แชร์

Bab 4

ผู้เขียน: Yedhika Tonago
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-12-05 22:38:24

Bab 4

Bu Ratmi melepaskan pelukannya, lalu menghapus airmata di pipi ini.

" Sudah! Jangan menangis, kamu pasti lelah! Dimana cucu ibu tadi? Rendi adiknya dibawa ke sini," panggilnya pada anak laki-laki tadi.

Entah kemana dia menggendong Aruna, yang pasti sudah tak terdengar lagi tangisannya.

Tak lama, suara bayi yang sedang tertawa semakin terdengar.

" Apa ya, Dik? Ibu ini panggil-panggil, kita kan lagi asyik mainan."

Wajah lucu itu membuat Aruna tertawa lagi.

Anak itu segera menyerahkan Aruna kepada Ibu.

" Ini ya, cucu Nenek yang cantik? Apa sayang? Kamu pasti kedinginan ya, jalan-jalan ke sini."

Ibu seakan bisa berbicara dengan Aruna sehingga bayi berumur sembilan bulan itu tergelak.

" Lucunya cucu Nenek. Siapa namanya Mel?" Ibu menoleh kepadaku.

" Namanya Aruna, Bu."

Belum sempat aku menjawab, sudah di dahului anak yang tadi.

" Kamu sendiri namanya siapa? Dari tadi Mbak tanya kok nggak dijawab?"

Aku berdiri lalu duduk di sampingnya.

" Namanya Rendi, Nduk. Baru setahun tinggal di sini," kata Ibu menjelaskan. Tangannya menggenggam jari jemari Aruna.

Ada yang hangat di sini, di dalam hati.

Ibu Ratmi yang bukan siapa-siapa, bisa dengan mudah jatuh cinta pada anakku.

Sedangkan neneknya kandungnya sendiri, menanyakan saja tidak pernah, apalagi menggendong.

Dimatanya, aku dan Aruna tidak lebih hanya pembawa sial.

Entah apa yang salah pada diri kami sehingga ibu sangat membenci cucu dan menantunya ini.

" Cucu Nenek haus ya, mau minum?"

" Iya, Nek. Aku haus nih!"

Rendi berpura-pura menjadi Aruna.

Mereka tertawa menggoda bayi yang nampaknya haus itu.

Begitu dekat, begitu akrab.

Wajahku kembali memanas, sebelum cairan itu keluar lagi, aku memilih untuk menahannya.

" Ih, Kak Rendi haus juga?" selorohku.

Seketika kami tertawa melihat Rendi menggaruk kepalanya.

" Diberi minum dulu, Nduk!" Ibu menyerahkan Aruna yang sudah menangis.

Dua anak perempuan yang tadinya sudah tidur jadi bangun karena tangisan Aruna.

Keduanya menatap kami bingung, seperti bertanya ada apa?

Bu Ratmi memandang mereka bergantian.

"Rima, Lisa, mulai sekarang Mbak Melati dan adik bayi Aruna akan tinggal bersama kita, ya!"

Mata mereka yang semula mengantuk, terang seketika.

" Mbak Melati tinggal di sini lagi?" tanya Rima, gadis kecil yang selalu menguntitku kemana-mana dulu.

Aku hanya tersenyum.

Salah satu anak yang berambut kriwil itu bertanya. "Beneran, Bu? Wah asyik dong kita jadi ada temennya ya, Lis!"

Dia menoleh pada anak di sampingnya.

"Iya, mbak sama adek mau tinggal di sini lagi? Boleh nggak, Mbak Lisa, Mbak Rima?"

Aku menyebut nama mereka satu persatu.

" Boleh dong, kan malah jadi ramai. Adek bayinya cantik."

Rima menjawil gemas pipi Aruna yang sedang menyusu.

" Sama aku juga dong," sahut Rendi tak mau kalah.

Kami tertawa melihat tingkahnya.

" Sudah-sudah kalian pergi tidur lagi! Biar Mbak Melati juga bisa istirahat. Ibu siapkan makan ya, Nduk! Kamu pasti laper." Bu Ratmi berdiri dan melangkah ke dapur yang terletak di belakang.

" Biar Rendi bantuin, Bu!"

Keduanya berlalu dari pandanganku, sementara Lisa dan Rima sudah tidur lagi.

Kubaringkan Aruna di kasur, tempat tidurku dulu.

Tempat tidur yang biasa kubagi dengan Lastri, sahabat kecilku di panti ini. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Setelah menikah, Mas Agung benar-benar memutus hubunganku dengan dunia luar.

Tubuh kecil itu menggeliat, mungkin lelah karena terlalu lama digendong.

Kupandangi lagi wajah mungil itu, lalu meninggalkan beberapa kecupan di sana.

" Anak bunda, tumbuhlah jadi wanita kuat! Dunia boleh kejam, tapi kita tidak boleh lemah." 

Kubisikkan kalimat itu di telinganya.

" Dia akan sekuat kamu! Percaya kata ibu!" Bu Ratmi mengelus pelan bahuku.

Aku mengangguk lalu menuntun wanita paruh baya itu ke dapur yang menyatu dengan ruang makan.

