Setiap istri memiliki pilihannya sendiri bila terbukti suami telah mengkhianati, tapi menyembunyikan aib suami tetap kewajiban utama seorang istri sebelum mereka resmi mengakhiri ikatan yang telah terjalin.
Lima belas tahun mengarungi biduk rumah tangga bersama Burhan, membuat Jihan mengerti. Bahwa sedalam apa pun luka yang ditorehkan sang suami, mengumbar keburukan pasangan bukan satu-satu jalan untuk membayar rasa sakit yang diberi. Semua lara itu sudah berhasil dia telan, bersama luka yang penuh tambalan, serta kekecewaan yang hanya bisa dipendam sendirian. Sekeras apa pun cobaan menerjang, perempuan itu tetap mampu berdiri di atas seutas tali yang terbentang. Entah apa yang membuat Jihan kukuh bertahan sampai belasan tahun lamanya, meskipun dia tahu Burhan tak lagi sama. Dia telah mengkhianati ikatan suci pernikahan mereka dan tunduk di bawah cobaan harta dan kekuasaan yang Tuhan berikan padanya. Padahal saat tak punya apa-apa Jihan ada di sampingnya, merangkul dan menguatkan Burhan. Mereka merangkak naik sama-sama, tapi setelah sampai di puncak Burhan dibutakan segalanya. Susah dia dengan Jihan, tapi senang bersama para jalang.Sabar dan bodoh mungkin tak ada bedanya bagi Jihan. Bertahan karena keadaan selalu dia jadikan alasan tiap kali teman, kerabat, bahkan orangtua menyarankan untuk bercerai. Sampai takdir berkata lain, bukan perceraian yang memisahkan mereka, melainkan maut yang tiba-tiba datang. Pada akhirnya bukan orangtua, teman, atau kerabat yang ikut andil. Namun, Tuhan sendiri yang turun tangan mengakhiri penderitaan Jihan. Kematian Burhan meninggalkan begitu banyak tanda tanya besar dalam benak Jihan. Rasa penasaran membuatnya menguatkan pilihan untuk terus bertahan di antara kedua kaki yang pincang. Lima belas tahun usia pernikahan mereka. Sudah lebih dari satu dasawarsa, tapi nahasnya dia masih belum bisa mengenal sosok Burhan Hakim yang sebenarnya. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak terkecuali Nova. Perempuan dengan potongan rambut bob itu hanya bisa ternganga mengetahui fakta yang diungkap Jihan tentang kematian kakak iparnya. Dia menuntut jawaban dari Bahar. Tapi adik laki-laki Burhan itu hanya terbungkam. Lalu beralih pada Nisya, tapi yang bersangkutan juga tak memberi Nova jawaban yang dia inginkan. "Jadi, benar, Ma? Kalau sebelum meninggal Mas Burhan berencana menikah lagi? Kalian semua tahu?!" tuntut Nova dengan raut muka penuh tanda tanya. Sebenarnya Nova tak benar-benar membenci Jihan. Ekspresi yang selama ini dia tunjukkan lebih kenapa geram, gemas melihat semua kebungkaman Jihan. Dia benar-benar tak habis pikir, bagaimana Jihan mampu bertahan dalam situasi sesulit ini?"Bagaimana bisa, Mbak?" Nova beralih pada Jihan, lalu mengguncang bahunya yang geming. "Bagaimana bisa Mbak masih duduk di sini, setelah semua yang terjadi? Apa alasannya? Apa yang membuat Mbak Jihan bersikeras mempertahankan lelaki sebajingan Mas Burhan!""Nova!" Bahar berusaha menenangkan istrinya. "Demi Tuhan selama ini aku, tuh kasihan. Kasihan sama Mbak Jihan. Rasanya benar-benar tak habis pikir, kok ada wanita sebodoh ini.""Nova Damayanti!" Kali ini Bu Yuli menengahi. "Pertama-tama aku ucapkan terima kasih atas keprihatinanmu, Nova. Ini pilihan yang sudah kuambil. Sudah sangat terlambat untuk menyesal atau memperbaiki apa yang sudah terjadi. Lebih baik sekarang kita fokus pada tujuan awal. Yaitu mengungkap misteri dibalik kematian Mas Burhan. Siapa saja bisa jadi tersangka, bukan? Alih-alih aku, jangan-jangan pembunuhnya justru salah satu di antara kalian."Plak! "Jaga mulutmu, Jihan!" sentak Bu Yuli setelah melayangkan tamparan di pipi kanan Jihan. "Loh, Mama, kok marah?" Jihan menatap Bu Yuli dengan nanar. Namun, entah kenapa tatapan itu lebih terlihat seperti sebuah ejekan. "Itu, kan baru dugaan, bukan tuduhan seperti yang Nova layangkan. Lagipula selama ini Mas Burhan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kalian dibandingkan denganku dan anak-anak. Mama pasti lebih tahu banyak hal menyangkut Mas Burhan. Jadwalnya, orang-orang di sekitar, bahkan temen-temen kantor atau bahkan selingkuhannya?" "Jihan!" Bu Yuli mulai naik pitam. "Seharusnya kasus pembunuhan Mas Burhan ini mudah dipecahkan asal kalian mau bekerja sama. Mama tinggal beri tahu polisi tentang orang-orang yang pergi dengan Mas Burhan sebelum kejadian, kenapa harus menyembunyikannya?""Mereka tidak terlibat, Jihan!" desis Bu Yuli semakin geram. "Kalau begitu buktikan! Panggil mereka satu per satu ke hadapanku. Kalau perlu semua selingkuhan Mas Burhan yang Mama tahu, siapa tahu mereka dendam karena cuma dipake terus dibuang.""Jihan Anissa! Keluar kamu sekarang!" Emosi Bu Yuli sudah sampai pada puncaknya. Perempuan senja berusia pertengahan enam puluhan itu menarik tangan Jihan agar bangkit dari tempatnya. Jihan menepis tangan Bu Yuli. Dengan sorot mata tajam dia membalas ucapan ibu mertuanya."Mama tak perlu repot-repot ngusir segala. To, aku memang sudah mau pergi. Di sini aku cuma mau menekankan, suatu saat kebenaran pasti akan terungkap. Pada kenyataannya memang banyak iblis yang bersembunyi dibalik wajah malaikat. Jangan kalian pikir selama ini aku tidak tahu. Justru aku diam karena terlalu banyak tahu."Jihan bangkit setelah menatap mereka satu per satu. Sejenak dia menyingkap sarung tangan yang selalu membungkus tangan kanannya. Terlihat luka bakar serius di sana. Luka yang disebabkan kecerobohan Bu Yuli saat menumpahkan minyak panas hingga mengenai seluruh telapak tangan Jihan sampai ke pergelangan. Salah satu alasan Jihan bertahan selama lima belas tahun pernikahan karena sampai detik ini dia masih percaya. Burhan suaminya tak melakukan semua pengkhianatan itu sendirian. Ada campur tangan Bu Yuli dan adik-adiknya. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya, tapi Jihan masih meyakini bahwa keluarga suaminya tergabung dalam sebuah organisasi rahasia. Di mana pertemuan diadakan tiap akhir pekan, dan selalu memakan korban setelah privat party selesai diadakan. ...Bersambung.Mini Cooper berwarna merah itu melaju melewati gerbang menjulang yang terbuka otomatis. Mengitari sebuah air mancur besar yang ada di pusat pelataran menuju sebuah rumah megah bergaya modern yang berdiri di atas lahan sendiri seluas 4500 M², di kelilingi benteng yang beberapa meter lebih tinggi dari bangunan rumah huni. Seorang satpam penjaga berusia paruh baya menghampiri mobil yang baru saja berhenti di antara jejeran mobil mewah lainnya. Dia membuka pintu dan sedikit tersentak saat melihat perempuan cantik bergamis panjang dengan pashmina dan kacamata hitam turun dari dalamnya. "No-Non Jihan," ujarnya terbata. Jihan membuka kacamatanya lalu tersenyum hangat. "Apa kabar, Pak Dani?""Ba-baik, Non. Sudah lama sekali sejak Non menginjakkan kaki di rumah ini. Lima belas tahun, ya?" tanya Pak Dani memastikan. Jihan mengangguk pelan. "Ah, ini pasti Den Galih dan Non Rara-Riri. Saya pernah dengar beberapa kali Bapak bercerita tentang cucu-cucunya." Pak Dani beralih pada anak-anak Jiha
Jihan termenung menatap cangkir berisi latte yang ada di hadapan. Jari telunjuknya bergerak memutari pinggiran cangkir dengan pikiran yang jauh berkelana mengarungi masa lampau.Dia teringat saat Burhan pertama kali membawa Galih pulang. Saat itu usia pernikahan mereka sudah mencapai lima tahun, tapi keduanya masih belum juga diberi momongan. Tak ada kecurigaan berarti saat Burhan mengatakan bahwa Galih adalah anak terlantar, asumsi itu diperkuat dengan penampilan Galih yang amat memprihatinkan. Bocah berusia empat tahun itu tak mengingat apa pun bahkan sebaris nama yang diberikan orangtuanya sebelum menelantarkan.Burhan berhasil meyakinkan Jihan untuk merawat Galih saat itu, apalagi mengingat sang istri yang kesepian sangat merindukan sosok buah hati.Tiga tahun berselang. Burhan kembali datang membawa dua orang anak kembar. Rara dan Riri. Balita berusia dua tahun yang amat menggemaskan dan terawat itu diakui Burhan dia bawa dari panti asuhan. Lelaki itu terus saja meyakinkan istri
Seminggu sudah berlalu sejak jasad Burhan dikebumikan dan tahlilan tujuh malam selesai dilaksanakan. Jihan dan anak-anaknya memilih kembali menempati rumah peninggalan Burhan juga lokasi di mana lelaki itu meninggal. Mereka disambut para asisten rumah tangga yang membantu menjaga rumah selama Jihan dan anak-anaknya tinggal sementara di kediaman utama Pak Ridwan. Malam merangkak semakin kelam. Sudah empat hari sejak Detektif Fahri mengatakan bahwa salah satu saksi kunci kematian Burhan--Cintya dinyatakan hilang. Dia merasa semakin tak tenang. Entah kenapa malam ini juga angin berembus sangat kencang di luar. Menusuk kulit sampai terasa ke tulang. Jendela yang sudah tertutup rapat tiba-tiba kembali terbuka saat Jihan melewati balkon lantai dua menuju kamar si kembar Rara dan Riri berada. Dia menutupnya kembali, kemudian beranjak ke kamar anak-anaknya yang ada di lorong paling ujung lantai ini. Setelah memastikan keduanya terlelap. Jihan menyempatkan diri untuk singgah sebentar ke ka
Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya. Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim. Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan? Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya "Jihan!" Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapat
Sepanjang perjalanan menuju rumah Cintya bersama mobil yang dikendarai Detektif Fahri, Jihan melamun memikirkan tentang mimpi yang baru saja dia alami.Kira-kira apa arti semua ini? Apa hubungan suaminya dengan jelmaan ular yang dia lihat dalam mimpi, juga keterkaitannya dengan kematian Burhan dan Cintya?Detektif Fahri yang menyadari gelagat Jihan mulai merasa heran, dan berinisiatif untuk menanyakan."Apa ada yang mengusik pikiranmu? Siapa tahu saya bisa bantu." Ucapan Detektif Fahri menyentak lamunan Jihan. Perempuan itu mengusap tengkuk lalu tersenyum sungkan."Tidak ada. Sebenarnya saya belum bisa memastikan dugaan ini benar," ujar Jihan tak yakin."Dugaan, tentang?" pancing Detektif Fahri.Jihan yang tak mampu lagi menyimpan semua ini sendiri sedikit demi sedikit mulai menjabarkan."Begini ... saya merasa kalau kasus ini mulai berkaitan dengan privat party yang diadakan seminggu sekali, secara kebetulan suami saya dan Cintya juga meninggal dalam waktu yang berdekatan. Apa ini ad
"Bicara tentang persembahkan. Kenapa minggu ini Cintya dijadikan korban? Dia dieksekusi di tempat yang sama dengan Mas Burhan lagi," tanya Nisya saat ibunya tengah membakar kemenyan di ambang sebuah gudang. "Urusan persembahan, ketua yang memutuskan, Nisya. Kita sebagai anggota cukup mempersiapkan. Dan menunggu antrian kapan keluarga kita mendapat giliran untuk menjadi korban berikutnya. Kamu juga harus siap kapan pun suamimu dipersembahkan nanti. Karena keputusan ketua selalu tak terduga, beliau yang diberi wewenang oleh Nyai untuk memegang kendali atas organisasi," papar Bu Yuli begitu tenang sembari menabur semacam serbuk abu di atas pembakaran kemenyan. "Sampai saat ini aku masih belum tahu kenapa ketua menjadikan anggotanya sendiri sebagai bahan persembahan." Nisya menatap Bu Yuli dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bu Yuli menoleh, perempuan yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu tersenyum sembari mengusap pipi putrinya. "Tiap anggota yang dijadikan korban, adala
Prang! Jihan terlonjak kaget saat tangannya tiba-tiba tergelincir hingga mengakibatkan gelas kaca yang digenggam pecah berserak di lantai. Sari yang kebetulan sedang membantu menyiapkan sarapan bersama seorang koki pribadi di dapur Pak Ridwan, lantas menghampirinya dan memastikan keadaan sang majikan. "Ibu nggak kenapa-napa, kan?" Jihan menggeleng pelan. "Aneh. Kepala saya tiba-tiba pusing, perasaan juga tak enak," aku Jihan sembari mengurut dadanya pelan. "Mau Sari antar ke dokter, Bu? Atau panggil Bapak?" "Tak usah, Sar. Sepertinya cuma pusing biasa. Jangan ganggu Ayah, beliau juga baru tidur selepas subuh, karena semalaman nunggu Zidan pulang," tolak Jihan dengan halus. "Tolong gantikan saya antar Rara dan Riri ke sekolah, ya! Mereka agak trauma semenjak meninggalnya Mas Burhan, jadi selalu berhalusinasi yang bukan-bukan. Takutnya bikin kegaduhan di sekolah," tambah Jihan. "Baik, Bu." "Omong-omong Galih sudah turun?" "Belum, Bu. Tadi pas saya lewat den Galih masih du
Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah. "Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah. "Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem." Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu. "Kamu nggak takut emang?" cicit Galih. "Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang s