Dahi Ferry mengernyit guna memahami ucapan Bre. Akhirnya paham juga kalau yang dimaksud sang adik ular betina adalah Irma."Untuk apa dia menelponmu?""Nyariin kamu mau minta tanggungjawab. Kenapa Mas menghindar setelah dia hamil. Lupa dengan apa yang kalian lakukan berdua? Sampai tega mengkhianati Mbak Kenny dan anak-anak."Ferry menghisap rokoknya kuat-kuat dan mengembuskan perlahan. "Belum tentu dia hamil anakku.""Apa maksudnya?" Bre tidak mengerti."Dia tidak hanya tidur denganku. Aku nggak pernah menemuinya lagi setelah kupergoki dia di apartemen bersama lelaki lain seminggu yang lalu."Bre tersenyum sinis. "Baguslah, perempuan seperti itu yang akhirnya membuat Mas kehilangan Mbak Kenny dan anak-anak.""Apa bedanya denganmu." Ferry menatap penuh ejekan pada sang adik."Ya, kuakui aku memang brengs*k. Tapi sesalku untuk diriku sendiri tanpa melibatkan perasaan anak-anak." Bre mencondongkan tubuh dan menatap tajam pada kakaknya. "Mas, jangan lupakan. Kalau aku seperti ini juga kar
RAHASIA TIGA HATI - Usai Sidang Meski riasannya cukup lengkap di wajah Irma, tapi tidak bisa menutupi rona pucatnya. Tubuhnya yang dulu s*ksi, padat berisi, kini tampak kurus."Aku hamil anaknya Ferry." Perempuan itu menghampiri Kenny yang duduk di samping ruang sidang bersama Nina.Sebisa mungkin Kenny menyembunyikan rasa kagetnya. Kembali rasa sakit menusuk lagi tepat di ulu hati. Rupanya mereka sudah tidak bisa terkontrol. Sudah kelewatan. Jadi maksud kedatangan Irma di sidang terakhirnya hari ini, hanya untuk mengumumkan kalau dia dihamili Ferry. Sungguh tak tahu malu. Hamil di luar nikah, tapi begitu bangga.Nina juga diam walaupun tak kalah kaget. Diliriknya sekilas perempuan yang tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya datang ke sidang perceraian Kenny dan dengan bangganya bilang kalau dia hamil anak Ferry."Awal tahun depan bayi kami lahir," lanjut Irma ketika Kenny masih diam."Itu bukan urusanku," jawab Kenny singkat."Ferry akan terhibur walaupun dia dibenci anak-anakmu. Ini, d
Irma bungkam. Saking bingungnya menghadapi kehamilan, sampai tidak bisa berpikir secara jernih. Bisanya hanya mengancam setelah mendapatkan penolakan dari Ferry. Ia lupa bagaimana jika orang tuanya tahu, terlebih keluarga besarnya. "Katakan pada mereka dan akan kubongkar rahasiamu juga. Biar keluargamu tahu apa yang kamu lakukan di luar sana." Ancaman Ferry membuat Irma tidak berkutik. Hampir dua mingguan ini dia seperti orang gila dan sering tidak masuk kerja."Harusnya aku tidak terlena lagi denganmu, sampai aku kehilangan istri dan anak-anakku. Kupikir kamu sudah berubah. Ternyata lebih parah. Sekali saja kau bicara pada media, maka akan kubongkar semuanya." Ferry pergi meninggalkan Irma karena pengacaranya sudah melambaikan tangan ke arahnya .Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang sidang. Ini akhir hubungan pernikahannya dengan Kenny. Dan akan menjadi titik balik, bagaimana ia akan menjalani hidup setelah ini."Kenapa Irma ada di sini? Kamu yang mengajaknya?
Bertahan, dirinya yang tersiksa. Denyut nadinya, debaran di dada, pikiran, hanya bercerita bagaimana ia menyesali telah kehilangan belahan hati. "Livia, tahukah kau apa yang kurasakan saat ini?" Jiwa Bre kembali terkapar.Bu Rika dan Bre menoleh saat pintu kembali terbuka. Masuk Ferry dalam keadaan kusut. Ingin rasanya Bre menampar sang kakak sekali saja, biar tahu kalau dirinya terlalu banyak menanggung permasalahan perusahaan sendirian. Namun Bre memiliki pergi dari ruangan. "Beneran perempuan itu hamil?" tanya Bu Rika menahan geram pada putra sulungnya."Belum tentu itu anakku, Ma.""Kamu benar-benar ingin membuat mamamu sinting, Fer. Sudah tahu bagaimana perempuan itu, bagaimana dulu ia menduakanmu, kok bisa-bisanya kamu kembali sama dia!" Bu Rika marah."Mama nggak sudi kamu menikahinya. Bisnis kita sudah dihancurkan oleh keluarga mereka, biar keluarga Wawan hancur oleh anak-anaknya." Bu Rika bangkit dari duduknya. "Mama mau istirahat. Sakit kepala mikirin kasusmu."Tinggallah
RAHASIA TIGA HATI - Pengakuan Alan Dua orang preman bangkit dan menyerang Alan bersamaan. Pukulan mereka hampa ke udara ketika dengan mudahnya Alan berkellit. Bahkan Alan bisa menarik penutup wajah salah satu dari mereka.Ferry yang bangkit dan bersandar di mobilnya berusaha memperhatikan wajah itu dengan seksama. Namun penerangan yang minim, menyulitkannya untuk melihat dengan jelas.Ketika Alan berhasil membuat satu preman jatuh tersungkur ke tanah, dengan cepat dikuncinya tangan ke belakang dan menindihnya. Satu preman lagi tidak bisa berbuat apa-apa karena temannya berada dalam ancaman sebilah pisau yang ditodongkan Alan di lehernya. Pisau yang diambil Alan dari pinggang preman sendiri."Siapa yang menyuruhmu?"Dua preman bungkam. "Katakan atau kamu akan kubawa ke kantor polisi," ancam Alan sambil menekan kuat tubuh preman yang ditindihnya hingga membuat makin kesakitan."Bilang siapa yang menyuruhmu?""Pak Wa-wan," jawab preman yang dalam tekanan.Alan menoleh pada Ferry. Kese
Bre sendiri masih berusaha mengobati hati dan terus berusaha supaya perusahaan mereka tetap berdiri meski harus memberhentikan beberapa karyawan. Kembali pontang-panting mencari relasi yang mau di ajak bekerjasama. Sedangkan dirinya belum bisa maksimal membantunya.Belum lagi harus mengurus mama mereka yang mengalami depresi dan harus menjalani serangkaian pengobatan. Bre memutuskan untuk mengurangi pekerja di kantor daripada mengurangi ART di rumah mereka. Sebab mamanya butuh pengawasan ekstra.Apa yang terjadi pada keluarga Livia beberapa tahun kemarin, kini total berbalik pada keluarga mereka. Begini rasanya ketika semuanya hancur lebur. Ferry merasakan kalau mereka sedang berada di fase terendah.Mobil memasuki garasi rumah Bu Rika. Semenjak sang mama mengalami tekanan mental, Ferry memutuskan kembali tinggal bersama mama dan adiknya seperti saran Bre."Aku nggak sanggup kalau semuanya dibebankan padaku, Mas. Bantu aku. Jangan merasa paling hancur sendiri, karena kita sama-sama su
"Nggak apa-apa. Nggak setiap hari juga aku ikut ke kantor. Boleh, kan?" Rayu Livia sambil menatap lekat wajah suaminya. Sudah dua mingguan ini Livia tidak 'ngantor' lagi atas saran suami dan mama mertuanya.Ditatap penuh permohonan seperti itu, mana mungkin Alan bilang tidak. Senyum Livia langsung merekah setelah Alan mengangguk."Bagus-bagus banget foto jepretannya Mbak Mini." Livia mengalihkan percakapan dan menggeser album foto yang terbuka ke hadapan suaminya.Livia sangat memesona dengan berbagai pose di sana. Sedangkan Alan terlihat kaku karena tidak bisa bergaya. Hampir semua fotonya tanpa senyum. "Foto Mas ini nggak ada yang tersenyum. Padahal sebagai seorang design grafis, Mas punya kreativitas yang tinggi dalam pekerjaan. Memiliki imajinasi yang kreatif dan mahir berpikir visual. Mempunyai banyak inspirasi dan selalu memiliki gaya desain yang unik. Tapi kenapa untuk mengukir senyum saja susahnya minta ampun. Kalau minta jatah saja suka senyam-senyum nggak jelas."Alan hanya
RAHASIA TIGA HATI - Rahasia yang IndahAlan melihat pipi Livia yang bersemu merah. Rasa tersanjung membuatnya merona, tapi tatapan matanya masih menunjukkan rona tak percaya atas pengakuannya."Satu kali, dua kali, tiga kali, kamu datang sendirian waktu latihan. Keempat kalinya, mas melihatmu dijemput seorang cowok. Masih ingat nggak waktu itu mas tanya apa sama kamu?"Livia diam, mencoba mengingat-ingat. "Siapa cowok yang menjemputmu kemarin, Livi? Kamu jawab, 'Oh, dia Bre pacar saya, Coach.' Saat menyebut nama Bre, wajahmu berbinar-binar bahagia. Kamu nggak sadar telah membuatku patah hati dalam diam."Deg. Mendengar pengakuan itu, dada Livia bergetar hebat. Satu kenyataan yang membuatnya benar-benar kaget. Tidak mengira sama sekali kalau Alan telah jatuh cinta dipertemuan pertama mereka. Livia pikir, Alan jatuh cinta setelah dirinya bercerai dari Bre. Timbul rasa kasihan yang akhirnya membuat lelaki itu menikahinya. Atau karena alasan dirinya mirip sekali dengan almarhumah sang k