Nampak hidangan lezat tertata rapi di atas meja. Ada tahu tempe goreng sayur sop dan sambal.

Seketika terbit air liurku.

Cacing di perut sudah menari entah dari kapan.

Seingatku, belum ada yang memberi mereka makan dari tadi pagi.

Ibu Sri tidak akan membiarkan menantunya ini untuk beristirahat walau hanya sekedar mengisi perut.

Padahal ibu menyusui seperti aku gampang sekali merasa lapar.

Rendi sudah duduk dengan tenang, nampak dihadapannya satu piring nasi lengkap dengan lauk.

" Ayo, makan dulu, Nduk!"

Bu Ratmi menyedokkan nasi ke piring setelah aku duduk.

Tangannya cekatan mengisi piring dengan sayur, disusul tempe dan ayam goreng yang hanya sepotong.

Ibu pasti menyisihkannya untukku. Aku tahu betul, ayam goreng adalah lauk mewah di sini.

Hanya di waktu-waktu tertentu kami dapat menikmatinya.

Maklum saja, Ibu hanya mengandalkan bantuan dari donatur setiap bulan.

Kadang banyak, kadang tidak ada sama sekali.

Untuk mencukupi kebutuhan kami, Bu Ratmi juga menerima pesanan kue dan beragam masakan.

Kue-kue itu juga yang aku dan Lastri bawa untuk dijajakan di sekolah.

Tidak ada kata malu dalam hidup kami, karena kami memang tidak pernah diinginkan.

" Makan yang banyak!

Kamu kan sedang menyusui, ada anak yang ikut makan juga lewat air susu."

Kata-kata Ibu membuat kerongkonganku tersekat.

Susah payah kutelan nasi dalam mulutku.

Perhatian itu harusnya kudapat di rumah itu, rumah yang Mas Agung janjikan membawa kebahagiaan untukku. Nyatanya tak lebih dari neraka.

Wajahku kembali memanas.

" Dibilangin kok, malah nangis? Makan dulu!"

Disodorkannya gelas berisi air putih.

Aku menenggaknya sampai habis, berharap sesak itu ikut hilang.

" Mbak Melati malah nangis. Kalau nggak dimakan, ayamnya buat aku,lho!" canda Rendi kemudian.

Mau tidak mau aku tersenyum, airmataku luruh begitu saja diiringi tawa.

" Ren, piring kotornya dicuci sekalian, ya! Punya Mbakmu juga, dia kan baru datang, masih capek."

" Lah Bu, aku juga capek. Baru dateng sudah suruh cuciin piring, gimana nanti kalau sudah tinggal di sini?" gerutu Rendi sambil mengemas sisa nasi dan lauk.

" Ya nanti sekalian cuci baju sama momong Dek Aruna juga, Ren!" timpalku.

Seketika bocah berkulit sawo matang itu nyengir kuda.

Dibawanya piring kotor itu, tak lama terdengar gemericik air.

" Rendi, anaknya baik, ya? Memang kenapa dia bisa tinggal di sini, Bu?"

Aku menyeret kursi untuk lebih mendekat pada Bu Ratmi.

" Iya. Jadi setahun yang lalu pas Ibu ke pasar, dia sedang kedapatan mencuri. Warga sudah sangat marah pada waktu itu dan hampir saja menghakimi Rendi dengan kejam. Beruntung ibu mengetahuinya. Ibu bilang saja kalau dia anak ibu dan ibu minta maaf karena dia sudah mencuri. Ibu berjanji akan mendidiknya lebih baik lagi."

Ibu menoleh ke arah dapur memastikan Rendi tidak mendengarnya.

Aku ikut menoleh.

"Kasihan Rendi," gumamku pelan.

Ibu melanjutkan ceritanya lagi.

"Jadi Ibu terpaksa berbohong supaya Rendi tidak diamuk masa. Setelahnya ibu mengajak dia pulang ke rumah ini, karena ternyata dia gelandangan yang mencuri sepotong roti untuk mengganjal perut."

"Ya Allah."

Aku membekap mulut. Tidak menyangka perjalanan hidup anak sekecil itu sudah sangat tragis.

Setidaknya aku lebih beruntung tidak perlu tinggal di jalanan.

Kalau tidak ke sini, kemana lagi aku akan membawa Aruna?

Kami berpura tidak membicarakan sesuatu saat Rendi kembali.

" Sudah selesai, Bu," lapornya dengan tersenyum.

" Ya sudah, sana tidur!" perintahku.

Dia menggeleng dan malah duduk di samping Ibu.

" Mau dengerin cerita mbak aja."

Aku pura-pura melotot ke arahnya.

"Anak kecil ini!"

"  Jadi bagaimana kabar Agung, Nduk?" tanya Ibu kemudian.

Dadaku bergemuruh kembali mendengar nama itu.

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 5

    Aku menautkan jari jemari, mencari kata yang sesuai, saat Ibu menanyakan kabar suamiku itu. Bagaimanapun beliau pernah melarang secara halus hubunganku dengan laki-laki yang lima tahun lebih tua dariku itu. Ibu pernah menasehatiku. "Nduk, pikirkan kembali apa kamu sudah mantap menerima pinangan Agung, Ibu lihat kalian terlalu terburu-buru." Aku yang baru berusia sembilan belas tahun kala itu, baru mekar-mekarnya jika diumpamakan. " Tidak, Bu. Mas Agung sudah mantap melamarku, ibunya juga akan datang kemari. Lebih baik menikah to, Bu? Daripada kami pacaran?" " Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu ikut saja. Apa keluarganya sudah tahu tentang keadaanmu ini?" tanya Ibu lagi dengan nada khawatir. Siapa yang tidak mengenal keluarga Mas Agung di kota ini? Salah satu kalangan ningrat yang konon katanya masih keturunan keraton? Kekayaan mereka tidak perlu diragukan lagi. Swalayan yang tersebar di berbagai sudut kota, sudah menunjukkan derajat mereka. Dibandingkan dengan d

    ปรับปรุงล่าสุด : 2022-12-05
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   BAB 6

    Pov Author Melati membaringkan tubuhnya di sebelah Aruna. Netranya memandang langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan, saat Agung melepas kepergiannya tadi. "Apa sudah tidak ada cinta di hatimu, Mas?" gumamnya. Lamat-lamat, sinar lampu mulai meredup dan semakin mengecil. Tak lama, perempuan bertubuh mungil itu terlelap dalam tidur. "Oa ... oe...." suara tangis Aruna memecah keheningan pagi. Melati membuka matanya yang terasa berat, rasanya baru beberapa jam lalu dia tertidur, eh sudah pagi saja. "Kenapa anak Ibu? Lapar ya? Sini sayang!" Melati mengangkat tubuh bayi itu dengan hati-hati. Lalu bersiap mengASInya. Dari luar, terdengar jerit tawa anak-anak yang sedang bermain. Melati menepuk pelan punggung Aruna hingga bersendawa. "Kita keluar ya, Nak! Lihat kakak-kakak lagi main, kamu pasti seneng!" Melati membongkar pakaian Aruna di dalam tas, mengambil satu baju dan celana lalu membawanya keluar. "Eh, kamu sudah bangun, Mel?" sapa Ratmi yang baru saja selesai memasa

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-12
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 7

    Pov Author "Ibu.... jangan sakiti Mbak Eka, ini bukan kesalahannya!" Seketika laki-laki bertubuh jangkung itu menjauhkan tangan ibunya dari wajah Eka. Sudah terlihat bekas gambar lima jari di wajahnya, tapi perempuan itu tetap saja diam dan menundukkan kepalanya. "Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi Agung! Selama kau masih mau tinggal di sini!" ucap Sri dengan berang. Susah payah ia mengusir Melati, eh begitu berhasil, anak perempuannya sendiri yang menggagalkannya. "Maaf, Bu! Aku tidak bermaksud-" "Ah, sudah tutup mulutmu! Jangan sampai aku melihatmu mempengaruhi Agung lagi! Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" Sri meninggalkan dua bersaudara itu begitu saja. Agung menghampiri kakaknya. "Maafkan aku ya, Mbak! Gara-gara aku, mbak sampai dipukul ibu." Agung meminta maaf seperti saat mereka masih kecil. Eka yang berumur lima tahun lebih tua, selalu melindunginya dari amarah Sri. Begitu erat persaudaraan mereka, walau Sri kerap membedakan keduanya. "Mbak nggak apa-apa, k

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-13
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 8

    Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-17
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 9

    Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-17
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 10

    Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-23
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 11

    pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant

    ปรับปรุงล่าสุด : 2023-04-23
  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 12

    Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-02-17

บทล่าสุด

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   bab 16

    Apa itu Aruna? Aruna Kinanti?Agung memarkirkan mobil di depan toko yang nampak ramai itu.Jam makan siang baru saja berakhir, tapi masih nampak beberapa orang asyik memilih kue yang dipajang di etalase.Salah seorang pegawai menghampirinya."Mari, Pak. Silahkan mau beli kue apa?" sapanya ramah.Aku tersenyum lalu menerima nampan yang ia berikan.Toko kue berkonsep minimalis ini menyajikan beragam kue yang cukup lengkap.Ada juga kue tradisional yang bersanding manis dengan cake dari luar negeri.Barisan toples berisi kue kering juga berjajar rapi.Sesaat ingatan Agung melayang, istrinya itu juga gemar membuat kue dengan seperti itu."Ini, Mas! Cobain deh nastar yang aku buat!" Wanita yang masih memakai celemek itu menyodorkan sepotong kue nastar ke mulutnya."Gimana enak, nggak?" matanya mengerjap penuh harap."Rencananya aku mau buat kue itu untuk dibawa ke rumah ibu pas lebaran nanti!" Agung masih tekun mengunyah, dicomotnya lagi beberapa biji dari loyang yang masih panas."Iihhh

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 15

    "Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 14 Rumahku rata dengan tanah

    "Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 13

    Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 12

    Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 11

    pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 10

    Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 9

    Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 8

    Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa

DMCA.com Protection Status