Tretes.Minggu pagi yang sejuk. Alan dan Livia duduk menyaksikan kabut yang perlahan memudar di terpa sinar mentari. Mereka baru selesai sarapan dan duduk di balkon. Livia menyandarkan tubuhnya di bahu Alan.Hari terakhir di Tretes, Alan tidak akan mengajak istrinya keluar. Cukup menghabiskan waktu di kamar saja, karena rencana check out malam, akhirnya di rubah tengah hari nanti. Apalagi pagi-pagi mamanya menelpon dan bicara panjang lebar dengannya. Itu bukan nasehat tapi omelan.Alan paham dengan kekhawatiran sang mama. Sebab pernah mengalami keguguran anak kedua. Setelah itu tidak hamil lagi setelah program hamil sana sini. Ke dokter, ikut terapi, urut, dan berbagai makanan dan jamu-jamuan di konsumsi. Namun sampai suaminya meninggal, putranya hanya Alan seorang.Makanya Alan pun menghargai perhatian mamanya. Alan akan mengajak Livia pulang lebih cepat."Mbak Kenny pasti shock sekarang, Mas. Dia nulis story sedang galau.""Nggak perlu lagi kita membahas mereka. Oke.""Hmm, iya. Maa
"Beberapa kali sama rombongan teman kuliah. Terus bersama keluarga." Livia tidak menyebutkan pernah juga bersama Bre setelah mereka menikah."Kalau malam, pemandangannya lebih indah. Lampu-lampu malam kota Prigen terlihat dari sini," ujar Alan."Mas, berapa kali ke sini?""Dua atau tiga kali. Mas lupa.""Sama siapa?" Ah, Livia penasaran."Waktu outbound ke Malang sama teman-teman kantor. Pulangnya mampir ke sini," jawab Alan sambil menatap hijaunya pemandangan di lembah sana."Pernah juga sama Mbak Selvi, kan? Dia pernah nunjukin fotonya padaku, loh!"Alan hanya tersenyum sekilas. Tapi cukup membuat Livia cemburu. Tadi ingin membuat kakaknya cemburu dengan kehamilannya, sekarang justru dirinya yang cemburu oleh senyuman Alan. Duh ....***L***Kenny tergesa-gesa memakai celana panjang dan mengambil tas, sesaat setelah suaminya pamitan hendak keluar sebentar. Di aplikasi pesan Ferry yang di sadapnya, Irma mengajak Ferry ketemuan di sebuah kafe.Gila. Sampai rela mengabaikan anak-anak y
RAHASIA TIGA HATI - Bermuka Dua "Selamat ulang tahun, Tante. Semoga panjang umur dan sehat selalu." Dengan suara renyah Irma memeluk dan mencium kedua pipi Bu Rika."Makasih ya, Irma. Dari mana kamu tahu kalau hari ini tante berulang tahun?" "Pasti saya masih ingalah, Tan. Dulu saya kan sering ikut ngerayain ultah Tante," jawab wanita itu dengan bangga. Bu Rika tersenyum senang. Padahal sudah lama sekali, tapi Irma masih mengingatnya. Dia tidak tahu saja, kalau sebenarnya Irma mengetahui dari Ferry di kafe tadi."Ayo, duduk. Kita makan bareng-bareng." Terlihat sekali kalau Bu Rika sangat welcome pada mantan kekasih putranya. Kenny mati-matian menahan emosi dalam dada. Walaupun nyaris tak bisa mengendalikan diri dan ingin membongkar semuanya saat itu juga. Namun ia menyabarkan diri dan beristighfar dalam hati.Di depannya, Ferry seolah tidak begitu peduli pada Irma. Bahkan memandang pun tidak. Dia asyik berbincang dengan omnya.Semua orang yang ada disalami oleh Irma. Termasuk Kenny
Kalau dulu mereka sudah sedekat itu, kenapa Ferry dan Irma putus. Suaminya sempat cerita, mereka putus karena Irma punya gebetan lain. Kepergok Ferry sendiri dan langsung diputuskan. Setelah tahu Irma wanita seperti apa, kenapa Ferry seolah melupakan kisah mereka. Memang pengkhianat pantas bersama pengkhianat.Kenny menarik napas dalam-dalam sambil menatap langit yang redup. Di gazebo pojok taman sana, Ferry masih ngobrol dengan Pak Ringgo. Sesekali ia sibuk membalas pesan. Memang tidak ada interaksi langsung antara Ferry dan Irma, tapi mereka berkomunikasi via telepon. Kenny tersenyum sinis, mereka pikir dirinya tidak tahu. "Lanjutkan, aku yang akan menentukan ending dari kisah ini.""Asyik banget Leo sama Luna," seloroh Bu Yulia yang ganti menghampiri dan duduk di sebelah Kenny. Di bangku bawah pohon mangga dekat kolam renang."Iya, Tante. Mereka paling suka berenang.""Tumben Irma datang ke mari?" tanya wanita itu memandang Kenny. "Kan ada Agatha, Tan," jawab Kenny santai. Menutu
Suasana di makam hening sehabis gerimis. Selain Alan dan Livia, hanya ada dua orang yang tengah berziarah. Juru kunci juga tidak tampak di sana. Warung kecil di depan makam, tempat biasa seorang ibu tua menjual bunga juga tertutup rapat.Wangi bunga Kamboja yang basah menguar ke mana-mana berbaur dengan aroma tanah. Tetes sisa gerimis luruh dari dedaunan. Mereka dengan khusuk membacakan doa. Masa-masa kebersamaan terbayang di benak Livia. Ibu, Mbak Selvi. Jadi sedih. Padahal dia juga mau memberitahu pada mereka kalau dirinya sedang hamil. Tapi tidak tega pada sang kakak. Selvia pasti sangat cemburu melihatnya hamil anak Alan. 'Livia, apa hubungannya dengan semua yang kamu pikirkan. Mereka sudah selesai hidup di dunia. Alam sudah berbeda, kan?'Livia memandang sang suami yang masih khusuk berdoa. 'Dia berdoa apa untuk Mbak Selvi?' Apa suaminya itu juga bilang rindu seperti yang ia katakan tadi?Ternyata tidak hanya insan yang masih hidup saja bisa dicemburui. Buktinya Livia cemburu p
RAHASIA TIGA HATI - Terungkap "Ya, Pak Eko?""Hari ini berkas sudah saya masukkan ke pengadilan, Mas Bre. Tinggal menunggu panggilan sidang pertama.""Makasih, Pak Eko. Saya tunggu kabar selanjutnya.""Siap. Saya hanya ngabari itu saja.""Oke."Bre meletakkan ponsel di jok sebelahnya. Menarik napas dalam-dalam sambil melihat langit yang kian kelabu.Apapun yang terjadi ke depan, ia sudah siap menghadapi. Sekalipun Agatha mengancam hendak mengakhiri hidup kalau Bre menceraikannya. Agatha tidak mungkin melakukan hal itu. Dia terlalu cinta dunia.Sengaja dia mencari pengacara lain, bukan pengacara keluarga yang menangani perceraiannya dengan Livia dulu. Biar rencananya berjalan mulus tanpa dicampuri bahkan dijegal oleh mamanya.Ini kali kedua dia akan duduk di depan majelis hakim sebagai penggugat untuk kasus perceraian. Sangat menyedihkan. Kasus pertama dia melepaskan kebahagiaannya, kasus yang sekarang ini dilakukan Bre untuk mencari kebahagiaan.Tidak pernah mengira kalau pada akhir
Ketika hendak keluar butik, Bre masih sempat menoleh ke arah Alan dan Livia. Saat itu pas kebetulan Alan menoleh ke arahnya. Mereka saling memberikan tatapan tajam, lalu Bre melangkah cepat meninggalkan butik.Alan memang sengaja melindungi Livia dengan badannya supaya tidak melihat Bre. Wanita itu sudah memilih dua baju di tangannya yang kira-kira bisa ia pakai sampai kehamilannya membesar nanti. Surabaya sangat panas, ia butuh pakaian itu untuk menghindari gerah. Toh tidak ada sesiapa kecuali mereka berdua di rumah. Livia bisa bebas mengenakannya."Sudah ini saja, Mas." Livia menunjukkan baju warna hijau mint dan merah merona."Oke, kita bayar sekarang."Mereka pergi ke kasir. Setelah itu Alan mengajak Livia ke foodcourt untuk makan malam baru kembali ke rumah. Rencana pulang awal pun, sampai rumah tetap malam juga. Harus sabar meladeni wanita hamil yang banyak maunya. Sementara Bre masih terjebak dalam kemacetan. Seperti hatinya yang stuck di tempat. Baginya definisi waktu tidak b
"Aku pergi dulu, Mbak!" Bre bangkit dari duduknya dan melangkah keluar.Iparnya sudah memberitahu, tapi Kenny tetap bungkam. Ia tidak akan memberitahu siapapun sampai surat panggilan persidangan keluar. Beberapa langkah sudah ia lakukan dengan lancar. Termasuk memberitahu kedua orang tuanya. Mereka terkejut dan ibunya menangis. Setelah tahu alasan serta bukti yang ditunjukkan Kenny, mereka tidak melarang atau mendukung bercerai. Apapun keputusan Kenny, mereka tetap memberikan support.***L***Bu Ita diam menunduk mendengar serangkaian pertanyaan dari Bre tentang masa lalu kedua orang tuanya. Saat itu mereka sudah duduk di bangku logam terminal kedatangan. Karena cuaca buruk, pesawat delay hingga menunggu sampai cuaca dinyatakan aman untuk penerbangan.Bre memanfaatkan keadaan itu. Ia sampai bersumpah untuk menyakinkan sang tante, bahwa informasi darinya akan aman. Jadi tidak akan merusak hubungan persaudaraan antara Bu Ita dan Bu Rika."Papamu dan Jeng Fitri memang sudah pacaran lama