"Nggak apa-apa. Nggak setiap hari juga aku ikut ke kantor. Boleh, kan?" Rayu Livia sambil menatap lekat wajah suaminya. Sudah dua mingguan ini Livia tidak 'ngantor' lagi atas saran suami dan mama mertuanya.Ditatap penuh permohonan seperti itu, mana mungkin Alan bilang tidak. Senyum Livia langsung merekah setelah Alan mengangguk."Bagus-bagus banget foto jepretannya Mbak Mini." Livia mengalihkan percakapan dan menggeser album foto yang terbuka ke hadapan suaminya.Livia sangat memesona dengan berbagai pose di sana. Sedangkan Alan terlihat kaku karena tidak bisa bergaya. Hampir semua fotonya tanpa senyum. "Foto Mas ini nggak ada yang tersenyum. Padahal sebagai seorang design grafis, Mas punya kreativitas yang tinggi dalam pekerjaan. Memiliki imajinasi yang kreatif dan mahir berpikir visual. Mempunyai banyak inspirasi dan selalu memiliki gaya desain yang unik. Tapi kenapa untuk mengukir senyum saja susahnya minta ampun. Kalau minta jatah saja suka senyam-senyum nggak jelas."Alan hanya
RAHASIA TIGA HATI - Rahasia yang IndahAlan melihat pipi Livia yang bersemu merah. Rasa tersanjung membuatnya merona, tapi tatapan matanya masih menunjukkan rona tak percaya atas pengakuannya."Satu kali, dua kali, tiga kali, kamu datang sendirian waktu latihan. Keempat kalinya, mas melihatmu dijemput seorang cowok. Masih ingat nggak waktu itu mas tanya apa sama kamu?"Livia diam, mencoba mengingat-ingat. "Siapa cowok yang menjemputmu kemarin, Livi? Kamu jawab, 'Oh, dia Bre pacar saya, Coach.' Saat menyebut nama Bre, wajahmu berbinar-binar bahagia. Kamu nggak sadar telah membuatku patah hati dalam diam."Deg. Mendengar pengakuan itu, dada Livia bergetar hebat. Satu kenyataan yang membuatnya benar-benar kaget. Tidak mengira sama sekali kalau Alan telah jatuh cinta dipertemuan pertama mereka. Livia pikir, Alan jatuh cinta setelah dirinya bercerai dari Bre. Timbul rasa kasihan yang akhirnya membuat lelaki itu menikahinya. Atau karena alasan dirinya mirip sekali dengan almarhumah sang k
Sementara Alan dan Livia juga masuk kamar. Salat Isya berjamaah, setelah itu seperti biasa Livia ganti baju tidur dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya. Memandang ke arah cermin, jadi membandingkan pipinya yang chubby dengan foto candid yang diambil Alan secara diam-diam. Dulu imut-imut, sekarang menggemaskan."Kenapa lengan Mas ini?" Livia berbaring di samping sang suami dan memperhatikan lengan kanan Alan yang terluka."Nggak sengaja kegores tadi?""Kegores apa? Nggak mungkin kalau kegores. Mas, berkelahi?""Berkelahi dengan siapa. Beneran kegores kayu di gudang tadi sore," elak Alan dan akhirnya Livia percaya."Oke. Kita lanjutkan pembahasan tadi. Apa Mas Alan jatuh cinta juga pada Mbak Selvi?" Rasa penasarannya sudah sampai ubun-ubun kepala. Penasaran campur cemburu. Padahal jelas kalau Alan sudah mengakui kalau lebih dulu jatuh cinta padanya."Setelah mas tahu kamu punya pacar, jelas mas nggak mungkin deketin kamu. Kalian pasangan yang sangat bahagia. Beberapa bulan kemudian,
"Mas, tahu kalau itu bukan kecelakaan biasa?""Ya.""Mas, menghentikan pengusutan karena aku menjadi istrinya Bre. Apa berarti, keluarga Bre yang menyebabkan ibu dan kakakku jatuh ke jurang?"Kali ini Alan diam dan hanya menatap istrinya."Bener, Mas?"Alan tidak menjawab."Siapa yang terlibat? Kalau Bre sepertinya tidak mungkin. Bu Rika atau Mas Ferry?""Sayang, setelah kamu tahu kenyataan ini, Mas harap jangan menyimpan dendam. Karena dendam hanya akan menghancurkan diri kita sendiri. Seperti yang dialami mereka saat ini. Jika kamu membenci, cukup hindari saja. Biar dosa urusan mereka dengan Tuhannya."Air mata Livia tumpah. Kembali teringat pada ibu dan kakaknya yang mengalami nasib tragis. Alan memeluk istrinya. Pada akhirnya semua akan terungkap dan Livia tahu semuanya.Jemari Alan menyeka air mata Livia. Menarik wanita itu ke dadanya. Untuk beberapa saat membiarkan sang istri menangis dalam dekapan.Livia kembali merasakan kehilangan. Walaupun jika kakaknya masih hidup, belum te
RAHASIA TIGA HATI - Jangan diam, Livia"Livia," panggil seseorang yang baru turun dari mobil di seberang jalan.Alan dan Livia mencari sumber suara. "Itu Mbak Kenny, Mas. Boleh aku temui sebentar?""Iya."Kenny menyeberang jalan dengan tergesa, senyumnya merekah. Wanita dengan setelan kerja rapih itu langsung memeluk dan mencium kedua pipi Livia. "Senangnya bisa bertemu lagi denganmu." Suara Kenny sangat ceria. Jujur saja kalau sebenarnya ia kangen dengan Livia."Aku juga seneng. Sudah lama kita nggak pernah bertemu. Mbak Kenny, makin cantik saja sekarang.""Aku harus menyempatkan merawat diri walaupun sibuk menata hidup, Liv. Kerja, ngurus anak-anak. Kamu pasti sibuk dengan kebahagiaanmu," ujar Kenny seraya tersenyum lebar."Alan, apa kabar?" Kenny beralih menyalami Alan."Alhamdulillah, baik.""Makin sukses sekarang."Alan menanggapi ucapan Kenny dengan senyuman. Wanita modis itu kembali memandang Livia. "Oh, kandunganmu sudah sebesar ini? Sudah berapa bulan?""Sudah sembilan bula
Livia mengangguk dan memperhatikan Ella mengetuk pintu dan masuk ruangan Alan. Tapi di dalam sana sudah ada Adi dan Pras.Baru kali ini Livia melihat wajah kecewa dari perempuan yang paling dicemburuinya. Kalau begitu selama ia tidak ke kantor, Ella merasa bebas mendekati Alan. Hmm ....Mendadak Livia merasa jengkel. Meski semalaman Alan telah menumpahkan segala rasanya, tapi Livia tetap terpengaruh dengan tingkah perempuan tadi. Ia percaya suaminya tidak akan tergoda, tapi bagaimana dengan Ella.Alan baginya adalah sosok yang melecutkan pijar semangat dikala Livia terpuruk. Lelaki yang menjadikannya dewi atau bahkan bidadari. Pria yang telah menyimpan rapi cintanya selama bertahun-tahun. Jadi tidak mungkin Alan akan berpaling dan mengkhianati.Livia memegangi perutnya yang mengencang. Kemudian masuk dan kembali duduk di ruangannya. Mengusap-usap lembut bayi yang bergerak di dalam sana. Mendekati hari H perutnya memang kerap kali terasa nyeri dan tegang di bagian bawah.***L***"Kondi
Sebagai seorang psikiater yang banyak berinteraksi dengan pasien-pasien bermasalah dalam kejiwaannya, Dokter Pasha masih melihat luka dalam kegelisahan Bre. "Untungnya saya nggak gila. Saya benar-benar kehilangan Livia.""Semoga saja akan terobati luka Mas Bre dengan kehadiran insan baru."Bre tersenyum samar. "Hati saya sudah mati, Dok. Pernikahan sudah tidak ada dalam pemikiran saya. Sekarang saya fokus untuk mempertahankan dan memulihkan kondisi perusahaan, juga turut membiayai dua keponakan saya dan fokus untuk kesembuhan mama.""Lakukan dengan seimbang, Mas Bre. Anda, juga butuh menata masa depan.""Entahlah, sama sekali saya tidak bisa melupakan Livia. Kalau dokter ada resep obat untuk melupakan mantan. Tolong rekomendasikan ke saya."Mendengar ucapan Bre, dokter berkemeja abu-abu itu tertawa. "Bisa saja Mas Bre ini. Kalau pun ada, saya sudah meminumnya lebih dulu.""Oh, dokter pun belum bisa move on, nih. Dari siapa? Dari mantan yang dulu atau dari Livia?" Bre bertanya dengan
RAHASIA TIGA HATI - Hari yang Indah Tujuh jam terlewati. Alan kian cemas karena bayinya belum juga lahir. "Sabar, Pak Alan. Proses persalinan normal memang menguras waktu, apalagi ini persalinan pertama. Jarak dari pembukaan pertama hingga dilatasi penuh dan melahirkan butuh waktu 8-12 jam untuk persalinan pertama kali, bahkan bisa lebih dari itu. Kondisi Bu Livia dan posisi babynya sangat baik. Jadi tidak dibutuhkan tindakan lain. Serviks perlu membuka hingga bukaan 10 cm supaya bayi bisa lahir." Sejam yang lalu Dokter memberikan pengertian pada Alan.Namun tidak mengurangi kekhawatirannnya. Terlebih Livia hanya diam saja. Kalau capek berbaring, ia minta turun dan mondar-mandir di ruangan. Jika kontraksi datang, ia akan diam sambil menyangga perutnya."Kenapa kamu diam saja, hmmm ...." Alan mencium kening istrinya yang basah berkeringat. Livia menyandarkan kepala di dada Alan sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, merasakan kontraksi yang kembali datang.Melihat kepanikan Alan,