“Jadi kamu ketemu cucu Papa? Sudah sebesar apa dia?” Papa begitu antusias saat kuceritakan pertemuanku dengan Cici. Sekali seminggu, aku tetap pulang ke rumah untuk mengecek keadaan mereka berdua sekaligus melihat perkembangan kafe yang di sana. Alhamdulillah, sejauh ini Andika masih amanah menjalankan tugasnya. Pemasukan tiap bulan stabil dan cenderung meningkat.“Iya, Pa. Keluarga Alina memang baik. Mereka mengizinkanku bertemu dan bahkan membawa Cici ke kafe baru. Ya, meskipun harus ikut sama pengasuhnya.” Kubuka handphone dan menunjukkan foto serta video kebersamaanku dengan Cici.“Ya Allah, cantik sekali Cici. Benar-benar perpaduan antara kamu dan Alina. Papa juga jadi kangen sama dia. Kenapa gak bawa Cici ke sini, Delon?”Aku tersenyum tipis melihat Papa sampai mengusap-usap layar ponsel. “Sebenarnya aku juga mau bawa dia ke sini, Pa. Namun, mana berani aku langsung mengajaknya. Kita saja beda kota. Terlalu ngelunjaklah, Pa. Mereka masih mengenalkanku sebagai ayah kandung Cici d
“Apa kamu berpikiran buruk tentangku tadi?”“Kenapa memangnya? Kamu akn memang orang baik,” pujiku.“Hmm, aku yakin kamu sudah berpikir negatif saat aku mematikan ponsel setelah kamu mentransfer uangnya. Iya, kan?” sergah Elsa.Aku tertawa sekilas dan mengangguk, padahal Elsa tak akan melihatnya. Kami sedang menlpon tanpa video.“Kamu memang wanita menyebalkan, tapi sekaligus baik,” kekehku.“Dan kamu laki-laki menyebalkan doang,” cetusnya.Aku mendengkus. Wanita ini sudah dipuji, tetap saja tak mau memuji balik. Apa memang sudah sifatnya. Ah, terserahlah.“Oh iya, mana Cici?” tanyaku kemudian.“Nanti saja nelponnya, ya. Dia lagi sibuk ngerjain tugas.”Aku membulatkan mulut. “Kamu bantu jaga dia dengan baik, ya. Aku percaya Alina bisa menjaga putri kami dengan penuh kasih sayang, tapi mengingat dia lagi hamil besar, pasti akan sulit menjaga dua anak sekaligus. Belum lagi ibu hamil lebih sering marah-marah dari biasanya.”“Siap. Kamu tenang saja. Oh iya, kamu ini kan sekarang sudah suk
“Kalau cinta, katakan saja. Jangan menunggu orang lain mendahului.” Papa membuyarkan lamunanku yang sedang senyam-senyum menatap foto Elsa.Aku langsung mematikan layar dan meletakakkan ponsel di atas ranjang. “Papa bikin kaget aja deh. Kalau masuk kamar, ketuk pintu dulu dong,” protesku.“Sejak kapan ada peraturan baru itu? Kamu itu masih sendiri dan tak masalah jika Papa bebas masuk kamarmu. Beda jika sudah menikah nanti, tentu Papa tak boleh masuk sembarangan lagi.”Papa mana bisa disalahkan. Dia selalu punya jawaban yang masuk akal. Lelaki tua itu duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahku.“Kamu suka sama wanita itu, kan?”“Enggaklah, Pa.”“Jangan berbohong, Delon! Papa juga pernah muda dan tahu betul rasanya bagaimana saat jatuh cinta. Bisa senyam-senyum sendiri, menatap foto doi, tapi kalau ketemu sok jaim dan terkesan cuek.”“Papa apaan sih? Aku tadi cuma mandangi foto Cici kok,” elakku. Astaga, Elsa memang bisa membuatku seperti berad di dunia lain, sampai-sampai tak mendenga
Aku langsung menelpon Andika untuk memperjelas tentang pesan yang dia kirim. Aku penasaran kenapa Wina kembali setelah sekian lama menunggunya dan kini diri ini sudah melabuhkan hati pada wanita lain.“Halo, Bro. Ada apa?” tanyanya di seberang sana. Terdengar suara canda tawa anak-anak di dekatnya.“Sibuk, gak? Apa mengganggu?” Aku merasa tak enak hati. Malam begini adalah waktu istirahatnya dan aku malah menelpon.“Ini lagi ngumpul sama keluarga saja. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan, gak apa-apa.”Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Kamu gak bercanda kan, tentang Wina yang datang ke kafe?” tanyaku ke inti.“Enggak. Ngapain juga aku bercanda? Gak penting banget.”“Dia datang mau ngapain? Minta kerjaan lagi?” cecarku. Mana tahu Andika tahu sesuatu.“Enggak. Katanya pengen ketemu kamu saja. Dia sempat minta alamatmu juga, tapi gak kukasih. Makanya dia tinggalkan nomor hapenya. Tanya aja sendirilah, dia mau ngapain,” balas Andika.“Baiklah, makasih infonya, Br
