Jihan mengernyitkan dahi ketika terbangun dalam sebuah taman di samping villa yang dikelilingi banyak manusia berjubah sama. Di sampingnya ada Zakir yang masih tak sadarkan diri, lalu Nova, Zidan, anak-anak yang tak berdosa, dan Pak Ridwan yang sepertinya sudah lebih dulu sadar. Lelaki tua bertubuh ringkih itu terkulai di kursi rodanya dengan tatapan yang sulit Jihan mengerti. Ternyata apa yang Nisya ucapkan benar-benar terbukti, dia melihat lelaki yang selama ini selalu ada di sampingnya tengah berdiri angkuh di antara mereka, mengenakan jubah merah dengan topeng tengkorak putih yang sudah disingkirkan ke belakang kepala. "Jadi, bagaimana rasanya dipermainkan, Sayang?" Suara berat itu terdengar dingin dan mengintimidasi. Jihan berontak. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri meski upaya yang dilakukannya tetaplah sia-sia. Tubuh perempuan bergamis putih itu terikat kuat pada sebuah peti yang sengaja dibuat berdiri. Bersama dengan hampir lima belas orang lainnya. "Sekarang
November, 1996 Seburat senja baru saja tenggelam di bawah garis cakrawala ufuk barat. Honda Civic Verio berwarna merah keluaran terbaru itu berhenti di sebuah rumah kumuh yang terletak di atas tebing terjal, sekitar satu kilometer dari Desa Makmur Jaya. Rumah milik seorang paranormal yang sudah lama diasingkan warga sekitar karena kehadirannya yang dianggap sebagai pembawa sial dan penyebab daerah itu mengalami krisis perekonomian. Meskipun kehadirannya tak diinginkan warga sekitar, tetapi jasanya justru banyak digunakan orang-orang di luar desa bahkan kota yang ingin mencoba peruntungan dengan mendalami ilmu hitam dan bersekutu dengan setan. Dibantu sopirnya, seorang pria berstatus sosial tinggi turun dari mobil, mendorong kursi roda mengitari jalan berbatu yang terjal menuju rumah panggung yang dilapisi papan dan bambu beratapkan genting usang. Halamannya dipenuhi dengan tanaman liar yang tumbuh subur dan menjalar sampai teras. Hawa dingin menerjang, bulu kuduk keduanya meremang
Saat kembali ke kamar, Ridwan mendapati tubuh Hana sudah tergeletak di samping ranjang. Kulit mulusnya penuh lebam. Tak ada lagi daya dan upaya yang berusaha wanita itu lakukan, dia benar-benar sudah pasrah dengan keadaan. Entah hal apa yang membuat Ridwan tiba-tiba tersadar, kenyataan baru saja menamparnya tentang arti Hana yang lebih dari seorang istri baginya. Wanita ini adalah satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang, juga seseorang yang selalu ada saat seluruh anggota keluarganya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Meski terpaksa menerima pinangannya Hanalah yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Masih lekat dalam ingatan bagaimana perempuan itu rela dipaksa meninggalkan lelaki yang sangat dicintainya. Tak ada air mata, sebagai perempuan mandiri dan yatim-piatu sejak dini. Dia berlutut di hadapan Ganjar untuk merelakannya demi masa depan mereka juga. Dia juga menyadari bahwa perselingkuhan Hana dan Ganjar sudah berakhir lebih dari enam belas tahun silam, meskipun
Awal tahun 80-an di Desa Makmur Jaya, sebuah tempat yang tak semakmur namanya di mana sebagian besar masyarakat hidup menderita dalam belitan ekonomi dengan mayoritas mata pencaharian warganya yang hanya terdiri dari buruh, tukang kebun, dan serabutan. Krisis air bersih bahkan terjadi di desa ini semenjak beroperasinya sebuah pabrik minyak yang limbahnya dibuang ke sungai Cimangkuni, padahal sungai tersebut adalah satu-satunya sumber mata air bagi seluruh masyarakat desa. Akibatnya anak-anak mulai kekurangan gizi dan penyebaran wabah penyakit pun terjadi. Namun, di tengah kesulitan yang menimpa desanya, Ganjar dan Hana, sepasang kekasih yang sudah lama saling mengenal, tampak menikmati hidup mereka meski terdampak juga. Ganjar yang bekerja sebagai perawat di puskesmas desa, sementara Hana adalah buruh pabrik. Mereka tampak saling mencintai dan berbagi impian masa depan bersama. Suatu hari, di waktu yang sama setelah terjadi demo besar-besaran yang menuntut berhentinya operasi pabr
