Jihan termenung menatap cangkir berisi latte yang ada di hadapan. Jari telunjuknya bergerak memutari pinggiran cangkir dengan pikiran yang jauh berkelana mengarungi masa lampau.
Dia teringat saat Burhan pertama kali membawa Galih pulang. Saat itu usia pernikahan mereka sudah mencapai lima tahun, tapi keduanya masih belum juga diberi momongan. Tak ada kecurigaan berarti saat Burhan mengatakan bahwa Galih adalah anak terlantar, asumsi itu diperkuat dengan penampilan Galih yang amat memprihatinkan. Bocah berusia empat tahun itu tak mengingat apa pun bahkan sebaris nama yang diberikan orangtuanya sebelum menelantarkan.Burhan berhasil meyakinkan Jihan untuk merawat Galih saat itu, apalagi mengingat sang istri yang kesepian sangat merindukan sosok buah hati.Tiga tahun berselang. Burhan kembali datang membawa dua orang anak kembar. Rara dan Riri. Balita berusia dua tahun yang amat menggemaskan dan terawat itu diakui Burhan dia bawa dari panti asuhan. Lelaki itu terus saja meyakinkan istrinya bahwa merawat anak yatim akan membawa keberkahan bagi keluarga kecil mereka. Juga sebagai pancingan supaya Tuhan lekas mengabulkan doa mereka untuk menitipkan rezeki berupa janin yang tumbuh di rahim Jihan.Namun, harapan hanya sebuah angan yang mampu digenggam setiap insan manusia. Doa yang selalu dia langitkan masih tertunda dan entah kapan sampai pada Sang Pemegang Segala Takdir. Segala upaya telah mereka lakukan, dokter mengatakan bahwa rahimnya juga sehat dan tak ada yang salah dengan sistem reproduksi Jihan maupun Burhan.Misteri tentang asal-usul Galih dan si kembar juga masih menjadi tanda tanya besar dalam benak Jihan bahkan sampai jasad Burhan dikebumikan. Tak ada surat atau dokumen adopsi yang ditemui meskipun dia sudah bersikeras mencari.Sebenarnya sudah lama Jihan ingin melakukan tes DNA pada mereka. Tetapi rasa sayang Jihan pada ketiga anak asuhnya mengalahkan rasa penasarannya. Jihan hanya terlalu takut, takut bila hasil yang ditunjukkan mengecewakan, takut bila Galih dan si kembar terbukti sebagai anak Burhan, hubungan mereka akan pudar. Dan Jihan terpaksa harus menerima penawaran Pak Ridwan untuk memberikan hak asuh mereka pada Bu Yuli."Maaf menunggu lama."Lamunan Jihan tersentak saat melihat seorang lelaki tinggi gagah dengan jaket kulit hitam duduk di hadapan. Dia baru sadar bahwa sejak tadi sebelah tangannya mengusap perut yang datar.Jihan mengangkat kepala, lalu terperangah dibuatnya.Jihan mengurut pelipis, dan meringis, ketika mengetahui detektif yang ayahnya sarankan untuk menangani kasus suaminya. Dia adalah Fahri Azikri lelaki dari masa lalunya.Masih lekat dalam ingatan bagaimana Jihan menolak dua kali lamaran yang Fahri ajukin lima belas tahun silam, hanya karena lebih memilih Burhan."Apa kabar?" Fahri membuka percakapan dengan pertanyaan yang sebenarnya agak rancu.Penyataan seperti itu jelas tak patut ditanyakan mengingat Jihan baru saja kehilangan suaminya."Tidak menentu, berantakan, dan sangat memprihatinkan." Jihan tetap menjawabnya dengan beberapa kata yang sedikit ditekan. "Kalau kabar Mas sendiri bagaimana? Anak, istri?" Jihan balik bertanya dengan hati-hati."Saya belum menikah sampai sekarang."Pupil mata Jihan melebar. Dia membekap mulut lalu tersenyum sungkan. "Ah, maaf.""Tak apa. Kita langsung ke intinya saja, ya!"Jihan mengangguk antusias. Lebih baik seperti itu daripada membahas masa lalu yang hanya membuat suasana menjadi canggung dan tak menyenangkan."Saya mendapat berkas-berkas ini dari detektif yang sebelumnya menangani kasus Pak Burhan. Kita kaji sama-sama, ya."Detektif Fahri mulai mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas raselnya. Lalu mengeluarkan satu per satu foto anggota keluarga Burhan."Yang ini ... ibunya Pak Burhan, benar?" Detektif Fahri menunjuk foto Bu Yuli.Jihan mengangguk pelan."Awalnya saya pikir kakaknya. Soalnya penampilan beliau terlihat ....""Jauh lebih muda dari usianya," potong Jihan. Detektif Fahri mengangguk setuju. "Itu juga salah satu hal yang membuat saya heran. Wajahnya bahkan tak berubah sejak lima belas tahun silam.""Mungkin perawatan beliau mahal," terka Detektif Fahri.Jihan mengedikkan bahunya."Mungkin," sahut perempuan itu tak yakin."Kalau ini adiknya?" Detektif Fahri beralih pada foto berikutnya.Jihan mengangguk lagi. "Ya, dia Nisya umurnya menginjak tiga puluh, tahun ini.""Beliau belum menikah?""Belum.""Auranya beda, ya. Hanya melihat dari foto saja saya sudah bisa menyimpulkan kalau tipe wajahnya banyak disukai para lelaki.""Termasuk Anda?" cibir Jihan yang membuat Detektif Fahri salah tingkah dibuatnya."Ah, bukan begitu. Kita lanjut yang berikutnya." Dia langsung mengalihkan pembicaraan pada foto selanjutnya. "Ah, kalau yang ini saya tahu. Dua minggu lalu, kan beliau baru saja dilantik sebagai pejabat pemerintahan. Pak Bahar Hakim, kan?"Jihan kembali mengangguk."Setiap akhir pekan mereka selalu mengadakan privat party bersama para kalangan atas lainnya. Saya maupun Nova tidak pernah diikutsertakan karena acara itu hanya diperuntukkan untuk keluarga yang terikat darah saja katanya. Sampai saat ini saya tak tahu acara macam apa itu. Namun, besoknya selalu ada korban yang meninggal di kompleks perumahan kami," papar Jihan mulai menjabarkan keterangan yang dia ketahui terkait keluarga suaminya."Suami kamu juga ikut?" tanya Detektif Fahri."Iya."Detektif Fahri terdiam sejenak. Sedikit demi sedikit dia mulai mencerna keterangan Jihan."Kamu sama sekali tak siapa saja yang terlibat dalam privat party tersebut?"Jihan menggeleng."Selain keluarga Mas Burhan, tak seorang pun yang saya tahu.""Kamu tahu dengan siapa akhir-akhir ini Pak Burhan pergi?"Jihan terlihat berpikir."Setahu saya, akhir-akhir ini Mas Burhan sering pergi dengan sekretarisnya Cintya."Detektif Fahri yang sudah menyadari sesuatu, langsung mencocokkan data yang dia dapatkan dengan keterangan Jihan, lalu menyimpulkan. "Menyangkut itu. Saya baru mendapat kabar tentang tentang sekretaris Pak Burhan dari suaminya. Menurut keterangan beliau, Cintya dinyatakan hilang setelah malam kejadian.""Apa?"...Bersambung.Seminggu sudah berlalu sejak jasad Burhan dikebumikan dan tahlilan tujuh malam selesai dilaksanakan. Jihan dan anak-anaknya memilih kembali menempati rumah peninggalan Burhan juga lokasi di mana lelaki itu meninggal. Mereka disambut para asisten rumah tangga yang membantu menjaga rumah selama Jihan dan anak-anaknya tinggal sementara di kediaman utama Pak Ridwan. Malam merangkak semakin kelam. Sudah empat hari sejak Detektif Fahri mengatakan bahwa salah satu saksi kunci kematian Burhan--Cintya dinyatakan hilang. Dia merasa semakin tak tenang. Entah kenapa malam ini juga angin berembus sangat kencang di luar. Menusuk kulit sampai terasa ke tulang. Jendela yang sudah tertutup rapat tiba-tiba kembali terbuka saat Jihan melewati balkon lantai dua menuju kamar si kembar Rara dan Riri berada. Dia menutupnya kembali, kemudian beranjak ke kamar anak-anaknya yang ada di lorong paling ujung lantai ini. Setelah memastikan keduanya terlelap. Jihan menyempatkan diri untuk singgah sebentar ke ka
Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya. Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim. Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan? Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya "Jihan!" Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapat
Sepanjang perjalanan menuju rumah Cintya bersama mobil yang dikendarai Detektif Fahri, Jihan melamun memikirkan tentang mimpi yang baru saja dia alami.Kira-kira apa arti semua ini? Apa hubungan suaminya dengan jelmaan ular yang dia lihat dalam mimpi, juga keterkaitannya dengan kematian Burhan dan Cintya?Detektif Fahri yang menyadari gelagat Jihan mulai merasa heran, dan berinisiatif untuk menanyakan."Apa ada yang mengusik pikiranmu? Siapa tahu saya bisa bantu." Ucapan Detektif Fahri menyentak lamunan Jihan. Perempuan itu mengusap tengkuk lalu tersenyum sungkan."Tidak ada. Sebenarnya saya belum bisa memastikan dugaan ini benar," ujar Jihan tak yakin."Dugaan, tentang?" pancing Detektif Fahri.Jihan yang tak mampu lagi menyimpan semua ini sendiri sedikit demi sedikit mulai menjabarkan."Begini ... saya merasa kalau kasus ini mulai berkaitan dengan privat party yang diadakan seminggu sekali, secara kebetulan suami saya dan Cintya juga meninggal dalam waktu yang berdekatan. Apa ini ad
"Bicara tentang persembahkan. Kenapa minggu ini Cintya dijadikan korban? Dia dieksekusi di tempat yang sama dengan Mas Burhan lagi," tanya Nisya saat ibunya tengah membakar kemenyan di ambang sebuah gudang. "Urusan persembahan, ketua yang memutuskan, Nisya. Kita sebagai anggota cukup mempersiapkan. Dan menunggu antrian kapan keluarga kita mendapat giliran untuk menjadi korban berikutnya. Kamu juga harus siap kapan pun suamimu dipersembahkan nanti. Karena keputusan ketua selalu tak terduga, beliau yang diberi wewenang oleh Nyai untuk memegang kendali atas organisasi," papar Bu Yuli begitu tenang sembari menabur semacam serbuk abu di atas pembakaran kemenyan. "Sampai saat ini aku masih belum tahu kenapa ketua menjadikan anggotanya sendiri sebagai bahan persembahan." Nisya menatap Bu Yuli dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bu Yuli menoleh, perempuan yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu tersenyum sembari mengusap pipi putrinya. "Tiap anggota yang dijadikan korban, adala
Prang! Jihan terlonjak kaget saat tangannya tiba-tiba tergelincir hingga mengakibatkan gelas kaca yang digenggam pecah berserak di lantai. Sari yang kebetulan sedang membantu menyiapkan sarapan bersama seorang koki pribadi di dapur Pak Ridwan, lantas menghampirinya dan memastikan keadaan sang majikan. "Ibu nggak kenapa-napa, kan?" Jihan menggeleng pelan. "Aneh. Kepala saya tiba-tiba pusing, perasaan juga tak enak," aku Jihan sembari mengurut dadanya pelan. "Mau Sari antar ke dokter, Bu? Atau panggil Bapak?" "Tak usah, Sar. Sepertinya cuma pusing biasa. Jangan ganggu Ayah, beliau juga baru tidur selepas subuh, karena semalaman nunggu Zidan pulang," tolak Jihan dengan halus. "Tolong gantikan saya antar Rara dan Riri ke sekolah, ya! Mereka agak trauma semenjak meninggalnya Mas Burhan, jadi selalu berhalusinasi yang bukan-bukan. Takutnya bikin kegaduhan di sekolah," tambah Jihan. "Baik, Bu." "Omong-omong Galih sudah turun?" "Belum, Bu. Tadi pas saya lewat den Galih masih du
Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah. "Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah. "Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem." Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu. "Kamu nggak takut emang?" cicit Galih. "Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang s
