RAHASIA TIGA HATI - Ancaman"Ada apa?" Tanpa kata sapaan Bre menjawab telepon dari Irma. Sebenarnya malas berurusan dengan wanita satu ini. Tapi jika tidak dijawab, pasti akan terus mengganggunya."Bre, kakakmu di mana?" Suara Irma serak."Telepon saja ke nomernya. Tanya dia ada di mana?""Sejak kemarin teleponku nggak dijawab. Kudatangi rumahnya juga nggak ada.""Aku nggak tahu. Sudah dulu, aku ada urusan lain.""Tunggu. Titip pesen ke dia suruh nemui aku. Penting. Kalau nggak, aku akan melompat dari apartemen ini.""Apa maksudmu mengancam begitu?" "Aku hamil dan kakakmu nggak mau tanggungjawab. Dia menghilang nggak bisa dihubungi." Irma tersedu. Bre terdiam. Cerita apalagi ini. Kepalanya terasa tambah berat. Membuat bebannya semakin menumpuk saja."Nggak ada urusannya denganku. Aku nggak mau tahu tentang permasalahan kalian. Selesaikan sendiri. Kalau harus bertanggungjawab, aku hanya punya tanggungjawab pada anak-anak Mas Ferry dengan Mbak Kenny. Jelas mereka lahir dalam pernikah
Dahi Ferry mengernyit guna memahami ucapan Bre. Akhirnya paham juga kalau yang dimaksud sang adik ular betina adalah Irma."Untuk apa dia menelponmu?""Nyariin kamu mau minta tanggungjawab. Kenapa Mas menghindar setelah dia hamil. Lupa dengan apa yang kalian lakukan berdua? Sampai tega mengkhianati Mbak Kenny dan anak-anak."Ferry menghisap rokoknya kuat-kuat dan mengembuskan perlahan. "Belum tentu dia hamil anakku.""Apa maksudnya?" Bre tidak mengerti."Dia tidak hanya tidur denganku. Aku nggak pernah menemuinya lagi setelah kupergoki dia di apartemen bersama lelaki lain seminggu yang lalu."Bre tersenyum sinis. "Baguslah, perempuan seperti itu yang akhirnya membuat Mas kehilangan Mbak Kenny dan anak-anak.""Apa bedanya denganmu." Ferry menatap penuh ejekan pada sang adik."Ya, kuakui aku memang brengs*k. Tapi sesalku untuk diriku sendiri tanpa melibatkan perasaan anak-anak." Bre mencondongkan tubuh dan menatap tajam pada kakaknya. "Mas, jangan lupakan. Kalau aku seperti ini juga kar
RAHASIA TIGA HATI - Usai Sidang Meski riasannya cukup lengkap di wajah Irma, tapi tidak bisa menutupi rona pucatnya. Tubuhnya yang dulu s*ksi, padat berisi, kini tampak kurus."Aku hamil anaknya Ferry." Perempuan itu menghampiri Kenny yang duduk di samping ruang sidang bersama Nina.Sebisa mungkin Kenny menyembunyikan rasa kagetnya. Kembali rasa sakit menusuk lagi tepat di ulu hati. Rupanya mereka sudah tidak bisa terkontrol. Sudah kelewatan. Jadi maksud kedatangan Irma di sidang terakhirnya hari ini, hanya untuk mengumumkan kalau dia dihamili Ferry. Sungguh tak tahu malu. Hamil di luar nikah, tapi begitu bangga.Nina juga diam walaupun tak kalah kaget. Diliriknya sekilas perempuan yang tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya datang ke sidang perceraian Kenny dan dengan bangganya bilang kalau dia hamil anak Ferry."Awal tahun depan bayi kami lahir," lanjut Irma ketika Kenny masih diam."Itu bukan urusanku," jawab Kenny singkat."Ferry akan terhibur walaupun dia dibenci anak-anakmu. Ini, d
Irma bungkam. Saking bingungnya menghadapi kehamilan, sampai tidak bisa berpikir secara jernih. Bisanya hanya mengancam setelah mendapatkan penolakan dari Ferry. Ia lupa bagaimana jika orang tuanya tahu, terlebih keluarga besarnya. "Katakan pada mereka dan akan kubongkar rahasiamu juga. Biar keluargamu tahu apa yang kamu lakukan di luar sana." Ancaman Ferry membuat Irma tidak berkutik. Hampir dua mingguan ini dia seperti orang gila dan sering tidak masuk kerja."Harusnya aku tidak terlena lagi denganmu, sampai aku kehilangan istri dan anak-anakku. Kupikir kamu sudah berubah. Ternyata lebih parah. Sekali saja kau bicara pada media, maka akan kubongkar semuanya." Ferry pergi meninggalkan Irma karena pengacaranya sudah melambaikan tangan ke arahnya .Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang sidang. Ini akhir hubungan pernikahannya dengan Kenny. Dan akan menjadi titik balik, bagaimana ia akan menjalani hidup setelah ini."Kenapa Irma ada di sini? Kamu yang mengajaknya?
Bertahan, dirinya yang tersiksa. Denyut nadinya, debaran di dada, pikiran, hanya bercerita bagaimana ia menyesali telah kehilangan belahan hati. "Livia, tahukah kau apa yang kurasakan saat ini?" Jiwa Bre kembali terkapar.Bu Rika dan Bre menoleh saat pintu kembali terbuka. Masuk Ferry dalam keadaan kusut. Ingin rasanya Bre menampar sang kakak sekali saja, biar tahu kalau dirinya terlalu banyak menanggung permasalahan perusahaan sendirian. Namun Bre memiliki pergi dari ruangan. "Beneran perempuan itu hamil?" tanya Bu Rika menahan geram pada putra sulungnya."Belum tentu itu anakku, Ma.""Kamu benar-benar ingin membuat mamamu sinting, Fer. Sudah tahu bagaimana perempuan itu, bagaimana dulu ia menduakanmu, kok bisa-bisanya kamu kembali sama dia!" Bu Rika marah."Mama nggak sudi kamu menikahinya. Bisnis kita sudah dihancurkan oleh keluarga mereka, biar keluarga Wawan hancur oleh anak-anaknya." Bu Rika bangkit dari duduknya. "Mama mau istirahat. Sakit kepala mikirin kasusmu."Tinggallah
RAHASIA TIGA HATI - Pengakuan Alan Dua orang preman bangkit dan menyerang Alan bersamaan. Pukulan mereka hampa ke udara ketika dengan mudahnya Alan berkellit. Bahkan Alan bisa menarik penutup wajah salah satu dari mereka.Ferry yang bangkit dan bersandar di mobilnya berusaha memperhatikan wajah itu dengan seksama. Namun penerangan yang minim, menyulitkannya untuk melihat dengan jelas.Ketika Alan berhasil membuat satu preman jatuh tersungkur ke tanah, dengan cepat dikuncinya tangan ke belakang dan menindihnya. Satu preman lagi tidak bisa berbuat apa-apa karena temannya berada dalam ancaman sebilah pisau yang ditodongkan Alan di lehernya. Pisau yang diambil Alan dari pinggang preman sendiri."Siapa yang menyuruhmu?"Dua preman bungkam. "Katakan atau kamu akan kubawa ke kantor polisi," ancam Alan sambil menekan kuat tubuh preman yang ditindihnya hingga membuat makin kesakitan."Bilang siapa yang menyuruhmu?""Pak Wa-wan," jawab preman yang dalam tekanan.Alan menoleh pada Ferry. Kese
Bre sendiri masih berusaha mengobati hati dan terus berusaha supaya perusahaan mereka tetap berdiri meski harus memberhentikan beberapa karyawan. Kembali pontang-panting mencari relasi yang mau di ajak bekerjasama. Sedangkan dirinya belum bisa maksimal membantunya.Belum lagi harus mengurus mama mereka yang mengalami depresi dan harus menjalani serangkaian pengobatan. Bre memutuskan untuk mengurangi pekerja di kantor daripada mengurangi ART di rumah mereka. Sebab mamanya butuh pengawasan ekstra.Apa yang terjadi pada keluarga Livia beberapa tahun kemarin, kini total berbalik pada keluarga mereka. Begini rasanya ketika semuanya hancur lebur. Ferry merasakan kalau mereka sedang berada di fase terendah.Mobil memasuki garasi rumah Bu Rika. Semenjak sang mama mengalami tekanan mental, Ferry memutuskan kembali tinggal bersama mama dan adiknya seperti saran Bre."Aku nggak sanggup kalau semuanya dibebankan padaku, Mas. Bantu aku. Jangan merasa paling hancur sendiri, karena kita sama-sama su
"Nggak apa-apa. Nggak setiap hari juga aku ikut ke kantor. Boleh, kan?" Rayu Livia sambil menatap lekat wajah suaminya. Sudah dua mingguan ini Livia tidak 'ngantor' lagi atas saran suami dan mama mertuanya.Ditatap penuh permohonan seperti itu, mana mungkin Alan bilang tidak. Senyum Livia langsung merekah setelah Alan mengangguk."Bagus-bagus banget foto jepretannya Mbak Mini." Livia mengalihkan percakapan dan menggeser album foto yang terbuka ke hadapan suaminya.Livia sangat memesona dengan berbagai pose di sana. Sedangkan Alan terlihat kaku karena tidak bisa bergaya. Hampir semua fotonya tanpa senyum. "Foto Mas ini nggak ada yang tersenyum. Padahal sebagai seorang design grafis, Mas punya kreativitas yang tinggi dalam pekerjaan. Memiliki imajinasi yang kreatif dan mahir berpikir visual. Mempunyai banyak inspirasi dan selalu memiliki gaya desain yang unik. Tapi kenapa untuk mengukir senyum saja susahnya minta ampun. Kalau minta jatah saja suka senyam-senyum nggak jelas."Alan hanya
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K