Jihan termenung menatap cangkir berisi latte yang ada di hadapan. Jari telunjuknya bergerak memutari pinggiran cangkir dengan pikiran yang jauh berkelana mengarungi masa lampau.
Dia teringat saat Burhan pertama kali membawa Galih pulang. Saat itu usia pernikahan mereka sudah mencapai lima tahun, tapi keduanya masih belum juga diberi momongan. Tak ada kecurigaan berarti saat Burhan mengatakan bahwa Galih adalah anak terlantar, asumsi itu diperkuat dengan penampilan Galih yang amat memprihatinkan. Bocah berusia empat tahun itu tak mengingat apa pun bahkan sebaris nama yang diberikan orangtuanya sebelum menelantarkan.Burhan berhasil meyakinkan Jihan untuk merawat Galih saat itu, apalagi mengingat sang istri yang kesepian sangat merindukan sosok buah hati.Tiga tahun berselang. Burhan kembali datang membawa dua orang anak kembar. Rara dan Riri. Balita berusia dua tahun yang amat menggemaskan dan terawat itu diakui Burhan dia bawa dari panti asuhan. Lelaki itu terus saja meyakinkan istrinya bahwa merawat anak yatim akan membawa keberkahan bagi keluarga kecil mereka. Juga sebagai pancingan supaya Tuhan lekas mengabulkan doa mereka untuk menitipkan rezeki berupa janin yang tumbuh di rahim Jihan.Namun, harapan hanya sebuah angan yang mampu digenggam setiap insan manusia. Doa yang selalu dia langitkan masih tertunda dan entah kapan sampai pada Sang Pemegang Segala Takdir. Segala upaya telah mereka lakukan, dokter mengatakan bahwa rahimnya juga sehat dan tak ada yang salah dengan sistem reproduksi Jihan maupun Burhan.Misteri tentang asal-usul Galih dan si kembar juga masih menjadi tanda tanya besar dalam benak Jihan bahkan sampai jasad Burhan dikebumikan. Tak ada surat atau dokumen adopsi yang ditemui meskipun dia sudah bersikeras mencari.Sebenarnya sudah lama Jihan ingin melakukan tes DNA pada mereka. Tetapi rasa sayang Jihan pada ketiga anak asuhnya mengalahkan rasa penasarannya. Jihan hanya terlalu takut, takut bila hasil yang ditunjukkan mengecewakan, takut bila Galih dan si kembar terbukti sebagai anak Burhan, hubungan mereka akan pudar. Dan Jihan terpaksa harus menerima penawaran Pak Ridwan untuk memberikan hak asuh mereka pada Bu Yuli."Maaf menunggu lama."Lamunan Jihan tersentak saat melihat seorang lelaki tinggi gagah dengan jaket kulit hitam duduk di hadapan. Dia baru sadar bahwa sejak tadi sebelah tangannya mengusap perut yang datar.Jihan mengangkat kepala, lalu terperangah dibuatnya.Jihan mengurut pelipis, dan meringis, ketika mengetahui detektif yang ayahnya sarankan untuk menangani kasus suaminya. Dia adalah Fahri Azikri lelaki dari masa lalunya.Masih lekat dalam ingatan bagaimana Jihan menolak dua kali lamaran yang Fahri ajukin lima belas tahun silam, hanya karena lebih memilih Burhan."Apa kabar?" Fahri membuka percakapan dengan pertanyaan yang sebenarnya agak rancu.Penyataan seperti itu jelas tak patut ditanyakan mengingat Jihan baru saja kehilangan suaminya."Tidak menentu, berantakan, dan sangat memprihatinkan." Jihan tetap menjawabnya dengan beberapa kata yang sedikit ditekan. "Kalau kabar Mas sendiri bagaimana? Anak, istri?" Jihan balik bertanya dengan hati-hati."Saya belum menikah sampai sekarang."Pupil mata Jihan melebar. Dia membekap mulut lalu tersenyum sungkan. "Ah, maaf.""Tak apa. Kita langsung ke intinya saja, ya!"Jihan mengangguk antusias. Lebih baik seperti itu daripada membahas masa lalu yang hanya membuat suasana menjadi canggung dan tak menyenangkan."Saya mendapat berkas-berkas ini dari detektif yang sebelumnya menangani kasus Pak Burhan. Kita kaji sama-sama, ya."Detektif Fahri mulai mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas raselnya. Lalu mengeluarkan satu per satu foto anggota keluarga Burhan."Yang ini ... ibunya Pak Burhan, benar?" Detektif Fahri menunjuk foto Bu Yuli.Jihan mengangguk pelan."Awalnya saya pikir kakaknya. Soalnya penampilan beliau terlihat ....""Jauh lebih muda dari usianya," potong Jihan. Detektif Fahri mengangguk setuju. "Itu juga salah satu hal yang membuat saya heran. Wajahnya bahkan tak berubah sejak lima belas tahun silam.""Mungkin perawatan beliau mahal," terka Detektif Fahri.Jihan mengedikkan bahunya."Mungkin," sahut perempuan itu tak yakin."Kalau ini adiknya?" Detektif Fahri beralih pada foto berikutnya.Jihan mengangguk lagi. "Ya, dia Nisya umurnya menginjak tiga puluh, tahun ini.""Beliau belum menikah?""Belum.""Auranya beda, ya. Hanya melihat dari foto saja saya sudah bisa menyimpulkan kalau tipe wajahnya banyak disukai para lelaki.""Termasuk Anda?" cibir Jihan yang membuat Detektif Fahri salah tingkah dibuatnya."Ah, bukan begitu. Kita lanjut yang berikutnya." Dia langsung mengalihkan pembicaraan pada foto selanjutnya. "Ah, kalau yang ini saya tahu. Dua minggu lalu, kan beliau baru saja dilantik sebagai pejabat pemerintahan. Pak Bahar Hakim, kan?"Jihan kembali mengangguk."Setiap akhir pekan mereka selalu mengadakan privat party bersama para kalangan atas lainnya. Saya maupun Nova tidak pernah diikutsertakan karena acara itu hanya diperuntukkan untuk keluarga yang terikat darah saja katanya. Sampai saat ini saya tak tahu acara macam apa itu. Namun, besoknya selalu ada korban yang meninggal di kompleks perumahan kami," papar Jihan mulai menjabarkan keterangan yang dia ketahui terkait keluarga suaminya."Suami kamu juga ikut?" tanya Detektif Fahri."Iya."Detektif Fahri terdiam sejenak. Sedikit demi sedikit dia mulai mencerna keterangan Jihan."Kamu sama sekali tak siapa saja yang terlibat dalam privat party tersebut?"Jihan menggeleng."Selain keluarga Mas Burhan, tak seorang pun yang saya tahu.""Kamu tahu dengan siapa akhir-akhir ini Pak Burhan pergi?"Jihan terlihat berpikir."Setahu saya, akhir-akhir ini Mas Burhan sering pergi dengan sekretarisnya Cintya."Detektif Fahri yang sudah menyadari sesuatu, langsung mencocokkan data yang dia dapatkan dengan keterangan Jihan, lalu menyimpulkan. "Menyangkut itu. Saya baru mendapat kabar tentang tentang sekretaris Pak Burhan dari suaminya. Menurut keterangan beliau, Cintya dinyatakan hilang setelah malam kejadian.""Apa?"...Bersambung.Seminggu sudah berlalu sejak jasad Burhan dikebumikan dan tahlilan tujuh malam selesai dilaksanakan. Jihan dan anak-anaknya memilih kembali menempati rumah peninggalan Burhan juga lokasi di mana lelaki itu meninggal. Mereka disambut para asisten rumah tangga yang membantu menjaga rumah selama Jihan dan anak-anaknya tinggal sementara di kediaman utama Pak Ridwan. Malam merangkak semakin kelam. Sudah empat hari sejak Detektif Fahri mengatakan bahwa salah satu saksi kunci kematian Burhan--Cintya dinyatakan hilang. Dia merasa semakin tak tenang. Entah kenapa malam ini juga angin berembus sangat kencang di luar. Menusuk kulit sampai terasa ke tulang. Jendela yang sudah tertutup rapat tiba-tiba kembali terbuka saat Jihan melewati balkon lantai dua menuju kamar si kembar Rara dan Riri berada. Dia menutupnya kembali, kemudian beranjak ke kamar anak-anaknya yang ada di lorong paling ujung lantai ini. Setelah memastikan keduanya terlelap. Jihan menyempatkan diri untuk singgah sebentar ke ka
Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya. Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim. Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan? Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya "Jihan!" Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapat
Sepanjang perjalanan menuju rumah Cintya bersama mobil yang dikendarai Detektif Fahri, Jihan melamun memikirkan tentang mimpi yang baru saja dia alami.Kira-kira apa arti semua ini? Apa hubungan suaminya dengan jelmaan ular yang dia lihat dalam mimpi, juga keterkaitannya dengan kematian Burhan dan Cintya?Detektif Fahri yang menyadari gelagat Jihan mulai merasa heran, dan berinisiatif untuk menanyakan."Apa ada yang mengusik pikiranmu? Siapa tahu saya bisa bantu." Ucapan Detektif Fahri menyentak lamunan Jihan. Perempuan itu mengusap tengkuk lalu tersenyum sungkan."Tidak ada. Sebenarnya saya belum bisa memastikan dugaan ini benar," ujar Jihan tak yakin."Dugaan, tentang?" pancing Detektif Fahri.Jihan yang tak mampu lagi menyimpan semua ini sendiri sedikit demi sedikit mulai menjabarkan."Begini ... saya merasa kalau kasus ini mulai berkaitan dengan privat party yang diadakan seminggu sekali, secara kebetulan suami saya dan Cintya juga meninggal dalam waktu yang berdekatan. Apa ini ad
"Bicara tentang persembahkan. Kenapa minggu ini Cintya dijadikan korban? Dia dieksekusi di tempat yang sama dengan Mas Burhan lagi," tanya Nisya saat ibunya tengah membakar kemenyan di ambang sebuah gudang. "Urusan persembahan, ketua yang memutuskan, Nisya. Kita sebagai anggota cukup mempersiapkan. Dan menunggu antrian kapan keluarga kita mendapat giliran untuk menjadi korban berikutnya. Kamu juga harus siap kapan pun suamimu dipersembahkan nanti. Karena keputusan ketua selalu tak terduga, beliau yang diberi wewenang oleh Nyai untuk memegang kendali atas organisasi," papar Bu Yuli begitu tenang sembari menabur semacam serbuk abu di atas pembakaran kemenyan. "Sampai saat ini aku masih belum tahu kenapa ketua menjadikan anggotanya sendiri sebagai bahan persembahan." Nisya menatap Bu Yuli dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bu Yuli menoleh, perempuan yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu tersenyum sembari mengusap pipi putrinya. "Tiap anggota yang dijadikan korban, adala
Prang! Jihan terlonjak kaget saat tangannya tiba-tiba tergelincir hingga mengakibatkan gelas kaca yang digenggam pecah berserak di lantai. Sari yang kebetulan sedang membantu menyiapkan sarapan bersama seorang koki pribadi di dapur Pak Ridwan, lantas menghampirinya dan memastikan keadaan sang majikan. "Ibu nggak kenapa-napa, kan?" Jihan menggeleng pelan. "Aneh. Kepala saya tiba-tiba pusing, perasaan juga tak enak," aku Jihan sembari mengurut dadanya pelan. "Mau Sari antar ke dokter, Bu? Atau panggil Bapak?" "Tak usah, Sar. Sepertinya cuma pusing biasa. Jangan ganggu Ayah, beliau juga baru tidur selepas subuh, karena semalaman nunggu Zidan pulang," tolak Jihan dengan halus. "Tolong gantikan saya antar Rara dan Riri ke sekolah, ya! Mereka agak trauma semenjak meninggalnya Mas Burhan, jadi selalu berhalusinasi yang bukan-bukan. Takutnya bikin kegaduhan di sekolah," tambah Jihan. "Baik, Bu." "Omong-omong Galih sudah turun?" "Belum, Bu. Tadi pas saya lewat den Galih masih du
Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah. "Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah. "Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem." Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu. "Kamu nggak takut emang?" cicit Galih. "Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang s
"Zidan masih belum turun?" Pertanyaan Pak Ridwan membuat Jihan terlonjak tanpa alasan. Di tengah makan siang. "A ... belum, Yah. Mungkin Zidan kecapean, karena semalam hampir nyasar. Untung dia menemukan hotel di tengah perjalanan." Jihan terpaksa berbohong tentang kebenaran Zidan yang menginap di kediaman Nisya dan Bu Yuli. Kalau dia mengatakan kebenarannya bisa-bisa Pak Ridwan jantungan. "Jadi, dia belum cerita tentang keluarga calon istrinya?" tanya Pak Ridwan lagi. Jihan kembali menggeleng. Sebenarnya dia tak tahu sampai kapan harus menyembunyikan ini. Terlebih Zidan yang tiba-tiba menutup diri, lalu mendekam di kamar. "Anak-anak juga belum pulang. Mungkin itu salah satu alasan yang buat ruang makannya kelihatan sepi," cetus Jihan. Gerakan Pak Ridwan yang hendak menyendok nasi ke dalam mulut, tiba-tiba terhenti. "Kalau itu bukan masalah. Lagi pula sudah lebih dari lima belas tahun ayah terbiasa makan sendiri. Sejak ibumu pergi, sejak kamu menikah, dan sejak Zidan mem
Jihan termangu sepanjang perjalanan pulang. Tatapannya lurus menatap lalu-lalang kendaraan yang melintas di samping dan di hadapan. Sesak di dadanya kian terasa menekan, kala membayangkan suami yang selama ini begitu dia hormati ternyata sering kali menghabiskan waktu dengan wanita berbeda tiap akhir pekan. Senja mulai berpendar di langit Jakarta, tetapi tak mampu membiaskan warna kelam di hatinya. Dia menyesal karena tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang apa yang bisa dilakukan bila yang bersangkutan sudah menghilang dari pandangan? Terkadang kenyataan bisa lebih pahit daripada campuran kopi tanpa gula. Tidak ada yang bisa dinikmati selain getir yang tersisa di rongga-rongga dada. Kebenaran sering kali menyiksa ketika terungkap saat tersangka tak ada lagi di dunia. Apa yang bisa dilakukan selain pasrah dengan keadaan? "Apa pihak kepolisian tidak bisa menginterogasi keluarga korban lebih mendalam? Bila dengan tekanan siapa tahu mereka bisa mengaku." Jihan tiba-tiba memecah ke