Home / Romansa / Puzzle Piece / Buah Kebaikan

Share

Buah Kebaikan

Author: fisyhrn
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.

“Astaga.. kaget gue.”

Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.

“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”

“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.

“Mau pulang?”

Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.

“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.

“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.

Tidak ada jawaban lagi, Tyo hanya mengekori Laras yang hendak masuk lift dan turun ke lobby.

“Jangan mengerjakan pekerjaan berlebihan, kamu harus tau batasan kamu.”

“Maksudnya?”

“Kamu tidak perlu menuruti mereka hanya karena mereka minta tolong. Kamu tidak akan terlihat buruk hanya karena menolak permintaan mereka. Karena pada dasarnya itu bukan kewajiban kamu.”

Laras melirik lelaki itu karena tiba-tiba dia mengoceh hal yang tidak Laras pahami. Apa ini maksudnya karena tadi Laras membantu pekerjaan Mbak Dian? Rekan kerjanya itu memang minta tolong pada Laras untuk melanjutkan pekerjaannya dan izin pulang duluan karena anaknya sakit.

Memang tak sekali dua kali dia membantu rekan kerjanya dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Laras adalah orang yang gampang iba dan tidak tega untuk menolak permintaan seseorang. Bahkan jika dia berusaha menolak karena suatu alasan, dia akan kepikiran.

“Jika pekerjaan yang kamu kerjaan bagus, yang akan mendapat feedback dari usaha kamu adalah mereka. Sebaliknya, jika pekerjaan yang kamu kerjaan buruk, secara tidak langsung kamu akan merasa bersalah. Jadi kamu tidak akan mendapat apa-apa dari hal itu.”

“Gue bantu orang bukan untuk mengharapkan apa-apa kok, gue cuma niat bantu, gak lebih.”

“Kamu boleh baik sama orang, tapi kalau terlalu baik nanti orang malah semena-mena sama kamu.”

Laras mengepalkan tangannya merasa Tyo sudah terlalu berlebihan menilai dirinya.

“Kamu harus ingat, ini dunia kerja. Profesionalitas lebih penting, simpan rasa empati kamu untuk hal-hal yang lain, dunia kerja itu keras..”

“Bisa diem gak?” ujar Laras kesal.

Jujur saja Laras mudah akrab dengan Jeffri dan Dean yang memang enak diajak ngobrol tapi dia jarang berbicara dengan Tyo karena Laras bingung harus bereaksi bagaimana dengan lelaki pendiam ini. Tapi sepertinya Laras salah mengira, lelaki ini ternyata suka ikut campur urusan orang lain.

“Saya gak bermaksud membuat kamu marah, saya cuma mau mengingatkan agar kamu..”

“Diem gue bilang, lo sok tau.” ujar Laras dengan nada yang pelan namun tegas. Laras bukan orang yang mudah meledak jika dia sedang marah, dia lebih memilih untuk memendam kemarahannya dalam diam.

Dia segera keluar dari lift dan meninggalkan Tyo yang ternyata masih mengekor dirinya dari belakang.

“Laras, kerjaan lo udah selesai?” tanya Cita yang tiba-tiba muncul dari arah kiri lobby.

“Gue pikir lo udah pulang.”

“Hehe tadi udah mau pulang, tapi Jeffri ngajak ngobrol dulu.”

Laras melihat lelaki di samping Cita sekilas, tak ada sapa senyum yang biasa Laras tunjukkan. Suasana hatinya sangat buruk saat ini.

“Kita cuma ngobrol biasa kok Ras.” ucap Jeffri yang entah mengapa merasa tak enak karena melihat ekspresi Laras tak seperti biasanya.

“Gue duluan ya.”

“Eh lo pulang sama siapa? Gak bawa mobil kan?”

“Tuh, udah ditunggu.” jawab Laras seraya menunjuk seseorang yang berdiri di samping mobil dan melambai ke arah mereka, membuat Cita bertanya-tanya siapa sosok lelaki itu.

“Laraass.. lo utang cerita sama gue.” teriak Cita yang hanya dibalas lambaian tangan Laras tanpa menoleh.

Laras segera pergi meninggalkan Cita, Jeff dan Tyo dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya sedari tadi.

“Maaf ya mas, jadi nungguin aku pulang kerja.”

“Gak apa, santai. Kan aku yang ajak ketemuan.” ucap Jhony seraya melajukan mobilnya. Jhony memang mengajak Laras untuk bertemu katanya mau meminta saran Laras tentang renovasi Perpustakaan Mentari. Entah memang itu alasannya atau tidak, Laras tak ingin kegeeran.

"Gimana kerjaan hari ini? Lancar?"

"Ya gitu deh. Oh iya mas, mau ngobrol dimana?"

"Hmm sambil makan aja kali ya, kamu pasti belum makan kan?"

"Boleh, kebetulan aku laper."

"Oke, isi perut dulu biar ngobrolnya enak. Let’s goo." ujar Jhony dengan senyuman yang cukup membuat hati Laras yang tadinya panas menjadi lebih tenang. Tapi tak bisa dibohongi dia masih kepikiran dengan apa yang Tyo ucapkan tadi. Dia menarik napas panjang dan menggeleng, mencoba bodo amat agar tidak terus kepikiran.

Akhirnya mereka mampir ke sebuah warung nasi goreng pinggir jalan.

"Kamu mau makan apa?"

"Ini kan warung nasi goreng, pesen nasi goreng dong mas"

"Hehe kali aja kamu pengen yang lain."

"Emang ada?"

"Gak ada."

"Hahaha yaudah nasi goreng aja. Kang, nasi gorengnya dua ya." Laras langsung memesan setelah diskusi tak penting tadi lalu duduk di salah satu kursi panjang.

"Punten, mobil pajero putih punya siapa ya?" teriak seorang pelayan warung kepada para pelanggan.

"Saya kang." sahut Jhony merasa terpanggil.

"Boleh dimundurin kang? Ada yang mau keluar tapi gak bisa."

"Oke kang. Sebentar ya Ras." ucap Jhony yang langsung dibalas anggukan Laras.

Laras menunggu pesanan dengan menyibukkan diri pada ponselnya. Membuka sosial media, menutupnya dan membukanya lagi. Tak ada yang menarik. Dia beralih pada aplikasi chat dan melihat status orang dengan memindai tiap laman secara cepat.

Sampai satu video menarik perhatiannya yaitu status Ardi, teman satu kantor dari divisi lain yang sedang karaoke dengan beberapa teman lainnya. Satu sosok menarik perhatian matanya. Mbak Dian? Dia mengerjapkan matanya untuk memastikan, repeat and pause berapa kali, dia tak salah lihat. Benar itu Mbak Dian. Dia mengeratkan pegangan tangannya menahan amarah karena merasa dibohongi. Kenapa harus bawa-bawa anak sih, batinnya.

Apa ini yang dimaksud ‘semena-mena’ yang dikatakan Tyo tadi? Laras memijat kepalanya. Sebenarnya apa yang dikatakan Tyo tadi tak sepenuhnya salah, tapi entah kenapa cara penyampaian Tyo membuatnya kesal.

“Hey, kok bengong.” Jhony mengagetkan Laras. “Kenapa?”

“Gak apa.” jawab Laras singkat dengan senyuman karena tak ingin membuat Jhony bertanya lagi.

"Minggu ini kamu ke panti gak Ras?"

"Belum tau mas, kayaknya nggak deh. Kenapa?"

"Oh, gak apa sih. Kemaren kan aku belum sempat main ke panti, jadi pengen main aja ketemu anak-anak."

"Boleh banget, nanti deh kalau aku kesana aku kabarin ya mas."

"Nanti rencananya aku juga mau bawain beberapa buku dan mainan, trus apa lagi ya? Eh makanan deh ya. Anak-anak pasti seneng kan? Mereka suka apa lagi Ras?"

Tak ada jawaban dari Laras, gadis itu malah senyum-senyum melihat Jhony berbicara dengan nada semangat saat berbicara tentang anak-anak.

“Loh kok jadi senyum-senyum?”

“Mas aku mau nanya deh.”

“Aku tahu kamu mau nanya apa.”

“Apa?”

“Mas Jhony udah punya pacar belum?” ucap Jhony dengan nada dibuat-buat seolah perempuan centil.

“Hahahaha apaan sih, bukan itu.”

“Bukan ya? Hehe abisnya kamu dari tadi banyak bengong makanya aku becandain biar gak bengong mulu. Ada yang kamu pikirin ya?”

“Justru itu aku mau nanya, berbuat baik itu salah gak sih?”

“Ya namanya udah berbuat baik, gak ada yang salah lah Ras.”

“Trus kalau kamu udah berbuat baik ke orang nih, tahunya dia ngecewain kamu, dibohongin misalnya. Itu gimana?”

Jhony terdiam sebelum menjawab.

“Hmm.. ya gak bisa dipungkiri kita manusia biasa pasti kecewa kalau dibohongi, tapi kalau niat kamu baik ya selamanya akan baik. Terlepas orang itu akan mengecewakan kamu atau nggak.”

Larasati mengangguk paham.

“Kamu pernah capek gak jadi orang baik?”

“Emang kamu berpikir aku ini orang baik?” tanya Jhony yang dibalas anggukan Laras tanpa ragu.

“Kamu kan sering nolong orang, itu kan perbuatan baik mas.”

Jhony tersenyum melihat gadis di depannya dan memperbaiki duduknya agar bisa melihat Laras lebih dekat.

“Gini ya Ras. Baik itu kata yang sifatnya relatif, baik menurut sudut pandang kamu, belum tentu sudut pandang orang lain sama. Kalau persoalan menolong orang, selama kamu mendapat hal baik dari itu, go for it. Tapi kalau kamu merasa tidak mendapat hal baik dari itu, lebih baik nggak. Artinya apa? Kamu berbuat baik bukan untuk terlihat baik, tetapi untuk mendapat kebaikan juga untuk dirimu sendiri, setelah itu untuk orang lain.”

“Kalau kita gak dapat hal baik dari perbuatan baik itu contohnya gimana?”

“Nah, hal baik yang didapat itu maksudnya, kalau bagi aku ya, itu lebih ke kepuasan batin, bukan berupa imbalan materi, pujian atau semacamnya. Misalnya nih kamu bantu orang, tapi abis itu kamu nyesel dan ngutuk karena beberapa alasan. Jatuhnya kan jadi gak ikhlas. Itu malah jadi nambah penyakit hati kan? Sampai disini paham?”

Laras terdiam mendengarkan penjelasan Jhony panjang lebar.

“Nah kan bengong lagi.”

“Nggak kok, hehe. Makasih ya mas. Aku jadi paham sekarang.”

“Anytime Ras.” lagi-lagi Jhony melempar senyum yang menenangkan. “Yuk makan, keburu dingin.”

Laras mengangguk semangat.

Related chapters

  • Puzzle Piece   Teman

    “Ras, lo belum cerita sama gue.”“Cerita apa?”“Itu loh, cowok yang kemaren jemput lo di kantor.”“Ojek?”“Dih, cowok keren naik pajero lo bilang ojek. Jahat lo.”“Oh yang itu.. lo yang jelas dong kalau ngomong. Kan emang gue seringan dijemput ojek. Cit, olive oil-nya mana?”“Itu di pojokan. Udah buru cerita, jangan ngalur ngidul lo.”“Itu mas Jhony.”“Siapa?”“Temen.”“Temen dari mana?”“Ketemu gak sengaja di perpus dekat panti, terus ngobrol.”“Udah jadian?”“Apaan sih lo, udah dibilang temen cit, temen.”“Yaelah, santai dong.”“Eh, lo ada parmesan gak?”“Gak ada, udah pake keju parut biasa aja.”Laras melanjutkan proses memasaknya, sedangkan Cita tengah sibuk mer

  • Puzzle Piece   Melodi yang Hilang

    Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdayaMenahan rasa ingin jumpaaaPercayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulangMelepas semua kerinduan yang terpendam.. Yudha melantukan sepenggal lirik lagu Dewa dengan gitar di tangannya. Sementara yang lain hanya duduk tak bersemangat mendengarkan lagu yang tiap menit selalu berganti sesuka hati Yudha. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam dan belum ada yang beranjak dari rumah Cita. Masih terlalu cepat untuk pulang bagi mereka. Jadi mereka hanya menghabiskannya dengan tidak melakukan suatu hal yang pasti. “Yud, diem deh lo. Mending Laras yang nyanyi deh.” “Oke.. oke santai dong. Kan tadi pemanasan dulu. Larasati.. one two three.. Here we go..” Yudha memetik gitarnya kembali melantunkan sebuah intro lagu yang sudah bisa ditebak oleh Laras. You don't know, babeWhen you hold meAnd kiss me slowlyIt's the sweetest thing And it don't changeIf

  • Puzzle Piece   Kotak Misterius

    “Pagi Yudh.”“Pagi…” jawabnya pelan.“Lemas banget, semangat dong. Senin nih.”“Justru itu, mager bangeet gue.” jawab Yudha dengan dagu masih menempel di meja kerjanya dan mata yang masih terpejam. Laras terkekeh dengan tingkah temannya itu, walaupun Yudha terlihat sangat mengantuk dan tidak bersemangat, lelaki itu paling sering datang pagi. Hal itu cukup menunjukkan keprofesionalan Yudha dalam bekerja.Laras menghampiri meja kerjanya yang berada di samping Yudha, dia segera meletakkan tasnya dan menghidupkan monitor komputernya. Dirapikannya meja kantor yang sedikit berantakan dan sebuah kotak kecil berwarna coklat menarik perhatiannya.“To Larasati.” tertulis di kotak tersebut. Sebelum membukanya Laras berpikir sejenak dan menggoyangkan kotak mencoba menebak isi kotak tersebut. Perasaan ini bukan hari ulang tahunnya, kotak apa ini, siapa pengirimnya dan apakah kotak ini a

  • Puzzle Piece   Pengintai

    Laras segera turun dari motor dan membayar ojeknya. Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, Laras hanya tak ingin diikuti sampai ke rumah. Dia melangkahkan kakinya ke minimarket depan gang, membeli beberapa barang yang tak diperlunya karena dia hanya ingin menunggu disana. Dari balik kaca minimarket Laras mengamati apakah ada mobil yang berhenti atau tidak. Sebenarnya Laras juga tidak tahu betul apakah dia benar-benar diikuti apa dia hanya parno karena pikirannya hari ini sedang kacau.Tapi dia benar-benar sudah muak diikuti seperti ini dan ingin mencari tahu apa modus mereka. Selama ini Laras merasa tidak punya permasalahan dengan siapapun, tapi jika memang ada hal yang tidak beres, Laras benar-benar ingin menyelesaikannya.Merasa tidak ada orang yang mencurigakan, Laras menghela napas dan mencoba menenangkan pikirannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri gang untuk menuju rumah. Seketika dia menyesal karena memutuskan untuk tidak langsung pulang, lampu sepan

  • Puzzle Piece   Rahasia Kakek

    “Laras..” “Laras..” Panggil kakek berulang kali melihat cucu kesayangannya itu menatap kosong piring yang masih penuh dengan nasi. Laras melonjak kaget saat kakeknya mengetuk piring Laras dengan sendok. “Iya kek? Kakek mau nambah?” “Kamu kenapa melamun?” “Hah? Oh gak apa kek, mikirin kerjaan aja.” “Ada masalah di kantor?” “Bukan masalah gimana-mana kok kek.” jawabnya cepat sembari melahap sarapannya yang belum disentuh itu. “Hari ini kakek mau ke Jakarta ya.” “Loh ngapain kek?” “Pak Fahri meninggal dunia jam 1 pagi tadi.” “Innalillahi.. Pak Fahri yang donatur utama kita kek?” “Iya.” “Aku temenin ya kek.” “Gak usah, kamu kan kerja.” “Aku bisa izin kok kek.” “Gak usah Laras. Kakek bisa sendiri.” “Kek, please. Pak Fahri kan udah baik banget bantu kita selama ini. Aku ingin datang untuk memberikan belasungkawa pada keluarganya.” “Yaudah,

  • Puzzle Piece   Buruk Sangka

    Jeffri melangkah gontai mengikuti langkah dua rekannya. Pagi ini dia terlihat sangat tidak bersemangat. Bahkan kopinya yang masih hangat belum dicicipinya sedikit pun.“Buruan woy.” ucap Dean dengan nada tertahan sambil menekan tombol lift menunggu Jeffri masuk. Rasanya ingin sekali Dean melemparkan tas kerjanya pada Jeff karena lelaki itu penyebab tertundanya orang-orang di lift untuk segera naik ke kantor mereka."Pagi Mas Jeffri." suara pertama yang terdengar ketika ketiganya memasuki ruangan kantor."Pagi" jawab sang pemilik nama dengan nada tak bersemangat."Mas Jeff pasti belum sarapan ya? Ini Rena ada buat sandwich, dimakan ya." ucap gadis itu sembari memberikan satu kotak bekal pada Jeffri."Thanks Ren, tapi gue lagi gak selera.""Dicoba dulu Mas. Enak kok." paksa Rena, sang sekretaris bosnya itu."Nih buat Dean aja." jawab Jeff memberikan kotak itu pada Dean."Dih, gak boleh gitu mas Jeffri. Rena ngasih bua

  • Puzzle Piece   Nostalgia

    Dean mengetuk-ngetuk setir mobilnya, sesekali dia melihat arlojinya kemudian mengedarkan pandangan ke luar parkiran. Dean mengecek ponselnya tapi tak ada pesan masuk. Dia memang sedang menunggu seseorang, sebenarnya ini bukan acara kencan, tapi entah mengapa jantungnya berdegup karena gugup. Ya, perihal menunggu memanglah tidak enak. Saat melihat sosok yang ditunggunya, Dean menurunkan kaca mobil lalu memanggil orang tersebut untuk masuk. "Sorry, lama ya?" tanya Laras merasa tak enak pada Dean. "Gak apa. Dari ruangan Pak Septa ya?" "Iya, lo tau dia kalau ngerivisi sering diselingi dengan curhatan. Capek gue dengerinnya." "Hahaha bukannya abis tu lo jadi dapat bahan gibahan." "Cita Yudha tuh yang demen gibah, gue mah enggak." "Halah." "Ya ikut juga sih kadang. Eh ini kita berdua aja? Jeff sama Tyo mana?" "Nggak ikutlah, ngapain. Mereka juga gak ngerti musik." jawab Dean. Lelaki itu memang mengajak Laras pulang be

  • Puzzle Piece   Du

    Laras menyuapkan potongan cheese cake pesanannya yang sudah setengah sambil mengamati Dean dan Dara yang mengobrol. Lalu Dean kembali bersandar pada bangkunya dan Dara kembali pada aktivitasnya mendengarkan lagu."Kalau gak dapat gak apa, gue jadi ngerepotin banyak orang gini." bisik Laras seraya menyenggol lengan Dean."Santai lah, nanggung. Pasti dapat kok." jawab Dean.Sebenarnya Laras juga tak tahu pasti apa motivasi Dean ingin membantu Laras menemukan judul lagu itu sampai segitunya, padahal awalnya dia cuma iseng menanyakan hal itu pada Dean. Jika Dean tahu ya syukur, kalau tidak ya sudah. Tidak masalah baginya. Sekarang dia malah menyuruh orang lain untuk turut membantu mendapatkan judul lagu dari melodi yang sebenarnya memang ada atau tidak, Laras tidak tahu pasti."Aduh, aku familiar sama melodinya, tapi masih belum nemu." ucap Dara geram, entah sudah keberapa kali dia mengucapkan hal yang serupa.Sudah hampir satu jam mereka duduk disini,

Latest chapter

  • Puzzle Piece   Sebuah Pengakuan

    Jeffri memandangi jalanan dari balik kaca mobil dengan tatapan kosong. Di luar terlihat semakin mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Bersamaan dengan itu, hatinya juga tak kalah mendung. Dia kepikiran dengan ucapan Haykal dan tingkah Tyo tadi pagi. Ditambah lagi saat di kantor tadi Laras menanyakan ketidakhadiran Tyo di kantor. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka kemarin?Semakin dipikirkan, Jeffri semakin kesal. Kemudian tangannya refleks mematikan pemutar musik di mobil membuat seseorang di balik kemudi marah.“Kok dimatiin sih?” ujar Dean kesal.“Berisik! Lo bisa gak satu hari aja gak usah dengerin lagu. Lama-lama tua gue dengerin lagu lo mulu.” ucap Jeffri kesal. Pasalnya hampir tiap hari dia turut mendengarkan lantunan tembang kenangan kesukaan Dean, baik di rumah ataupun di mobil.“Dih, mobil gue kok lo yang repot.”“Sehari aja De. Kepala gue lagi pusing nih.”“Kepal

  • Puzzle Piece   Menyusun Strategi

    “Apa kabar a’ Tyo?” ujar Haykal tepat saat Laras menghilang di balik pintu.“Baik, kamu gimana?” jawab Tyo seraya membalas jabatan tanda akrab mereka.“Hmm… yaa begitulaah. Eh iya, sorry ya kalau aku ganggu momen beduaan tadi. Udah nungguin tadi sampai pegel. Lama banget pelukannya.” ucap Haykal seraya menyenggol lengan Tyo membuat lelaki itu malu tak mampu menjawab.“A’ Tyo udah lama jadian sama teh Laras?” tanya Haykal yang nyaris membuatnya tercekat.“Hah? Hmm.. ini tidak seperti yang kamu pikirkan Haykal.” ujar Tyo tergagu.“Aahh.. jadi bisanya cuma ngasih bahu doang tapi gak bisa ngasih kepastian.” ledek Haykal yang semakin membuat wajah Tyo memerah. Anak lelaki itu memang paling bisa menggoda Tyo pasal beginian.“A’ bagi rokok dong.” ujar Haykal lagi. Spontan Tyo merogoh saku celananya sampai akhirnya terhenti.“Kam

  • Puzzle Piece   Sewadah Bubur Hangat

    Tyo mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir yang diam dan menarik napasnya panjang berkali-kali. Mungkin sudah sekitar 10 menit lalu dia berdiam diri sejak memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Laras tapi tak kunjung turun. Jika dilihat dari luar, cahaya rumah itu masih menyala menandakan sang empunya masih terjaga disana. Tapi entah kenapa Tyo masih masih enggan untuk turun dan mengetuk pintu rumah tersebut. Dia menghitung dalam hati dan akhirnya dia memberanikan diri untuk turun. Tak lupa dia membawa bungkusan bubur ayam yang dibelinya di perjalanan. Dia melihat arlojinya menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit dan hanya berharap Laras memang belum tidur. Kedatangannya kesini bukan tanpa alasan. Sejak Jeffri menceritakan kejadian panti tempo hari dia belum sempat menanyakan bagaimana keadaan Laras. Mereka hanya bertemu di kantor dan Tyo bisa melihat kegundahan di wajah ceria Laras. Senyum khas yang biasa menghiasi wajah manisnya berubah bak langit mendung tak bercahaya.

  • Puzzle Piece   Sebuah Usaha

    Laras terburu dengan langkahnya saat keluar dari lobby kantor dan langsung naik ke ojek online yang sudah menunggunya. Terbesit dalam hatinya rasa tak enak saat menolak ajakan Cita tadi untuk makan bersama. Tapi mau bagaimana lagi, Laras benar-benar tak ingin menunda pertemuan ini. Beberapa hari ini kepalanya penuh memikirkan bagaimana cara menyelamatkan panti asuhan kakeknya dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.Motor yang dia tumpangi berhenti di salah satu coffee shop dan Laras langsung turun, tentu saja setelah membayar tukang ojek tersebut. Saat memasuki tempat itu, Laras langsung menemukan sosok yang ingin dijumpainya. Tampak seorang lelaki yang tengah duduk santai menyeruput secangkir kopi dan menyambut kedatangan Laras dengan senyum tipis menghiasinya. Sayangnya, senyum itu tampak tak lagi tulus bagi Laras. Bahkan sampai detik ini dia masih tak percaya, bahwa lelaki ini yang mampu membuat Laras kagum dengan sikap dermawan dan ketulusannya. Laras suda

  • Puzzle Piece   Ada Apa dengan Cita?

    “Ras, makan ayam gepuk yuk. Kangen gue, udah lama nih.” ujar Cita seraya menggandeng lengan sahabatnya mengikuti langkah Laras keluar ruangan kantor, “Sekalian ada yang mau gue ceritain.” sambung Cita lagi saat melihat tak ada jawaban dari Laras. Mumpung tidak ada jatah lembur dan mereka bisa pulang sore, Cita ingin sekali makan ayam gepuk sebelum pulang ke rumah. “Ras..” panggil Cita menggoyangkan lengan Laras, entah sudah berapa kali dalam hari ini Cita mendapati Laras sedang melamun. “Hoi, Laras.” “Kenapa Cit?” tanya Laras bingung, dia benar-benar sedang tidak fokus. “Makan ayam gepuk ayo. Gue laper.” ajak Cita lagi. “Yuk yuk! Ayam gepuk Pak Gendut ya. Gue yang traktir.” sahut Yudha tiba-tiba muncul menghampiri mereka berdua. “Lo makan berdua aja ya, gue ada urusan.” jawab Laras membuat Yudha dan Cita saling tatap. Belum saja keduanya menahan Laras, gadis itu terlihat memburu langkahnya dan masuk duluan ke dalam lift meninggalkan Yu

  • Puzzle Piece   Hancurnya Kepercayaan

    Laras segera beranjak dari tempat duduknya tapi langkahnya terhenti saat memasuki ruang tamu panti. Terlihat kakeknya duduk di sana bersama beberapa orang. Kakinya ingin sekali melangkah, tapi menyela pembicaraan orang bukanlah etika yang baik seperti yang selama ini diajarkan oleh kakeknya. Sehingga dia memilih untuk mematung sambil mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan.“Maaf, saya tidak bisa.” ucap kakek lirih.“Tapi Pak Bram, keputusan bukan ada di tangan bapak. Kami sudah sepakat untuk menjual tanah ini.”Tubuh Laras semakin membeku mendengar ucapan dari wanita yang duduk di depan kakeknya. Wajahnya tak asing bagi Laras, tapi dia tak bisa mengingat siapa wanita itu. Satu lagi yang tak asing bagi Laras, punggung seseorang yang tampak duduk membelakanginya. Pemilik bahu lebar yang tengah berbicara pada orang di sampingnya, kini menampaknya separuh wajahnya yang memang benar-benar sangat dikenal Laras.“Bagaimana Pa

  • Puzzle Piece   Gawat!

    Laras melihat jam tangannya dan segera membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dari ruangan kantor menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya sebelum pergi untuk menemui klien. “Pas banget, sini Ras, duduk!” ucap seseorang yang dia temui di dalam pantry. “Lo dari tadi disini? Gue pikir meeting.” jawab Laras sembari mengambil air mineral dari dispenser yang tersedia di pojok. Kemudian dia langsung duduk di kursi tepat di hadapan lelaki dengan secangkir kopi di tangannya. “Gue lagi pusing.” ucap Yudha. “Laporan lo direvisi lagi ya?” tanya Laras yang langsung dijawab dengan gelengan Yudha. “Jadi?” tanya Laras lagi. “Cita gak ada cerita apa-apa ke lo?” “Cerita apaan?” “Cerita gue gitu?” tanya Yudha menurunkan nada bicaranya. Laras hanya menggeleng karena tidak paham maksud rekan kerjanya itu. “Gue abis confess ke Cita kemarin.” sambung Yudha membuat bola mata Laras membesar karena bersemangat. “Ser

  • Puzzle Piece   Jelajah Malam

    Jhony dan Laras sudah kembali ke tempat api unggun yang dibuat di tengah-tengah tenda yang berkeliling rapi. Anak-anak panti memang sengaja disuruh tidur dan mereka tidak tahu akan ada acara jelajah malam karena kegiatan ini memang puncak acaranya. Mereka akan dibangunkan lepas tengah malam nanti dan harus menyelesaikan sebuah misi walau dalam keadaan mengantuk. Disitulah keberanian, ketangkasan, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari satu harian tadi diuji. Cita tampak sedang berdiskusi dengan Dara dan Yudha, di seberangnya terdapat Dean yang duduk memeluk kakinya sambil bersenandung pelan ditemani alunan gitar yang dimainkan Tyo. Pemandangan itu langsung menarik perhatian Laras dan berniat untuk bergabung sebelum sebuah interupsi datang. “Guys, kumpul sini. Kita briefing dulu.” titah Cita meminta atensi para panitia. “Laras, kemana aja sih gue cariin.” tiba-tiba Jeffri muncul dengan napas terengah. “Tadi kesana sebentar, lo dari mana?” ta

  • Puzzle Piece   Bukit Moko

    Pagi-pagi sekali anak-anak panti sudah berbaris di halaman. Bahkan matahari belum juga menunjukkan wujudnya tetapi mereka sudah berkumpul dengan semangat. Tidak ada terlihat wajah yang mengantuk, semua sibuk dengan tas bawaannya dan mengobrol sesama temannya menceritakan berbagai hal dengan senyum terpatri jelas di wajah mereka.“Anak-anak, ayo berbaris yang rapi. Danu dan Bima sebagai pemimpin barisan, siapkan barisannya masing-masing.” terdengar suara Laras memberi perintah dengan sebuah pengeras suara digenggamannya.“Barisan siap!” jawab Danu dan Bima serentak. Adik-adik panti yang akan mengikuti kegiatan persami sudah berbaris rapi. Mereka mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atributnya karena acaranya nanti akan dibuka dengan upacara dan dilanjutkan dengan kegitan kepramukaan lainnya.Laras pun kembali mengambil alih barisan dan memberikan kata sambutan secara singkat sebagai pembuka kegiatan mereka. Saat ini mereka bersi

DMCA.com Protection Status