Zakir tersentak saat memasuki rumah megah milik Pak Ridwan. Keadaan di dalam begitu kacau, berbagai barang berserakan, bahkan lampu gantung berhias kristal yang begitu besar di ruang tengah jatuh berserak di lantai. Masih di tempatnya Zakir melihat Pak Ridwan lalu-lalang kelimpungan menangani para asisten rumah tangganya yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Sementara Galih, Rara, dan Riri dia lihat terikat pada kursi besi. Mata mereka melotot, terus berontak sembari berteriak nyaring memekakkan telinga. Pak Ridwan yang baru menyadari kehadiran Zakir, langsung memutar kursi rodanya dan menghampiri. "Za-kir?" Pak Ridwan memastikan. "Bapakmu, Jihan, dan Nova di mana?" Zakir membungkuk, lalu mencium tangan Pak Ridwan. "Nanti Zakir ceritakan, sekarang kita tangani ini dulu. Omong-omong sudah berapa lama seperti ini?" "Kurang lebih dua jam, Kir. Bapak juga tak paham kenapa bisa seperti ini," tutur Pak Ridwan kebingungan. Tiba-tiba mata Zakir memicing, pandangannya terpaku pada s
"Alam jin adalah dimensi ghaib yang tidak bisa dimasuki sembarang manusia. Kalau pun bisa, akan sulit untuk kembali dan membutuhkan waktu berhari-hari. Di sana adalah tempat bersemayamnya makhluk tak kasat mata dari berbagai jenis dan bentuk yang tak terbayang di nalar kita. Alam itu juga menjadi tempat bagi manusia-manusia yang sudah bersekutu dengan jin dan sebangsanya. Kesepakatan itulah yang mengikat jiwa mereka sebagai budak jin sampai habis masanya di dunia, sebelum dibangkitkan kembali pada hari akhir nanti." Di dalam kamar utama, Jihan, Zidan, Zakir, Nova, dan Pak Ridwan berdiri mengelilingi tubuh Galih dan si kembar yang terbaring tak sadarkan diri. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tetapi mereka belum bisa menentukan siapa yang akan pergi menemani Zakir untuk pergi menyelamatkan anak-anak asuh Jihan dan Nisya yang terjebak di dunia lain. "Kita pergi berdua," putus Zidan begitu final. "Aku ikut!" timpal Jihan akhirnya setelah terdiam cukup lama. "Tapi ini terla
"Mereka masih belum sadar?" tanya Pak Ridwan pada Nova dan Detektif Fahri yang baru saja memeriksa keadaan Zakir, anak-anak, serta cucu-cucunya. Mereka tampak dibaringkan di atas ranjang masing-masing dalam satu ruangan besar, dipasangi infus dan alat-alat penunjang kehidupan. Sebab meski jiwa mereka berpetualang di dunia lain, tapi tubuh mereka tetap butuh asupan. Terlebih, tubuh dengan jiwa yang kosong sangat mudah dihinggapi setan yang ingin bersarang. Jadi, sejak hari kepergian Jihan, Zidan, dan Zakir untuk menjemput Galih dan si Kembar, Pak Ridwan rutin melakukan pengajian di kediamannya."Masih belum, Pak. Beberapa kali saya mendapati tubuh mereka keringat dingin, tampak gelisah, bahkan sampai kejang," terang Nova."Astagfirullah." Pak Ridwan mengelus dada. Gurat-gurat kecemasan terlihat di wajah rentanya."Doakan saja, ya, Pak. Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja," sahut Detektif Fahri.Lelaki berusia 70-an itu memejamkan mata, ia mendorong kursi rodanya sampai ke tepi j
Kabut pekat menyelimuti sekeliling labirin yang menjadi tempat para tawanan Nyai Damini. Tak ada siang atau malam, semua terlihat sama dalam dunia yang makhluk itu ciptakan sendiri. Terlihat sepasang suami istri dan tiga orang anak berbeda gender berlari mengitari tiap ruang berbentuk sama di setiap blok-nya, menyisir satu per satu tawanan, dan membebaskan mereka yang memang layak untuk diselamatkan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya tujuh orang itu sepakat untuk berpencar. Jihan dan Zakir terbangun di tubuh mereka untuk melihat kondisi di luar sana. Sementara Nisya, Zidan, Galih, dan si kembar kembali meneruskan perjalanan di alam jin untuk menyelamatkan para tumbal spesial yang ditawan sebelum dipersembahkan, setelahnya baru mencari kelemahan Nyai Damini dan mencari cara untuk mengembalikan ke alamnya. "Kamu yakin anak-anak lain ada di sini?" tanya Nisya pada Galih setelah remaja tanggung itu menuntun mereka untuk berhenti di sebuah ruangan yang cukup
Jihan mengernyitkan dahi ketika terbangun dalam sebuah taman di samping villa yang dikelilingi banyak manusia berjubah sama. Di sampingnya ada Zakir yang masih tak sadarkan diri, lalu Nova, Zidan, anak-anak yang tak berdosa, dan Pak Ridwan yang sepertinya sudah lebih dulu sadar. Lelaki tua bertubuh ringkih itu terkulai di kursi rodanya dengan tatapan yang sulit Jihan mengerti. Ternyata apa yang Nisya ucapkan benar-benar terbukti, dia melihat lelaki yang selama ini selalu ada di sampingnya tengah berdiri angkuh di antara mereka, mengenakan jubah merah dengan topeng tengkorak putih yang sudah disingkirkan ke belakang kepala. "Jadi, bagaimana rasanya dipermainkan, Sayang?" Suara berat itu terdengar dingin dan mengintimidasi. Jihan berontak. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri meski upaya yang dilakukannya tetaplah sia-sia. Tubuh perempuan bergamis putih itu terikat kuat pada sebuah peti yang sengaja dibuat berdiri. Bersama dengan hampir lima belas orang lainnya. "Sekarang
November, 1996 Seburat senja baru saja tenggelam di bawah garis cakrawala ufuk barat. Honda Civic Verio berwarna merah keluaran terbaru itu berhenti di sebuah rumah kumuh yang terletak di atas tebing terjal, sekitar satu kilometer dari Desa Makmur Jaya. Rumah milik seorang paranormal yang sudah lama diasingkan warga sekitar karena kehadirannya yang dianggap sebagai pembawa sial dan penyebab daerah itu mengalami krisis perekonomian. Meskipun kehadirannya tak diinginkan warga sekitar, tetapi jasanya justru banyak digunakan orang-orang di luar desa bahkan kota yang ingin mencoba peruntungan dengan mendalami ilmu hitam dan bersekutu dengan setan. Dibantu sopirnya, seorang pria berstatus sosial tinggi turun dari mobil, mendorong kursi roda mengitari jalan berbatu yang terjal menuju rumah panggung yang dilapisi papan dan bambu beratapkan genting usang. Halamannya dipenuhi dengan tanaman liar yang tumbuh subur dan menjalar sampai teras. Hawa dingin menerjang, bulu kuduk keduanya meremang
Saat kembali ke kamar, Ridwan mendapati tubuh Hana sudah tergeletak di samping ranjang. Kulit mulusnya penuh lebam. Tak ada lagi daya dan upaya yang berusaha wanita itu lakukan, dia benar-benar sudah pasrah dengan keadaan. Entah hal apa yang membuat Ridwan tiba-tiba tersadar, kenyataan baru saja menamparnya tentang arti Hana yang lebih dari seorang istri baginya. Wanita ini adalah satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang, juga seseorang yang selalu ada saat seluruh anggota keluarganya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Meski terpaksa menerima pinangannya Hanalah yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Masih lekat dalam ingatan bagaimana perempuan itu rela dipaksa meninggalkan lelaki yang sangat dicintainya. Tak ada air mata, sebagai perempuan mandiri dan yatim-piatu sejak dini. Dia berlutut di hadapan Ganjar untuk merelakannya demi masa depan mereka juga. Dia juga menyadari bahwa perselingkuhan Hana dan Ganjar sudah berakhir lebih dari enam belas tahun silam, meskipun
Awal tahun 80-an di Desa Makmur Jaya, sebuah tempat yang tak semakmur namanya di mana sebagian besar masyarakat hidup menderita dalam belitan ekonomi dengan mayoritas mata pencaharian warganya yang hanya terdiri dari buruh, tukang kebun, dan serabutan. Krisis air bersih bahkan terjadi di desa ini semenjak beroperasinya sebuah pabrik minyak yang limbahnya dibuang ke sungai Cimangkuni, padahal sungai tersebut adalah satu-satunya sumber mata air bagi seluruh masyarakat desa. Akibatnya anak-anak mulai kekurangan gizi dan penyebaran wabah penyakit pun terjadi. Namun, di tengah kesulitan yang menimpa desanya, Ganjar dan Hana, sepasang kekasih yang sudah lama saling mengenal, tampak menikmati hidup mereka meski terdampak juga. Ganjar yang bekerja sebagai perawat di puskesmas desa, sementara Hana adalah buruh pabrik. Mereka tampak saling mencintai dan berbagi impian masa depan bersama. Suatu hari, di waktu yang sama setelah terjadi demo besar-besaran yang menuntut berhentinya operasi pabr