih yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Orang-orang yang penasaran mulai mencari tahu, bahkan sengaja berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian. Gunung Bageni yang keberadaannya terpelesok dan tersembunyi jauh di pedalaman, mulai didatangi banyak pelancong yang ingin membuktikan kebenaran di balik pesugihan yang memakan banyak korban juga memberi kesenangan secara instan.Oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tersebut sebagai lahan untuk menimbun uang, mulai mengambil kesempatan dari keberadaan Nyai Damini yang konon masih sering datang mengunjungi lokasi yang dulu dia jadikan sebagai tepat bersemayam."Lagi-lagi berita ini." TV layar datar itu berubah hitam setelah tombol power ditekan. Lelaki senja berkemeja lengan pendek tersebut menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, lalu menghela napas panjang."Kenapa, Yah? Masih terganggu dengan berita yang sama?" Wanita berjilbab
Portal dua alam, membawa Zidan kembali ke tempat yang sama. Sisi lain Gunung Bageni yang juga tempat bersemayamnya Nyai. Di depan pohon besar yang merupakan gerbang masuk dan keluarnya kediaman Nyai Damini, lelaki bersorban merah itu melihat seorang wanita bergaun putih menyambutnya. "Kau pasti datang untuk menyelamatkan wanita itu, bukan?"Zakir terdiam sesaat, semula dia sempat ragu. Namun, melihat aura yang terpancar dalam diri makhluk di hadapannya ini. Semua keraguannya perlahan sirna."Ya.""Cepatlah, sebelum semuanya terlambat. Saudariku membawanya ke ruang putih. Sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali dia bermain-main di ruang itu." "Dua puluh tahun?" Zakir memastikan. "Ya, terakhir dia memainkannya bersama dengan ayah biologis Jihan. Sayangnya saat itu Ganjar memilih pintu ambisi, hingga berujung seperti ini." Pikiran Nyai Darsih jauh berkelana menyusuri masa silam. "Pastikan Jihan tak memilih apa yang hasrat terbesarnya inginkan. Atau kalau bisa jangan pilih apa pun y
Banyak cara yang bisa Iblis lakukan untuk menyesatkan anak turun Adam. Sama dengan nenek moyangnya, beberapa golongan jin tertentu juga selalu mempunyai tipu daya, muslihat, dan jebakan untuk menggoda kaum yang ia anggap lemah dan rendahan. Umur mereka yang panjang, serta wujud yang tak kasat mata menguntungkan tugasnya dalam menyesatkan manusia dari ajaran Allah SWT. Sebagian dari jenisnya memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan masa lalu, meniru seseorang, meramal masa depan, bahkan menciptakan ilusi yang mampu memperdaya akal dan pikiran manusia. Kemampuan yang diturunkan nenek moyang itu pulalah yang dimiliki oleh Nyai Damini. Dibantu para budak dari golongan sama, di alamnya, dia mampu menciptakan jenis godaan maha dasyat yang tak akan mampu ditolak makhluk berakal seperti manusia, khususnya Jihan. Perempuan itu terpedaya, dalam dunia yang diciptakan berdasarkan hasrat dan harapan terbesarnya. Hanya setitik noda hitam di hati bersih perempuan itu sudah cukup untuk membuka cela
Lalu-lalang orang masih terlihat di lokasi kejadian. Sirine ambulans dan mobil polisi bersahutan mengelilingi bangunan 1000m² yang berada di tengah-tengah Perkebunan Teh, seluas dua hektare. Bukan hanya kepolisian, tapi pasukan angkatan khusus juga dikerahkan dalam menangani kasus serius yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak terungkap ini. Mengingat kasus yang tengah mereka tangani berhubungan dengan salah satu detektif yang kompeten di bidangnya. Fahri Azikri alias Ganjar Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka utama yang bertanggung jawab atas kematian dan banyaknya korban berjatuhan. Selain dalang dari organisasi sesat yang sudah berdiri selama dua puluh tahun lamanya, dia juga terancam pasal berlapis lainnya. Tentang pemalsuan identitas, pembunuhan berencana, pendiri organisasi ilegal, juga dengan sengaja menutupi bukti kejahatan.Sementara Bu Yuli, Bahar, dan tiga puluh orang lainnya masih berstatus saksi, sebelum pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk orang-orang ya
Villa tempat dilaksanakannya ritual pemujaan itu terletak di daerah puncak. Jauh dari jalan raya dan tersembunyi di balik perkebunan Teh yang lebat seluas tujuh hektar. Sekitarnya dijaga ketat oleh para orang suruhan Ganjar. Tak sembarang orang bisa masuk ke tempat ini, kecuali dia yang memiki izin resmi sebagai bagian dari organisasi. Masih di daerah yang sama dengan Desa Makmur Jaya yang sudah lama binasa. Villa ini dulunya gedung kosong yang menjadi saksi bisu awal mula Burhan dan Niar mengikat kontrak dengan Nyai Damini. Tempat yang sudah direnovasi sedemikian rupa dengan berbagai fasilitas yang diperlukan selama ritual termasuk kamar khusus di mana anggota yang bukan suami-istri berhubungan sebagai salah satu syarat pesugihan. "Jihan tak akan pernah bisa memilih, Ganjar. Kebencianmu padaku tak harus melibatkan anak-anakmu. Lakukan apa yang kau mau padaku, tapi tolong lepaskan mereka!"Jihan menggeleng keras saat Pak Ridwan mengambil keputusan tanpa persetujuan. "Ayah ...," lir
"Mas, apa dosa syirik masih bisa diampuni oleh Allah?" Nisya bertanya pada Zidan setelah mereka selesai menunaikan salat maghrib. Zidan terdiam sesaat, lalu mengubah posisi mereka berhadapan. "Wallahu alam. Tapi, setahuku Allah lebih suka manusia pendosa yang gemas bertaubat daripada ahli agama yang selalu merasa paling benar." "Kalau begitu tuntun aku mengucap syahadat sekali lagi." Zidan kembali terdiam, lamat dia menatap sang istri, lalu mengangguk pelan. "Ashadu ...." "As-ashadu." Sampai saat syahadat selesai Nisya rapalkan dengan tubuh yang gemetar, tangis perempuan itu pecah tanpa sadar. Setelah tangis Nisya mereda, Zidan memeluk dan mencium istrinya. Sebagai lelaki normal hasratnya jelas terbangkitkan apalagi di hadapan perempuan yang halal baginya. Namun, tepat saat dia hendak mencumbu Nisya, perempuan itu tiba-tiba menolak. "Maaf, Mas. Kasih aku waktu sebentar lagi." Setelah itu Nisya bangkit dari pembaringan. "Ibu tadi, nelepon. Katanya yang lain udah
Seorang ibu tetaplah ibu, bagaimana dan seperti apa takdir anak yang mereka lahirkan tekanan batin yang dirasakan tetap menyiksa mereka meskipun kata tak cukup mampu untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Seandainya bisa memilih keduanya juga menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka tak berdosa, layak mendapatkan hidup yang lebih baik dan masa depan cerah seperti yang diimpikan setiap orangtua. Bukan dilahirkan hanya untuk menjadi persembahan makhluk dari dunia yang berbeda. Pelukan erat dan tangis yang tak terbendung sudah cukup menjelaskan seberapa dalam penyesalan Niar dan Cintya. Sayang mulut mereka dibungkam, keduanya tak bisa melontarkan sepatah pun kata, meski hanya maaf yang tulus dari dasar hatinya. "Galih, Rara, Riri, Farrel, Gina ... ayo, Nak!" Nisya memanggil mereka satu per satu. Menuntun kelima anak itu dari pelukan para ibunya. Seberapa keras pun berusaha, hukum alam tetep tak bisa dilanggar. Mereka sudah berbeda alam. Rara, Riri, Farrel dan Gina masih ter