“Teteh sama aa begadang nonton badminton lagi ya?”
“Hehe iya kek.” jawab Haykal sambil mengucek matanya.
“Pantes tidurnya bablas.”
“Abisnya teh Laras ngajakin begadang.”
“Kok jadi nyalahin teteh, nontonnya berdua juga. Lagian kamu tuh yang kebablasan subuh, teteh aja masih sempat masak.” sahut Laras menghampiri kakek dan Haykal yang berada di ruang makan. Dia membawa sebakul nasi goreng hangat yang harumnya membuat Haykal semakin lapar.
“Ada tim Indonesia yang menang gak?”
“Menang dong kek, jagoannya teteh menang.” kini Laras yang menjawab pertanyaan kakeknya seraya menuangkan nasi goreng ke piring.
“Taufik Hidayat ya?”
“Beuuh si kakek lawas banget. Jaman sekarang tuh ada Minions, The Daddies. Kalau penerus a taufik itu ada Anthony Ginting, Jonatan Christie…” jawab Haykal panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan senyum si kakek.
“Ya abisnya kakek cuma taunya itu. Nama yang lain susah-susah.” si kakek terkekeh. Sudah tak heran lagi bagi sang kakek untuk melihat Haykal dan Laras yang kerap kali menonton pertandingan badminton kesayangan mereka. Saat Laras kecil, kakeknya sering menitipkan Laras di panti dan terkadang tidur disana karena sang kakek harus mengajar di kampus. Televisi di panti hanya bisa menampilkan satu siaran saja yang sering kali menayangkan pertandingan bulutangkis. Oleh karena itu Laras dan Haykal sangat menyukai setiap pertandingan berlangsung.
“Kakek udah selesai? Ini obatnya kek.” Laras memberikan beberapa pil obat darah tinggi yang sudah menjadi konsumsi si kakek setiap hari.
“Kakek hari ini ke panti?” tanya Haykal.
“Iya.”
“Haykal antar ya.”
“Diantar mang Deden aja kek. Haykal masih ngantuk gitu.”
“Iya, diantar Deden aja nanti. Kamu jaga rumah.” jawab si kakek seraya bangkit dari tempatnya.
“Hati-hati ya kek.” ujar Haykal dan Laras serentak sambil mencium tangan kakek.
“Kamu kapan balik ke Jakarta?” tanya Laras, kini hanya tinggal mereka berdua yang ada di meja makan.
“Minggu depan teh.”
“Yakin gak mau bawa mobil? Kan lumayan kamu gak perlu capek-capek naik bus.”
“Nggak usah teh, lagian bisa-bisa dinyinyirin aku. Anak bidikmisi gegayaan bawa mobil.”
“Yakan kamu bisa jelasin kalau itu mobilnya teteh kamu.”
“Hmm.. orang-orang mana peduli. Lagian aku tuh udah bersyukur banget teh udah disediakan motor untuk aku bolak-balik kampus-kosan. Aku udah banyak banget ngerepotin teteh..”
“Hush, mulai deh. Kamu tuh gak pernah ngerepotin. Ngeselin sih sering.”
“Hehehe..” Haykal menyeringai.
“Pokoknya aku janji bakal kuliah yang bener, buat kakek dan teteh bangga. Pengen ngebuktiin kalau pendidikan itu penting dan juga ngebuktiin sama orang tua aku kalau mereka menyesal udah pernah menyia-nyiakan aku.” ucap Haykal dengan nada semakin merendah, tatapannya kosong menatap piringnya.
Laras mengelus pelan tangan lelaki yang sudah dianggap adiknya sendiri itu. Haykal memang satu-satunya anak panti yang melanjutkan kuliah, sedangkan anak-anak panti lain hanya sebatas SMA saja. Mereka memutuskan untuk merantau mencari pekerjaan atau ada juga yang memilih menikah yang ujungnya juga bekerja sebagai buruh atau petani.
Walaupun tingkahnya yang terkadang usil, Hakyal adalah anak yang cerdas. Sudah sejak kecil dia sering memenangkan berbagai perlombaan. Maka tidak heran Haykal berhasil mendapatkan beasiswa bidikmisi di salah satu universitas negeri di Jakarta. Oleh karena itu juga, kakek Bramasta sangat menyayangi anak lelaki itu.
“Makanya belajar yang rajin, jangan pacaran mulu.”
“Idiih, siapa yang pacaran?”
“Itu teteh sering lihat kamu senyum-senyum liat handphone, pasti chatingan sama cewek deh.”
“Sotoy euy si teteh, seharusnya aku tu yang nanya siapa pacar teteh sekarang? Cowok yang kemarin itu ya?”
“Yang mana?”
“Itu loh, cowok tinggi yang kemarin nganterin teteh ke panti trus ngobrol lamaaaa banget di depan pagar.”
“Mas Jhony?”
“Ciyee manggilnya mas.”
“Apaan sih, itu temen teteh.”
“Temen apa temeeen, kiw kiw.”
“Udah ah, ojek teteh udah dateng kayaknya.”
“Teteh kenapa gak mau pakai mobil lagi sih?”
Laras tak menjawab pertanyaan Haykal, dia bingung harus jujur apa tidak. Jika Laras cerita bahwa belakangan ini dia sering merasa diikuti oleh sebuah mobil, Haykal pasti akan cemas dan menceritakan hal itu pada kakeknya. Laras tak ingin membuat semua orang khawatir. Oleh karena itu Laras memilih naik ojek online, setidaknya dia tak merasa sendirian saat perjalanan pulang dari kantor ke rumah.
“Ee..em.. Lagi males aja.” jawabnya sebagai alasan. Alasan itu dapat diterima oleh sang kakek saat menanyainya beberapa hari lalu, tapi Haykal merasa ada yang disembunyikan oleh Laras terlihat dari alisnya yang beradu seolah sedang mengintrogasi Laras melalui tatapan.
“Udah ah, teteh berangkat ya. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
***
Larasati mengerjapkan matanya entah untuk keberapa kali, memastikan diri bahwa dia harus benar-benar sadar. Dia hampir saja menabrak pintu otomatis saat masuk tadi, oleh karena itu dia tidak ingin hal lebih buruk terjadi jika dia masih saja mengantuk.
“Caramel macchiato, kan?”
Larasati kembali mengerjap untuk memastikan siapa orang yang berbicara padanya.
“Dean?”
“Pesen kayak biasa?”
“Nggak, gue pengen espresso hari ini. Satu shot espresso ya mbak.” ucap Laras bergantian menjawab pertanyaan lelaki itu dan memesan kopinya.
“Apa saya bilang mas, mbak Laras selera kopinya gak tentu.” si pelayan menyahut sambil mencatat pesanan Laras pada layar komputernya.
“Hmmm.. oke deh.” jawab Dean sambil mengeluarkan uang untuk membayar kopi milik Laras.
“Eh, gak usah.” tolak Laras.
“Gak boleh nolak rezeki pagi-pagi.”
“Biar aja mbak, untung tadi belum jadi dipesanin duluan. Masnya dari tadi udah nungguin mbak loh disini.” si pelayan lagi-lagi menyahut.
“Emang iya?”
“Nggak lah, gue emang mau pesen kopi buat gue.”
Laras terkekeh pelan melihat gelagat Dean saat menampik ucapan si pelayan.
“Lo kurang tidur ya?”
“Hmm.. as you see.” jawab Laras sambil melihat kembali kantung matanya dari layar handphone. Laras memang tipikal orang yang sangat kentara saat dia kurang tidur, mata pandanya tidak bisa dibohongi. Untung aja ada alat make up ampuh bernama concealer, setidaknya dia bisa memudarkannya sedikit.
“Perasaan kemaren malam lo gak lembur.”
“Iya gak lembur, tapi gue begadang.”
“Ngapain?”
“Streaming badminton.” jawabnya santai.
“Hah?”
“Kenapa?”
“Gak apa, hmm..” jawab Dean singkat, dia hanya bingung menyambung obrolan karena dia bukan pecinta tayangan olahraga.
“Gue pikir lo gak suka kopi pahit.” ujar Dean seraya mengambil pesanan kopi milik Laras yang sudah selesai disajikan sang barista. Bukan tanpa alasan dia berkata hal tersebut, diam-diam dia mengamati apa yang dipesan Laras dan itu tidak jauh-jauh dari caramel macchiato atau latte.
“Suka kok, tergantung mood.”
“Emang ngaruh ya?” Dean menyesap Americano miliknya sambil melirik Laras.
“Ngaruh lah, kalau gue ngerasa hidup gue lagi pahit gue butuh asupan yang manis-manis …..”
“Berarti hari ini hidup lo lagi manis dong makanya pesen yang pahit.”
“Iya manis karena pagi-pagi gue ketemu sama lo.” jawab Laras seraya tersenyum dan menghantukkan cup kopinya pada kopi milik Dean membuat satu sentuhan tangan Laras mendarat di tangannya. Hal itu membuat Dean mematung dan merasa seperti ada yang menggelitik di perutnya. Jantungnya berdegup tak seperti biasanya, apa ini efek kopi yang terlalu banyak dia minum? Entahlah.
“Thanks kopinya, kapan-kapan gue yang traktir.” ucapan Laras membuyarkan lamunan Dean. Dia segera mengejar langkah Laras yang sudah duluan berjalan untuk meninggalkan tempat itu.
“Laraasss!!” panggil seseorang dari arah pintu otomatis menghampiri Dean dan Laras yang sedang memindai ID card karyawan milik mereka.
“Yudhaaa..” jawab Laras sama semangatnya dengan Yudha. Sepertinya suasana hati Laras benar-benar sedang bahagia hari ini.
“Gokiiilll, The Daddies menang ada yang happy nih.”
“Iya dong, 2 set aja kelar. Semoga sampe final.”
“Kalau menang di final jangan lupa traktir gue.”
“Gampang itu.”
Kini Yudha dengan semangatnya menceritakan Nozomi Okuhara, sang atlet Jepang kesayangannya. Yudha dan Laras memang sama-sama penonton setia badminton. Sebenarnya Yudha adalah pecinta sepak bola, awalnya dia ikut-ikutan nonton badminton karena Laras sering curi-curi waktu streaming saat bekerja. Lama-lama dia jadi ikutan. Mereka berjalan menuju kantor dengan pembahasan yang sama sekali tak dimengerti Dean. Tetapi dia sangat menikmati pemandangan saat Laras berbicara dengan nada semangat dan diselingi tawa. Hal itu membuat perutnya kembali tergelitik.
Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.“Astaga.. kaget gue.”Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.“Mau pulang?”Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.Tidak ada jawaban lagi, Tyo han
“Ras, lo belum cerita sama gue.”“Cerita apa?”“Itu loh, cowok yang kemaren jemput lo di kantor.”“Ojek?”“Dih, cowok keren naik pajero lo bilang ojek. Jahat lo.”“Oh yang itu.. lo yang jelas dong kalau ngomong. Kan emang gue seringan dijemput ojek. Cit, olive oil-nya mana?”“Itu di pojokan. Udah buru cerita, jangan ngalur ngidul lo.”“Itu mas Jhony.”“Siapa?”“Temen.”“Temen dari mana?”“Ketemu gak sengaja di perpus dekat panti, terus ngobrol.”“Udah jadian?”“Apaan sih lo, udah dibilang temen cit, temen.”“Yaelah, santai dong.”“Eh, lo ada parmesan gak?”“Gak ada, udah pake keju parut biasa aja.”Laras melanjutkan proses memasaknya, sedangkan Cita tengah sibuk mer
Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdayaMenahan rasa ingin jumpaaaPercayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulangMelepas semua kerinduan yang terpendam.. Yudha melantukan sepenggal lirik lagu Dewa dengan gitar di tangannya. Sementara yang lain hanya duduk tak bersemangat mendengarkan lagu yang tiap menit selalu berganti sesuka hati Yudha. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam dan belum ada yang beranjak dari rumah Cita. Masih terlalu cepat untuk pulang bagi mereka. Jadi mereka hanya menghabiskannya dengan tidak melakukan suatu hal yang pasti. “Yud, diem deh lo. Mending Laras yang nyanyi deh.” “Oke.. oke santai dong. Kan tadi pemanasan dulu. Larasati.. one two three.. Here we go..” Yudha memetik gitarnya kembali melantunkan sebuah intro lagu yang sudah bisa ditebak oleh Laras. You don't know, babeWhen you hold meAnd kiss me slowlyIt's the sweetest thing And it don't changeIf
“Pagi Yudh.”“Pagi…” jawabnya pelan.“Lemas banget, semangat dong. Senin nih.”“Justru itu, mager bangeet gue.” jawab Yudha dengan dagu masih menempel di meja kerjanya dan mata yang masih terpejam. Laras terkekeh dengan tingkah temannya itu, walaupun Yudha terlihat sangat mengantuk dan tidak bersemangat, lelaki itu paling sering datang pagi. Hal itu cukup menunjukkan keprofesionalan Yudha dalam bekerja.Laras menghampiri meja kerjanya yang berada di samping Yudha, dia segera meletakkan tasnya dan menghidupkan monitor komputernya. Dirapikannya meja kantor yang sedikit berantakan dan sebuah kotak kecil berwarna coklat menarik perhatiannya.“To Larasati.” tertulis di kotak tersebut. Sebelum membukanya Laras berpikir sejenak dan menggoyangkan kotak mencoba menebak isi kotak tersebut. Perasaan ini bukan hari ulang tahunnya, kotak apa ini, siapa pengirimnya dan apakah kotak ini a
Laras segera turun dari motor dan membayar ojeknya. Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, Laras hanya tak ingin diikuti sampai ke rumah. Dia melangkahkan kakinya ke minimarket depan gang, membeli beberapa barang yang tak diperlunya karena dia hanya ingin menunggu disana. Dari balik kaca minimarket Laras mengamati apakah ada mobil yang berhenti atau tidak. Sebenarnya Laras juga tidak tahu betul apakah dia benar-benar diikuti apa dia hanya parno karena pikirannya hari ini sedang kacau.Tapi dia benar-benar sudah muak diikuti seperti ini dan ingin mencari tahu apa modus mereka. Selama ini Laras merasa tidak punya permasalahan dengan siapapun, tapi jika memang ada hal yang tidak beres, Laras benar-benar ingin menyelesaikannya.Merasa tidak ada orang yang mencurigakan, Laras menghela napas dan mencoba menenangkan pikirannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri gang untuk menuju rumah. Seketika dia menyesal karena memutuskan untuk tidak langsung pulang, lampu sepan
“Laras..” “Laras..” Panggil kakek berulang kali melihat cucu kesayangannya itu menatap kosong piring yang masih penuh dengan nasi. Laras melonjak kaget saat kakeknya mengetuk piring Laras dengan sendok. “Iya kek? Kakek mau nambah?” “Kamu kenapa melamun?” “Hah? Oh gak apa kek, mikirin kerjaan aja.” “Ada masalah di kantor?” “Bukan masalah gimana-mana kok kek.” jawabnya cepat sembari melahap sarapannya yang belum disentuh itu. “Hari ini kakek mau ke Jakarta ya.” “Loh ngapain kek?” “Pak Fahri meninggal dunia jam 1 pagi tadi.” “Innalillahi.. Pak Fahri yang donatur utama kita kek?” “Iya.” “Aku temenin ya kek.” “Gak usah, kamu kan kerja.” “Aku bisa izin kok kek.” “Gak usah Laras. Kakek bisa sendiri.” “Kek, please. Pak Fahri kan udah baik banget bantu kita selama ini. Aku ingin datang untuk memberikan belasungkawa pada keluarganya.” “Yaudah,
Jeffri melangkah gontai mengikuti langkah dua rekannya. Pagi ini dia terlihat sangat tidak bersemangat. Bahkan kopinya yang masih hangat belum dicicipinya sedikit pun.“Buruan woy.” ucap Dean dengan nada tertahan sambil menekan tombol lift menunggu Jeffri masuk. Rasanya ingin sekali Dean melemparkan tas kerjanya pada Jeff karena lelaki itu penyebab tertundanya orang-orang di lift untuk segera naik ke kantor mereka."Pagi Mas Jeffri." suara pertama yang terdengar ketika ketiganya memasuki ruangan kantor."Pagi" jawab sang pemilik nama dengan nada tak bersemangat."Mas Jeff pasti belum sarapan ya? Ini Rena ada buat sandwich, dimakan ya." ucap gadis itu sembari memberikan satu kotak bekal pada Jeffri."Thanks Ren, tapi gue lagi gak selera.""Dicoba dulu Mas. Enak kok." paksa Rena, sang sekretaris bosnya itu."Nih buat Dean aja." jawab Jeff memberikan kotak itu pada Dean."Dih, gak boleh gitu mas Jeffri. Rena ngasih bua
Dean mengetuk-ngetuk setir mobilnya, sesekali dia melihat arlojinya kemudian mengedarkan pandangan ke luar parkiran. Dean mengecek ponselnya tapi tak ada pesan masuk. Dia memang sedang menunggu seseorang, sebenarnya ini bukan acara kencan, tapi entah mengapa jantungnya berdegup karena gugup. Ya, perihal menunggu memanglah tidak enak. Saat melihat sosok yang ditunggunya, Dean menurunkan kaca mobil lalu memanggil orang tersebut untuk masuk. "Sorry, lama ya?" tanya Laras merasa tak enak pada Dean. "Gak apa. Dari ruangan Pak Septa ya?" "Iya, lo tau dia kalau ngerivisi sering diselingi dengan curhatan. Capek gue dengerinnya." "Hahaha bukannya abis tu lo jadi dapat bahan gibahan." "Cita Yudha tuh yang demen gibah, gue mah enggak." "Halah." "Ya ikut juga sih kadang. Eh ini kita berdua aja? Jeff sama Tyo mana?" "Nggak ikutlah, ngapain. Mereka juga gak ngerti musik." jawab Dean. Lelaki itu memang mengajak Laras pulang be
Jeffri memandangi jalanan dari balik kaca mobil dengan tatapan kosong. Di luar terlihat semakin mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Bersamaan dengan itu, hatinya juga tak kalah mendung. Dia kepikiran dengan ucapan Haykal dan tingkah Tyo tadi pagi. Ditambah lagi saat di kantor tadi Laras menanyakan ketidakhadiran Tyo di kantor. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka kemarin?Semakin dipikirkan, Jeffri semakin kesal. Kemudian tangannya refleks mematikan pemutar musik di mobil membuat seseorang di balik kemudi marah.“Kok dimatiin sih?” ujar Dean kesal.“Berisik! Lo bisa gak satu hari aja gak usah dengerin lagu. Lama-lama tua gue dengerin lagu lo mulu.” ucap Jeffri kesal. Pasalnya hampir tiap hari dia turut mendengarkan lantunan tembang kenangan kesukaan Dean, baik di rumah ataupun di mobil.“Dih, mobil gue kok lo yang repot.”“Sehari aja De. Kepala gue lagi pusing nih.”“Kepal
“Apa kabar a’ Tyo?” ujar Haykal tepat saat Laras menghilang di balik pintu.“Baik, kamu gimana?” jawab Tyo seraya membalas jabatan tanda akrab mereka.“Hmm… yaa begitulaah. Eh iya, sorry ya kalau aku ganggu momen beduaan tadi. Udah nungguin tadi sampai pegel. Lama banget pelukannya.” ucap Haykal seraya menyenggol lengan Tyo membuat lelaki itu malu tak mampu menjawab.“A’ Tyo udah lama jadian sama teh Laras?” tanya Haykal yang nyaris membuatnya tercekat.“Hah? Hmm.. ini tidak seperti yang kamu pikirkan Haykal.” ujar Tyo tergagu.“Aahh.. jadi bisanya cuma ngasih bahu doang tapi gak bisa ngasih kepastian.” ledek Haykal yang semakin membuat wajah Tyo memerah. Anak lelaki itu memang paling bisa menggoda Tyo pasal beginian.“A’ bagi rokok dong.” ujar Haykal lagi. Spontan Tyo merogoh saku celananya sampai akhirnya terhenti.“Kam
Tyo mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir yang diam dan menarik napasnya panjang berkali-kali. Mungkin sudah sekitar 10 menit lalu dia berdiam diri sejak memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Laras tapi tak kunjung turun. Jika dilihat dari luar, cahaya rumah itu masih menyala menandakan sang empunya masih terjaga disana. Tapi entah kenapa Tyo masih masih enggan untuk turun dan mengetuk pintu rumah tersebut. Dia menghitung dalam hati dan akhirnya dia memberanikan diri untuk turun. Tak lupa dia membawa bungkusan bubur ayam yang dibelinya di perjalanan. Dia melihat arlojinya menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit dan hanya berharap Laras memang belum tidur. Kedatangannya kesini bukan tanpa alasan. Sejak Jeffri menceritakan kejadian panti tempo hari dia belum sempat menanyakan bagaimana keadaan Laras. Mereka hanya bertemu di kantor dan Tyo bisa melihat kegundahan di wajah ceria Laras. Senyum khas yang biasa menghiasi wajah manisnya berubah bak langit mendung tak bercahaya.
Laras terburu dengan langkahnya saat keluar dari lobby kantor dan langsung naik ke ojek online yang sudah menunggunya. Terbesit dalam hatinya rasa tak enak saat menolak ajakan Cita tadi untuk makan bersama. Tapi mau bagaimana lagi, Laras benar-benar tak ingin menunda pertemuan ini. Beberapa hari ini kepalanya penuh memikirkan bagaimana cara menyelamatkan panti asuhan kakeknya dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.Motor yang dia tumpangi berhenti di salah satu coffee shop dan Laras langsung turun, tentu saja setelah membayar tukang ojek tersebut. Saat memasuki tempat itu, Laras langsung menemukan sosok yang ingin dijumpainya. Tampak seorang lelaki yang tengah duduk santai menyeruput secangkir kopi dan menyambut kedatangan Laras dengan senyum tipis menghiasinya. Sayangnya, senyum itu tampak tak lagi tulus bagi Laras. Bahkan sampai detik ini dia masih tak percaya, bahwa lelaki ini yang mampu membuat Laras kagum dengan sikap dermawan dan ketulusannya. Laras suda
“Ras, makan ayam gepuk yuk. Kangen gue, udah lama nih.” ujar Cita seraya menggandeng lengan sahabatnya mengikuti langkah Laras keluar ruangan kantor, “Sekalian ada yang mau gue ceritain.” sambung Cita lagi saat melihat tak ada jawaban dari Laras. Mumpung tidak ada jatah lembur dan mereka bisa pulang sore, Cita ingin sekali makan ayam gepuk sebelum pulang ke rumah. “Ras..” panggil Cita menggoyangkan lengan Laras, entah sudah berapa kali dalam hari ini Cita mendapati Laras sedang melamun. “Hoi, Laras.” “Kenapa Cit?” tanya Laras bingung, dia benar-benar sedang tidak fokus. “Makan ayam gepuk ayo. Gue laper.” ajak Cita lagi. “Yuk yuk! Ayam gepuk Pak Gendut ya. Gue yang traktir.” sahut Yudha tiba-tiba muncul menghampiri mereka berdua. “Lo makan berdua aja ya, gue ada urusan.” jawab Laras membuat Yudha dan Cita saling tatap. Belum saja keduanya menahan Laras, gadis itu terlihat memburu langkahnya dan masuk duluan ke dalam lift meninggalkan Yu
Laras segera beranjak dari tempat duduknya tapi langkahnya terhenti saat memasuki ruang tamu panti. Terlihat kakeknya duduk di sana bersama beberapa orang. Kakinya ingin sekali melangkah, tapi menyela pembicaraan orang bukanlah etika yang baik seperti yang selama ini diajarkan oleh kakeknya. Sehingga dia memilih untuk mematung sambil mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan.“Maaf, saya tidak bisa.” ucap kakek lirih.“Tapi Pak Bram, keputusan bukan ada di tangan bapak. Kami sudah sepakat untuk menjual tanah ini.”Tubuh Laras semakin membeku mendengar ucapan dari wanita yang duduk di depan kakeknya. Wajahnya tak asing bagi Laras, tapi dia tak bisa mengingat siapa wanita itu. Satu lagi yang tak asing bagi Laras, punggung seseorang yang tampak duduk membelakanginya. Pemilik bahu lebar yang tengah berbicara pada orang di sampingnya, kini menampaknya separuh wajahnya yang memang benar-benar sangat dikenal Laras.“Bagaimana Pa
Laras melihat jam tangannya dan segera membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dari ruangan kantor menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya sebelum pergi untuk menemui klien. “Pas banget, sini Ras, duduk!” ucap seseorang yang dia temui di dalam pantry. “Lo dari tadi disini? Gue pikir meeting.” jawab Laras sembari mengambil air mineral dari dispenser yang tersedia di pojok. Kemudian dia langsung duduk di kursi tepat di hadapan lelaki dengan secangkir kopi di tangannya. “Gue lagi pusing.” ucap Yudha. “Laporan lo direvisi lagi ya?” tanya Laras yang langsung dijawab dengan gelengan Yudha. “Jadi?” tanya Laras lagi. “Cita gak ada cerita apa-apa ke lo?” “Cerita apaan?” “Cerita gue gitu?” tanya Yudha menurunkan nada bicaranya. Laras hanya menggeleng karena tidak paham maksud rekan kerjanya itu. “Gue abis confess ke Cita kemarin.” sambung Yudha membuat bola mata Laras membesar karena bersemangat. “Ser
Jhony dan Laras sudah kembali ke tempat api unggun yang dibuat di tengah-tengah tenda yang berkeliling rapi. Anak-anak panti memang sengaja disuruh tidur dan mereka tidak tahu akan ada acara jelajah malam karena kegiatan ini memang puncak acaranya. Mereka akan dibangunkan lepas tengah malam nanti dan harus menyelesaikan sebuah misi walau dalam keadaan mengantuk. Disitulah keberanian, ketangkasan, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari satu harian tadi diuji. Cita tampak sedang berdiskusi dengan Dara dan Yudha, di seberangnya terdapat Dean yang duduk memeluk kakinya sambil bersenandung pelan ditemani alunan gitar yang dimainkan Tyo. Pemandangan itu langsung menarik perhatian Laras dan berniat untuk bergabung sebelum sebuah interupsi datang. “Guys, kumpul sini. Kita briefing dulu.” titah Cita meminta atensi para panitia. “Laras, kemana aja sih gue cariin.” tiba-tiba Jeffri muncul dengan napas terengah. “Tadi kesana sebentar, lo dari mana?” ta
Pagi-pagi sekali anak-anak panti sudah berbaris di halaman. Bahkan matahari belum juga menunjukkan wujudnya tetapi mereka sudah berkumpul dengan semangat. Tidak ada terlihat wajah yang mengantuk, semua sibuk dengan tas bawaannya dan mengobrol sesama temannya menceritakan berbagai hal dengan senyum terpatri jelas di wajah mereka.“Anak-anak, ayo berbaris yang rapi. Danu dan Bima sebagai pemimpin barisan, siapkan barisannya masing-masing.” terdengar suara Laras memberi perintah dengan sebuah pengeras suara digenggamannya.“Barisan siap!” jawab Danu dan Bima serentak. Adik-adik panti yang akan mengikuti kegiatan persami sudah berbaris rapi. Mereka mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atributnya karena acaranya nanti akan dibuka dengan upacara dan dilanjutkan dengan kegitan kepramukaan lainnya.Laras pun kembali mengambil alih barisan dan memberikan kata sambutan secara singkat sebagai pembuka kegiatan mereka. Saat ini mereka bersi