"Apa yang terjadi padamu, Nisya?!" Bu Yuli mengguncang tubuh putri bungsunya. "Dua kali pertemuan kamu absen tanpa alasan, lalu datang hanya untuk mengacaukan prosesi ritual. Bagaimana bisa kamu menghajar partnermu di tengah acara sakral, Anak Sial!" Nisya duduk geming mendengar segala caci-maki yang ibunya lontarkan, sebab ritual pertemuan yang baru saja dia kacaukan di akhir pekan. Entah apa yang mendasari tindakannya saat memukuli partner seorganisasi yang hendak menjamah tubuhnya saat proses ritual dilakukan. Perempuan itu hanya merasa bahwa ini adalah jalan yang dia anggap benar. "Apa yang sudah si brengsek itu lakukan? Bukankah seharusnya dia yang terbuai, bukan malah kamu yang dilumpuhkan. Zidan benar-benar sudah mencuci otakmu, Nisya. Sadarlah!" "Ma!" Setelah sekian lama akhirnya Nisya menyela. Dia mengangkat kepala dan menatap nyalang tepat di manik mata ibunya. "Apa ini hidup yang benar-benar kita inginkan?" Bu Yuli terdiam. "Berapa banyak lagi korban? Sedalam apa lagi
Zakir tersentak saat memasuki rumah megah milik Pak Ridwan. Keadaan di dalam begitu kacau, berbagai barang berserakan, bahkan lampu gantung berhias kristal yang begitu besar di ruang tengah jatuh berserak di lantai. Masih di tempatnya Zakir melihat Pak Ridwan lalu-lalang kelimpungan menangani para asisten rumah tangganya yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Sementara Galih, Rara, dan Riri dia lihat terikat pada kursi besi. Mata mereka melotot, terus berontak sembari berteriak nyaring memekakkan telinga. Pak Ridwan yang baru menyadari kehadiran Zakir, langsung memutar kursi rodanya dan menghampiri. "Za-kir?" Pak Ridwan memastikan. "Bapakmu, Jihan, dan Nova di mana?" Zakir membungkuk, lalu mencium tangan Pak Ridwan. "Nanti Zakir ceritakan, sekarang kita tangani ini dulu. Omong-omong sudah berapa lama seperti ini?" "Kurang lebih dua jam, Kir. Bapak juga tak paham kenapa bisa seperti ini," tutur Pak Ridwan kebingungan. Tiba-tiba mata Zakir memicing, pandangannya terpaku pada s
"Alam jin adalah dimensi ghaib yang tidak bisa dimasuki sembarang manusia. Kalau pun bisa, akan sulit untuk kembali dan membutuhkan waktu berhari-hari. Di sana adalah tempat bersemayamnya makhluk tak kasat mata dari berbagai jenis dan bentuk yang tak terbayang di nalar kita. Alam itu juga menjadi tempat bagi manusia-manusia yang sudah bersekutu dengan jin dan sebangsanya. Kesepakatan itulah yang mengikat jiwa mereka sebagai budak jin sampai habis masanya di dunia, sebelum dibangkitkan kembali pada hari akhir nanti." Di dalam kamar utama, Jihan, Zidan, Zakir, Nova, dan Pak Ridwan berdiri mengelilingi tubuh Galih dan si kembar yang terbaring tak sadarkan diri. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tetapi mereka belum bisa menentukan siapa yang akan pergi menemani Zakir untuk pergi menyelamatkan anak-anak asuh Jihan dan Nisya yang terjebak di dunia lain. "Kita pergi berdua," putus Zidan begitu final. "Aku ikut!" timpal Jihan akhirnya setelah terdiam cukup lama. "Tapi ini terla
"Mereka masih belum sadar?" tanya Pak Ridwan pada Nova dan Detektif Fahri yang baru saja memeriksa keadaan Zakir, anak-anak, serta cucu-cucunya. Mereka tampak dibaringkan di atas ranjang masing-masing dalam satu ruangan besar, dipasangi infus dan alat-alat penunjang kehidupan. Sebab meski jiwa mereka berpetualang di dunia lain, tapi tubuh mereka tetap butuh asupan. Terlebih, tubuh dengan jiwa yang kosong sangat mudah dihinggapi setan yang ingin bersarang. Jadi, sejak hari kepergian Jihan, Zidan, dan Zakir untuk menjemput Galih dan si Kembar, Pak Ridwan rutin melakukan pengajian di kediamannya."Masih belum, Pak. Beberapa kali saya mendapati tubuh mereka keringat dingin, tampak gelisah, bahkan sampai kejang," terang Nova."Astagfirullah." Pak Ridwan mengelus dada. Gurat-gurat kecemasan terlihat di wajah rentanya."Doakan saja, ya, Pak. Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja," sahut Detektif Fahri.Lelaki berusia 70-an itu memejamkan mata, ia mendorong kursi rodanya sampai ke tepi j
Kabut pekat menyelimuti sekeliling labirin yang menjadi tempat para tawanan Nyai Damini. Tak ada siang atau malam, semua terlihat sama dalam dunia yang makhluk itu ciptakan sendiri. Terlihat sepasang suami istri dan tiga orang anak berbeda gender berlari mengitari tiap ruang berbentuk sama di setiap blok-nya, menyisir satu per satu tawanan, dan membebaskan mereka yang memang layak untuk diselamatkan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya tujuh orang itu sepakat untuk berpencar. Jihan dan Zakir terbangun di tubuh mereka untuk melihat kondisi di luar sana. Sementara Nisya, Zidan, Galih, dan si kembar kembali meneruskan perjalanan di alam jin untuk menyelamatkan para tumbal spesial yang ditawan sebelum dipersembahkan, setelahnya baru mencari kelemahan Nyai Damini dan mencari cara untuk mengembalikan ke alamnya. "Kamu yakin anak-anak lain ada di sini?" tanya Nisya pada Galih setelah remaja tanggung itu menuntun mereka untuk berhenti di sebuah ruangan yang cukup
Jihan mengernyitkan dahi ketika terbangun dalam sebuah taman di samping villa yang dikelilingi banyak manusia berjubah sama. Di sampingnya ada Zakir yang masih tak sadarkan diri, lalu Nova, Zidan, anak-anak yang tak berdosa, dan Pak Ridwan yang sepertinya sudah lebih dulu sadar. Lelaki tua bertubuh ringkih itu terkulai di kursi rodanya dengan tatapan yang sulit Jihan mengerti. Ternyata apa yang Nisya ucapkan benar-benar terbukti, dia melihat lelaki yang selama ini selalu ada di sampingnya tengah berdiri angkuh di antara mereka, mengenakan jubah merah dengan topeng tengkorak putih yang sudah disingkirkan ke belakang kepala. "Jadi, bagaimana rasanya dipermainkan, Sayang?" Suara berat itu terdengar dingin dan mengintimidasi. Jihan berontak. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri meski upaya yang dilakukannya tetaplah sia-sia. Tubuh perempuan bergamis putih itu terikat kuat pada sebuah peti yang sengaja dibuat berdiri. Bersama dengan hampir lima belas orang lainnya. "Sekarang
November, 1996 Seburat senja baru saja tenggelam di bawah garis cakrawala ufuk barat. Honda Civic Verio berwarna merah keluaran terbaru itu berhenti di sebuah rumah kumuh yang terletak di atas tebing terjal, sekitar satu kilometer dari Desa Makmur Jaya. Rumah milik seorang paranormal yang sudah lama diasingkan warga sekitar karena kehadirannya yang dianggap sebagai pembawa sial dan penyebab daerah itu mengalami krisis perekonomian. Meskipun kehadirannya tak diinginkan warga sekitar, tetapi jasanya justru banyak digunakan orang-orang di luar desa bahkan kota yang ingin mencoba peruntungan dengan mendalami ilmu hitam dan bersekutu dengan setan. Dibantu sopirnya, seorang pria berstatus sosial tinggi turun dari mobil, mendorong kursi roda mengitari jalan berbatu yang terjal menuju rumah panggung yang dilapisi papan dan bambu beratapkan genting usang. Halamannya dipenuhi dengan tanaman liar yang tumbuh subur dan menjalar sampai teras. Hawa dingin menerjang, bulu kuduk keduanya meremang
