Pov Author
"Ibu.... jangan sakiti Mbak Eka, ini bukan kesalahannya!" Seketika laki-laki bertubuh jangkung itu menjauhkan tangan ibunya dari wajah Eka.
Sudah terlihat bekas gambar lima jari di wajahnya, tapi perempuan itu tetap saja diam dan menundukkan kepalanya.
"Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi Agung! Selama kau masih mau tinggal di sini!" ucap Sri dengan berang.
Susah payah ia mengusir Melati, eh begitu berhasil, anak perempuannya sendiri yang menggagalkannya.
"Maaf, Bu! Aku tidak bermaksud-"
"Ah, sudah tutup mulutmu! Jangan sampai aku melihatmu mempengaruhi Agung lagi! Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" Sri meninggalkan dua bersaudara itu begitu saja.
Agung menghampiri kakaknya.
"Maafkan aku ya, Mbak! Gara-gara aku, mbak sampai dipukul ibu."
Agung meminta maaf seperti saat mereka masih kecil.
Eka yang berumur lima tahun lebih tua, selalu melindunginya dari amarah Sri.
Begitu erat persaudaraan mereka, walau Sri kerap membedakan keduanya.
"Mbak nggak apa-apa, kok! Ingat pesan mbak tadi, pastikan Melati dan keponakan mbak baik-baik saja, ya!" Wanita itu mengulas senyum sebelum hilang di balik pintu.
Diam-diam, ia mengusap bulir di sudut matanya dengan punggung tangan.
Nasibnya tidak lebih baik dari Agung. Kalau Agung yang sudah menikah saja masih dikuasai ibunya?
"Bagaimana bisa aku menikah? Kalau sikap ibu seperti ini? Mana ada laki-laki yang mau menikahiku?" Begitu ketakutan Eka setiap kali ada laki-laki yang mendekatinya.
"Ayo Melati, angkat teleponnya!" desis Agung saat panggilannya berhasil tersambung.
"Argggh, kenapa tidak diangkat?Apa kamu benar-benar marah padaku, Mel?" racaunya lagi.
Agung melempar gawai di tangannya begitu saja ke ranjang.
"Lebih baik kususul saja, dia ke panti sekarang!"
Agung tidak membersihkan diri, ia hanya mengganti pakaian lalu menyambar kunci mobil di atas nakas.Setengah berlari, kakinya yang jenjang menuruni anak tangga.
"Kamu mau kemana, Gung?" Suara Sri menghentikan langkah Agung.
Saking terburu-buru, laki-laki itu tidak melihat Sri yang sedang sarapan di ruang tengah.
"Ini sudah siang, aku mau ke toko, Bu! Memeriksa beberapa stok barang yang habis!"
Agung memutar badannya lalu menghampiri Sri yang duduk di meja makan.
Wanita itu menatap dengan pandangan menyelidik. "Beneran kamu mau ke toko? Bukan mencari wanita itu?
"Benar, Bu. Aku harus mengecek lagi laporan yang dibuat Anwar kemarin!" Agung menyebut nama seorang karyawan yang selama ini dipercaya sang ibu untuk membantunya mengelola toko.
"Baiklah, ibu percaya! Kamu tidak akan membuat ibumu ini sakit jantung lagi!" Sri menurunkan sendok di tangannya lalu meraih gelas berisi air putih.
Agung bernapas lega, setidaknya sang ibu percaya.Perkara ia berbohong, itu urusan nanti.
Dengan ringan ia melangkah, bayangan Aruna seakan melambai-lambai padanya.
Beruntung lalu lintas tidak begitu padat, Agung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sesekali di lihatnya layar gawai yang dilemparnya tadi.
Jari tangan kirinya menekan tombol hijau berkali-kali untuk menghubungi Melati.
Namun, hasilnya nihil."Mungkin Melati masih marah, tak apa! Setelah ini aku akan minta maaf dan membawanya pulang!" gumam Agung pelan.
Perjalanan satu jam terasa sangat lama, begitu sampai di perempatan jalan, Agung berusaha mengingat letak panti itu.
Maklum, sudah hampir tiga tahun, dan bangungan di sekitar lingkungan itu sudah banyak berubah.
Banyak gedung berlantai dua, yang menyulitkan Agung untuk menemukan tempat itu.Matanya menyipit begitu melihat bangunan sederhana yang terletak di kanan jalan.
Laki-laki itu dengan tidak sabar menepikan mobilnya dibelakang sebuah truk yang sedang parkir. Dilihatnya bangunan panti itu masih sama seperti dulu. Tidak banyak berubah seperti bangunan di samping kanan dan kirinya.
Seorang anak perempuan dan laki-laki nampak bermain di halaman.
Agung mengatur napasnya lalu turun dari mobil."Dek, mbak Melati apa ada?" Agung berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan anak perempuan yang sedang duduk di tanah.
"Mbak Mela?" tanya anak itu.
"Iya, maksudnya Mbak Melati dan Aruna, apa mereka tinggal di sini?"
Bukannya menjawab, Lisa berlari ke arah Rendi yang mendekat, mereka terlihat berbisik sebentar.
Dengan tidak sabar, Agung menghampiri keduanya.
"Mbak Mela sama dik Aruna sedang pergi!" Rendi sampai mendongak demi menjawab pertanyaan laki-laki di depannya.
"Jadi benar mereka tinggal di sini? Syukurlah!" Agung mengusap wajahnya.
"Tapi mbak Mela sedang pergi."
"Pergi kemana?" Agung sudah tidak sabar ingin bertemu dengan mereka.
"Pergi belanja sama ayahnya Aruna!" Jawaban Rendi sontak membuat Agung terkejut.
