Bagaimana kalau Pak Toro ikut emosi karena masalah ini, bukan tidak mungkin aku akan kena hantam juga. Ah, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana.
[Yah, bisa enggak sih kita selesaikan masalah ini sendiri dulu. Enggak perlu kasih tahu Pak Toro, aku yakin ini cuma masalah kecil. Ayah tahu ‘kan Mbak Eca udah menikah lama tapi enggak punya anak?] [Ya, tahu. Cuma mau bagaimana pun cara Mbakmu itu enggak bisa dibenarkan. Mengambil anak orang tanpa persetujuan ibunya itu bukan masalah kecil Saka. Kamu kok bisa-bisanya masih santai banget, itu anak kamu sendiri. Darah daging kamu.] [Karena aku juga yakin ibu sama Mbak Eca juga enggak akan ngapa-ngapain anakku. Bagaimana pun mereka juga pasti sayang sama Mita Yah, jadi aku pikir Pak Toro enggak perlu tahu dulu. Aku janji setelah masalah ini selesai aku akan langsung kasih kabar keluarganya Dara.”] [Kamu takut sama Pak Toro?] tanya Ayah. Sudah pasti aku takut jika masalah ini akan melebar ke mana-mana. Bukan hanya sekedar takut dipukul, tetapi bagaimana jika ia malah menjauhkan aku dari Dara. Bagaimanapun aku tidak mau berpisah dari istriku, aku memang salah, tetapi bukankah aku juga mau bertanggung jawab untuk membereskan kekacauan ini. [Bukan takut dipukul Yah, aku cuma khawatir kalau masalah ini malah bikin salah paham.] [Mau ayah kasih tahu Pak Toro secara langsung atau enggak sudah pasti akan ada momen Dara yang ngasih tahu ke ayahnya sendiri.] [Hubungan Dara sama Pak Toro juga enggak dekat-dekat banget. Aku yakin Dara juga pasti enggak akan ngasih tahu.] [Saka dengar ya, Bapak enggak tahu kamu belajar dari mana sampai punya sikap pecundang seperti ini. Kamu berani nikahin anaknya, sudah seharusnya kamu siap nerima konsekuensi atas perbuatan yang kamu lakukan. Enggak bisa kamu begini, main kucing-kucingan sama keluarga istrimu. Mau mertuamu itu dari kalangan punya atau sederhana, enggak bisa kamu perlakukan mereka seenaknya begini. Ini bukan masalah kecil, anakmu diambil. Cucu Pak Toro diambil orang, wajar kalau dia akan marah dan kamu harus siap dengan konsekuensi itu.] [Tapi, biar aja aku yang ngomong Yah. Kalau mau ke sini ya enggak apa-apa. Ayah ke sini aja!] [Oke, Ayah enggak akan ngomong ke Pak Toro, tapi yang jelas Ayah akan ngomong ke ibumu yang egois itu.] [Kalau soal itu terserah Ayah.] [Kamu itu kalau memang merasa perlakuan Ibu enggak sesuai sama hati, jangan ragu buat nolak. Enggak selamanya nolak apa yang diminta orang tua itu durhaka. Siapa yang tahu kalau di sana anakmu mungkin dibawa macam-macam. Memang enggak mungkin anakmu disakitin sama mereka, tapi bukan enggak mungkin anak umur 3 hari dibawa jalan-jalan enggak drop di jalan. Sampai anakmu kenapa-kenapa, kamu sendiri yang akan menyesal, karena enggak tegas jadi ayah!] Saat itu telepon pun ditutup, karena memang ayah dan bunda akan mempersiapkan keberangkatan mereka ke rumahku. Namun, sekarang pikiranku bukan hanya soal anak yang hilang, tetapi istriku yang kemungkinan akan hilang juga. Bayangan wajah Dara yang penuh keputusasaan itu terus saja melintas dalam benakku. Rasanya ingin segera menyusul, tetapi mengingat permintaan Dara yang tak mengizinkanku pulang sebelum membawa anak kami kembali rasa bersalahku semakin besar. Memang benar selama ini ibu selalu saja menggunakan kata durhaka setiap kali keinginannya tak dipenuhi, tetapi aku tidak menyangka jika ia akan memanfaatkan kata tersebut untuk melakukan hal-hal yang justru merugikanku bahkan mengancam keutuhan rumah tangga. Pukul 9 malam aku masih menunggu di depan gerbang perumahan Mbak Eca, tetapi tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Emosiku sudah mulai memuncak akhirnya aku mulai mengirimkan banyak pesan kepada Mas Jerom. [Mas tolong balikkan anakku! Kalian ini sebenarnya ke mana? Aku tunggu kalian sampai malam begini, kenapa belum balik juga? Tolong kembalikan anakku dulu, Dara udah nyari anak kami yang kalian bawa itu. Bisa enggak kalian cepat sedikit!] Aku mengirimkan pesan tersebut hingga 10 kali, tetapi tak kunjung dibaca juga. Sampai akhirnya aku tidak tahu semalam tidur jam berapa, tetapi saat terbangun aku melihat jam menunjukkan pukul 4 pagi. Rupanya aku ketiduran. Seketika aku juga langsung mengecek pesan yang kukirimkan pada Mas Jerom. Rupanya sudah terbaca, tetapi tak tahu ia membacanya pukul berapa. Sayangnya, bukannya langsung dibalas, sampai saat ini ia belum membalas apa pun. Keterlaluan memang, mentang-mentang anggota dewan memperlakukan saudara iparnya sendiri seperti ini. [MAS BISA ENGGAK SIH ANGKAT TELEPONNYA? MINIMAL BERKABAR KALIAN BAWA ANAKKU KE MANA?] Aku tidak peduli dia akan tersinggung atau enggak. Baru kali ini aku dibuat emosi dengan tingkah sombong kakak iparku ini. Sebenarnya sejak dulu ia memang terkenal sombong, tetapi aku tidak tahu jika ia akan seangkuh ini. Aku tidak peduli jika dia akan risi atau tidak subuh itu aku terus saja menerornya dengan panggilan telepon yang terus menerus. Sampai kemudian ada satu balasan pesan darinya. Aku sudah sangat berharap kalau pesan itu mungkin akan berisi alamat tempat mereka singgah, tetapi begitu membaca pesannya ia malah membuatku semakin emosi. [Berisik! Anakmu sudah kubelikan susu formula paling mahal dan bagus, enggak usah banyak omong!] Aku baru saja ingin meneleponnya lagi, tetapi nomornya malah tidak aktif. Namun, yang lebih parah ini bukan sekedar tidak aktif, tetapi memblokirku juga. Ya Tuhan, aku harus apa. Kenapa mereka bisa seangkuh itu pada orang tua yang anaknya mereka ambil. Bahkan mereka tak memberi apa-apa padaku. Lantas atas dasar apa mereka bisa bertingkah kalau aku ini pengganggu? Atas dasar kasihan aku rela meminjamkan bayiku yang baru lahir, demi bisa memancing kalian agar cepat punya anak juga, tetapi kenapa reaksi kalian seperti ini hanya karena aku meminta bayi itu dikembalikan. Aku tak mau menyerah, aku akan menunggu di sini sampai mereka benar-benar pulang lagi pula aku sudah berjanji pada Dara akan membawa putrinya kembali. Waktu berlalu semua upayaku entah kenapa seperti sia-sia belaka sudah 2 hari aku menunggu mereka pulang sampai hari ini mereka tetap tak kunjung tiba. Sore itu aku memutuskan untuk kembali ke rumah dahulu, lagi pula aku harus memastikan keadaan Dara mengingat kondisi terakhir saat kami bertemu ia masih sangat lemah. Namun, hal yang tak pernah ingin aku dengar adalah ketika ayah dan bunda justru mengabarkan jika rumahku kosong. [Dara enggak ada di rumah Ka, kamu yakin Dara balik ke rumah? Ini kayaknya rumah sudah ditinggalin lama, halamannya saja banyak daun kering. Seingat Bunda, Dara itu suka banget menjaga kebersihan, ini sudah pasti dia enggak pulang,] ucap Bunda Salsa lewat panggilan telepon. Ya Allah sudah kuduga Dara pasti tidak akan tinggal diam, setelah kehilangan anak apakah aku juga akan kehilangan istri? Pada akhirnya aku tahu hal ini akan terjadi juga, tetapi apakah harus secepat ini?[Bunda yakin kalau Dara enggak ada di rumah, mungkin aja dia lagi ke warung? Lagian Dara ‘kan baru aja melahirkan mungkin aja dia masih belum kuat buat bersih-bersih halaman juga. Bunda emang sudah cek ke dalam, mungkin istriku ada di dalam lagi istirahat.]Meskipun ini sedikit tidak mungkin, tetapi aku masih berharap Dara masih ada di rumah dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku.[Enggak ada Saka, Ayah sama Bunda udah cek semuanya. Enggak ada tanda-tanda istrimu datang, ini juga kami jadinya enggak bisa masuk. Orang rumahnya kekunci.]Sekarang ayah pun ikut angkat bicara. Aku tidak tahu anakku di mana, sekarang Dara malah ikut hilang. Kenapa rasanya kepalaku ingin pecah, memikirkan semuanya. [Ya sudah aku pulang dulu, anterin kunci.][Emang kamu di mana?] tanya ayah.[Aku masih nungguin Mbak Eca, tapi enggak ada mereka enggak pulang sampai sekarang. Emang keterlaluan banget.][Kamu ini kadang memang terlalu gampang percaya sama ibumu. Dia itu dari dulu sukanya gak ad
“Dek, kamu serius mau viralin?” tanyaku.“Iya, kenapa memangnya? Abang enggak berani, enggak apa-apa. Abang diam aja enggak usah ngapa-ngapain biar aku yang gerak. Kayak biasanya aja!” ucap Dara.Ia sepertinya sengaja menyinggungku.“Tapi, nanti masalah ini jadi ke mana-mana Dek, kamu tahu ‘kan nitizen kita?”“Tahu, mau sampai ke mana memang pembahasan mereka? Abang takut kebawa-bawa, karena nyerahin anak kita gitu aja ke anggota dewan yang terhormat itu?”“Enggak takut kena hujat juga Dek, cuma Abang enggak mau aja masalah kita jadi omongan banyak orang. Abang juga ‘kan ada kerjaan, bagaimana kalau nanti orang pada bahas masalah ini. Tolonglah berpikir dulu sebelum bertindak!”“Ya mau ngapain lagi, emang Abang berani laporin mbak sendiri ke polisi. ‘Kan enggak? Abang mana tega sama kakak sendiri, beda sama aku yang cuma orang lain.”“Ya, enggak begitu juga. Masih mending lapor polisi dari pada diviralkan di sosial media. Sanksi sosial itu akan terus ada sampai nanti. Kebayang ‘kan me
“Mas Jerom udahlah enggak usah buang-buang waktu, di mana anak saya. Saya enggak terima anak saya dibawa-bawa.”“Kamu sendiri yang minjemin kok, kenapa jadi marah-marah begini. Kamu juga main viral-viralkan aja, saya bisa tuntut kamu loh Dara atas pencemaran nama baik sama ITE.”“Ya tuntut aja Pak Dewan, Dara juga bisa nuntut Anda atas tindakan pencurian bayi. Saya rasa tuntutannya akan jauh lebih berat pencurian bayi ya, aduh enggak kebayang sih kalau tiba-tiba gara-gara kasus ini jabatannya dicopot. Mantap kayaknya. Bisa mungkin jadi sopir taxy online kayak saya. Nanti kita bisa nongkrong bareng.”“KURANG NGAJAR! PAK SATPAM USIR MEREKA DARI SINI.”Mas Jerom mulai emosi. Beberapa petugas keamanan juga mulai memegangiku dan Rey. Namun, pria itu masih tetap santai.“Dara udah direkam ‘kan semuanya?” tanya Rey sambil tersenyum licik ke arah Mas Jerom.Sedangkan Dara hanya mengacungkan jempol dari jauh. Entah kapan istriku menjauh sepertinya semua ini sudah bagian dari rencananya.“Siala
"Abang bilang abak kita dibawa ibu? Terus mana anak kita? Kenapa rumahnya kosong?"“Sayang, Abang bisa jelasin! Ja-jadi Ibu bawa anak kita itu ada alasannya. Anak kita cuma jadi pancingan aja kok. Nanti dibalikkin.""PANCINGAN APA? KENAPA GK IZIN AKU? ITU AMANYA MENCURI!""Sabar dulu, ibu bilang sementara.""Aku gk bisa sabar, sekarang di bawa ke mana anakku?” tanya Dara dengan mata yang memerah.“Sayang, kamu tahu ‘kan kalau Mbak Eca itu enggak punya anak udah 15 tahun.”“Terus apa hubunganya sama Mita?”“Ya, jadi Ibu bawa Mita ke sana.”“Abang tahu enggak sih, aku hampir kehilangan nyawa waktu lahiran Mita. Kenapa Abang kasihkan begitu aja sama mereka?”Saat aku tidak tahu harus berkata apa pada Dara wanita itu malah pergi keluar rumah dengan langkah yang tertatih-tatih. Maklum saja ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah melahirkan beberapa hari yang lalu.“Abang enggak tahu juga kalau anaknya bakal diambil begitu aja. Apa lagi sampai dibawa ke rumah Mbak Eca.”“Bohong kalau A
