“Delon, akhir-akhir ini kamu terlihat ceria, Nak. Ada apa gerangan?”
Papa tersenyum menatapku. Sepulang kerja, aku duduk di samping Papa. Kami sering saling curhat, tapi Papa paling sering mengamati perubahan sikapku. Papa begitu peka meksi aku berusaha bersikap biasa saja.
“Gak ada, Pa. Hanya senang saja bisa kerja jadi pelayan,” kilahku.
“Kamu ini aneh. Kalau untuk mengetahui karyawan yang jujur, rajin atau malas-alasan, wajar-wajar saja sih kamu menyamar jadi pelayan. Tapi kalau keterusan jadi pelayan, kok jadi aneh, ya? Harusnya pikrikan bagaimana bisnis kafemu berkembang, atau juga buka cabang baru. Kalau kamu semakin sukses, mungkin akan lebih mudah mendapatkan wanita yang cocok,” beber Papa.
“Pa, tak semua wanita suka kekayaan. Masih ada kok perempuan yang lebih menghargai lelaki miskin yang berjuang keras,” sangkalku. Salah kalau Papa berpikir semua wanita matre dan jatuh cinta jika si lelaki kaya ra
“Kok malah bilang mau melamarku sih, Delon? Kasihan tuh pacar kamu, dia jadi mengira kalau kamu selingkuh sama aku. Sampai nangis gitu. Ayo sana kejar dia daripada makin salah paham.”Wina mencubit lenganku yang masih memandangi ke arah larinya Dina. Aku menatap mantanku itu sampai jauh hanya takut kalau dia mengabaikan putranya dan sampai tertinggal di tempat perbelanjaan ini. Gawat kalau sampai anak kecil kehilangan ibunya di tempat ramai seperti ini.Aku tersenyum dan menatap perempuan tomboy di hadapanku. “Kami tak ada hubungan lagi, Win. Dia itu mantanku, seorang janda anak satu. Dia sendiri yang memutuskanku dan katanya tak ingin bertemu lagi,” ujarku.Wina membulatkan mulut, lalu mengangguk. “Masih cantik dan modis, ya, meskipun sudah punya anak. Hmmm, kayaknya dia sudah menyesal deh dengan keputusannya hari itu. Apa salahnya kasih kesempatan kedua? Setiap orang berhak berubah, kan?” tanya gadis itu dengan ekspresi datar.“Tapi hatiku sudah terlanjur dicuri orang,” balasku, lal
Sudah tiga hari sejak menghilangnya Wina, aku tak menemukan kabar apapun. Tak ada yang bisa melacak keberadaannya sekarang. Aku seperti kembali ke titik nol, hidup tak bergairah.“Sudahlah, Bro. Jangan terlalu memikirkan karyawan baru itu. Yang penting tak ada barang-barang kita yang hilang dari kafe ini. I8tu saja sudah cukup. Lagian, aku sudah bilang kalau gadis itu bukan orang baik dan buktinya dia menghilang begitu saja tanpa ada bilang sama siapa-siapa. Pasti itu orang gak mau kerja berat. Dia takut capek dan mungkin kini sudah mendapat pekerjaan yang gampang dengan gaji besar. Kita bisa menemukan pengantinya yang lebih baik.”Andika menepuk-bepuk pundakku. Ya, setahu dia, aku uring-uringan karena berhentinya Wina sebagai karyawan saat kafe lagi ramai-ramainya. Padahal, aku sedang galau karena hatiku yang dicuri Wina dan rasanya tak enak hidup separuh hati. Senyuman gadis itu begitu natural dan selalu membayangi malam-malamku. Kuyakin dia adalah gadis tepat yang diciptakan untukk
“Kamu bilang apa sama Dina memangnya, Delon? Kok dia nangis sambil bawa anaknya pulang? Padahal anaknya lagi tidur nyenyak loh.”Mama langsung mencecar dengan pertanyaan setelah Dina pulang. Setelah selesai mengobrol tadi, wajah Dina memang langsung berubah masam. Entah dia tersinggung dengan ucapanku, atau memang karena malu. Aku berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Sejak mengenal Dina dan punya hubungan khusus, dia selalu dapat jatah bulanan dariku. Sering juga memberikan barang untuk putranya.Sebelum putus malam itu, dia menolakku, tapi membawa cincin yang kuberikan. Padahal, jika memang tak mau jadi pendampingku, dia tak berhak atas cincin itu. Setelah dia menjualnya dan mungkin kini kekurangan uang, wanita itu mendekati orang tuaku agar kami bisa bersatu lagi. Buat apa menjalin hubungan jika punya kepentingan sendiri? Aku butuh yang tulus menemaniku di sisa usia.“Delon, Mama gak habis pikir ya, dengan pola pikiranmu. Ada perempuan cantik yang jelas-jelas mau menikah denganmu
“Silakan masuk, Bro!” Rian mempersilakanku dengan ramah. Ternyata rumah yang mereka tempati bersebelahan dengan milik omnya sendiri yang berjasa menjadikannya sebagai dokter. Aku masih ingat betul tempat ini.“Siapa, Rian?” Suara Bu Rahimah membuatku jadi kikuk. Mantan mertua yang dulu pernah murka padaku karena telah menelantarkan putri kesayangannya. Aku tak menyangka kalau ibunya Alina sedang ada di sini.“Ini Ayah, Nek.” Putriku langsung menjawab, padahal kaki ini rasanya ingin berlari menjauh dari sini.“Ayah?”“Iya, Ayah Delon.” Cici menarik tanganku. Jantungku rasanya mau copot ketika melihat mantan mertua menyipitkan mata, menatapku dari atas sampai bawah.“Delon? Ngapain kamu ke sini?”“A—ku ....” Mendadak lidah keluh. Aku kehabisan semua kosa kata untuk menjawab pertanyaan mantan mertua.“Ibu ini bagaimana? Di sini kan ada Cici, putrinya Delon. Wajar dia datang mau bertemu dengan Cici.” Rian tertawa sekilas, membuat suasana sedikit cair. “Ayo kita masuk, Bro. bicara di dalam
“Ada apa ini, Elsa? Kok ribut-ribut?” Alina datang menghampiri ke dapur. Sekarang, dia tetap pakai jilbab meskipun di rumah. Entahlah, mungkin juga karena ada aku bertamu ke sini.“Itu, Bu. Laki-laki ini tidak punya etika. Masa dia godain aku.”Aku meringis mendengar jawaban Elsa yang sejatinya adalah fitnahan. Sejak kapan aku godain dia? Dia sendiri yang tidak sopan dengan berdiri di depan kamar mandi saat aku berada di dalam. Dialah yang lebih pantas disebut tidak punya etika dan tanpa merasa bersalah mengayunkan panci ke wajahku.“Godain seperti apa?” Alina bertanya lagi.“Dia mengedipkan mata, Bu. Mentang-mentang aku janda, tak mungkin suka pada lelaki seperti dia.”Kuusap wajah yang panas sambil melirik ke arah Elsa. Wanita ini pembohong sekali. Pantas saja dia sering dipukuli mantan suaminya hingga mereka bercerai.“Aku tak godain kamu, ya. Gak mungkin. Di luaran sana banyak wanita yang mau samaku. Andai di dunia ini hanya ada satu wanita tersisa dan itu kamu, aku tak akan sudi
“Maaf, Delon. Bukannya kami tak izinkan kamu punya lebih banyak waktu bersama dengan Cici. Namun, kami tak bisa lepaskan Cici sendirian sama kamu. Maaf jika terkesan tak adil.”Bu Rahimah bicara dengan lembut saat Cici merengek minta ikut denganku ke kafe. Aku maklum, diri ini bukanlah lelaki yang pantas disebut sebagai ayah yang baik.“Gak apa-apa, Bu. Diizinkan bertemu seperti ini saja sudah membuatku bahagia. Selama ini, bukan saya yang membesarkannya dan bahakan tak ada ikut andil dalam semua pengeluarannya. Melihat dia tumbuh besar dan tak kekurangan apapun seperti ini sudah cukup bagi saya,” balasku seraya tersenyum.“Baguslah kalau kamu mengerti.”“Tapi, Nek. Cici mau sama Ayah. Tolong izinin, Nek,” rengek putriku.“Gak bisa, Ci. Tolong mengerti! Kalau Nenek tak izinkan, pasti demi kebaikanmu juga,” tegas ibunya Alina. Cici tak membantah lagi, tapi air matanya deras keluar. Gadis kecilku melengang pergi menuju kamar.“Bu, kasihan Cici,” lirih Rian.“Lebih baik kasihan sekarang,
“Ayah gak apa-apa?” Cici terlihat cemas di sampingku. Aku terpaksa tersenyum dan mengatakan kalau baik-baik saja. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan putriku sendiri.“Tolong bawa Cici keluar! Anak-anak tak baik berada dalam rumah sakit,” titahku pada salah satu karyawan perempuan paling terpercaya.“Baik, Bos.”Aku berusaha duduk dan menegakkan punggung. Tinggal aku dan Elsa di sini. Wanita menyebalkan itu menyodorkan segelas air putih.“Maafkan aku, ya. Aku benar-benar tak sengaja menendangmu tadi.” Dia berkata dengan nada santai dan ekspresi datar. Menyebalkan.“Tak sengaja kamu bilang? Bullshit. Kamu pasti sengaja ingin menyakitiku, kan? Kamu telah lancang masuk ke ruanganku dan bertindak semena-mena tanpa mencari tahu apa yang terjadi. Kamu pasti akan menyesal karena telah membuatku masuk rumah sakit. Kamu akan masuk penjara,” cetusku.“Haduh, jangan diperkarain dong. Aku kan gak sengaja. Ini hanya salah paham. Kukira kamu telah aniaya karyawanmu, ternyata dia sendiri yang
“Jadi kamu ketemu cucu Papa? Sudah sebesar apa dia?” Papa begitu antusias saat kuceritakan pertemuanku dengan Cici. Sekali seminggu, aku tetap pulang ke rumah untuk mengecek keadaan mereka berdua sekaligus melihat perkembangan kafe yang di sana. Alhamdulillah, sejauh ini Andika masih amanah menjalankan tugasnya. Pemasukan tiap bulan stabil dan cenderung meningkat.“Iya, Pa. Keluarga Alina memang baik. Mereka mengizinkanku bertemu dan bahkan membawa Cici ke kafe baru. Ya, meskipun harus ikut sama pengasuhnya.” Kubuka handphone dan menunjukkan foto serta video kebersamaanku dengan Cici.“Ya Allah, cantik sekali Cici. Benar-benar perpaduan antara kamu dan Alina. Papa juga jadi kangen sama dia. Kenapa gak bawa Cici ke sini, Delon?”Aku tersenyum tipis melihat Papa sampai mengusap-usap layar ponsel. “Sebenarnya aku juga mau bawa dia ke sini, Pa. Namun, mana berani aku langsung mengajaknya. Kita saja beda kota. Terlalu ngelunjaklah, Pa. Mereka masih mengenalkanku sebagai ayah kandung Cici d
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus