"Saya terima nikah dan kawinnya Nisya Zahira binti Sandi Septian dengan maskawin tersebut. Tunai!""Sah."Akad lantang dan gema suara saksi itu masih terngiang di telinga Nisya sepanjang perjalanan menuju kediaman barunya yang sudah Zidan persiapkan di luar ibukota. Tepatnya, Kota Hujan, Bogor. Hatinya bergemuruh senang, tapi di satu sisi juga bimbang. Entah apa yang menyebabkan perasaannya begitu tak tenang bahkan dalam kebisuan. Erat jemari lentik itu menggenggam tangan besar yang tertaut di atas paha, sementara sang empunya sibuk memfokuskan pandangan ke jalanan di depan."Apa pun yang terjadi kamu tak akan pernah meninggalkanku, kan, Mas?" Nisya mengiba. Nanar tatapan itu dia arahkan pada Zidan yang masih fokus menyetir."Kita baru saja menikah, Sya. Kenapa kamu harus berpikir jauh tentang itu?" Zidan balik bertanya dengan nada lembut yang sedikit ditekan.Sejenak Nisya terdiam, dia mencondongkan tubuh lalu menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Entah, aku hanya takut saja," aku
"Kasus ini bukan sesuatu yang bisa kita tangani hanya dengan bantuan kepolisian dan pihak berwenang. Pesugihan dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib memang sukar untuk dipertanyakan, tapi sudah terbukti keberadaan dan kebenarannya yang tak akan bisa kita sangkal. Maka dari itu, saya dan ayah sepakat untuk meminta bantuan pihak ketiga atau ahli supranatural yang bisa menangani kasus serupa. Hari ini juga saya dan Nova akan berangkat ke Bandung untuk menemui beliau dan meminta bantuan. Terkait perkembangan kasus yang masih belum menemukan titik terang, sedikit banyaknya akan saya kabarkan pada Mas Fahri nanti." Panjang lebar Jihan memaparkan pada Detektif Fahri tentang tujuan Jihan melibatkan orang ketika dalam memecahkan kasus suaminya. Lelaki yang terlihat begitu berkariswa di usia empat puluhan itu mengangguk maklum. Dia menatap Pak Ridwan sejenak, lalu beralih pada Nova yang duduk di sebelah Jihan. "Saya mengerti. Lagi pula kita semua tahu Jihan dan saya bukan mahram, k
"Sekte Ular Putih adalah organisasi rahasia yang terdiri dari ketua, eksekutor, algojo, anggota VIP, dan anggota biasa. Sampai saat berhenti saya tak pernah tahu seperti apa wujud dari pendiri SUP, karena setiap pertemuan dia selalu memakai jubah dan topeng. Ada yang pernah bilang kalau dia pria paruh baya berusia 70-an, ada juga yang bilang dia lebih tua dari itu. Entahlah. Sementara sang eksekutor yang biasa mengeksekusi para korban diketahui seorang Dokter Forensik berusia pertengahan tiga puluh. Kalau kamu ingin merobohkan organisasi, rusak dulu pondasinya. Temukan sang eksekutor atau langsung berhubungan dengan para VIP, karena hanya mereka yang mempunyai akses dengan petinggi." Tiba-tiba Jihan kembali teringat keterangan yang diberikan satu-satunya saksi terkait Sekte Ular Putih yang dia temui bersama Detektif Fahri hari itu. Dengan tubuh gemetar wanita paruh bawa itu bena-benar memaparkan semua informasi yang dia ketahui. "Bagaimana bisa Mbak berpikir itu Sari?" Pertanyaan No
Ketukan pintu terdengar beberapa kali di depan pintu kamar Gina yang entah sejak kapan tak pernah lagi dibuka olehnya. Rumah besar dengan nuansa kelam itu memang acap kali membuat para penghuninya tak nyaman sesingkat apa pun mereka singgah. Sudah dua hari sejak gadis berusia empat belas tahun itu tinggal di rumah neneknya. Sejak tragedi kesurupan tersebut, Gina memang kehilangan keceriaan dan binar di mananya. Tak ada lagi ekspresi semangat yang biasa ditunjukkan. Dia seolah makin pasrah menerima nasib yang sudah ditentukan. "Na, Gina!" Kali itu ketukannya ditambah dengan panggilan yang cukup keras. Akhirnya setelah beberapa saat menimang-nimang, Gina beranjak dari ranjang dan menanggapi panggilan yang dia ketahui berasal dari sepupunya, Galih. Pintu terbuka. Tanpa kata Gina menatap Galih sejenak, lalu kembali ke tempat semula. Memeluk lutut sembari bersandar di kepala ranjang. "Hei, ada apa?" tanya Galih sembari menepuk bahu gadis yang kini tak lagi menguncir rambutnya. "Kita u
"... jangan lupa siapkan kamar kosong untuk tempat singgah Nyai." "Jaga dirimu baik-baik, peralat Zidan sebaik mungkin. Jangan sampai nasibmu berakhir seperti Burhan. Ibu tak ingin kehilangan anak lagi karena kebodohan yang sengaja atau tidak kalian lakukan. Buang jauh-jauh rasa kemanusiaan itu, tujuan kita bergabung dengan organisasi adalah untuk menjadi pengikut Nyai, dan mendapatkan kesenangan duniawi!" Di depan sebuah kamar kosong yang terletak jauh di belakang, Nisya berdiri. Beberapa kali ponsel di genggaman tangannya berbunyi, muncul notifikasi dari kakak dan ibunya yang sejak semalam dia abaikan. [ Kenapa kamu tidak menghadiri ritual malam tadi? ] [ Tubuhmu bukan hanya milik Zidan, Adik Bodoh! ] [ Sudah saatnya kamu mengandung Tumbal Spesial, jadi berhenti bermain-main!!] Nisya menghela napas panjang setelah tak sengaja membaca notifikasi pesan dari Bu Yuli dan Bahar yang tertera di bar status yang selalu muncul di atas ponsel pintarnya. Dia memijit kening, kemudian m
"Baru ditinggal sebentar, sudah buat keributan. Kalian pikir Oma bodoh dengan meninggalkan anak-anak nakal bebas berkeliaran tanpa pengawasan? Asal tahu saja, seluruh penjuru rumah ini sudah dipenuhi dengan CCTV, bahkan ada para preman berbadan besar yang sudah siap menghadang di luar! Jangan pernah berpikir untuk kabur, Tikus-tikus kecil. Tempat kalian di sini!" Galih, Gina, dan adik-adiknya hanya bisa gemetar ketakutan dalam kukungan Bu Yuli, mereka tak menyangka bahwa upaya melarikan diri untuk yang pertama kalinya ini bisa berakhir gagal total. Gerak-gerik Galih dicurigai salah satu pegawaai Bu Yuli. Walhasil mereka tertangkap dan berakhir di kamar eksekusi sebagai hukuman akan sikap mereka yang bebal. "Se-sebenarnya kita mau bawa Farrel ke rumah sakit, Oma. Dia demam," cicit Galih tak sepenuhnya berbohong, karena secara kebetulan adik dari Gina itu tiba-tiba demam tinggi dan kehilangan kesadaraan saat mereka dalam pelarian. Bu Yuli mendekat. Meskipun cepat atau lambat anak-a
Satu jam sebelumnya .... Anak laki-laki dan dua adik kembarnya itu berlari terseok dengan bertelanjang kaki. Sesekali rintihan kecil dan erangan kesakitan meluncur dari mulut mungil mereka, kala telapak-telapak kaki berkulit mulus itu melindas bebatuan tajam atau trotoar panas yang terbakar teriknya matahari menjelang siang hari ini. Si kembar Rara tiba-tiba berhenti. Napasnya terengah dan putus-putus. "Kak, aku haus," lirihnya. "Iya, kita jalan juga sudah lumayan jauh, aku yakin mereka nggak akan menemukan kita di sini," timpal Riri. "Dikit lagi, ya, Dek. Sampai mobil merah di depan mini market itu. Sekalian kita beli minum, untungnya di kantong kakak ada uang lima ribu. Kalau sampai kita ketangkep kasian Kak Gina yang udah ngorbanin diri," ujar Galih meminta pengertian dari kedua adiknya. Rara dan Riri mengerucutkan bibir, meskipun sudah sangat kelelahan terpaksa mereka kembali berlari sembari berbincang kecil. "Kenapa ibu nggak jemput kita, ya, Ri? Kita salah apa?" "Mungk
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu? Bagaimana kabarmu? Kudengar kamu sudah menjadi dokter yang hebat." Jihan memeluk erat tubuh yang berdiri kaku itu dengan begitu erat. "Kabar? Kau ingin tahu bagaimana kabarku selama ini? Buruk atau sangat buruk? Kau yakin ini pertemuan pertama kita setelah bertahun-tahun lamanya. Mbak Jihan, oh Mbak Jihan sampai kapan kau akan berpura-pura bodoh seperti ini?" Deg! Refleks, Jihan melerai pelukan lalu menatap penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Bekal Rara dan Riri sudah masuk tasnya, ya!" "Baju Galih sudah saya setrika." "Makan malamnya mau disiapkan sekarang atau nunggu bapak pulang?" Kalimat-kalimat yang Niar ucapkan saat meniru perannya sebagai Sari membuat Jihan benar-benar tercengang. Mulut perempuan itu terbuka setengah dengan mata membelalak lebar. "Ba-bagaimana mungkin?" Kali ini Jihan membekap mulutnya, kedua tangan perempuan itu sudah gemetar. Detektif Fahri yang berdiri di belakang sudah bersiap men