“Kamu mau ngelakuin apa Dara, ini bukan soal kaya atau miskin. Abang yakin kok Mbak Eca pasti balik lagi. Rumah dia di sini, mungkin mereka cuma jalan-jalan aja.”“Anak sekecil itu diajak jalan? Mereka tuh ada enggak sih rasa khawatir sama anak orang lain yang bisa aja kenapa-kenapa di jalan. Selama hamil aku menjaganya dengan sangat hati-hati, terus bisa-bisanya orang lain memperlakukan anakku dengan sembarangan seperti itu,” ucap Dara.Saat itu Dara langsung berjalan sambil memegangi dinding, sesekali aku melihatnya meringis kesakitan. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat pasi, bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur di wajahnya, sudah pasti ia sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, setiap kali aku menawarkan bantuan Dara malah menolaknya, ia lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Mau tidak mau aku jadi harus mengikuti Dara jalan kaki, sementara mobil kuparkir di depan rumah Mbak Eca.“Sakit yang aku rasain sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan a
“Mas Jerom udahlah enggak usah buang-buang waktu, di mana anak saya. Saya enggak terima anak saya dibawa-bawa.”“Kamu sendiri yang minjemin kok, kenapa jadi marah-marah begini. Kamu juga main viral-viralkan aja, saya bisa tuntut kamu loh Dara atas pencemaran nama baik sama ITE.”“Ya tuntut aja Pak Dewan, Dara juga bisa nuntut Anda atas tindakan pencurian bayi. Saya rasa tuntutannya akan jauh lebih berat pencurian bayi ya, aduh enggak kebayang sih kalau tiba-tiba gara-gara kasus ini jabatannya dicopot. Mantap kayaknya. Bisa mungkin jadi sopir taxy online kayak saya. Nanti kita bisa nongkrong bareng.”“KURANG NGAJAR! PAK SATPAM USIR MEREKA DARI SINI.”Mas Jerom mulai emosi. Beberapa petugas keamanan juga mulai memegangiku dan Rey. Namun, pria itu masih tetap santai.“Dara udah direkam ‘kan semuanya?” tanya Rey sambil tersenyum licik ke arah Mas Jerom.Sedangkan Dara hanya mengacungkan jempol dari jauh. Entah kapan istriku menjauh sepertinya semua ini sudah bagian dari rencananya.“Siala
“Dek, kamu serius mau viralin?” tanyaku.“Iya, kenapa memangnya? Abang enggak berani, enggak apa-apa. Abang diam aja enggak usah ngapa-ngapain biar aku yang gerak. Kayak biasanya aja!” ucap Dara.Ia sepertinya sengaja menyinggungku.“Tapi, nanti masalah ini jadi ke mana-mana Dek, kamu tahu ‘kan nitizen kita?”“Tahu, mau sampai ke mana memang pembahasan mereka? Abang takut kebawa-bawa, karena nyerahin anak kita gitu aja ke anggota dewan yang terhormat itu?”“Enggak takut kena hujat juga Dek, cuma Abang enggak mau aja masalah kita jadi omongan banyak orang. Abang juga ‘kan ada kerjaan, bagaimana kalau nanti orang pada bahas masalah ini. Tolonglah berpikir dulu sebelum bertindak!”“Ya mau ngapain lagi, emang Abang berani laporin mbak sendiri ke polisi. ‘Kan enggak? Abang mana tega sama kakak sendiri, beda sama aku yang cuma orang lain.”“Ya, enggak begitu juga. Masih mending lapor polisi dari pada diviralkan di sosial media. Sanksi sosial itu akan terus ada sampai nanti. Kebayang ‘kan me
[Bunda yakin kalau Dara enggak ada di rumah, mungkin aja dia lagi ke warung? Lagian Dara ‘kan baru aja melahirkan mungkin aja dia masih belum kuat buat bersih-bersih halaman juga. Bunda emang sudah cek ke dalam, mungkin istriku ada di dalam lagi istirahat.]Meskipun ini sedikit tidak mungkin, tetapi aku masih berharap Dara masih ada di rumah dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku.[Enggak ada Saka, Ayah sama Bunda udah cek semuanya. Enggak ada tanda-tanda istrimu datang, ini juga kami jadinya enggak bisa masuk. Orang rumahnya kekunci.]Sekarang ayah pun ikut angkat bicara. Aku tidak tahu anakku di mana, sekarang Dara malah ikut hilang. Kenapa rasanya kepalaku ingin pecah, memikirkan semuanya. [Ya sudah aku pulang dulu, anterin kunci.][Emang kamu di mana?] tanya ayah.[Aku masih nungguin Mbak Eca, tapi enggak ada mereka enggak pulang sampai sekarang. Emang keterlaluan banget.][Kamu ini kadang memang terlalu gampang percaya sama ibumu. Dia itu dari dulu sukanya gak ad
Bagaimana kalau Pak Toro ikut emosi karena masalah ini, bukan tidak mungkin aku akan kena hantam juga. Ah, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana.[Yah, bisa enggak sih kita selesaikan masalah ini sendiri dulu. Enggak perlu kasih tahu Pak Toro, aku yakin ini cuma masalah kecil. Ayah tahu ‘kan Mbak Eca udah menikah lama tapi enggak punya anak?][Ya, tahu. Cuma mau bagaimana pun cara Mbakmu itu enggak bisa dibenarkan. Mengambil anak orang tanpa persetujuan ibunya itu bukan masalah kecil Saka. Kamu kok bisa-bisanya masih santai banget, itu anak kamu sendiri. Darah daging kamu.][Karena aku juga yakin ibu sama Mbak Eca juga enggak akan ngapa-ngapain anakku. Bagaimana pun mereka juga pasti sayang sama Mita Yah, jadi aku pikir Pak Toro enggak perlu tahu dulu. Aku janji setelah masalah ini selesai aku akan langsung kasih kabar keluarganya Dara.”][Kamu takut sama Pak Toro?] tanya Ayah.Sudah pasti aku takut jika masalah ini akan melebar ke mana-mana. Bukan hanya sekedar takut dipukul, teta
“Kamu mau ngelakuin apa Dara, ini bukan soal kaya atau miskin. Abang yakin kok Mbak Eca pasti balik lagi. Rumah dia di sini, mungkin mereka cuma jalan-jalan aja.”“Anak sekecil itu diajak jalan? Mereka tuh ada enggak sih rasa khawatir sama anak orang lain yang bisa aja kenapa-kenapa di jalan. Selama hamil aku menjaganya dengan sangat hati-hati, terus bisa-bisanya orang lain memperlakukan anakku dengan sembarangan seperti itu,” ucap Dara.Saat itu Dara langsung berjalan sambil memegangi dinding, sesekali aku melihatnya meringis kesakitan. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat pasi, bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur di wajahnya, sudah pasti ia sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, setiap kali aku menawarkan bantuan Dara malah menolaknya, ia lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Mau tidak mau aku jadi harus mengikuti Dara jalan kaki, sementara mobil kuparkir di depan rumah Mbak Eca.“Sakit yang aku rasain sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan a
"Abang bilang abak kita dibawa ibu? Terus mana anak kita? Kenapa rumahnya kosong?"“Sayang, Abang bisa jelasin! Ja-jadi Ibu bawa anak kita itu ada alasannya. Anak kita cuma jadi pancingan aja kok. Nanti dibalikkin.""PANCINGAN APA? KENAPA GK IZIN AKU? ITU AMANYA MENCURI!""Sabar dulu, ibu bilang sementara.""Aku gk bisa sabar, sekarang di bawa ke mana anakku?” tanya Dara dengan mata yang memerah.“Sayang, kamu tahu ‘kan kalau Mbak Eca itu enggak punya anak udah 15 tahun.”“Terus apa hubunganya sama Mita?”“Ya, jadi Ibu bawa Mita ke sana.”“Abang tahu enggak sih, aku hampir kehilangan nyawa waktu lahiran Mita. Kenapa Abang kasihkan begitu aja sama mereka?”Saat aku tidak tahu harus berkata apa pada Dara wanita itu malah pergi keluar rumah dengan langkah yang tertatih-tatih. Maklum saja ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah melahirkan beberapa hari yang lalu.“Abang enggak tahu juga kalau anaknya bakal diambil begitu aja. Apa lagi sampai dibawa ke rumah Mbak Eca.”“Bohong kalau A