Lima tahun lalu sejak tersiar banyak berita tentang kehilangan beberapa pendaki, pemerintah setempat resmi menutup akses ke Gunung Bageni. Papan dengan tulisan 'Daerah Terlarang' yang disematkan di perbatasan antara pemukiman dan hutan, sudah cukup membuktikan betapa berbahayanya tempat ini. Warga setempat meyakini, bahwa Gunung Bageni yang terletak di Nort Java menyimpan Legenda Siluman Ular Putih yang menguasai tempat ini, keangkerannya sudah terbukti oleh beberapa petani karet yang biasa lalu-lalang di sekitar perbatasan. Tebingnya yang terjal, serta jalan setapak yang sudah dipenuhi semak belukar membuat tempat ini nyaris tak pernah dijamah manusia. Namun, semua hal itu sama sekali tak menyurutkan tekad Ganjar untuk membuktikan tentang Legenda Siluman Ular Putih yang menghuni gunung ini. Bila mitos itu terbukti benar, jelas dia bisa membalaskan dendam yang sudah menggerogoti diri hingga berani menyekutukan Tuhan untuk melakukan hal yang dia anggap benar. Mungkin memang butuh w
Dua bulan kemudian warga sekitar pemukiman Gunung Bageni tiba-tiba dikejutkan dengan penemuan mayat tanpa identitas di perbatasan hutan. Setengah bagian wajahnya penuh luka dalam dan tak bisa dikenali. Hingga dalam beberapa hari dia ditempatkan di ruang mayat sebagai penemuan jasad tanpa identitas. Seorang detektif polisi yang sangat tertarik dengan kasus ini terus menyelidiki. Ditemani seorang dokter forensik dia meneliti jasad tersebut sebelum melakukan autopsi. Tak ada catatan sidik jari, wajahnya tak dikenali dengan orang-orang hilang yang dilaporkan akhir-akhir ini.Hingga kejadian tak terduga tiba-tiba terjadi. Tepat tengah malam mayat itu terbangun dari mati suri. Sang detektif polisi dan dokter forensik tersebut terkejut bukan main, pasalnya mereka sudah membedah sebagian dadanya hingga nampak darah dan organ dalam yang masih sangat sehat.Kedua orang berbeda profesi itu berpandangan, mereka menatap heran memerhatikan lelaki yang kini duduk di brankar memegangi dada tanpa eks
"Ayo, ayo, cepat!" Dengan cekatan Nisya, Zidan, Galih, maupun si kembar mengiring anak-anak lain dari ruang tawanan menuju gerbang keluar. Labirin menyeramkan yang menjadi tempat bagi semua tawanan itu memang dijaga beberapa makhluk astral lain dari berbagai jenis dan tempat asal yang berbeda-beda. Namun, entah kenapa mereka hanya diam dan memperhatikan saja, saat Nisya dan yang lainnya pergi melarikan diri. Sepertinya ketundukkan mereka berhubungan dengan kedatangan Nyai Darsih tadi. Makhluk yang mengaku sebagai adik Nyai Damini itu bisa dipastikan sudah memberi mereka semacam peringatan."Na ... ayo!" Galih menghampiri Gina yang tertinggal jauh di belakang. Entah apa yang terjadi, tapi Galih mulai menyadari bahwa Gina tak sama lagi."Aku bingung, Lih. Kembali atau enggak, status kita tetap sama. Walaupun kita bisa melewati peristiwa ini, tapi kita nggak akan bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku, kamu, dan anak-anak lainnya tercipta hanya untuk satu alasan, terima atau nggak
Seorang ibu tetaplah ibu, bagaimana dan seperti apa takdir anak yang mereka lahirkan tekanan batin yang dirasakan tetap menyiksa mereka meskipun kata tak cukup mampu untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Seandainya bisa memilih keduanya juga menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka tak berdosa, layak mendapatkan hidup yang lebih baik dan masa depan cerah seperti yang diimpikan setiap orangtua. Bukan dilahirkan hanya untuk menjadi persembahan makhluk dari dunia yang berbeda. Pelukan erat dan tangis yang tak terbendung sudah cukup menjelaskan seberapa dalam penyesalan Niar dan Cintya. Sayang mulut mereka dibungkam, keduanya tak bisa melontarkan sepatah pun kata, meski hanya maaf yang tulus dari dasar hatinya. "Galih, Rara, Riri, Farrel, Gina ... ayo, Nak!" Nisya memanggil mereka satu per satu. Menuntun kelima anak itu dari pelukan para ibunya. Seberapa keras pun berusaha, hukum alam tetep tak bisa dilanggar. Mereka sudah berbeda alam. Rara, Riri, Farrel dan Gina masih ter