Pikirannya berkecamuk, Melati pergi dengan seorang laki-laki? Siapa? Siapa yang berani mengaku sebagai ayahnya Aruna?
"Om tunggu di sini ya!" Agung melangkah ke teras lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi.
Teras yang sebagian dindingnya dipenuhi dengan tanaman."Itu mereka datang. Ye, mbak Melati pulang, tadi om itu janji mau beliin kita mainan ya, Kak! Tadi aja kita dibawain cemilan." Celoteh Lisa.
Agung mengikuti jari telunjuk Lisa. Ekor matanya menangkap mobil yang tidak asing terparkir di halaman panti.Beruntung tadi ia duduk di teras jadi ia bisa leluasa melihat ke arah jalan tanpa harus menampakkan diri.
Ia penasaran siapa laki-laki yang pergi bersama istrinya?"Mobil itu...." Desis Agung.
Dadanya bergemuruh melihat pemandangan di depan mata.
Bagaimana bisa wanita yang baru saja pergi dari rumah itu, bisa tersenyum bersama laki-laki lain.
Tak nampak sedikitpun kesedihan di wajahnya.Begitupun Aruna, bayi kecil itu tertidur lelap dalam gendongan laki-laki itu.
Sesekali keduanya melempar senyum
Mereka terlihat seperti keluarga bahagia.
Kurang ajar! Apa jangan-jangan benar kalau Aruna bukan darah dagingnya?
Kenapa mereka bisa sedekat itu? Apa yang tidak diketahuinya selama ini?
Cemburu memenuhi rongga hatinya.
Tangan Agung mengepal kuat, tapi ia masih menahan diri.
Samar-samar suara itu mendekat."Terima kasih ya, Mas! Sudah mau nganterin aku sama Aruna!"
Agung mengintip dari balik tanaman, Melati sedang meraih Aruna dari gendongan laki-laki itu."Iya sama-sama. Kalau ada perlu sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku ya! Biar bagaiamanapun, Aruna juga putriku!"
Duuaaarrr....
Agung merasakan ledakan di dalam dadanya.
Seketika ia menendang pot yang ada di hadapannya.
"Mas... Mas Agung?" Melati terbata-bata menyebut nama suaminya yang muncul dari balik teras.
"Loh, Pak Agung...." ucap laki-laki itu sama kagetnya.
"Kenapa??? Kalian kaget, hah?" Agung menyeringai tajam.
Dipandangnya Melati dengan tatapan, entah.
Rendi yang melihat kekacauan itu segera meraih Aruna dari gendongan Melati lalu menuntun Lisa ke dalam rumah.
Dua anak itu terlihat ketakutan. Apalagi Ratmi sedang pergi mengurus sesuatu ke kantor kelurahan.Rendi bergidik melihat pancaran kemarahan di mata laki-laki itu.
"Semoga semua baik-baik saja!" Anak laki-laki itu merapal doa.
Setelah anak-anak itu masuk.
Melati maju satu langkah demi memeluk suaminya.
"Mas, kamu sudah lama di sini?" ucapnya haru, menahan rindu seakan sudah begitu lama mereka terpisah.
Tangannya bergerak untuk meraih jemari suaminya.Namun, Agung malah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Melati.
"Berhenti di situ, wanita kotor! Jangan sampai kau berani menyentuhku!" Agung menatap tajam pada Melati.
Dilihatnya mata bening itu sudah berkaca-kaca.
"Apa... apa maksudmu, Mas?" suara Melati bergetar menahan marah.
"Jangan dekati aku, Mengerti!"
"Kenapa pak Agung?" Laki-laki yang sedari tadi diam itu berusaha menyela.
Tiba-tiba Agung meringsek maju mendekati laki-laki yang mengaku sebagai ayah Aruna itu.Bugggghhhh.... satu pukulan ia layangkan di perutnya.
"Mas...." teriak Melati lantang.
"Dasar kau tidak tahu diuntung! Berani kau menusukku dari belakang, hah!"
Agung belum berhenti mendaratkan pukulannya sampai tangannya menghantam tubuh Melati yang tiba-tiba pasang badan demi laki-laki itu.
"Kamu...." desis Agung.
Assalamualaikum, Kak, sudah update bab baru, ya! Sila membaca, sehat selalu untuk kakak semua.🙏
Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa
Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda
Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
"Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc
"Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da
Apa itu Aruna? Aruna Kinanti?Agung memarkirkan mobil di depan toko yang nampak ramai itu.Jam makan siang baru saja berakhir, tapi masih nampak beberapa orang asyik memilih kue yang dipajang di etalase.Salah seorang pegawai menghampirinya."Mari, Pak. Silahkan mau beli kue apa?" sapanya ramah.Aku tersenyum lalu menerima nampan yang ia berikan.Toko kue berkonsep minimalis ini menyajikan beragam kue yang cukup lengkap.Ada juga kue tradisional yang bersanding manis dengan cake dari luar negeri.Barisan toples berisi kue kering juga berjajar rapi.Sesaat ingatan Agung melayang, istrinya itu juga gemar membuat kue dengan seperti itu."Ini, Mas! Cobain deh nastar yang aku buat!" Wanita yang masih memakai celemek itu menyodorkan sepotong kue nastar ke mulutnya."Gimana enak, nggak?" matanya mengerjap penuh harap."Rencananya aku mau buat kue itu untuk dibawa ke rumah ibu pas lebaran nanti!" Agung masih tekun mengunyah, dicomotnya lagi beberapa biji dari loyang yang masih panas."Iihhh
"Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da
"Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p
Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda
Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa