Share

RANJANG BERDARAH
RANJANG BERDARAH
Author: Dwrite

Fakta dibalik Kematian

Jihan Anissa menemukan Burhan-- suaminya tewas bersimbah darah di atas ranjang dengan keadaan tanpa busana. Padahal baru semalam lelaki berusia empat puluh lima tahun itu pamit untuk menghadiri acara privat party yang digelar salah seorang rekan sesama pebisnis di villa-nya. 

Pengusaha Home Interior itu pergi meninggalkan ibu, istri, tiga anak, dan dua orang adik yang selama ini tinggal di kompleks perumahan yang sama. 

Hasil otopsi mengatakan bahwa penyebab kematiannya adalah kehabisan banyak darah akibat luka sayatan dalam yang memutus arteri utama pada nadi. Tak ada jejak pembunuhan terlihat di TKP, polisi kesulitan melakukan investigasi dan pencarian bukti mengingat sidik jari yang tertinggal di sekitar lokasi didominasi milik para penghuni inti, yang tak lain Jihan dan para asisten rumah tangga yang biasa membantu membersihkan kamar mereka. 

Para penyidik juga mulai kebingungan memperhatikan gelagat Jihan ketika dimintai keterangan. Wajahnya amat datar. Tak ada emosi yang ditunjukkan. Dia bahkan memilih bungkam ketika wartawan berita meminta pendapatnya terkait wafatnya sang suami yang sudah lebih dari lima belas tahun menemani. 

"Mbak yakin tidak membunuh Mas Burhan? Siapa tahu karena sakit hati yang sudah  belasan tahun dipendam, Mbak Jihan tiba-tiba kesetanan." Celetukan Nova-- istri dari Bahar-- adik kandung Burhan itu memecah keheningan mencekam yang semula menyelimuti keluarga besar yang baru kehilangan sosok tulang punggung. 

Dari semua anggota keluarga Burhan, Nova memang dikenal paling blak-blakan. Setiap kata yang dia lontarkan nyaris tak ada saringan. Apalagi menyangkut Jihan. Padahal perempuan berjilbab itu merupakan istri dari kakak iparnya. 

Sejak jasad Burhan dikebumikan pagi tadi, semua keluarga inti memang baru berkumpul lagi di rumah duka. Untuk mempersiapkan tahlilan yang akan dilaksanakan selepas Isya nanti. Selain Jihan dan anak-anaknya, Galih dan si kembar Rara dan Riri, atau Bahar-Nova dan dua anaknya Gina dan Farrel. Ada juga Bu Yuli mertuanya yang datang bersama adik kedua Burhan--Nisya.

Mereka berkumpul di ruang keluarga. Masih dengan suasana duka dan jejak tangis yang tersisa akibat kepergian Burhan yang tak terduga. Di antara semuanya ekspresi Jihan memang memang yang paling dipertanyakan. Anehnya perempuan berumur tiga puluh tujuh tahun itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesedihan ataupun kehilangan. Wajahnya masih sedatar saat menatap jasad suaminya menuju liang lahat pagi tadi. 

"Zaman sekarang menuduh tanpa bukti juga bisa dipidanakan, Tante. Jadi, tolong hati-hati," sahut Galih tanpa menatap Nova sama sekali. Pemuda yang beranjak usia dewasa itu memang jarang bicara, tapi sekalinya mengeluarkan kata-kata dia bisa membuat lawan bicara jengkel dibuatnya. 

"Tak usah mengajari tante tentang hukum pidana, Galih. Lagipula sikap Mbak Jihan itu memang aneh. Istri mana yang tak sedih melihat suaminya tiba-tiba mati? Tapi lihat saja ekspresi ibumu! Dia bahkan tidak mengeluarkan setetes pun air mata sejak Mas Burhan ditemukan tak bernyawa!" Nova masih bersikeras mendebat. 

"Tante Nova, kok nuduh ibu seperti itu? Memangnya kesedihan harus selalu ditandai dengan air mata? Aku juga sering merasa sedih, tapi nggak sampai nangis," timpal Riri yang duduk di samping kanan Jihan. 

"Iya, padahal semalem saat Ayah pulang ke sini kita lagi ada di rumah kakek, Ibu menemukan Ayah sudah dalam kondisi seperti itu," tambah Rara sembari memeluk tubuh bagian kiri Jihan. 

"Tuh, lihat, kan, Ma! Bagaimana Mbak Jihan membesarkan anak-anaknya menjadi sosok yang pembangkang. Padahal mereka masih kecil jadi tak paham permasalahan sebenarnya. Mas Burhan itu sudah bosan, kenapa tidak pisah saja sekalian! Daripada bertahan tapi dendam. Semua orang di rumah ini juga tahu bagaimana tabiat Mas Burhan. Dia, kan hobi 'jajan' siapa suruh jadi istri nggak bisa rawat diri, padahal baru umur tiga puluha--" 

"Nova!" Bu Yuli memperingati. Sementara Bahar menyikut lengan istrinya. Nisya yang memang jarang bicara hanya bisa menggeleng mendengarnya. "Burhan baru aja meninggal, tak baik membicarakan almarhum seperti itu. Mungkin Jihan punya alasan kenapa dia tidak sehisteris kita saat mengetahui Burhan meninggal."

"Tak bisa, Ma. Sikap Mbak Jihan itu patut dipertanyakan. Aku jadi curiga, jangan-jangan selama ini dia bertahan karena mengincar harta Mas Bur--"

"Nova cukup!" Kali ini Bahar yang menyela. "Kamu ini ada masalah apa sama Jihan, sih? Kalau mau mengemukakan pendapat juga harus tahu tempat. Di sini ada anak-anak." Peringatan lelaki tampan berusia empat puluh tahun itu tak ayal membuat Nova terbungkam dengan delikan tajam. 

Jihan yang melihat itu hanya bisa tersenyum getir. Dia meremas gamis panjangnya, lalu beralih pada anak-anak yang sejak tadi menatap kebingungan.

"Anak-anak, ibu atau tante bisa minta tolong pada masuk ke kamar dulu, ya! Kita mau ngobrol sebentar," pinta Jihan dengan senyum.

Mereka berlima mengangguk tanda mengerti. Galih dan Gina mengiring adik-adiknya untuk masuk ke kamar masing-masing. 

"Tapi ucapan Mbak Nova ada benarnya juga," celetuk Nisya tiba-tiba. "Yang aku tahu hubungan Mbak Jihan sama Mas Burhan lagi renggang. Seminggu lalu dia bahkan memilih menginap di rumahku alih-alih pulang."

"Tuh, kan. Nisya juga merasa." Merasa dapat pembelaan Nova kegirangan. 

Semua orang terdiam setelahnya. Mereka menatap Jihan dengan tatapan yang berbeda satu dan lainnya. 

Jihan yang merasa sedang diadili, karena perbuatan yang sama sekali tidak dia lakukan, hanya bisa tersenyum kecil sembari menatap mertua dan para iparnya dengan nanar. 

Mereka yang menghakimi seolah tahu seperti apa kehidupan rumah tangga yang sudah Jihan lalui bersama Burhan selama lebih dari lima belas tahun ini. 

"Terkadang kalian itu terlalu ikut campur dalam rumah tangga kami. Tak terkecuali Mama yang sampai napas terakhir Mas Burhan saja masih mendominasi setiap keputusan yang akan diambilnya," desis Jihan. 

"Jangan kurang ajar, ya, Mbak!" Nova menyela. 

"Sudah, Nova. Kita dengarkan saja dulu penjelasan Jihan!" sahut Bu Yuli sembari tersenyum penuh arti menahan tubuh Nova yang sudah condong ke depan.

Jihan kembali melanjutkan. 

"Sebenarnya aku bingung harus menunjukkan ekspresi macam apa setelah kepergian Mas Burhan yang tiba-tiba. Mengingat sehari sebelumnya almarhum meminta izin menikah lagi untuk yang kedua kalinya. Keputusannya itu sudah Mama setujui, bukan?"

Bu Yuli terdiam. Sedangkan Nova menarik diri dan menatap suaminya dengan sorot tanda tanya. 

"Jasad Mas Burhan ditemukan tanpa busana, di sana aku juga mendapati celana dalam wanita, tapi sengaja kusembunyikan sebelum polisi menemukannya. Demi Allah aku malu, marah, sekaligus sedih. Di atas ranjang kami dia bahkan berani melakukan perbuatan hina, lalu mati dengan begitu mengenaskan. Tapi dengan enteng kalian menuduhku membunuh Mas Burhan setelah kututup rapat aibnya?!"

.

.

.

Bersambung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status