“Maaf, ya. Mungkin aku terlalu lancang. Padahal, kita tak ada hubungan lagi. Kita pernah berjanji akan melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius, tapi aku malah ditimpa musibah begini. Mungkin sudah takdirku mati di tangan lelaki jahat itu.”Wina mengusap matanya yang basah, lalu bangkit dan berjalan meninggalkanku yang masih dilanda kebingungan. Baru beberapa langkah, Wina tampak limbung dan hampir jatuh ke tanah jika tidak kutangkap.“Kamu tak apa-apa?” tanyaku. Ah, pertanyaan ini tidak tepat sama sekali. Bagaimana mungkin dia baik-baik saja, sedangkan wajah itu pucat dan saat kusentuh keningnya, terasa hangat. Dia demam.“Aku akan bawa kamu ke rumah sakit, ya.” Kutuntun dia duduk kembali. Aku berencana menggendongnya saja ke mobil jika Wina belum sanggup jalan.Wina menggeleng pelan dan mengusap wajahnya lagi. “Jangan bawa aku ke rumah sakit, Del. Orang suruhan suamiku mungkin akan mencari ke rumah sakit juga.”“Lalu, kamu bagaimana? Kamu lagi sakit begini loh. Kondisimu juga ga
“Elsa, jangan ngambek kayak anak kecillah. Kita ini sudah sama-sama dewasa dan pernah merasakan yang namanya berumah tangga. Kalau sedikit masalah langsung memutuskan sebelah pihak, bagaimana rumah tangga nantinya bisa bertahan lama?” cecarku. Aku mengerjar Elsa dan Cici yang sudah keluar kafe.“Kalau aku yang melakukan kesalahan kayak hal tadi, apakah kamu akan menerimanya? Kamu tidak marah dan berburuk sangka?” cibirnya.Aku terdiam beberapa saat. Membayangkan hal yang sama dengan yang dikatakan Elsa. Aku juga mungkin akan salah sangka dan cemburu jika melihat Elsa dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai bersentuhan tangan.“Aku minta maaf jika itu salah menurutmu, El.”“Ya, memang salah. Dan aku yakin, kamu tak akan jujur jika tak ada bukti tadi,” cetusnya.“Maafkan aku, El. Aku memang salah, tapi yang jelas kami bukan sepasang suami istri. Makanya biar tak makin ruyam, tolong dengarkan dulu penjelasanku.”“Hmm, baiklah. Katakan sekarang juga.”Aku menarik napas dalam saat men
Aku mengurungkan niat untuk masuk dan menjenguk Elsa. Buat apa lagi aku masuk? Hanya akan membuat hati ini terluka. Dia tidak sakit, melainkan sedang tertawa senang bersama dengan seorang laki-laki. Mungkin itu kekasihnya. Ah, mungkin kami memang ditakdirkan tidak berjodoh.Kuhela napas panjang dan membalikkan badan. Namun, di saat yang bersamaan, pintu berderit dan cahaya lampu dari dalam rumah menyorot punggungku.“Hei siapa kamu? Mau bertamu atau maling?” cecar seorang perempuan, tapi kuyakin itu bukan Elsa. Terjadilah kegaduhan dari dalam. Aku jadi dilema, apakah mau pergi atau di sini saja. Kebimbanganku terjadi karena dicurigai maling dan mengetahui kenyataan baru juga kalau ada Elsa tidak berdua saja di rumah itu.“Aku bukan maling kok,” balasku pada wanita tadi. Kutaksir, dia seumuran dengan Elsa. Dia sudah memegang gagang sapu dan mengacungkannya ke atas. Kalau aku lari, dia bisa teriak nanti dan terjadi salah paham.“Mas Delon? Ngapain ke sini?” Elsa keluar disusul seorang l
“Jangan tegang begitu, Delon. Aku bercanda kok.” Wina tertawa terpingkal-pingkal dan menepuk lenganku. Ah, aku lupa kalau dia sebenarnya humoris. Namun, aku tadi melihatnya begitu serius hingga mengira apa yang dia katakan memang dari hatinya.“Aku senang kalau kamu dapat calon istri yang baik. Gara-gara kita sempat berteman baik, aku jadi tambah beruntung karena bisa dibantu sama Mbak Elsa juga,” lanjutnya.Aku menarik napas lega dan tersenyum tipis. “Kamu memang jago banget bikin senam jantung. Udah ah, aku juga mau keluar dulu. Mau pamit sama ibu kos.”Kutinggalkan Wina dan berbicara sebentar dengan ibu kos. Dia sempat mau mengembalikan uang yang sudah kubayar untuk satu bulan, tapi kutolak.“Ibu sudah baik sekali pada Wina dan dia pindah bukan karena diusir. Jadi, gak apa-apa, simpan saja uangnya, Bu. Aku ikhlas kok.”“Makasih kalau begitu, Mas. Jaga baik-baik temannya, ya. Semoga keadaannya makin membaik kalau sudah pindah dan sering diperiksakan ke dokter.”“Iya, Bu. Makasih ba
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus