“Pagi ceu”
“Pagi neng Laras. Eh pagi-pagi udah datang. Dianter siapa neng?”
“Naik mobil sendiri ceu. Haykal sama kakek kan udah disini dari tadi malam.”
“Oh iya? Aduh eceu baru dateng jadi gak tau hehe.”
“Saya masuk dulu, ceu.”
“Mangga neng.”Laras melangkahkan kaki ke sebuah rumah bercat putih tulang dengan desain interior lama menghiasinya. Sebelum masuk akan terlihat plat kayu yang sudah usang bertuliskan Panti Asuhan Teras Singgah. Langkah Laras langsung menelusuri bilik-bilik kamar untuk menyapa anak-anak panti.
“Teh Laraaasss..” sapa seorang anak laki-laki dengan bola di tangannya.
“Loh pagi-pagi udah mau main bola? Sarapan dulu atuh.”
“Iya teh, mau olahraga pagi biar sehat.”
“Kita mau main sama a’ Ekal.” seru lelaki yang satunya lagi.
“Udah beresin tempat tidur?”
“Udah teh.”
“Yaudah sana main.”
Laras mengacak gemas rambut kedua anak itu yang sudah tak sabar ingin bermain bola. Dia kembali melanjutkan penulusurannya mengamati anak-anak panti yang terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang membereskan tempat tidur, menyapu kamar, mencuci baju, membantu bibi tukang masak di dapur dan lain-lain. Anak-anak panti disini memang dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing agar terlatih mandiri.
“Sarah.” panggil Laras pada seorang anak yang mungkin usianya sudah menginjak 10 tahun.
“Iya teh?”
“Ini buku-bukunya udah selesai dibaca?”
“Udah teh, buku yang di rak ini udah selesai dibaca semua.”
“Oh yaudah kalau gitu nanti teteh pinjemin buku baru lagi ya.”
“Iya teh, oh iya teh banyakin buku tentang horror dong.”
“Kamu suka horror? Emang gak takut?”
“Iya suka, sama yang detektif-detektif gitu juga seru.”
“Yaudah hari ini kamu temenin teteh ambil buku ke tempat biasa ya, biar kamu bisa pilih sendiri.”
“Asyiiik, aku mandi dulu ya teh. 5 menit aja!” gadis kecil itu langsung menyerbu handuk dan ngacir ke kamar mandi membuat Laras terkekeh melihatnya.Dia sangat senang melihat anak-anak panti semangat membaca buku makanya dia selalu menyempatkan untuk menggantinya setiap ada kesempatan untuk berkunjung kesini. Ya disini tempat Larasati tumbuh hingga beranjak dewasa. Disini dia menghabiskan waktunya bersama anak-anak panti lainnya belajar dan bermain bersama.
Walaupun saat ini dia tidak tinggal disini lagi, tapi dia selalu mengunjungi panti setidaknya dua kali dalam sebulan untuk membantu kakek mengurus keperluan panti. Panti asuhan ini memiliki arti yang sangat mendalam baginya, tempat yang bisa dikatakan rumah ternyaman dan keluarga terdekat yang pernah ia miliki.
“Haykal, kakek mana?” tanya Laras pada lelaki yang sibuk bermain bola dengan anak-anak kecil di halaman depan panti.
“Di belakang teh, ngebon mungkin.”
“Ulah main mulu atuh, batuin sana.”
“Hehe iya iya teh. Cil, ambil cil!” ucap Haykal sambil mengoper bola pada seorang anak laki-laki. Bocah itu mengambil operan bola dari Haykal dan langsung menendangnya ke arah gawang buatan.
“GOAAALLL..” satu tendangannya menciptakan goal dan membuat kehebohan.
Walaupun sudah menginjak bangku kuliah, Haykal tak kalah semangatnya dengan bocah-bocah itu. Sama seperti Laras, kehadiran Haykal juga selalu dinantikan anak-anak panti karena Haykal anaknya ramai dan menyenangkan. Saat ini Haykal berkuliah di Jakarta sehingga dia hanya bisa mengunjungi panti saat libur semesteran saja.
“Teteh angkat kamana?” tanya Haykal seraya mengelap keringat dengan kaos belelnya.
“Ke toko buku bentar mau pinjem buku lagi. Bilangin sama kakek ya.” jawab Laras yang kini sudah berada di atas sepeda bersama dengan Sarah di boncengannya.
“Dadaaaahh a’ Ekaal.” ujar Sarah seraya mengejek Haykal.
Laras mulai mengayuh sepedanya, suasana desa saat pagi hari selalu menenangkan. Makanya dia memilih untuk naik sepeda saja, lagi pula jarak toko buku tempat dia biasa meminjam buku tidak terlalu jauh dari panti.
“Morning Mang Jaja.”
“Hey yo, wassap neng Laras. Gutten morgen.”
“Asiik, ganti bahasa mulu tiap aku dateng kesini.”
“Iya dong, biar keren.”
“Mang, buku baru dong.”
“Siaaapp, mangga dipilih-pilih. All op this is ready.”
“Of mang pake f bukan p.” ledek Sarah.
“Yeeeuu sami wae.”
Laras terkekeh melihat kelakuan Mang Jaja sang penjaga toko buku Mentari yang selalu memiliki tingkah lucu dan terkadang aneh. Sebenarnya toko buku ini menjual buku-buku bekas tetapi juga menyewakan buku seperti novel dan komik. Toko ini juga menjadi tempat langganan panti asuhan Teras Singgah untuk meminjam buku secara gratis berapapun jumlahnya, tetapi Laras berinisiatif untuk sebulan sekali memberikan uang perawatan buku.
Saat memilih buku-buku yang akan dibawa ke panti, sesosok lelaki menarik perhatian Laras. Lelaki bertubuh tinggi dengan senyuman indah yang minggu lalu dia lihat, ternyata hari ini berkunjung lagi.
“Mang, dia siapa sih?” bisik Laras pada Mang Jaja yang sedang lewat.
“Oh, kemarin dia berkunjung kesini lihat-lihat, abis itu nyumbang buku neng, banyak banget. Hari ini dateng katanya mau renov saung itu biar orang-orang pada enak kalau mau baca buku sambil duduk-duduk nyantai. Dia juga mau rutin gitu nyumbang buku kesini. Itu lagi ngobrol sama Bapak.”
Laras manggut-manggut mendengar penjelasan Mang Jaja sambil memerhatikan lelaki yang kini tengah sibuk berbicara serius pada Pak Dadang, si pemilik toko buku Mentari. Sedikit terbesit rasa kagum dalam hati Laras mendapati lelaki muda memiliki sifat dermawan dan rasa peduli yang tinggi terhadap minat baca.
Tiba-tiba lelaki yang dilihatnya itu membalas tatapan Laras membuat gadis itu terlonjak kaget, dia seperti sedang kedapatan mencuri pandang. Laras buru-buru menyibukkan diri dengan memilih buku-buku dan bisa merasakan langkah seseorang mendekat. Bisa ia tebak itu bukan Sarah karena terdengar langkah yang cukup besar, dan yang pasti juga bukan Mang Jaja karena aroma parfum segar menggelitik hidung Laras.
“Sering kesini ya?” sebuah suara berat mengagetkan Laras, benar saja dia adalah lelaki yang dia perhatikan tadi.
“Hmm.. iya lumayan.”
“Beli buku atau..?”
“Ini buku-buku buat panti asuhan.”
“Ohh.. iya aku ada dengar dari Pak Dadang kalau toko ini rutin minjemin buku ke panti asuhan. Kamu pengurus panti?”
“Ya bisa dibilang gitu sih.”
Lelaki itu manggut-manggut sambil memerhatikan buku-buku yang dipilih Laras.
“Ada saran gak buku-buku apa yang kurang disini? Biar next time aku bisa pilihin buku yang bagus.”
Laras terdiam sebelum menjawab.
“Aku sih pilihin buku untuk anak-anak jenis buku yang menghibur tapi tetap ada unsur edukasinya. Mungkin bisa dibanyakin lagi jenis buku kayak gini.” Laras menunjukkan sejenis buku ensiklopedia modern dengan banyak gambar di dalamnya dan dengan info yang sangat mudah dipahami.
“Hmm.. oke. Oh iya kita belum kenalan, aku Jhony.” ujarnya seraya menjulurkan tangan.
Senyum lelaki itu mampu menghipnotis Laras dan membuatnya lagi-lagi terdiam sebelum menjawab.
“Larasati.”
***
Sementara itu di rumah tiga bujang ganteng menginap…
“Jeprii… kok lo pake boxer gue sih?”
“Ini punya lo? Yaudah sih pinjem.”
“Seenak jidat lo ya.”
“Gak boleh pelit ih, kita kan udah kayak keluarga.”
“Najis.” ujar Dean kesal. Baru satu minggu tinggal seatap sudah banyak saja tingkah Jeff yang membuatnya naik darah. Sementara Jeff yang baru bangun tidur itu hanya mesem-mesem tak merasa bersalah.
“Lo pada gak balik ke Jakarta?”
“Nggak lah males, emang lo mau balik Jeff?”
“Nggak sih, kali aja weekend gini lo pada kangen emak. Wiih nasi goreng siapa nih yang buat?”
“Tyo.”
“Gokil Pak Tyo calon suami idaman jago masak.”
Tyo tak menanggapi ucapan Jeffrian, kini dia sibuk dengan tabletnya sambil menyesap kopi hitam.
“Cuci muka dulu Jeff, lo ileran mau langsung makan.”
“Laper gue.”
“Buru sana, jorok lo.” Dean mendorong Jeff dan menyita piring yang sudah diisi nasi goreng. Dean yang sedari tadi sudah mandi dan wangi sangat risih melihat Jeff yang baru bangun dengan rambut berantakan malah mau langsung makan.
“Gue heran sama Dean, ternyata dia lebih cerewet dari emak gue.” bisik Jeff yang langsung duduk di samping Tyo sehabis dirinya mencuci muka.
“Justru gue yang heran sama lo, kok banyak cewek yang mau sama lo, kalau tau lo jorok begitu mereka mundur kali.”
“Gue mah gak mandi juga ganteng, De. Iri bilang bos.” jawab Jeffri terkekeh sambil memasukkan satu suapan besar nasi goreng ke mulutnya. “Lo ngapain sih Pak?” sambung Jeffri melihat ke arah tablet Tyo.
“Kita hari ini ke panti asuhan tempat Laras ya.” akhirnya Tyo buka suara.
“Ngapain?”
“Cari tahu tentang Laras.”
“Ya kita kan emang udah tau Laras dulu tinggal di panti, kita juga udah tau sekarang Laras dimana. Ngapain repot lagi kesana?” tanya Jeff bingung.
“Banyak yang kita tidak tahu tentang Laras, bagaimana dia ditemukan, kenapa dia bisa di panti asuhan itu, lalu apakah dia masih ingat latar belakang keluarganya atau tidak. Saya juga menemukan banyak kejanggalan setelah melihat berita kasus kecelakaan Laras 18 tahun lalu.”
“Kejanggalan apa?” kini Dean yang bertanya.
“Berdasarkan informasi dari Pak Hendra, jasad Azalea tidak ditemukan saat kejadian kecelakaan dan tim terus mencari keberadaannya selama bertahun-tahun. Tapi saat itu media langsung menyebarkan berita bahwa Azalea dan orangtuanya tewas di tempat dan Pak Danuarta tak lagi memiliki ahli waris.”
“Jadi itu berita bukan langsung dari Pak Danuarta?”
“Media bilang itu pernyataan dari pihak keluarga, padahal Pak Danuarta sama sekali tidak angkat bicara karena terlalu terpukul atas kematian putra satu-satunya bersama menantu dan cucu kesayangannya. Bahkan saat itu kondisi kesehatan Pak Danuarta menurun drastis dan dia mempercayakan perusahaan dipegang oleh Pak Janu, sahabat dan orang kepercayaannya yang sampai saat ini menjabat sebagai wakil direktur.”
“Apa ini yang dimaksud bahwa ini bukan hanya permasalahan Azalea tapi juga permasalahan perusahaan?” tanya Dean yang langsung ditanggapi anggukan Tyo.
“Lebih aneh lagi karena kasus kecelakaan itu tidak diselidiki lebih lanjut, mereka menutup kasus dengan menyatakan bahwa itu murni kecelakaan tunggal.”
“Wah gokil, gak salah gue satu tim sama Tyo.” Jeff menepuk tangannya seraya kagum pada analisis Tyo.
“Yaudah buruan mandi lo Jepri, biar kita berangkat.”
“Kalau kamu lama, saya dan Dean pergi berdua aja.”
“Tyo, lo kok jadi jahat kayak Dean sih?”
“Hahaha mampus lo.” ujar Dean tertawa puas.
“Beneran yang ini jalannya?”“Berdasarkan map yang saya lihat sih benar.”“Nama panti asuhannya apa Jeff?”“Bentar..Hmm Teras Singgah. Itu tuh.” ujar Jeffri dari bangku belakang seraya menunjuk papan nama bertuliskan nama panti asuhan yang mereka tuju.Akhirnya mereka sampai di tujuan dan hari sudah semakin siang. Jarak yang mereka tempuh memang cukup jauh karena panti asuhannya terletak di luar kota Bandung dan sudah menuju pedesaan. Mereka menghabiskan hampir dua jam untuk bisa sampai di tujuan, itu juga termasuk waktu bertanya-tanya pada warga sekitar agar tak salah jalan.Mereka pun memarkirkan mobil di luar pekarangan panti dan segera turun untuk melihat-lihat ke dalam. Suasana luar panti terlihat sepi, hanya ada satu orang penjaga yang sedang menyapu halaman.“Punten, ada yang bisa saya bantu?”“Siang pak, eh hmm.. kita kesini mau..”“Kita ada n
“Terimakasih Pak Jeffri.”“Sama-sama, Pak. Saya tunggu kabar baiknya.” jawab Jeffri sambil menjabat tangan kliennya.Jeffri membereskan berkas-berkasnya setelah memastikan kliennya sudah beranjak pergi. Dia menyesap kopinya yang sudah dingin dan juga berniat untuk kembali ke kantor. Namun dia mengurungkan niatnya saat melihat sosok gadis yang dikenalnya duduk di meja seberang, dia juga sedang meyakinkan seorang klien. Jeffri kembali membuka laptopnya dan berniat untuk duduk di café itu lebih lama.“Larass..” panggil Jeffri menghampiri gadis itu ketika memastikan dia sudah menyelesaikan meeting-nya.“Hey, selamat siang Pak Jeffri.”“Hahaha santai lah, meeting udah kelar juga. Gimana? Lancar?”“Hmm.. so far so good lah.”“Good job, toss dulu dong sesama tim marketing.” Laras membalas adu toss oleh Jeffri seraya tersenyum.“Udah makan?
“Teteh sama aa begadang nonton badminton lagi ya?”“Hehe iya kek.” jawab Haykal sambil mengucek matanya.“Pantes tidurnya bablas.”“Abisnya teh Laras ngajakin begadang.”“Kok jadi nyalahin teteh, nontonnya berdua juga. Lagian kamu tuh yang kebablasan subuh, teteh aja masih sempat masak.” sahut Laras menghampiri kakek dan Haykal yang berada di ruang makan. Dia membawa sebakul nasi goreng hangat yang harumnya membuat Haykal semakin lapar.“Ada tim Indonesia yang menang gak?”“Menang dong kek, jagoannya teteh menang.” kini Laras yang menjawab pertanyaan kakeknya seraya menuangkan nasi goreng ke piring.“Taufik Hidayat ya?”“Beuuh si kakek lawas banget. Jaman sekarang tuh ada Minions, The Daddies. Kalau penerus a taufik itu ada Anthony Ginting, Jonatan Christie…” jawab Haykal panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan
Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.“Astaga.. kaget gue.”Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.“Mau pulang?”Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.Tidak ada jawaban lagi, Tyo han
“Ras, lo belum cerita sama gue.”“Cerita apa?”“Itu loh, cowok yang kemaren jemput lo di kantor.”“Ojek?”“Dih, cowok keren naik pajero lo bilang ojek. Jahat lo.”“Oh yang itu.. lo yang jelas dong kalau ngomong. Kan emang gue seringan dijemput ojek. Cit, olive oil-nya mana?”“Itu di pojokan. Udah buru cerita, jangan ngalur ngidul lo.”“Itu mas Jhony.”“Siapa?”“Temen.”“Temen dari mana?”“Ketemu gak sengaja di perpus dekat panti, terus ngobrol.”“Udah jadian?”“Apaan sih lo, udah dibilang temen cit, temen.”“Yaelah, santai dong.”“Eh, lo ada parmesan gak?”“Gak ada, udah pake keju parut biasa aja.”Laras melanjutkan proses memasaknya, sedangkan Cita tengah sibuk mer
Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdayaMenahan rasa ingin jumpaaaPercayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulangMelepas semua kerinduan yang terpendam.. Yudha melantukan sepenggal lirik lagu Dewa dengan gitar di tangannya. Sementara yang lain hanya duduk tak bersemangat mendengarkan lagu yang tiap menit selalu berganti sesuka hati Yudha. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam dan belum ada yang beranjak dari rumah Cita. Masih terlalu cepat untuk pulang bagi mereka. Jadi mereka hanya menghabiskannya dengan tidak melakukan suatu hal yang pasti. “Yud, diem deh lo. Mending Laras yang nyanyi deh.” “Oke.. oke santai dong. Kan tadi pemanasan dulu. Larasati.. one two three.. Here we go..” Yudha memetik gitarnya kembali melantunkan sebuah intro lagu yang sudah bisa ditebak oleh Laras. You don't know, babeWhen you hold meAnd kiss me slowlyIt's the sweetest thing And it don't changeIf
“Pagi Yudh.”“Pagi…” jawabnya pelan.“Lemas banget, semangat dong. Senin nih.”“Justru itu, mager bangeet gue.” jawab Yudha dengan dagu masih menempel di meja kerjanya dan mata yang masih terpejam. Laras terkekeh dengan tingkah temannya itu, walaupun Yudha terlihat sangat mengantuk dan tidak bersemangat, lelaki itu paling sering datang pagi. Hal itu cukup menunjukkan keprofesionalan Yudha dalam bekerja.Laras menghampiri meja kerjanya yang berada di samping Yudha, dia segera meletakkan tasnya dan menghidupkan monitor komputernya. Dirapikannya meja kantor yang sedikit berantakan dan sebuah kotak kecil berwarna coklat menarik perhatiannya.“To Larasati.” tertulis di kotak tersebut. Sebelum membukanya Laras berpikir sejenak dan menggoyangkan kotak mencoba menebak isi kotak tersebut. Perasaan ini bukan hari ulang tahunnya, kotak apa ini, siapa pengirimnya dan apakah kotak ini a
Laras segera turun dari motor dan membayar ojeknya. Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, Laras hanya tak ingin diikuti sampai ke rumah. Dia melangkahkan kakinya ke minimarket depan gang, membeli beberapa barang yang tak diperlunya karena dia hanya ingin menunggu disana. Dari balik kaca minimarket Laras mengamati apakah ada mobil yang berhenti atau tidak. Sebenarnya Laras juga tidak tahu betul apakah dia benar-benar diikuti apa dia hanya parno karena pikirannya hari ini sedang kacau.Tapi dia benar-benar sudah muak diikuti seperti ini dan ingin mencari tahu apa modus mereka. Selama ini Laras merasa tidak punya permasalahan dengan siapapun, tapi jika memang ada hal yang tidak beres, Laras benar-benar ingin menyelesaikannya.Merasa tidak ada orang yang mencurigakan, Laras menghela napas dan mencoba menenangkan pikirannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri gang untuk menuju rumah. Seketika dia menyesal karena memutuskan untuk tidak langsung pulang, lampu sepan
Jeffri memandangi jalanan dari balik kaca mobil dengan tatapan kosong. Di luar terlihat semakin mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Bersamaan dengan itu, hatinya juga tak kalah mendung. Dia kepikiran dengan ucapan Haykal dan tingkah Tyo tadi pagi. Ditambah lagi saat di kantor tadi Laras menanyakan ketidakhadiran Tyo di kantor. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka kemarin?Semakin dipikirkan, Jeffri semakin kesal. Kemudian tangannya refleks mematikan pemutar musik di mobil membuat seseorang di balik kemudi marah.“Kok dimatiin sih?” ujar Dean kesal.“Berisik! Lo bisa gak satu hari aja gak usah dengerin lagu. Lama-lama tua gue dengerin lagu lo mulu.” ucap Jeffri kesal. Pasalnya hampir tiap hari dia turut mendengarkan lantunan tembang kenangan kesukaan Dean, baik di rumah ataupun di mobil.“Dih, mobil gue kok lo yang repot.”“Sehari aja De. Kepala gue lagi pusing nih.”“Kepal
“Apa kabar a’ Tyo?” ujar Haykal tepat saat Laras menghilang di balik pintu.“Baik, kamu gimana?” jawab Tyo seraya membalas jabatan tanda akrab mereka.“Hmm… yaa begitulaah. Eh iya, sorry ya kalau aku ganggu momen beduaan tadi. Udah nungguin tadi sampai pegel. Lama banget pelukannya.” ucap Haykal seraya menyenggol lengan Tyo membuat lelaki itu malu tak mampu menjawab.“A’ Tyo udah lama jadian sama teh Laras?” tanya Haykal yang nyaris membuatnya tercekat.“Hah? Hmm.. ini tidak seperti yang kamu pikirkan Haykal.” ujar Tyo tergagu.“Aahh.. jadi bisanya cuma ngasih bahu doang tapi gak bisa ngasih kepastian.” ledek Haykal yang semakin membuat wajah Tyo memerah. Anak lelaki itu memang paling bisa menggoda Tyo pasal beginian.“A’ bagi rokok dong.” ujar Haykal lagi. Spontan Tyo merogoh saku celananya sampai akhirnya terhenti.“Kam
Tyo mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir yang diam dan menarik napasnya panjang berkali-kali. Mungkin sudah sekitar 10 menit lalu dia berdiam diri sejak memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Laras tapi tak kunjung turun. Jika dilihat dari luar, cahaya rumah itu masih menyala menandakan sang empunya masih terjaga disana. Tapi entah kenapa Tyo masih masih enggan untuk turun dan mengetuk pintu rumah tersebut. Dia menghitung dalam hati dan akhirnya dia memberanikan diri untuk turun. Tak lupa dia membawa bungkusan bubur ayam yang dibelinya di perjalanan. Dia melihat arlojinya menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit dan hanya berharap Laras memang belum tidur. Kedatangannya kesini bukan tanpa alasan. Sejak Jeffri menceritakan kejadian panti tempo hari dia belum sempat menanyakan bagaimana keadaan Laras. Mereka hanya bertemu di kantor dan Tyo bisa melihat kegundahan di wajah ceria Laras. Senyum khas yang biasa menghiasi wajah manisnya berubah bak langit mendung tak bercahaya.
Laras terburu dengan langkahnya saat keluar dari lobby kantor dan langsung naik ke ojek online yang sudah menunggunya. Terbesit dalam hatinya rasa tak enak saat menolak ajakan Cita tadi untuk makan bersama. Tapi mau bagaimana lagi, Laras benar-benar tak ingin menunda pertemuan ini. Beberapa hari ini kepalanya penuh memikirkan bagaimana cara menyelamatkan panti asuhan kakeknya dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.Motor yang dia tumpangi berhenti di salah satu coffee shop dan Laras langsung turun, tentu saja setelah membayar tukang ojek tersebut. Saat memasuki tempat itu, Laras langsung menemukan sosok yang ingin dijumpainya. Tampak seorang lelaki yang tengah duduk santai menyeruput secangkir kopi dan menyambut kedatangan Laras dengan senyum tipis menghiasinya. Sayangnya, senyum itu tampak tak lagi tulus bagi Laras. Bahkan sampai detik ini dia masih tak percaya, bahwa lelaki ini yang mampu membuat Laras kagum dengan sikap dermawan dan ketulusannya. Laras suda
“Ras, makan ayam gepuk yuk. Kangen gue, udah lama nih.” ujar Cita seraya menggandeng lengan sahabatnya mengikuti langkah Laras keluar ruangan kantor, “Sekalian ada yang mau gue ceritain.” sambung Cita lagi saat melihat tak ada jawaban dari Laras. Mumpung tidak ada jatah lembur dan mereka bisa pulang sore, Cita ingin sekali makan ayam gepuk sebelum pulang ke rumah. “Ras..” panggil Cita menggoyangkan lengan Laras, entah sudah berapa kali dalam hari ini Cita mendapati Laras sedang melamun. “Hoi, Laras.” “Kenapa Cit?” tanya Laras bingung, dia benar-benar sedang tidak fokus. “Makan ayam gepuk ayo. Gue laper.” ajak Cita lagi. “Yuk yuk! Ayam gepuk Pak Gendut ya. Gue yang traktir.” sahut Yudha tiba-tiba muncul menghampiri mereka berdua. “Lo makan berdua aja ya, gue ada urusan.” jawab Laras membuat Yudha dan Cita saling tatap. Belum saja keduanya menahan Laras, gadis itu terlihat memburu langkahnya dan masuk duluan ke dalam lift meninggalkan Yu
Laras segera beranjak dari tempat duduknya tapi langkahnya terhenti saat memasuki ruang tamu panti. Terlihat kakeknya duduk di sana bersama beberapa orang. Kakinya ingin sekali melangkah, tapi menyela pembicaraan orang bukanlah etika yang baik seperti yang selama ini diajarkan oleh kakeknya. Sehingga dia memilih untuk mematung sambil mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan.“Maaf, saya tidak bisa.” ucap kakek lirih.“Tapi Pak Bram, keputusan bukan ada di tangan bapak. Kami sudah sepakat untuk menjual tanah ini.”Tubuh Laras semakin membeku mendengar ucapan dari wanita yang duduk di depan kakeknya. Wajahnya tak asing bagi Laras, tapi dia tak bisa mengingat siapa wanita itu. Satu lagi yang tak asing bagi Laras, punggung seseorang yang tampak duduk membelakanginya. Pemilik bahu lebar yang tengah berbicara pada orang di sampingnya, kini menampaknya separuh wajahnya yang memang benar-benar sangat dikenal Laras.“Bagaimana Pa
Laras melihat jam tangannya dan segera membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dari ruangan kantor menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya sebelum pergi untuk menemui klien. “Pas banget, sini Ras, duduk!” ucap seseorang yang dia temui di dalam pantry. “Lo dari tadi disini? Gue pikir meeting.” jawab Laras sembari mengambil air mineral dari dispenser yang tersedia di pojok. Kemudian dia langsung duduk di kursi tepat di hadapan lelaki dengan secangkir kopi di tangannya. “Gue lagi pusing.” ucap Yudha. “Laporan lo direvisi lagi ya?” tanya Laras yang langsung dijawab dengan gelengan Yudha. “Jadi?” tanya Laras lagi. “Cita gak ada cerita apa-apa ke lo?” “Cerita apaan?” “Cerita gue gitu?” tanya Yudha menurunkan nada bicaranya. Laras hanya menggeleng karena tidak paham maksud rekan kerjanya itu. “Gue abis confess ke Cita kemarin.” sambung Yudha membuat bola mata Laras membesar karena bersemangat. “Ser
Jhony dan Laras sudah kembali ke tempat api unggun yang dibuat di tengah-tengah tenda yang berkeliling rapi. Anak-anak panti memang sengaja disuruh tidur dan mereka tidak tahu akan ada acara jelajah malam karena kegiatan ini memang puncak acaranya. Mereka akan dibangunkan lepas tengah malam nanti dan harus menyelesaikan sebuah misi walau dalam keadaan mengantuk. Disitulah keberanian, ketangkasan, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari satu harian tadi diuji. Cita tampak sedang berdiskusi dengan Dara dan Yudha, di seberangnya terdapat Dean yang duduk memeluk kakinya sambil bersenandung pelan ditemani alunan gitar yang dimainkan Tyo. Pemandangan itu langsung menarik perhatian Laras dan berniat untuk bergabung sebelum sebuah interupsi datang. “Guys, kumpul sini. Kita briefing dulu.” titah Cita meminta atensi para panitia. “Laras, kemana aja sih gue cariin.” tiba-tiba Jeffri muncul dengan napas terengah. “Tadi kesana sebentar, lo dari mana?” ta
Pagi-pagi sekali anak-anak panti sudah berbaris di halaman. Bahkan matahari belum juga menunjukkan wujudnya tetapi mereka sudah berkumpul dengan semangat. Tidak ada terlihat wajah yang mengantuk, semua sibuk dengan tas bawaannya dan mengobrol sesama temannya menceritakan berbagai hal dengan senyum terpatri jelas di wajah mereka.“Anak-anak, ayo berbaris yang rapi. Danu dan Bima sebagai pemimpin barisan, siapkan barisannya masing-masing.” terdengar suara Laras memberi perintah dengan sebuah pengeras suara digenggamannya.“Barisan siap!” jawab Danu dan Bima serentak. Adik-adik panti yang akan mengikuti kegiatan persami sudah berbaris rapi. Mereka mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atributnya karena acaranya nanti akan dibuka dengan upacara dan dilanjutkan dengan kegitan kepramukaan lainnya.Laras pun kembali mengambil alih barisan dan memberikan kata sambutan secara singkat sebagai pembuka kegiatan mereka. Saat ini mereka bersi