Januari 2002Senja baru saja tenggelam digantikan awan hitam yang menggumpal di permukaan langit Jakarta. Lagu Januari milik Glenn Fredly yang baru rilis itu mengalun lembut di dalam Honda Civic Ferio keluaran tahun 90-an. Gadis berusia dua puluh dua tahun yang duduk di balik kemudi tersebut terlihat menikmati alunan musik serta suara merdu sang musisi ternama di tengah perjalanan pulang meski penatnya mengejar kelas tambahan menyebabkan binar di mata indahnya meredup sayu. Beberapa saat kemudian suara Glenn Fredly telah digantikan dengan kumandang azan, begitu juga dengan yang terdengar di luar-- berasal dari surau-surau terdekat yang dilewati kendaraan roda empat tersebut. Gadis dengan sweater putih dipadukan jins cutbray dan jilbab yang dililit ke leher itu menepikan mobilnya. Kemudian berjalan menuju salah satu masjid sederhana yang terletak di pinggiran kota. Dikelilingi pohon-pohon rindang berseberangan dengan pemukiman kumuh yang ada di tempat sama. Di dekat batas suci dia
Empat bulan kemudian .... Entah sejak kapan singgah, memiliki arti menetap bagi Jihan. Sudah empat bulan sejak dia rutin menyempatkan diri datang ke daerah tempat tinggal Burhan dan bermain dengan anak-anak meski harus memutar jalan tiap pulang kuliah. Membuat ayahnya juga sedikit heran dengan perubahan sikap putrinya yang kembali ceria seperti dulu. Ada yang terisi di dalam relung hati yang sebelumnya hampa dan sepi. Jihan merasa mempunyai keluarga baru yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya yang kelabu semenjak kepergiaan sang ibu. Apa lagi sosok Burhan. Rasa kagumnya pada lelaki itu telah berubah menjadi benih cinta yang menggebu, kebahagiaan itu bertambah tatkala Burhan mengungkapkan isi hatinya yang sama dan berniat mempersuntingnya dalam waktu dekat ini. Di pekarangan masjid Al-Jami Burhan menemui Jihan yang tengah duduk dengan anak-anak di daerah itu. Hari dia sengaja izin kuliah setelah Burhan mengutarakan keinginannya untuk melamar Jihan pada Ridwan. "Jihan ...." Lembut
Satu tahun sudah berlalu sejak hari itu. Hari ini juga bertepatan dengan satu tahun pernikahan Jihan dan Burhan. Cobaan demi cobaan mulai menerpa rumah tangga mereka. Tinggal di hunian tua pinggir sungai yang seringkali kebanjiran kala hujan deras melanda, perekonomian yang semakin memprihatinkan, serta kesehatan Jihan yang terus menurun akibat kesulitan menyesuaikan lingkungan. Sudah dua kali kebun yang dikelola Burhan gagal panen dan berakhir merugi. Mondar-mandir dia mencari bantuan yang sudi meminjamkan uang untuk sekadar makan atau membeli obat Jihan. Di atas dipan kayu beralaskan kasur tipis itu dia melihat tubuh istrinya menggigil kedinginan. Wajah jelita yang dulu selalu tampak berseri dihiasi bedak tipis dan perona merah muda, kini pucat pasi dan cekung tak terurus. Hatinya nyeri melihat saat mengingat bagaimana sang istri rela meninggalkan segala kemewahan hanya untuk bersamanya dengannya seorang. Perlahan dia menghampiri tubuh Jihan yang terbaring dengan posisi meny
Di hadapan gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Burhan Hakim itu, Jihan duduk bersimpuh dengan kedua tangan mengepal. Sebulan sudah berlalu sejak suaminya pergi dengan berbagai misteri yang ditinggalkan. Baru kali ini tangis perempuan itu tumpah di atas pusara terakhir lelaki yang dulu begitu dia kagumi sebagai sosok seorang imam. Pertahan yang sudah lama dia bangun kokoh, harus roboh ditelan kenyataan yang begitu menyakitkan tentang kisah kelam yang baru dimulai. Rasa sesak akibat pengkhianatan tak seberapa pedih dibandingkan fakta yang baru terkuak setelah salah satu pihak meninggal dengan mengenaskan. Siapa? Siapa yang bisa disalahkan sekarang? Apa yang bisa Jihan lakukan bila yang bersangkutan tak lagi ada dalam genggaman tangan? "Seandainya ... seandainya saat itu aku memaksakan diri untuk pulang, seandainya ... seandainya saat itu aku tak terbuai akan lantunan ayat yang kamu kumandangkan. Seandainya kita tak pernah bertemu. Mungkin aku tak perlu menerima siksaan seke
"Galiiihh tolongg ...." "Hos, hos, hos ...." Galih terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin yang bercucuran dari pelipis. Hampir semalaman dia tak bisa tidur karena gangguan makhluk astral yang terus mengikutinya semenjak pulang dari Rumah Gina. Bahkan dia juga mendapati sesosok hantu bergaun putih yang menghuni lantai dua di sekolahnya. Baru sejam sejak memejamkan mata, setelah memastikan Jihan baik-baik saja-- sebuah mimpi menyeramkan mengusiknya. Dalam mimpi itu Galih melihat dirinya, Gina, adik-adik, juga beberapa anak lain diikat dalam sebuah papan berbentuk melingkar, mengelilingi sebuah pohon besar yang dihuni Ular Putih besar yang lebih dulu mengigit Gina tepat di tanda lahir mereka. Entah apa artinya, yang pasti Galih semakin gelisah dibuatnya. Ranjang yang nyaman, kasur empuk, juga suasana kamar yang damai sama sekali tak mampu mengusir ketakutan yang semakin hari semakin kuat dia rasakan. Di tengah kecemasan itu, tiba-tiba Galih merasakan ranjangnya berguncang,
"Saya terima nikah dan kawinnya Nisya Zahira binti Sandi Septian dengan maskawin tersebut. Tunai!""Sah."Akad lantang dan gema suara saksi itu masih terngiang di telinga Nisya sepanjang perjalanan menuju kediaman barunya yang sudah Zidan persiapkan di luar ibukota. Tepatnya, Kota Hujan, Bogor. Hatinya bergemuruh senang, tapi di satu sisi juga bimbang. Entah apa yang menyebabkan perasaannya begitu tak tenang bahkan dalam kebisuan. Erat jemari lentik itu menggenggam tangan besar yang tertaut di atas paha, sementara sang empunya sibuk memfokuskan pandangan ke jalanan di depan."Apa pun yang terjadi kamu tak akan pernah meninggalkanku, kan, Mas?" Nisya mengiba. Nanar tatapan itu dia arahkan pada Zidan yang masih fokus menyetir."Kita baru saja menikah, Sya. Kenapa kamu harus berpikir jauh tentang itu?" Zidan balik bertanya dengan nada lembut yang sedikit ditekan.Sejenak Nisya terdiam, dia mencondongkan tubuh lalu menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Entah, aku hanya takut saja," aku
"Kasus ini bukan sesuatu yang bisa kita tangani hanya dengan bantuan kepolisian dan pihak berwenang. Pesugihan dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib memang sukar untuk dipertanyakan, tapi sudah terbukti keberadaan dan kebenarannya yang tak akan bisa kita sangkal. Maka dari itu, saya dan ayah sepakat untuk meminta bantuan pihak ketiga atau ahli supranatural yang bisa menangani kasus serupa. Hari ini juga saya dan Nova akan berangkat ke Bandung untuk menemui beliau dan meminta bantuan. Terkait perkembangan kasus yang masih belum menemukan titik terang, sedikit banyaknya akan saya kabarkan pada Mas Fahri nanti." Panjang lebar Jihan memaparkan pada Detektif Fahri tentang tujuan Jihan melibatkan orang ketika dalam memecahkan kasus suaminya. Lelaki yang terlihat begitu berkariswa di usia empat puluhan itu mengangguk maklum. Dia menatap Pak Ridwan sejenak, lalu beralih pada Nova yang duduk di sebelah Jihan. "Saya mengerti. Lagi pula kita semua tahu Jihan dan saya bukan mahram, k
"Sekte Ular Putih adalah organisasi rahasia yang terdiri dari ketua, eksekutor, algojo, anggota VIP, dan anggota biasa. Sampai saat berhenti saya tak pernah tahu seperti apa wujud dari pendiri SUP, karena setiap pertemuan dia selalu memakai jubah dan topeng. Ada yang pernah bilang kalau dia pria paruh baya berusia 70-an, ada juga yang bilang dia lebih tua dari itu. Entahlah. Sementara sang eksekutor yang biasa mengeksekusi para korban diketahui seorang Dokter Forensik berusia pertengahan tiga puluh. Kalau kamu ingin merobohkan organisasi, rusak dulu pondasinya. Temukan sang eksekutor atau langsung berhubungan dengan para VIP, karena hanya mereka yang mempunyai akses dengan petinggi." Tiba-tiba Jihan kembali teringat keterangan yang diberikan satu-satunya saksi terkait Sekte Ular Putih yang dia temui bersama Detektif Fahri hari itu. Dengan tubuh gemetar wanita paruh bawa itu bena-benar memaparkan semua informasi yang dia ketahui. "Bagaimana bisa Mbak berpikir itu Sari?" Pertanyaan No