Bertahan, dirinya yang tersiksa. Denyut nadinya, debaran di dada, pikiran, hanya bercerita bagaimana ia menyesali telah kehilangan belahan hati. "Livia, tahukah kau apa yang kurasakan saat ini?" Jiwa Bre kembali terkapar.Bu Rika dan Bre menoleh saat pintu kembali terbuka. Masuk Ferry dalam keadaan kusut. Ingin rasanya Bre menampar sang kakak sekali saja, biar tahu kalau dirinya terlalu banyak menanggung permasalahan perusahaan sendirian. Namun Bre memiliki pergi dari ruangan. "Beneran perempuan itu hamil?" tanya Bu Rika menahan geram pada putra sulungnya."Belum tentu itu anakku, Ma.""Kamu benar-benar ingin membuat mamamu sinting, Fer. Sudah tahu bagaimana perempuan itu, bagaimana dulu ia menduakanmu, kok bisa-bisanya kamu kembali sama dia!" Bu Rika marah."Mama nggak sudi kamu menikahinya. Bisnis kita sudah dihancurkan oleh keluarga mereka, biar keluarga Wawan hancur oleh anak-anaknya." Bu Rika bangkit dari duduknya. "Mama mau istirahat. Sakit kepala mikirin kasusmu."Tinggallah
RAHASIA TIGA HATI - Pengakuan Alan Dua orang preman bangkit dan menyerang Alan bersamaan. Pukulan mereka hampa ke udara ketika dengan mudahnya Alan berkellit. Bahkan Alan bisa menarik penutup wajah salah satu dari mereka.Ferry yang bangkit dan bersandar di mobilnya berusaha memperhatikan wajah itu dengan seksama. Namun penerangan yang minim, menyulitkannya untuk melihat dengan jelas.Ketika Alan berhasil membuat satu preman jatuh tersungkur ke tanah, dengan cepat dikuncinya tangan ke belakang dan menindihnya. Satu preman lagi tidak bisa berbuat apa-apa karena temannya berada dalam ancaman sebilah pisau yang ditodongkan Alan di lehernya. Pisau yang diambil Alan dari pinggang preman sendiri."Siapa yang menyuruhmu?"Dua preman bungkam. "Katakan atau kamu akan kubawa ke kantor polisi," ancam Alan sambil menekan kuat tubuh preman yang ditindihnya hingga membuat makin kesakitan."Bilang siapa yang menyuruhmu?""Pak Wa-wan," jawab preman yang dalam tekanan.Alan menoleh pada Ferry. Kese
Bre sendiri masih berusaha mengobati hati dan terus berusaha supaya perusahaan mereka tetap berdiri meski harus memberhentikan beberapa karyawan. Kembali pontang-panting mencari relasi yang mau di ajak bekerjasama. Sedangkan dirinya belum bisa maksimal membantunya.Belum lagi harus mengurus mama mereka yang mengalami depresi dan harus menjalani serangkaian pengobatan. Bre memutuskan untuk mengurangi pekerja di kantor daripada mengurangi ART di rumah mereka. Sebab mamanya butuh pengawasan ekstra.Apa yang terjadi pada keluarga Livia beberapa tahun kemarin, kini total berbalik pada keluarga mereka. Begini rasanya ketika semuanya hancur lebur. Ferry merasakan kalau mereka sedang berada di fase terendah.Mobil memasuki garasi rumah Bu Rika. Semenjak sang mama mengalami tekanan mental, Ferry memutuskan kembali tinggal bersama mama dan adiknya seperti saran Bre."Aku nggak sanggup kalau semuanya dibebankan padaku, Mas. Bantu aku. Jangan merasa paling hancur sendiri, karena kita sama-sama su
"Nggak apa-apa. Nggak setiap hari juga aku ikut ke kantor. Boleh, kan?" Rayu Livia sambil menatap lekat wajah suaminya. Sudah dua mingguan ini Livia tidak 'ngantor' lagi atas saran suami dan mama mertuanya.Ditatap penuh permohonan seperti itu, mana mungkin Alan bilang tidak. Senyum Livia langsung merekah setelah Alan mengangguk."Bagus-bagus banget foto jepretannya Mbak Mini." Livia mengalihkan percakapan dan menggeser album foto yang terbuka ke hadapan suaminya.Livia sangat memesona dengan berbagai pose di sana. Sedangkan Alan terlihat kaku karena tidak bisa bergaya. Hampir semua fotonya tanpa senyum. "Foto Mas ini nggak ada yang tersenyum. Padahal sebagai seorang design grafis, Mas punya kreativitas yang tinggi dalam pekerjaan. Memiliki imajinasi yang kreatif dan mahir berpikir visual. Mempunyai banyak inspirasi dan selalu memiliki gaya desain yang unik. Tapi kenapa untuk mengukir senyum saja susahnya minta ampun. Kalau minta jatah saja suka senyam-senyum nggak jelas."Alan hanya
RAHASIA TIGA HATI - Rahasia yang IndahAlan melihat pipi Livia yang bersemu merah. Rasa tersanjung membuatnya merona, tapi tatapan matanya masih menunjukkan rona tak percaya atas pengakuannya."Satu kali, dua kali, tiga kali, kamu datang sendirian waktu latihan. Keempat kalinya, mas melihatmu dijemput seorang cowok. Masih ingat nggak waktu itu mas tanya apa sama kamu?"Livia diam, mencoba mengingat-ingat. "Siapa cowok yang menjemputmu kemarin, Livi? Kamu jawab, 'Oh, dia Bre pacar saya, Coach.' Saat menyebut nama Bre, wajahmu berbinar-binar bahagia. Kamu nggak sadar telah membuatku patah hati dalam diam."Deg. Mendengar pengakuan itu, dada Livia bergetar hebat. Satu kenyataan yang membuatnya benar-benar kaget. Tidak mengira sama sekali kalau Alan telah jatuh cinta dipertemuan pertama mereka. Livia pikir, Alan jatuh cinta setelah dirinya bercerai dari Bre. Timbul rasa kasihan yang akhirnya membuat lelaki itu menikahinya. Atau karena alasan dirinya mirip sekali dengan almarhumah sang k
Sementara Alan dan Livia juga masuk kamar. Salat Isya berjamaah, setelah itu seperti biasa Livia ganti baju tidur dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya. Memandang ke arah cermin, jadi membandingkan pipinya yang chubby dengan foto candid yang diambil Alan secara diam-diam. Dulu imut-imut, sekarang menggemaskan."Kenapa lengan Mas ini?" Livia berbaring di samping sang suami dan memperhatikan lengan kanan Alan yang terluka."Nggak sengaja kegores tadi?""Kegores apa? Nggak mungkin kalau kegores. Mas, berkelahi?""Berkelahi dengan siapa. Beneran kegores kayu di gudang tadi sore," elak Alan dan akhirnya Livia percaya."Oke. Kita lanjutkan pembahasan tadi. Apa Mas Alan jatuh cinta juga pada Mbak Selvi?" Rasa penasarannya sudah sampai ubun-ubun kepala. Penasaran campur cemburu. Padahal jelas kalau Alan sudah mengakui kalau lebih dulu jatuh cinta padanya."Setelah mas tahu kamu punya pacar, jelas mas nggak mungkin deketin kamu. Kalian pasangan yang sangat bahagia. Beberapa bulan kemudian,
"Mas, tahu kalau itu bukan kecelakaan biasa?""Ya.""Mas, menghentikan pengusutan karena aku menjadi istrinya Bre. Apa berarti, keluarga Bre yang menyebabkan ibu dan kakakku jatuh ke jurang?"Kali ini Alan diam dan hanya menatap istrinya."Bener, Mas?"Alan tidak menjawab."Siapa yang terlibat? Kalau Bre sepertinya tidak mungkin. Bu Rika atau Mas Ferry?""Sayang, setelah kamu tahu kenyataan ini, Mas harap jangan menyimpan dendam. Karena dendam hanya akan menghancurkan diri kita sendiri. Seperti yang dialami mereka saat ini. Jika kamu membenci, cukup hindari saja. Biar dosa urusan mereka dengan Tuhannya."Air mata Livia tumpah. Kembali teringat pada ibu dan kakaknya yang mengalami nasib tragis. Alan memeluk istrinya. Pada akhirnya semua akan terungkap dan Livia tahu semuanya.Jemari Alan menyeka air mata Livia. Menarik wanita itu ke dadanya. Untuk beberapa saat membiarkan sang istri menangis dalam dekapan.Livia kembali merasakan kehilangan. Walaupun jika kakaknya masih hidup, belum te
RAHASIA TIGA HATI - Jangan diam, Livia"Livia," panggil seseorang yang baru turun dari mobil di seberang jalan.Alan dan Livia mencari sumber suara. "Itu Mbak Kenny, Mas. Boleh aku temui sebentar?""Iya."Kenny menyeberang jalan dengan tergesa, senyumnya merekah. Wanita dengan setelan kerja rapih itu langsung memeluk dan mencium kedua pipi Livia. "Senangnya bisa bertemu lagi denganmu." Suara Kenny sangat ceria. Jujur saja kalau sebenarnya ia kangen dengan Livia."Aku juga seneng. Sudah lama kita nggak pernah bertemu. Mbak Kenny, makin cantik saja sekarang.""Aku harus menyempatkan merawat diri walaupun sibuk menata hidup, Liv. Kerja, ngurus anak-anak. Kamu pasti sibuk dengan kebahagiaanmu," ujar Kenny seraya tersenyum lebar."Alan, apa kabar?" Kenny beralih menyalami Alan."Alhamdulillah, baik.""Makin sukses sekarang."Alan menanggapi ucapan Kenny dengan senyuman. Wanita modis itu kembali memandang Livia. "Oh, kandunganmu sudah sebesar ini? Sudah berapa bulan?""Sudah sembilan bula