Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah. "Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah. "Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem." Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu. "Kamu nggak takut emang?" cicit Galih. "Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang s
"Zidan masih belum turun?" Pertanyaan Pak Ridwan membuat Jihan terlonjak tanpa alasan. Di tengah makan siang. "A ... belum, Yah. Mungkin Zidan kecapean, karena semalam hampir nyasar. Untung dia menemukan hotel di tengah perjalanan." Jihan terpaksa berbohong tentang kebenaran Zidan yang menginap di kediaman Nisya dan Bu Yuli. Kalau dia mengatakan kebenarannya bisa-bisa Pak Ridwan jantungan. "Jadi, dia belum cerita tentang keluarga calon istrinya?" tanya Pak Ridwan lagi. Jihan kembali menggeleng. Sebenarnya dia tak tahu sampai kapan harus menyembunyikan ini. Terlebih Zidan yang tiba-tiba menutup diri, lalu mendekam di kamar. "Anak-anak juga belum pulang. Mungkin itu salah satu alasan yang buat ruang makannya kelihatan sepi," cetus Jihan. Gerakan Pak Ridwan yang hendak menyendok nasi ke dalam mulut, tiba-tiba terhenti. "Kalau itu bukan masalah. Lagi pula sudah lebih dari lima belas tahun ayah terbiasa makan sendiri. Sejak ibumu pergi, sejak kamu menikah, dan sejak Zidan mem
Jihan termangu sepanjang perjalanan pulang. Tatapannya lurus menatap lalu-lalang kendaraan yang melintas di samping dan di hadapan. Sesak di dadanya kian terasa menekan, kala membayangkan suami yang selama ini begitu dia hormati ternyata sering kali menghabiskan waktu dengan wanita berbeda tiap akhir pekan. Senja mulai berpendar di langit Jakarta, tetapi tak mampu membiaskan warna kelam di hatinya. Dia menyesal karena tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang apa yang bisa dilakukan bila yang bersangkutan sudah menghilang dari pandangan? Terkadang kenyataan bisa lebih pahit daripada campuran kopi tanpa gula. Tidak ada yang bisa dinikmati selain getir yang tersisa di rongga-rongga dada. Kebenaran sering kali menyiksa ketika terungkap saat tersangka tak ada lagi di dunia. Apa yang bisa dilakukan selain pasrah dengan keadaan? "Apa pihak kepolisian tidak bisa menginterogasi keluarga korban lebih mendalam? Bila dengan tekanan siapa tahu mereka bisa mengaku." Jihan tiba-tiba memecah ke
"Akhirnya setelah sekian lama kamu dan Nova bisa akur juga. Aku jadi makin semangat untuk mempersiapkan pinangan setelah kamu selesai melewati masa iddah nanti. Sepertinya Nova akan senang kalau di rumah ini ada teman." Deg! Nova menatap Jihan dengan pandangan yang sulit diartikan. Namun, mengingat mereka sesama perempuan Jihan cukup mengerti tatapan macam apa itu. Senyum Bahar tersungging nakal, tangannya mulai terulur hendak melecehkan Jihan. "Maaf, Mas!" Bergegas Jihan bangkit, lalu menepis tangan Bahar. "Aku tidak berniat menerima pinangan siapa pun dalam waktu dekat ini," tegas Jihan. "Jihan ... Jihan ... sejak dulu kamu memang sulit sekali ditaklukkan. Padahal aku mempunyai semua kriteria yang hampir disukai banyak wanita. Tampan, kaya, memiliki kedudukan, dan yang pasti mampu mencintaimu sepenuh hati. Apa yang kurang?" "Akhlak," cetus Jihan dengan tatapan tajam. "Kamu tidak punya itu, Mas. Rasa malu pun sudah kamu kuliti hingga yang tersisa hanya kebodohan." Sesaat Ba
"Cepat atau lambat aku dan Mama juga akan datang untuk menjemput Galih dan si kembar. Sampai hari itu tiba persiapkan dirimu untuk perpisahan paling menyakitkan!" Jihan termenung memikirkan kalimat terakhir yang Bahar ucapkan sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. Di tempat yang sama Nova masih terisak setelah Jihan mengungkap semua kebenaran yang dia ketahui terkait keluarga Bu Yuli. Kenyataan kembali menghantam Jihan bertubi-tubi ketika laporan hasil tes DNA yang sampelnya sudah lama dia berikan pada dokter keluarga baru saja keluar tadi. Laporan itu menyatakan bahwa Galih dan si kembar memiliki kecocokan DNA dengan mendiang Burhan. Tabir kelam tentang pesugihan yang dilakukan keluarga Burhan, berhasil menemukan titik terang. Fakta demi fakta yang terungkap semakin membuat Jihan bertanya-tanya. Tentang dirinya. Dirinya yang begitu bodoh hingga mampu bertahan dengan lelaki yang benar-benar tergelam bersama kesesatan. Jatuh terperosok pada lubang hitam yang d
Januari 2002Senja baru saja tenggelam digantikan awan hitam yang menggumpal di permukaan langit Jakarta. Lagu Januari milik Glenn Fredly yang baru rilis itu mengalun lembut di dalam Honda Civic Ferio keluaran tahun 90-an. Gadis berusia dua puluh dua tahun yang duduk di balik kemudi tersebut terlihat menikmati alunan musik serta suara merdu sang musisi ternama di tengah perjalanan pulang meski penatnya mengejar kelas tambahan menyebabkan binar di mata indahnya meredup sayu. Beberapa saat kemudian suara Glenn Fredly telah digantikan dengan kumandang azan, begitu juga dengan yang terdengar di luar-- berasal dari surau-surau terdekat yang dilewati kendaraan roda empat tersebut. Gadis dengan sweater putih dipadukan jins cutbray dan jilbab yang dililit ke leher itu menepikan mobilnya. Kemudian berjalan menuju salah satu masjid sederhana yang terletak di pinggiran kota. Dikelilingi pohon-pohon rindang berseberangan dengan pemukiman kumuh yang ada di tempat sama. Di dekat batas suci dia
Empat bulan kemudian .... Entah sejak kapan singgah, memiliki arti menetap bagi Jihan. Sudah empat bulan sejak dia rutin menyempatkan diri datang ke daerah tempat tinggal Burhan dan bermain dengan anak-anak meski harus memutar jalan tiap pulang kuliah. Membuat ayahnya juga sedikit heran dengan perubahan sikap putrinya yang kembali ceria seperti dulu. Ada yang terisi di dalam relung hati yang sebelumnya hampa dan sepi. Jihan merasa mempunyai keluarga baru yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya yang kelabu semenjak kepergiaan sang ibu. Apa lagi sosok Burhan. Rasa kagumnya pada lelaki itu telah berubah menjadi benih cinta yang menggebu, kebahagiaan itu bertambah tatkala Burhan mengungkapkan isi hatinya yang sama dan berniat mempersuntingnya dalam waktu dekat ini. Di pekarangan masjid Al-Jami Burhan menemui Jihan yang tengah duduk dengan anak-anak di daerah itu. Hari dia sengaja izin kuliah setelah Burhan mengutarakan keinginannya untuk melamar Jihan pada Ridwan. "Jihan ...." Lembut
Satu tahun sudah berlalu sejak hari itu. Hari ini juga bertepatan dengan satu tahun pernikahan Jihan dan Burhan. Cobaan demi cobaan mulai menerpa rumah tangga mereka. Tinggal di hunian tua pinggir sungai yang seringkali kebanjiran kala hujan deras melanda, perekonomian yang semakin memprihatinkan, serta kesehatan Jihan yang terus menurun akibat kesulitan menyesuaikan lingkungan. Sudah dua kali kebun yang dikelola Burhan gagal panen dan berakhir merugi. Mondar-mandir dia mencari bantuan yang sudi meminjamkan uang untuk sekadar makan atau membeli obat Jihan. Di atas dipan kayu beralaskan kasur tipis itu dia melihat tubuh istrinya menggigil kedinginan. Wajah jelita yang dulu selalu tampak berseri dihiasi bedak tipis dan perona merah muda, kini pucat pasi dan cekung tak terurus. Hatinya nyeri melihat saat mengingat bagaimana sang istri rela meninggalkan segala kemewahan hanya untuk bersamanya dengannya seorang. Perlahan dia menghampiri tubuh Jihan yang terbaring dengan posisi meny