"Zidan masih belum turun?" Pertanyaan Pak Ridwan membuat Jihan terlonjak tanpa alasan. Di tengah makan siang. "A ... belum, Yah. Mungkin Zidan kecapean, karena semalam hampir nyasar. Untung dia menemukan hotel di tengah perjalanan." Jihan terpaksa berbohong tentang kebenaran Zidan yang menginap di kediaman Nisya dan Bu Yuli. Kalau dia mengatakan kebenarannya bisa-bisa Pak Ridwan jantungan. "Jadi, dia belum cerita tentang keluarga calon istrinya?" tanya Pak Ridwan lagi. Jihan kembali menggeleng. Sebenarnya dia tak tahu sampai kapan harus menyembunyikan ini. Terlebih Zidan yang tiba-tiba menutup diri, lalu mendekam di kamar. "Anak-anak juga belum pulang. Mungkin itu salah satu alasan yang buat ruang makannya kelihatan sepi," cetus Jihan. Gerakan Pak Ridwan yang hendak menyendok nasi ke dalam mulut, tiba-tiba terhenti. "Kalau itu bukan masalah. Lagi pula sudah lebih dari lima belas tahun ayah terbiasa makan sendiri. Sejak ibumu pergi, sejak kamu menikah, dan sejak Zidan mem
Jihan termangu sepanjang perjalanan pulang. Tatapannya lurus menatap lalu-lalang kendaraan yang melintas di samping dan di hadapan. Sesak di dadanya kian terasa menekan, kala membayangkan suami yang selama ini begitu dia hormati ternyata sering kali menghabiskan waktu dengan wanita berbeda tiap akhir pekan. Senja mulai berpendar di langit Jakarta, tetapi tak mampu membiaskan warna kelam di hatinya. Dia menyesal karena tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang apa yang bisa dilakukan bila yang bersangkutan sudah menghilang dari pandangan? Terkadang kenyataan bisa lebih pahit daripada campuran kopi tanpa gula. Tidak ada yang bisa dinikmati selain getir yang tersisa di rongga-rongga dada. Kebenaran sering kali menyiksa ketika terungkap saat tersangka tak ada lagi di dunia. Apa yang bisa dilakukan selain pasrah dengan keadaan? "Apa pihak kepolisian tidak bisa menginterogasi keluarga korban lebih mendalam? Bila dengan tekanan siapa tahu mereka bisa mengaku." Jihan tiba-tiba memecah ke
Gumpalan awan pekat menyelimuti langit di atas lapas Nusa Kumbangan yang menampung ribuan tahanan kelas berat. Bunyi guntur bersahutan membawa serta angin dan hujan yang mengguyur salah satu kota besar di Tahan Air tersebut. Di dalam block tahanan kelas berat dengan masa hukuman seumur hidup terdengar keributan di tengah riuhnya suara hujan. Para tahanan itu baru saja menyaksikan seorang tahanan dibvnuh dengan brutal oleh sosok yang tak dikenal menggunakan jubah hitam yang menelusup masuk di antara ketatnya penjagaan. Kepala lelaki malang itu nyaris putus. Darah segar masih mengalir dari lehernya yang dig0rok dengan kejam. Namun, ajaibnya napas lelaki itu masih berembus, pendek-pendek, dengan mata yang mengerjap lemah. Mulutnya membuka dan menutup seolah hendak mengucapkan sesuatu. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, para petugas yang menunggu laporan datang berbondong-bodong menuju lokasi kejadian. Mereka tercengang saat melihat sel dalam keadaan terbuka, dan korban sudah sekar
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, setiap yang pergi pasti akan kembali, dan setiap yang hilang pasti akan digantikan lagi. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Pernikahan sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menutup diri dari takdirnya sendiri, mungkin saja ada duka yang diselimuti kecewa hingga dia takut untuk memulainya lagi. Jihan dan Zakir pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang-orang yang sangat mereka kasihi, alasan itulah yang membuat keduanya sempat menutup diri. Namun, saling melengkapi adalah salah satu kunci untuk menutup lubang yang tersembunyi di dalam hati. Setelah berbagai pertimbangan keduanya resmi mengikat janji untuk menjalin komitmen sehidup semati. "Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Annisa binti almarhumah Hana Latifa dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah. Tunai!" Ikrar itu terucap lantang di Masjid Al-Jami. Tanpa malu akan statusnya se
Bak wabah yang menjamur dan tak terelakkan, begitu pun dengan isu Oraganisasi Rahasia Ular Putih yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Orang-orang yang penasaran mulai mencari tahu, bahkan sengaja berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian. Gunung Bageni yang keberadaannya terpelesok dan tersembunyi jauh di pedalaman, mulai didatangi banyak pelancong yang ingin membuktikan kebenaran di balik pesugihan yang memakan banyak korban juga memberi kesenangan secara instan.Oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tersebut sebagai lahan untuk menimbun uang, mulai mengambil kesempatan dari keberadaan Nyai Damini yang konon masih sering datang mengunjungi lokasi yang dulu dia jadikan sebagai tepat bersemayam."Lagi-lagi berita ini." TV layar datar itu berubah hitam setelah tombol power ditekan. Lelaki senja berkemeja lengan pendek tersebut menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, lalu menghela napas panjang."Kenapa, Yah? Masih terganggu dengan berita yang sama?" Wanita berjilbab
Portal dua alam, membawa Zidan kembali ke tempat yang sama. Sisi lain Gunung Bageni yang juga tempat bersemayamnya Nyai. Di depan pohon besar yang merupakan gerbang masuk dan keluarnya kediaman Nyai Damini, lelaki bersorban merah itu melihat seorang wanita bergaun putih menyambutnya. "Kau pasti datang untuk menyelamatkan wanita itu, bukan?"Zakir terdiam sesaat, semula dia sempat ragu. Namun, melihat aura yang terpancar dalam diri makhluk di hadapannya ini. Semua keraguannya perlahan sirna."Ya.""Cepatlah, sebelum semuanya terlambat. Saudariku membawanya ke ruang putih. Sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali dia bermain-main di ruang itu." "Dua puluh tahun?" Zakir memastikan. "Ya, terakhir dia memainkannya bersama dengan ayah biologis Jihan. Sayangnya saat itu Ganjar memilih pintu ambisi, hingga berujung seperti ini." Pikiran Nyai Darsih jauh berkelana menyusuri masa silam. "Pastikan Jihan tak memilih apa yang hasrat terbesarnya inginkan. Atau kalau bisa jangan pilih apa pun y
Banyak cara yang bisa Iblis lakukan untuk menyesatkan anak turun Adam. Sama dengan nenek moyangnya, beberapa golongan jin tertentu juga selalu mempunyai tipu daya, muslihat, dan jebakan untuk menggoda kaum yang ia anggap lemah dan rendahan. Umur mereka yang panjang, serta wujud yang tak kasat mata menguntungkan tugasnya dalam menyesatkan manusia dari ajaran Allah SWT. Sebagian dari jenisnya memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan masa lalu, meniru seseorang, meramal masa depan, bahkan menciptakan ilusi yang mampu memperdaya akal dan pikiran manusia. Kemampuan yang diturunkan nenek moyang itu pulalah yang dimiliki oleh Nyai Damini. Dibantu para budak dari golongan sama, di alamnya, dia mampu menciptakan jenis godaan maha dasyat yang tak akan mampu ditolak makhluk berakal seperti manusia, khususnya Jihan. Perempuan itu terpedaya, dalam dunia yang diciptakan berdasarkan hasrat dan harapan terbesarnya. Hanya setitik noda hitam di hati bersih perempuan itu sudah cukup untuk membuka cela
