"Jadi kita nungguin Azalea disini nih?"
"Iya tungguin aja." Tyo menjawab pertanyaan Jeff yang sudah berapa kali menanyakan hal yang sama. Pasalnya Jeff protes karena belum tentu mereka mengenali wajah Azalea dalam sekali tatap. Selembar profil milik Azalea belum bisa dijadikannya sebagai patokan.
"Ingat, namanya Larasati, bukan Azalea." Dean menepuk paha Jeff yang duduk di sampingnya.
"Oke, jadi strategi kita apa nih?"
"Strategi apa?"
"Ya pertemuan awal tuh harus berkesan kan?"
"Menurut saya kita jangan terlalu kentara kalau tujuan kita disini untuk mendekati dia."
"Nah, pinter si Tyo. Semua ngalir aja Jeff. Kok lu ribet banget pake strategi segala."
"Kita juga kan harus tau dia itu orangnya gimana.. Nah dari pertemuan awal kita bisa tau langkah apa yang bisa kita ambil selanjutnya. Lo bedua sih jomblo, gak tau gimana cara deketin cewek. Udah pokoknya lo bedua ikut saran gue deh."
"Yaudah strateginya gimana Bambang?" tanya Dean tak sabar.
"Posisikan diri lo untuk terlihat oleh Azalea tanpa lo perlu memperkenalkan diri secara langsung. Ntar pas kita di kantor baru deh tu kenalan, jadi kayak ada semacam takdir yang menghubungkan bahwa kita dipertemukan lagi secara tidak sengaja."
"Takdir mbah mu!"
"Ye lo kalau dikasih tau suka ngeyel."
"Itu dia."
Ucapan singkat Tyo mampu mencuri fokus Jeff dan Dean yang tadinya hampir bertengkar. Mereka yang sedari tadi duduk di ruang tunggu lobby langsung memerhatikan seorang gadis yang baru saja masuk lewat pintu otomatis dengan setelan kerja warna peach yang sangat cocok dengan kulit putihnya. Rambutnya melewati bahu dengan sedikit gelombang dibagian bawah sangat cocok dengan wajah manisnya.
"Anjir, lebih cakep aslinya." ujar Dean pelan, untung saja tak terdengar oleh kedua temannya yang juga sedang terdiam.
"Ehem, fokus sama tujuan kita." Tyo yang pertama sadar akan situasi segera mengintrupsi.
"Oke, nih kalian liat ya gimana caranya gue narik perhatian dia."
“Tunggu Jeff, lo yakin gak salah orang?”
“Nggak lah, yakin gue.”Jeff bangkit dari tempat duduknya, merapikan setelan jas kerjanya dan mengekor langkah gadis itu. Langkahnya mulai menyamakan langkah Laras hingga kaki jenjangnya mampu mendahuluinya. Dengan sengaja dia menjatuhkan beberapa lembar file kerjaan yang sedari tadi ditentengnya.
"Mas, ini berkasnya jatuh." seru seorang cewek.
Jeff berbalik dengan senyum tampan yang tak perlu sebuah usaha baginya untuk dipamerkan, mungkin memang sudah dari orok lelaki ini dianugerahi wajah tampan.
Si cewek yang melihatnya langsung ingin berteriak tapi separuh tubuhnya meleleh tenggelam pada lesung pipi milik Jeff.
Sedangkan Jeff malah terkejut melihat orang yang mengambil berkasnya bukanlah Larasati melainkan mbak-mbak cleaning service yang kebetulan sedang lewat sambil memegang pel.
Jeff celingak celinguk mencari keberadaan Larasati yang ternyata dia berbelok ke arah coffee store dalam gedung kantor mereka. Sial, pikirnya.
Aksi gagal Jeff tentu saja jadi bahan tertawaan oleh Dean dan Tyo yang sedari tadi mengamati Jeff dari belakang. Dean sampai terpingkal sambil memegang perut, bahkan Tyo yang jarang tersenyum terlihat menahan tawa sambil pura-pura tak mengenal Jeff karena malu sendiri melihat tingkah lelaki itu.
"Gue duluan bro." Dean menepuk pundak Tyo dan segera berlalu ke arah coffee store. Dia segera menyusul Larasati setelah sadar akan kesempatan yang terbuang sia-sia oleh Jeffrian.
Dia lihat Larasati tengah mengantre di depan bar order dan dia segera berdiri di belakang gadis itu sebelum ada orang lain yang datang. Tinggi Larasati hanya setinggi dada bidang milik Dean hingga dia dapat melihat dengan jelas puncak kepala gadis itu yang kini tengah sibuk dengan ponselnya.
Saat satu orang di depan Laras menyelesaikan pesanannya, gadis itu hendak melangkahkan kakinya mendekati bar order tapi Dean dengan sengaja menyalip dan langsung memesan.
"Mas, ice americano satu." ucap lelaki pemilik senyum manis itu.
Di saat yang sama ponsel Larasati berdering tanda panggilan masuk hingga fokus gadis itu beralih sepenuhnya untuk menjawab panggilan telepon tersebut dan keluar dari barisan. Dia berbicara sebentar, tak lama dia pergi meninggalkan tempat itu tanpa sempat memesan kopi.
Dean yang memandanginya hanya bisa menarik napas dan melepaskannya kasar, sial gagal juga, pikirnya.
Sementara itu, Tyo tak ikut-ikutan untuk menjalankan aksi seperti teman-temannya. Dia memilih segera pergi ke kantor. Jadi kantor mereka yang baru ini berada dalam satu gedung yang di dalamnya terdapat beberapa perusahaan rintisan dan kantor yang dia tuju berada di lantai 7.
Beberapa kali dia gagal masuk ke dalam lift karena keadaan kantor sangat ramai saat pagi hari. Kebetulan lift yang satunya juga sedang dalam perbaikan hingga harus mengantre cukup lama untuk bergantian masuk ke dalam lift.
Tiba-tiba Larasati berjalan ke arahnya dan ikut menunggu di depan lift. Tyo mengamati pergerakan gadis itu yang terlihat beberapa kali mengamati jam tangan mungil miliknya. Akhirnya pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam dengan beberapa orang lainnya.
Laras hendak menekan angka 7 pada tombol lift tapi pergerakannya terhenti karena didahului oleh tangan Tyo yang juga menekan angka 7. Pintu lift yang hendak tertutup kembali terbuka karena ditahan oleh beberapa orang yang masuk rombongan membuat Tyo dan Laras terdorong ke belakang.
Karena lift yang cukup sesak seorang pria bertubuh besar menginjak kaki Tyo tanpa sadar karena dia sibuk bercerita dengan teman sebayanya sambil sesekali meneguk kopi di tangannya.
Tyo tak berbicara apa-apa, dia hanya menggigit bibirnya menahan rasa sakit. Tyo melirik ke arah kirinya karena sadar bahwa seseorang di sampingnya itu sedang meliriknya juga. Mata mereka bertemu beberapa detik sebelum keduanya mengalihkan pandangan satu sama lain.
"Maaf Pak, boleh tolong pencet nomor 10?" ujar Laras pada pria bertubuh besar itu. Lelaki itu menurut dan melepas kakinya pada kaki Tyo. Akhirnya Tyo bisa bernapas lega, sekali lagi diliriknya gadis itu. Bisa lihat bahwa Laras sedang mengulum senyum mungkin dia sadar bahwa kaki Tyo sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Akhirnya pintu lift terbuka di lantai 7, Tyo dan Laras keluar bersamaan. Tyo memperlambat langkah kakinya karena terlalu malu atas kejadian tadi. Dia sama sekali tak mengharapkan pertemuan seperti tadi.
"Morning baby!!!" sapa seorang lelaki menghampiri Laras.
"Emang hobi lo ya kalau gak bikin panik ya nyusahin."
"Hehe maaf ya Ras. Kalau gak ada lo, bisa mati berdiri gue pas presentasi nanti."
"Ini udah gue perbaikin semua."
"Thankyou baby, ntar gue traktir kopi ya babe." ujar lelaki itu sambil menggandeng lengan Larasati.
Tyo mengamati kedua orang itu yang berjalan masuk dan menghilang di balik pintu.
"Heh, dicariin taunya disini." sapa Dean tiba-tiba mengagetkan Tyo.
"Sial, apes banget gue hari ini." Jeff menyusul sambil memijat dahinya.
"Hahaha lu sih, drama banget Jeff. Kalau jadi ftv tu dikasih judul "Cintaku Kesambet Office Girl" ledek Dean membuat Jeff semakin cemberut. Pasalnya momen Jeff dan mbak office girl tadi tidak hanya sebatas itu saja, si mbak malah mimisan karena melihat Jeff dan akhirnya Jeff harus repot mengantarkannya ke ruang istirahat. Ada-ada saja emang.
“Maaf, apa benar ini dengan Pak Tyo, Pak Dean dan Pak Jeffrian?” tanya seorang lelaki secara sopan menyapa ketiganya.
“Iya benar.”
“Bapak-bapak semua dipanggil Pak Septa ke ruangannya.”
Mereka saling pandang seolah berkata, pekerjaan benar-benar sudah menunggu mereka. Maka disinilah garis start itu dimulai.
“Makasih kang.” “Sama-sama neng.” Setelah membayar ojek online yang dinaikinya, Laras masuk ke dalam gedung. Sebelum menuju kantornya seperti sebuah kebiasaan kakinya berbelok dahulu untuk membeli caramel macchiato sebagai santapan sarapannya. “Gue yang bayar. Janji gue kemaren.” seseorang menyenggol lengan Laras dan mengeluarkan kartu member dan selembar uang lima puluh ribuan. “Thank you.” balas Laras seraya tersenyum pada Yudha. “Mau rontok badan gue Ras.” eluh rekan kerjanya itu. “Kenapa?” “Yakan dua hari ini gue handle kerjaannya Cita.” “Ya gak apa lah, Yud. Itung-itung pahala.” “Dia sakit apaan sih?” “Gak tau, dia gak ada bilang gue.” Laras memencet tombol lift, mereka berdua datang cukup pagi sehingga lift tidak terlalu ramai. “Eh lu tau gak tiga orang karyawan yang datang semalem tuh ya katanya pegawai teladan di kantornya dulu, trus dipindahin ke sini karena bakal
“Pagi ceu”“Pagi neng Laras. Eh pagi-pagi udah datang. Dianter siapa neng?”“Naik mobil sendiri ceu. Haykal sama kakek kan udah disini dari tadi malam.”“Oh iya? Aduh eceu baru dateng jadi gak tau hehe.”“Saya masuk dulu, ceu.”“Mangga neng.”Laras melangkahkan kaki ke sebuah rumah bercat putih tulang dengan desain interior lama menghiasinya. Sebelum masuk akan terlihat plat kayu yang sudah usang bertuliskan Panti Asuhan Teras Singgah. Langkah Laras langsung menelusuri bilik-bilik kamar untuk menyapa anak-anak panti.“Teh Laraaasss..” sapa seorang anak laki-laki dengan bola di tangannya.“Loh pagi-pagi udah mau main bola? Sarapan dulu atuh.”“Iya teh, mau olahraga pagi biar sehat.”“Kita mau main sama a’ Ekal.” seru lelaki yang satunya lagi.“Udah beresin tempat tidur?”
“Beneran yang ini jalannya?”“Berdasarkan map yang saya lihat sih benar.”“Nama panti asuhannya apa Jeff?”“Bentar..Hmm Teras Singgah. Itu tuh.” ujar Jeffri dari bangku belakang seraya menunjuk papan nama bertuliskan nama panti asuhan yang mereka tuju.Akhirnya mereka sampai di tujuan dan hari sudah semakin siang. Jarak yang mereka tempuh memang cukup jauh karena panti asuhannya terletak di luar kota Bandung dan sudah menuju pedesaan. Mereka menghabiskan hampir dua jam untuk bisa sampai di tujuan, itu juga termasuk waktu bertanya-tanya pada warga sekitar agar tak salah jalan.Mereka pun memarkirkan mobil di luar pekarangan panti dan segera turun untuk melihat-lihat ke dalam. Suasana luar panti terlihat sepi, hanya ada satu orang penjaga yang sedang menyapu halaman.“Punten, ada yang bisa saya bantu?”“Siang pak, eh hmm.. kita kesini mau..”“Kita ada n
“Terimakasih Pak Jeffri.”“Sama-sama, Pak. Saya tunggu kabar baiknya.” jawab Jeffri sambil menjabat tangan kliennya.Jeffri membereskan berkas-berkasnya setelah memastikan kliennya sudah beranjak pergi. Dia menyesap kopinya yang sudah dingin dan juga berniat untuk kembali ke kantor. Namun dia mengurungkan niatnya saat melihat sosok gadis yang dikenalnya duduk di meja seberang, dia juga sedang meyakinkan seorang klien. Jeffri kembali membuka laptopnya dan berniat untuk duduk di café itu lebih lama.“Larass..” panggil Jeffri menghampiri gadis itu ketika memastikan dia sudah menyelesaikan meeting-nya.“Hey, selamat siang Pak Jeffri.”“Hahaha santai lah, meeting udah kelar juga. Gimana? Lancar?”“Hmm.. so far so good lah.”“Good job, toss dulu dong sesama tim marketing.” Laras membalas adu toss oleh Jeffri seraya tersenyum.“Udah makan?
“Teteh sama aa begadang nonton badminton lagi ya?”“Hehe iya kek.” jawab Haykal sambil mengucek matanya.“Pantes tidurnya bablas.”“Abisnya teh Laras ngajakin begadang.”“Kok jadi nyalahin teteh, nontonnya berdua juga. Lagian kamu tuh yang kebablasan subuh, teteh aja masih sempat masak.” sahut Laras menghampiri kakek dan Haykal yang berada di ruang makan. Dia membawa sebakul nasi goreng hangat yang harumnya membuat Haykal semakin lapar.“Ada tim Indonesia yang menang gak?”“Menang dong kek, jagoannya teteh menang.” kini Laras yang menjawab pertanyaan kakeknya seraya menuangkan nasi goreng ke piring.“Taufik Hidayat ya?”“Beuuh si kakek lawas banget. Jaman sekarang tuh ada Minions, The Daddies. Kalau penerus a taufik itu ada Anthony Ginting, Jonatan Christie…” jawab Haykal panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan
Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.“Astaga.. kaget gue.”Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.“Mau pulang?”Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.Tidak ada jawaban lagi, Tyo han
“Ras, lo belum cerita sama gue.”“Cerita apa?”“Itu loh, cowok yang kemaren jemput lo di kantor.”“Ojek?”“Dih, cowok keren naik pajero lo bilang ojek. Jahat lo.”“Oh yang itu.. lo yang jelas dong kalau ngomong. Kan emang gue seringan dijemput ojek. Cit, olive oil-nya mana?”“Itu di pojokan. Udah buru cerita, jangan ngalur ngidul lo.”“Itu mas Jhony.”“Siapa?”“Temen.”“Temen dari mana?”“Ketemu gak sengaja di perpus dekat panti, terus ngobrol.”“Udah jadian?”“Apaan sih lo, udah dibilang temen cit, temen.”“Yaelah, santai dong.”“Eh, lo ada parmesan gak?”“Gak ada, udah pake keju parut biasa aja.”Laras melanjutkan proses memasaknya, sedangkan Cita tengah sibuk mer
Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdayaMenahan rasa ingin jumpaaaPercayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulangMelepas semua kerinduan yang terpendam.. Yudha melantukan sepenggal lirik lagu Dewa dengan gitar di tangannya. Sementara yang lain hanya duduk tak bersemangat mendengarkan lagu yang tiap menit selalu berganti sesuka hati Yudha. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam dan belum ada yang beranjak dari rumah Cita. Masih terlalu cepat untuk pulang bagi mereka. Jadi mereka hanya menghabiskannya dengan tidak melakukan suatu hal yang pasti. “Yud, diem deh lo. Mending Laras yang nyanyi deh.” “Oke.. oke santai dong. Kan tadi pemanasan dulu. Larasati.. one two three.. Here we go..” Yudha memetik gitarnya kembali melantunkan sebuah intro lagu yang sudah bisa ditebak oleh Laras. You don't know, babeWhen you hold meAnd kiss me slowlyIt's the sweetest thing And it don't changeIf
Jeffri memandangi jalanan dari balik kaca mobil dengan tatapan kosong. Di luar terlihat semakin mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Bersamaan dengan itu, hatinya juga tak kalah mendung. Dia kepikiran dengan ucapan Haykal dan tingkah Tyo tadi pagi. Ditambah lagi saat di kantor tadi Laras menanyakan ketidakhadiran Tyo di kantor. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka kemarin?Semakin dipikirkan, Jeffri semakin kesal. Kemudian tangannya refleks mematikan pemutar musik di mobil membuat seseorang di balik kemudi marah.“Kok dimatiin sih?” ujar Dean kesal.“Berisik! Lo bisa gak satu hari aja gak usah dengerin lagu. Lama-lama tua gue dengerin lagu lo mulu.” ucap Jeffri kesal. Pasalnya hampir tiap hari dia turut mendengarkan lantunan tembang kenangan kesukaan Dean, baik di rumah ataupun di mobil.“Dih, mobil gue kok lo yang repot.”“Sehari aja De. Kepala gue lagi pusing nih.”“Kepal
“Apa kabar a’ Tyo?” ujar Haykal tepat saat Laras menghilang di balik pintu.“Baik, kamu gimana?” jawab Tyo seraya membalas jabatan tanda akrab mereka.“Hmm… yaa begitulaah. Eh iya, sorry ya kalau aku ganggu momen beduaan tadi. Udah nungguin tadi sampai pegel. Lama banget pelukannya.” ucap Haykal seraya menyenggol lengan Tyo membuat lelaki itu malu tak mampu menjawab.“A’ Tyo udah lama jadian sama teh Laras?” tanya Haykal yang nyaris membuatnya tercekat.“Hah? Hmm.. ini tidak seperti yang kamu pikirkan Haykal.” ujar Tyo tergagu.“Aahh.. jadi bisanya cuma ngasih bahu doang tapi gak bisa ngasih kepastian.” ledek Haykal yang semakin membuat wajah Tyo memerah. Anak lelaki itu memang paling bisa menggoda Tyo pasal beginian.“A’ bagi rokok dong.” ujar Haykal lagi. Spontan Tyo merogoh saku celananya sampai akhirnya terhenti.“Kam
Tyo mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir yang diam dan menarik napasnya panjang berkali-kali. Mungkin sudah sekitar 10 menit lalu dia berdiam diri sejak memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Laras tapi tak kunjung turun. Jika dilihat dari luar, cahaya rumah itu masih menyala menandakan sang empunya masih terjaga disana. Tapi entah kenapa Tyo masih masih enggan untuk turun dan mengetuk pintu rumah tersebut. Dia menghitung dalam hati dan akhirnya dia memberanikan diri untuk turun. Tak lupa dia membawa bungkusan bubur ayam yang dibelinya di perjalanan. Dia melihat arlojinya menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit dan hanya berharap Laras memang belum tidur. Kedatangannya kesini bukan tanpa alasan. Sejak Jeffri menceritakan kejadian panti tempo hari dia belum sempat menanyakan bagaimana keadaan Laras. Mereka hanya bertemu di kantor dan Tyo bisa melihat kegundahan di wajah ceria Laras. Senyum khas yang biasa menghiasi wajah manisnya berubah bak langit mendung tak bercahaya.
Laras terburu dengan langkahnya saat keluar dari lobby kantor dan langsung naik ke ojek online yang sudah menunggunya. Terbesit dalam hatinya rasa tak enak saat menolak ajakan Cita tadi untuk makan bersama. Tapi mau bagaimana lagi, Laras benar-benar tak ingin menunda pertemuan ini. Beberapa hari ini kepalanya penuh memikirkan bagaimana cara menyelamatkan panti asuhan kakeknya dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.Motor yang dia tumpangi berhenti di salah satu coffee shop dan Laras langsung turun, tentu saja setelah membayar tukang ojek tersebut. Saat memasuki tempat itu, Laras langsung menemukan sosok yang ingin dijumpainya. Tampak seorang lelaki yang tengah duduk santai menyeruput secangkir kopi dan menyambut kedatangan Laras dengan senyum tipis menghiasinya. Sayangnya, senyum itu tampak tak lagi tulus bagi Laras. Bahkan sampai detik ini dia masih tak percaya, bahwa lelaki ini yang mampu membuat Laras kagum dengan sikap dermawan dan ketulusannya. Laras suda
“Ras, makan ayam gepuk yuk. Kangen gue, udah lama nih.” ujar Cita seraya menggandeng lengan sahabatnya mengikuti langkah Laras keluar ruangan kantor, “Sekalian ada yang mau gue ceritain.” sambung Cita lagi saat melihat tak ada jawaban dari Laras. Mumpung tidak ada jatah lembur dan mereka bisa pulang sore, Cita ingin sekali makan ayam gepuk sebelum pulang ke rumah. “Ras..” panggil Cita menggoyangkan lengan Laras, entah sudah berapa kali dalam hari ini Cita mendapati Laras sedang melamun. “Hoi, Laras.” “Kenapa Cit?” tanya Laras bingung, dia benar-benar sedang tidak fokus. “Makan ayam gepuk ayo. Gue laper.” ajak Cita lagi. “Yuk yuk! Ayam gepuk Pak Gendut ya. Gue yang traktir.” sahut Yudha tiba-tiba muncul menghampiri mereka berdua. “Lo makan berdua aja ya, gue ada urusan.” jawab Laras membuat Yudha dan Cita saling tatap. Belum saja keduanya menahan Laras, gadis itu terlihat memburu langkahnya dan masuk duluan ke dalam lift meninggalkan Yu
Laras segera beranjak dari tempat duduknya tapi langkahnya terhenti saat memasuki ruang tamu panti. Terlihat kakeknya duduk di sana bersama beberapa orang. Kakinya ingin sekali melangkah, tapi menyela pembicaraan orang bukanlah etika yang baik seperti yang selama ini diajarkan oleh kakeknya. Sehingga dia memilih untuk mematung sambil mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan.“Maaf, saya tidak bisa.” ucap kakek lirih.“Tapi Pak Bram, keputusan bukan ada di tangan bapak. Kami sudah sepakat untuk menjual tanah ini.”Tubuh Laras semakin membeku mendengar ucapan dari wanita yang duduk di depan kakeknya. Wajahnya tak asing bagi Laras, tapi dia tak bisa mengingat siapa wanita itu. Satu lagi yang tak asing bagi Laras, punggung seseorang yang tampak duduk membelakanginya. Pemilik bahu lebar yang tengah berbicara pada orang di sampingnya, kini menampaknya separuh wajahnya yang memang benar-benar sangat dikenal Laras.“Bagaimana Pa
Laras melihat jam tangannya dan segera membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dari ruangan kantor menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya sebelum pergi untuk menemui klien. “Pas banget, sini Ras, duduk!” ucap seseorang yang dia temui di dalam pantry. “Lo dari tadi disini? Gue pikir meeting.” jawab Laras sembari mengambil air mineral dari dispenser yang tersedia di pojok. Kemudian dia langsung duduk di kursi tepat di hadapan lelaki dengan secangkir kopi di tangannya. “Gue lagi pusing.” ucap Yudha. “Laporan lo direvisi lagi ya?” tanya Laras yang langsung dijawab dengan gelengan Yudha. “Jadi?” tanya Laras lagi. “Cita gak ada cerita apa-apa ke lo?” “Cerita apaan?” “Cerita gue gitu?” tanya Yudha menurunkan nada bicaranya. Laras hanya menggeleng karena tidak paham maksud rekan kerjanya itu. “Gue abis confess ke Cita kemarin.” sambung Yudha membuat bola mata Laras membesar karena bersemangat. “Ser
Jhony dan Laras sudah kembali ke tempat api unggun yang dibuat di tengah-tengah tenda yang berkeliling rapi. Anak-anak panti memang sengaja disuruh tidur dan mereka tidak tahu akan ada acara jelajah malam karena kegiatan ini memang puncak acaranya. Mereka akan dibangunkan lepas tengah malam nanti dan harus menyelesaikan sebuah misi walau dalam keadaan mengantuk. Disitulah keberanian, ketangkasan, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari satu harian tadi diuji. Cita tampak sedang berdiskusi dengan Dara dan Yudha, di seberangnya terdapat Dean yang duduk memeluk kakinya sambil bersenandung pelan ditemani alunan gitar yang dimainkan Tyo. Pemandangan itu langsung menarik perhatian Laras dan berniat untuk bergabung sebelum sebuah interupsi datang. “Guys, kumpul sini. Kita briefing dulu.” titah Cita meminta atensi para panitia. “Laras, kemana aja sih gue cariin.” tiba-tiba Jeffri muncul dengan napas terengah. “Tadi kesana sebentar, lo dari mana?” ta
Pagi-pagi sekali anak-anak panti sudah berbaris di halaman. Bahkan matahari belum juga menunjukkan wujudnya tetapi mereka sudah berkumpul dengan semangat. Tidak ada terlihat wajah yang mengantuk, semua sibuk dengan tas bawaannya dan mengobrol sesama temannya menceritakan berbagai hal dengan senyum terpatri jelas di wajah mereka.“Anak-anak, ayo berbaris yang rapi. Danu dan Bima sebagai pemimpin barisan, siapkan barisannya masing-masing.” terdengar suara Laras memberi perintah dengan sebuah pengeras suara digenggamannya.“Barisan siap!” jawab Danu dan Bima serentak. Adik-adik panti yang akan mengikuti kegiatan persami sudah berbaris rapi. Mereka mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atributnya karena acaranya nanti akan dibuka dengan upacara dan dilanjutkan dengan kegitan kepramukaan lainnya.Laras pun kembali mengambil alih barisan dan memberikan kata sambutan secara singkat sebagai pembuka kegiatan mereka. Saat ini mereka bersi