Saat kembali ke kamar, Ridwan mendapati tubuh Hana sudah tergeletak di samping ranjang. Kulit mulusnya penuh lebam. Tak ada lagi daya dan upaya yang berusaha wanita itu lakukan, dia benar-benar sudah pasrah dengan keadaan. Entah hal apa yang membuat Ridwan tiba-tiba tersadar, kenyataan baru saja menamparnya tentang arti Hana yang lebih dari seorang istri baginya. Wanita ini adalah satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang, juga seseorang yang selalu ada saat seluruh anggota keluarganya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Meski terpaksa menerima pinangannya Hanalah yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Masih lekat dalam ingatan bagaimana perempuan itu rela dipaksa meninggalkan lelaki yang sangat dicintainya. Tak ada air mata, sebagai perempuan mandiri dan yatim-piatu sejak dini. Dia berlutut di hadapan Ganjar untuk merelakannya demi masa depan mereka juga. Dia juga menyadari bahwa perselingkuhan Hana dan Ganjar sudah berakhir lebih dari enam belas tahun silam, meskipun
Gumpalan awan pekat menyelimuti langit di atas lapas Nusa Kumbangan yang menampung ribuan tahanan kelas berat. Bunyi guntur bersahutan membawa serta angin dan hujan yang mengguyur salah satu kota besar di Tahan Air tersebut. Di dalam block tahanan kelas berat dengan masa hukuman seumur hidup terdengar keributan di tengah riuhnya suara hujan. Para tahanan itu baru saja menyaksikan seorang tahanan dibvnuh dengan brutal oleh sosok yang tak dikenal menggunakan jubah hitam yang menelusup masuk di antara ketatnya penjagaan. Kepala lelaki malang itu nyaris putus. Darah segar masih mengalir dari lehernya yang dig0rok dengan kejam. Namun, ajaibnya napas lelaki itu masih berembus, pendek-pendek, dengan mata yang mengerjap lemah. Mulutnya membuka dan menutup seolah hendak mengucapkan sesuatu. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, para petugas yang menunggu laporan datang berbondong-bodong menuju lokasi kejadian. Mereka tercengang saat melihat sel dalam keadaan terbuka, dan korban sudah sekar
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, setiap yang pergi pasti akan kembali, dan setiap yang hilang pasti akan digantikan lagi. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Pernikahan sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menutup diri dari takdirnya sendiri, mungkin saja ada duka yang diselimuti kecewa hingga dia takut untuk memulainya lagi. Jihan dan Zakir pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang-orang yang sangat mereka kasihi, alasan itulah yang membuat keduanya sempat menutup diri. Namun, saling melengkapi adalah salah satu kunci untuk menutup lubang yang tersembunyi di dalam hati. Setelah berbagai pertimbangan keduanya resmi mengikat janji untuk menjalin komitmen sehidup semati. "Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Annisa binti almarhumah Hana Latifa dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah. Tunai!" Ikrar itu terucap lantang di Masjid Al-Jami. Tanpa malu akan statusnya se
Bak wabah yang menjamur dan tak terelakkan, begitu pun dengan isu Oraganisasi Rahasia Ular Putih yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Orang-orang yang penasaran mulai mencari tahu, bahkan sengaja berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian. Gunung Bageni yang keberadaannya terpelesok dan tersembunyi jauh di pedalaman, mulai didatangi banyak pelancong yang ingin membuktikan kebenaran di balik pesugihan yang memakan banyak korban juga memberi kesenangan secara instan.Oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tersebut sebagai lahan untuk menimbun uang, mulai mengambil kesempatan dari keberadaan Nyai Damini yang konon masih sering datang mengunjungi lokasi yang dulu dia jadikan sebagai tepat bersemayam."Lagi-lagi berita ini." TV layar datar itu berubah hitam setelah tombol power ditekan. Lelaki senja berkemeja lengan pendek tersebut menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, lalu menghela napas panjang."Kenapa, Yah? Masih terganggu dengan berita yang sama?" Wanita berjilbab
Portal dua alam, membawa Zidan kembali ke tempat yang sama. Sisi lain Gunung Bageni yang juga tempat bersemayamnya Nyai. Di depan pohon besar yang merupakan gerbang masuk dan keluarnya kediaman Nyai Damini, lelaki bersorban merah itu melihat seorang wanita bergaun putih menyambutnya. "Kau pasti datang untuk menyelamatkan wanita itu, bukan?"Zakir terdiam sesaat, semula dia sempat ragu. Namun, melihat aura yang terpancar dalam diri makhluk di hadapannya ini. Semua keraguannya perlahan sirna."Ya.""Cepatlah, sebelum semuanya terlambat. Saudariku membawanya ke ruang putih. Sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali dia bermain-main di ruang itu." "Dua puluh tahun?" Zakir memastikan. "Ya, terakhir dia memainkannya bersama dengan ayah biologis Jihan. Sayangnya saat itu Ganjar memilih pintu ambisi, hingga berujung seperti ini." Pikiran Nyai Darsih jauh berkelana menyusuri masa silam. "Pastikan Jihan tak memilih apa yang hasrat terbesarnya inginkan. Atau kalau bisa jangan pilih apa pun y
Banyak cara yang bisa Iblis lakukan untuk menyesatkan anak turun Adam. Sama dengan nenek moyangnya, beberapa golongan jin tertentu juga selalu mempunyai tipu daya, muslihat, dan jebakan untuk menggoda kaum yang ia anggap lemah dan rendahan. Umur mereka yang panjang, serta wujud yang tak kasat mata menguntungkan tugasnya dalam menyesatkan manusia dari ajaran Allah SWT. Sebagian dari jenisnya memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan masa lalu, meniru seseorang, meramal masa depan, bahkan menciptakan ilusi yang mampu memperdaya akal dan pikiran manusia. Kemampuan yang diturunkan nenek moyang itu pulalah yang dimiliki oleh Nyai Damini. Dibantu para budak dari golongan sama, di alamnya, dia mampu menciptakan jenis godaan maha dasyat yang tak akan mampu ditolak makhluk berakal seperti manusia, khususnya Jihan. Perempuan itu terpedaya, dalam dunia yang diciptakan berdasarkan hasrat dan harapan terbesarnya. Hanya setitik noda hitam di hati bersih perempuan itu sudah cukup untuk membuka cela
Lalu-lalang orang masih terlihat di lokasi kejadian. Sirine ambulans dan mobil polisi bersahutan mengelilingi bangunan 1000m² yang berada di tengah-tengah Perkebunan Teh, seluas dua hektare. Bukan hanya kepolisian, tapi pasukan angkatan khusus juga dikerahkan dalam menangani kasus serius yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak terungkap ini. Mengingat kasus yang tengah mereka tangani berhubungan dengan salah satu detektif yang kompeten di bidangnya. Fahri Azikri alias Ganjar Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka utama yang bertanggung jawab atas kematian dan banyaknya korban berjatuhan. Selain dalang dari organisasi sesat yang sudah berdiri selama dua puluh tahun lamanya, dia juga terancam pasal berlapis lainnya. Tentang pemalsuan identitas, pembunuhan berencana, pendiri organisasi ilegal, juga dengan sengaja menutupi bukti kejahatan.Sementara Bu Yuli, Bahar, dan tiga puluh orang lainnya masih berstatus saksi, sebelum pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk orang-orang ya
Villa tempat dilaksanakannya ritual pemujaan itu terletak di daerah puncak. Jauh dari jalan raya dan tersembunyi di balik perkebunan Teh yang lebat seluas tujuh hektar. Sekitarnya dijaga ketat oleh para orang suruhan Ganjar. Tak sembarang orang bisa masuk ke tempat ini, kecuali dia yang memiki izin resmi sebagai bagian dari organisasi. Masih di daerah yang sama dengan Desa Makmur Jaya yang sudah lama binasa. Villa ini dulunya gedung kosong yang menjadi saksi bisu awal mula Burhan dan Niar mengikat kontrak dengan Nyai Damini. Tempat yang sudah direnovasi sedemikian rupa dengan berbagai fasilitas yang diperlukan selama ritual termasuk kamar khusus di mana anggota yang bukan suami-istri berhubungan sebagai salah satu syarat pesugihan. "Jihan tak akan pernah bisa memilih, Ganjar. Kebencianmu padaku tak harus melibatkan anak-anakmu. Lakukan apa yang kau mau padaku, tapi tolong lepaskan mereka!"Jihan menggeleng keras saat Pak Ridwan mengambil keputusan tanpa persetujuan. "Ayah ...," lir
"Mas, apa dosa syirik masih bisa diampuni oleh Allah?" Nisya bertanya pada Zidan setelah mereka selesai menunaikan salat maghrib. Zidan terdiam sesaat, lalu mengubah posisi mereka berhadapan. "Wallahu alam. Tapi, setahuku Allah lebih suka manusia pendosa yang gemas bertaubat daripada ahli agama yang selalu merasa paling benar." "Kalau begitu tuntun aku mengucap syahadat sekali lagi." Zidan kembali terdiam, lamat dia menatap sang istri, lalu mengangguk pelan. "Ashadu ...." "As-ashadu." Sampai saat syahadat selesai Nisya rapalkan dengan tubuh yang gemetar, tangis perempuan itu pecah tanpa sadar. Setelah tangis Nisya mereda, Zidan memeluk dan mencium istrinya. Sebagai lelaki normal hasratnya jelas terbangkitkan apalagi di hadapan perempuan yang halal baginya. Namun, tepat saat dia hendak mencumbu Nisya, perempuan itu tiba-tiba menolak. "Maaf, Mas. Kasih aku waktu sebentar lagi." Setelah itu Nisya bangkit dari pembaringan. "Ibu tadi, nelepon. Katanya yang lain udah
Seorang ibu tetaplah ibu, bagaimana dan seperti apa takdir anak yang mereka lahirkan tekanan batin yang dirasakan tetap menyiksa mereka meskipun kata tak cukup mampu untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Seandainya bisa memilih keduanya juga menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka tak berdosa, layak mendapatkan hidup yang lebih baik dan masa depan cerah seperti yang diimpikan setiap orangtua. Bukan dilahirkan hanya untuk menjadi persembahan makhluk dari dunia yang berbeda. Pelukan erat dan tangis yang tak terbendung sudah cukup menjelaskan seberapa dalam penyesalan Niar dan Cintya. Sayang mulut mereka dibungkam, keduanya tak bisa melontarkan sepatah pun kata, meski hanya maaf yang tulus dari dasar hatinya. "Galih, Rara, Riri, Farrel, Gina ... ayo, Nak!" Nisya memanggil mereka satu per satu. Menuntun kelima anak itu dari pelukan para ibunya. Seberapa keras pun berusaha, hukum alam tetep tak bisa dilanggar. Mereka sudah berbeda alam. Rara, Riri, Farrel dan Gina masih ter