Lalu-lalang orang masih terlihat di lokasi kejadian. Sirine ambulans dan mobil polisi bersahutan mengelilingi bangunan 1000m² yang berada di tengah-tengah Perkebunan Teh, seluas dua hektare. Bukan hanya kepolisian, tapi pasukan angkatan khusus juga dikerahkan dalam menangani kasus serius yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak terungkap ini. Mengingat kasus yang tengah mereka tangani berhubungan dengan salah satu detektif yang kompeten di bidangnya. Fahri Azikri alias Ganjar Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka utama yang bertanggung jawab atas kematian dan banyaknya korban berjatuhan. Selain dalang dari organisasi sesat yang sudah berdiri selama dua puluh tahun lamanya, dia juga terancam pasal berlapis lainnya. Tentang pemalsuan identitas, pembunuhan berencana, pendiri organisasi ilegal, juga dengan sengaja menutupi bukti kejahatan.Sementara Bu Yuli, Bahar, dan tiga puluh orang lainnya masih berstatus saksi, sebelum pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk orang-orang ya
Villa tempat dilaksanakannya ritual pemujaan itu terletak di daerah puncak. Jauh dari jalan raya dan tersembunyi di balik perkebunan Teh yang lebat seluas tujuh hektar. Sekitarnya dijaga ketat oleh para orang suruhan Ganjar. Tak sembarang orang bisa masuk ke tempat ini, kecuali dia yang memiki izin resmi sebagai bagian dari organisasi. Masih di daerah yang sama dengan Desa Makmur Jaya yang sudah lama binasa. Villa ini dulunya gedung kosong yang menjadi saksi bisu awal mula Burhan dan Niar mengikat kontrak dengan Nyai Damini. Tempat yang sudah direnovasi sedemikian rupa dengan berbagai fasilitas yang diperlukan selama ritual termasuk kamar khusus di mana anggota yang bukan suami-istri berhubungan sebagai salah satu syarat pesugihan. "Jihan tak akan pernah bisa memilih, Ganjar. Kebencianmu padaku tak harus melibatkan anak-anakmu. Lakukan apa yang kau mau padaku, tapi tolong lepaskan mereka!"Jihan menggeleng keras saat Pak Ridwan mengambil keputusan tanpa persetujuan. "Ayah ...," lir
"Mas, apa dosa syirik masih bisa diampuni oleh Allah?" Nisya bertanya pada Zidan setelah mereka selesai menunaikan salat maghrib. Zidan terdiam sesaat, lalu mengubah posisi mereka berhadapan. "Wallahu alam. Tapi, setahuku Allah lebih suka manusia pendosa yang gemas bertaubat daripada ahli agama yang selalu merasa paling benar." "Kalau begitu tuntun aku mengucap syahadat sekali lagi." Zidan kembali terdiam, lamat dia menatap sang istri, lalu mengangguk pelan. "Ashadu ...." "As-ashadu." Sampai saat syahadat selesai Nisya rapalkan dengan tubuh yang gemetar, tangis perempuan itu pecah tanpa sadar. Setelah tangis Nisya mereda, Zidan memeluk dan mencium istrinya. Sebagai lelaki normal hasratnya jelas terbangkitkan apalagi di hadapan perempuan yang halal baginya. Namun, tepat saat dia hendak mencumbu Nisya, perempuan itu tiba-tiba menolak. "Maaf, Mas. Kasih aku waktu sebentar lagi." Setelah itu Nisya bangkit dari pembaringan. "Ibu tadi, nelepon. Katanya yang lain udah
Seorang ibu tetaplah ibu, bagaimana dan seperti apa takdir anak yang mereka lahirkan tekanan batin yang dirasakan tetap menyiksa mereka meskipun kata tak cukup mampu untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Seandainya bisa memilih keduanya juga menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka tak berdosa, layak mendapatkan hidup yang lebih baik dan masa depan cerah seperti yang diimpikan setiap orangtua. Bukan dilahirkan hanya untuk menjadi persembahan makhluk dari dunia yang berbeda. Pelukan erat dan tangis yang tak terbendung sudah cukup menjelaskan seberapa dalam penyesalan Niar dan Cintya. Sayang mulut mereka dibungkam, keduanya tak bisa melontarkan sepatah pun kata, meski hanya maaf yang tulus dari dasar hatinya. "Galih, Rara, Riri, Farrel, Gina ... ayo, Nak!" Nisya memanggil mereka satu per satu. Menuntun kelima anak itu dari pelukan para ibunya. Seberapa keras pun berusaha, hukum alam tetep tak bisa dilanggar. Mereka sudah berbeda alam. Rara, Riri, Farrel dan Gina masih ter