Aku menautkan jari jemari, mencari kata yang sesuai, saat Ibu menanyakan kabar suamiku itu.
Bagaimanapun beliau pernah melarang secara halus hubunganku dengan laki-laki yang lima tahun lebih tua dariku itu.Ibu pernah menasehatiku."Nduk, pikirkan kembali apa kamu sudah mantap menerima pinangan Agung, Ibu lihat kalian terlalu terburu-buru."Aku yang baru berusia sembilan belas tahun kala itu, baru mekar-mekarnya jika diumpamakan." Tidak, Bu. Mas Agung sudah mantap melamarku, ibunya juga akan datang kemari. Lebih baik menikah to, Bu? Daripada kami pacaran?" " Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu ikut saja. Apa keluarganya sudah tahu tentang keadaanmu ini?" tanya Ibu lagi dengan nada khawatir.Siapa yang tidak mengenal keluarga Mas Agung di kota ini? Salah satu kalangan ningrat yang konon katanya masih keturunan keraton?Kekayaan mereka tidak perlu diragukan lagi. Swalayan yang tersebar di berbagai sudut kota, sudah menunjukkan derajat mereka. Dibandingkan dengan diri ini, tidak ada apa-apanya. Siapa yang menghadirkanku ke dunia saja, aku tidak pernah tahu.Aku termenung sejenak. Apa Mas Agung sudah menceritakan asal usulku pada Ibunya?Seingatku pada saat aku diajak ke sana, Ibu Sri tidak banyak bicara."Sudah. Keluarga Mas Agung sudah tahu, Bu." Akhirnya aku memilih berbohong agar ibu tidak terus khawatir.Ibu menghela napas panjang."Syukurlah jika begitu! Yang penting kamu sudah berkata jujur pada mereka, alhamdulillah mereka bisa menerima. Ibu ikut saja jika kamu sudah mantap. Baik-baiklah membawa diri!"" Insyaallah, Bu.Melati akan ingat nasehat ibu."Aku sendiri gamang dengan keputusanku, walau Mas Agung berulangkali meyakinkan.Flash back on" Kamu sudah pikirkan matang-matang, Mas? Bagaimana bisa kamu memilih aku jadi istrimu? Sementara aku ini cuma pegawai di swalayan milikmu." Sekali lagi aku bertanya pada Mas Agung.Laki-laki bertubuh tegap itu mengenggam tanganku."Kenapa kamumasih tidak percaya? Aku sudah katakan berulang kali, aku tidak pernah memandang semua itu. Bagiku semua orang sama di depan Tuhan, aku memilih kamu menjadi istriku karena aku jatuh cinta padamu."Kami baru saja keluar dari swalayan setelah aku menyelesaikan shift kerjaku.Mas Agung membawaku ke sebuah taman tidak jauh dari pusat kota.Aku tersipu mendengarnya, walau Ibu sudah berpesan agar tidak mudah termakan rayuan laki-laki, tetap saja hatiku berbunga-bunga.Aku yang baru beranjak dewasa belum mengenal seluk beluk dunia.Apalagi pembawaan Mas Agung yang kalem, dirinya bisa memposisikan sebagai seorang kakak, bahkan ayah untukku.Sosok laki-laki yang belum ada dalam bayanganku, menjelma dalam diri Mas Agung.Kami layaknya pasangan yang dimabuk cinta. Baru kali ini juga aku merasakan debaran halus di dada saat berada di sampingnya.Tak kupungkiri memang mataku sudah dibutakan cinta. Bahkan saat keluarga Mas Agung terutama ibunya menanggapi dingin kedatanganku.Masih kuingat sindiran halus Bu Sri."Kamu yakin menikahi wanita seperti dia, Gung? Orangtuanya saja tidak tahu di mana? Bagaimana dengan bobot, bibit, dan bebetnya? Apa bisa dia mengikuti aturan di rumah ini?"Mas Agung yang membawaku ke rumah untuk meminta restu masih tetap kekeh." Agung yakin, Bu. Melati anak yang baik, walau tinggal di panti, tapi dia tumbuh dengan ajaran yang baik dari ibu pantinya."tutur Mas Agung lembut.Aku hanya bisa menunduk, meremas celana yang kupakai untuk mengurangi ketegangan.Keringat dingin membasahi pelipis ini, seumur hidup baru kali ini bertemu dengan sosok sedingin itu.Tadinya aku membayangkan sosok lemah lembut seperti Ibu panti, tapi bayangan itu lenyap seketika saat kulihat sorot tajam wanita yang melahirkan Mas Agung itu." Tapi, Gung, dia cuma pelayan di toko kita. Apa kamu lupa itu? Bisa-bisanya kamu jatuh hati pada perempuan ini?" Bu Sri memandangku dari atas ke bawah.Lidah ini terasa kelu. Aku memang cuma anak buangan yang tidak sengaja jatuh cinta pada bosku sendiri, tapi belum pernah ada yang memandangku sebegitu buruk.Mas Agung menoleh ke arahku, tatap matanya seolah meminta untuk tenang. Setelah itu ia berdiri, lalu menghampiri ibunya. "Ibu, aku sudah yakin dengan pilihanku. Melati akan menjadi ibu yang baik dan menantu yang berbakti pada ibu Iya kan, Mel?"Mas Agung memanggil namaku, yang hanya kubalas dengan anggukan kepala. Seutas senyum coba kuulas, tapi Bu Sri hanya membuang muka." Tetap saja ibu tidak setuju," ucapnya dengan nada keras. Aku menggelengkan kepala pada Mas Agung saat pandangan kami beradu."Aku mundur!"Seakan ingin kuteriakkan kalimat itu.Namun, Mas Agung malah melepaskan tangannya dari bahu sang Ibu."Baiklah, kalau Ibu tidak merestui kami, detik ini juga kami akan pergi dari sini! Jangan pernah cari aku lagi, Bu!Ayo, Mel!" Mas Agung bergegas menghampiriku."Aaku ... kita ... Mas."Ku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang setengah menyeretku." Agung!"Wanita paruh baya itu berdiri seketika.
"Kalian berdua berhenti di situ!" teriaknya sebelum kaki ini melangkah keluar.
Kami masih bergeming. Saat aku menoleh, Mas Agung memberi isyarat agar kami meneruskan langkah.Benar saja, baru mau melangkah lagi, suara Ibu Sri kembali menggema." Jangan ada yang pergi dari sini, aku akan merestui hubungan kalian!" Apa telingaku tidak salah dengar? Benarkah kata-kata itu?Mas Agung berbalik lalu menatap ibunya, seakan tidak percaya."Ibu serius, kan?" Laki-laki yang bertubuh tegap itu mengulangi pertanyaannya."Hem, tentu saja. Kalian boleh menikah, tapi ...." Bu Sri kembali duduk di kursi kebesarannya.Aku dan Mas Agung saling berpandangan." Apa Bu? Kok pakai tapi?" Kami menjawab serentak."Ada syaratnya! Setelah menikah, istrimu itu yang akan mengurus segala keperluanku dan rumah ini!""Tentu saja, Bu! Sebagai menantu, Melati akan mengurus ibu dengan baik, bukan begitu, Mel?"Mas Agung menoleh ke arahku yang kujawab dengan anggukan.
Tentu saja, aku akan mengurus ibu dengan sebaik-baiknya. Sesuatu yang tidak bisa kulakukan untuk ibu kandungku, setidaknya bisa kulakukan pada ibu yang melahirkan Mas Agung itu.Bayanganku sudah dipenuhi dengan rencana-rencana manis yang akan aku lakukan bersama ibu mertua.Namun, rencana tinggal rencana.Kenyataannya, bak panggang jauh dari api.Flash back off" Mbak, ditanyain Ibu tu, lho!"Suara Rendi membuyarkan pikiranku yang melayang pada hari itu. Hari dimana awal dari kesedihan di hidupku.
"Eh iya, Bu. Mas Agung sudah mengusir kami," jawabku lirih.Ibu nampak termenung, sesaat suasana hening."Kalau begitu, Mbak Melati bisa tinggal di sini sama kita ya, Bu!" Rendi menggoyang tangan ibu pelan.Ibu mengangguk pelan."Sekarang kalian pergilah tidur, besok kita bicara lagi!" ucapnya sambil berlalu ke kamar.Kulihat raut wajah ibu berbeda.Aku tidak mengerti tapi hatiku berkata ada yang tidak baik-baik saja.Bagjamana ini? Bagaimana kalau ibu tidak mengijinkan aku tinggal di sini?Kemana aku harus membawa Aruna?Pov Author Melati membaringkan tubuhnya di sebelah Aruna. Netranya memandang langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan, saat Agung melepas kepergiannya tadi. "Apa sudah tidak ada cinta di hatimu, Mas?" gumamnya. Lamat-lamat, sinar lampu mulai meredup dan semakin mengecil. Tak lama, perempuan bertubuh mungil itu terlelap dalam tidur. "Oa ... oe...." suara tangis Aruna memecah keheningan pagi. Melati membuka matanya yang terasa berat, rasanya baru beberapa jam lalu dia tertidur, eh sudah pagi saja. "Kenapa anak Ibu? Lapar ya? Sini sayang!" Melati mengangkat tubuh bayi itu dengan hati-hati. Lalu bersiap mengASInya. Dari luar, terdengar jerit tawa anak-anak yang sedang bermain. Melati menepuk pelan punggung Aruna hingga bersendawa. "Kita keluar ya, Nak! Lihat kakak-kakak lagi main, kamu pasti seneng!" Melati membongkar pakaian Aruna di dalam tas, mengambil satu baju dan celana lalu membawanya keluar. "Eh, kamu sudah bangun, Mel?" sapa Ratmi yang baru saja selesai memasa
Pov Author "Ibu.... jangan sakiti Mbak Eka, ini bukan kesalahannya!" Seketika laki-laki bertubuh jangkung itu menjauhkan tangan ibunya dari wajah Eka. Sudah terlihat bekas gambar lima jari di wajahnya, tapi perempuan itu tetap saja diam dan menundukkan kepalanya. "Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi Agung! Selama kau masih mau tinggal di sini!" ucap Sri dengan berang. Susah payah ia mengusir Melati, eh begitu berhasil, anak perempuannya sendiri yang menggagalkannya. "Maaf, Bu! Aku tidak bermaksud-" "Ah, sudah tutup mulutmu! Jangan sampai aku melihatmu mempengaruhi Agung lagi! Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" Sri meninggalkan dua bersaudara itu begitu saja. Agung menghampiri kakaknya. "Maafkan aku ya, Mbak! Gara-gara aku, mbak sampai dipukul ibu." Agung meminta maaf seperti saat mereka masih kecil. Eka yang berumur lima tahun lebih tua, selalu melindunginya dari amarah Sri. Begitu erat persaudaraan mereka, walau Sri kerap membedakan keduanya. "Mbak nggak apa-apa, k
Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa
Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda
Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
Apa itu Aruna? Aruna Kinanti?Agung memarkirkan mobil di depan toko yang nampak ramai itu.Jam makan siang baru saja berakhir, tapi masih nampak beberapa orang asyik memilih kue yang dipajang di etalase.Salah seorang pegawai menghampirinya."Mari, Pak. Silahkan mau beli kue apa?" sapanya ramah.Aku tersenyum lalu menerima nampan yang ia berikan.Toko kue berkonsep minimalis ini menyajikan beragam kue yang cukup lengkap.Ada juga kue tradisional yang bersanding manis dengan cake dari luar negeri.Barisan toples berisi kue kering juga berjajar rapi.Sesaat ingatan Agung melayang, istrinya itu juga gemar membuat kue dengan seperti itu."Ini, Mas! Cobain deh nastar yang aku buat!" Wanita yang masih memakai celemek itu menyodorkan sepotong kue nastar ke mulutnya."Gimana enak, nggak?" matanya mengerjap penuh harap."Rencananya aku mau buat kue itu untuk dibawa ke rumah ibu pas lebaran nanti!" Agung masih tekun mengunyah, dicomotnya lagi beberapa biji dari loyang yang masih panas."Iihhh
"Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da
"Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p
Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda
Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa