[Bunda yakin kalau Dara enggak ada di rumah, mungkin aja dia lagi ke warung? Lagian Dara ‘kan baru aja melahirkan mungkin aja dia masih belum kuat buat bersih-bersih halaman juga. Bunda emang sudah cek ke dalam, mungkin istriku ada di dalam lagi istirahat.]
Meskipun ini sedikit tidak mungkin, tetapi aku masih berharap Dara masih ada di rumah dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. [Enggak ada Saka, Ayah sama Bunda udah cek semuanya. Enggak ada tanda-tanda istrimu datang, ini juga kami jadinya enggak bisa masuk. Orang rumahnya kekunci.] Sekarang ayah pun ikut angkat bicara. Aku tidak tahu anakku di mana, sekarang Dara malah ikut hilang. Kenapa rasanya kepalaku ingin pecah, memikirkan semuanya. [Ya sudah aku pulang dulu, anterin kunci.] [Emang kamu di mana?] tanya ayah. [Aku masih nungguin Mbak Eca, tapi enggak ada mereka enggak pulang sampai sekarang. Emang keterlaluan banget.] [Kamu ini kadang memang terlalu gampang percaya sama ibumu. Dia itu dari dulu sukanya gak adil sama anak sendiri. Eca terus yang dibelain, mentang-mentang dinikahin dewan sama anak sendiri pilih kasih. Sudahlah kalau kamu mau di sana dulu enggak apa-apa. Kami nanti nyari penginapan aja.] [Loh, masa cari penginapan Yah? Enggak apa-apa aku pulang aja, enggak enak loh jauh-jauh dari luar pulau masa datang ke sini harus tidur di penginapan.] [Saka kamu itu udah kehilangan anak sama istri. Sudah pikirkan dulu mereka, kamu mau sampai kapan jadi orang yang enggak enakkan. Kamu itu laki-laki, kepala keluarga, harus bisa milih mana yang jadi prioritas. Jangan selalu enggak enak sama orang! Sudah Ayah sama Bunda bukan anak kecil, kami bisa urus diri sendiri. Kamu di sana saja dulu, nanti kalau Dara pulang ke rumah biar kami bisa berkabar sama kamu.] [Aku cuma panik Yah, ya sudah kalau begitu. Aku enggak jadi pulang, tolong kabari kalau ada informasi soal Dara.] [Ya, sudah tenangkan diri kamu. Sambil cari tahu di mana Mbakmu itu. Kamu udah coba tongkrongin kantot Jerom?] [Kamu tunggu aja di sana, barangkali dia milih buat singgah di tempat lain, karena tahu kamu masih nunggu di rumah.] [Benar juga, aku enggak mikir sampai sana, tapi kemarin aja aku enggak bisa ketemu sama dia.] [Kamu itu harus belajar tegas. Kamu bilang ini darurat jangan lemah jadi laki-laki, kalau ada yang halangin kamu buat masuk, ambil aja kamera viralin. Orang dia anggota dewan kok, wakil rakyat kok susah ditemuin.] [Iya, Yah.] Semua yang dikatakan ayah itu memang benar, selama ini aku selalu saja mengiyakan permintaan orang lain hanya karena tak enak hati, tidak peduli jika hal itu sangat merugikan sekali pun. Aku masih saja tidak bisa menolaknya. Apa lagi jika yang meminta orang tua sendiri, aku akan cenderung lebih berat untuk mengatakan tidak. Hari ini karena hal itu aku bahkan kehilangan 2 hal yang paling berharga untukku. [Ingat kamu sudah jadi suami dan ayah, enggak boleh lembek Saka. Bukannya ayah mau mengatai kamu yang enggak-enggak, kenyataannya lelaki itu harus tahan banting. Mentalnya enggak boleh lemah, siapa yang akan melindung anak dan istrimu kalau kamu sendiri bahkan enggak bisa melindungi apa yang sudah jadi milikmu.] Setelah mnengatakan kalimat itu ayah langsung mematikan panggilannya tanpa mengucap salam. Tanpa pikir panjang saat itu juga aku menghubungi nomor Dara. [Iya Bang, bagaimana anak kita? Aku mau video call kalau anak kita udah ada sama Abang?] Aku bahkan mendengar cara bicaranya yang begitu berapi-api, seolah aku ini sedang membawa kabar bahagia untuknya, padahal sampai detik ini aku pun sama bingungya denganmu. [Abang ayo dong, pindahkan mode audionya ke video. Aku pengen lihat bayi kita, Mita kita udah ketemu ‘kan? Aku pulang sekarang ya.] [Kamu di mana memang?] [Hm aku masih di jalan.] [Di jalan mana?] [Aku kurang tahu sih ini, tapi yang jelas masih di Jakarta.] [Kamu masih di Jakarta? Kamu bilang sudah pulang ke Bogor?] [Enggak Bang, maafin aku ya. Aku berubah pikiran. Abang ayolah aku pengen lihat anak kita.] Ya Allah aku harus mengatakan apa? Dara sudah sangat berharap kabar tentang anak kami. Aku tidak tega mengatakan yang sebenarnya. [Abang kenapa diam aja? Anak kita ada ‘kan?] [Dara, bisa Abang bicara?] [Iya, dari tadi Abang sudah bicara ‘kan.] [Dara kamu harus kuat.] [Kenapa harus kuat?] [Dara, maafin Abang.] Detik itu juga aku hanya bisa mendengar embusan nafas Dara yang terdengar begitu berat, lantas detik berikutnya aku tidak lagi mendengar suaranya yang begitu menggebu-gebu. [Dara, Abang sudah janji akan bawa Adek Mita ke kamu ‘kan. Abang akan tepatin janji ini ke kamu.] [Sayang.] [Jangan hubungi aku kalau belum ketamu!] [Dara dengar Abang dulu! Abang sudah usaha kok, ini aja Abang masih di Jakarta.] [Memang harus diusahain, salah Abang yang ngasih Mita begitu aja ke orang lain. Mita bukan barang yang bisa dipinjam sana sini. Dia manusia, apa lagi umurnya masih itungan hari, kalau Abang enggak ada usaha buat nemuin Mita berarti Abang memang enggak cocok jadi ayah. Peran yang harusnya bisa melindungi kami, malah jadi orang yang memisahkan ibu dan bayinya. Udah ya, waktu sedetik aja berharga banget buat aku. Barangkali aja di sana Mita dalam bahaya, enggak ada yang tahu.] Saat itu panggilan pun langsung dimatikan. Aku sudah menjelaskan apa saja usahaku untuk menemukan anak kami, hanya saja Dara sepertinya enggan mengetahuinya. Ia hanya peduli pada Mita yang harus ada saat ini juga. Entah mendapat keberanian dari mana, karena rasa bersalahku pada Dara yang teramat besar detik itu juga aku nekat menerabas penjagaan di kantor pemerintah daerah. Sayangnya pihak sana malah mengatakan harus buat janji lebih dahulu. Aku menunjukkan foto pernikahan dengan Mas Jerom, mereka tetap tak percaya. Aku jadi curiga kalau kakak iparku sengaja tidak ingin bertemu denganku. “Pak Jerom sedang ada kunjungan ke luar, makanya enggak bisa ditemui. Sebaiknya lain kali Bapak buat janji dulu, karena Pak Jerom sudah titip pesan dia sedang sibuk dan enggak bisa bertemu sama siapa-siapa.” “Dia itu sengaja cari alasan biar enggak ketemu saya, karena bawa kabur anak saya yang baru lahir,” ucap seseorang di belakangku. Itu suara perempuan, bahkan tanpa berbalik pun aku tahu itu suara siapa. Sudah jelas milik Dara, rupanya dugaanku benar. Ternyata Dara masih ada di sekitar sini. “Maksud Ibu bagaimana ya? Bawa kabur anak Ibu? Siapa? Pak Jerom?” “Iya, saya ibu dari anak itu. Bilang sama Pak Jerom, kalau dalam 24 jam dia enggak menemui saya dan balikin anaknya, saya viralkan kasusnya,” ucap Dara.“Dek, kamu serius mau viralin?” tanyaku.“Iya, kenapa memangnya? Abang enggak berani, enggak apa-apa. Abang diam aja enggak usah ngapa-ngapain biar aku yang gerak. Kayak biasanya aja!” ucap Dara.Ia sepertinya sengaja menyinggungku.“Tapi, nanti masalah ini jadi ke mana-mana Dek, kamu tahu ‘kan nitizen kita?”“Tahu, mau sampai ke mana memang pembahasan mereka? Abang takut kebawa-bawa, karena nyerahin anak kita gitu aja ke anggota dewan yang terhormat itu?”“Enggak takut kena hujat juga Dek, cuma Abang enggak mau aja masalah kita jadi omongan banyak orang. Abang juga ‘kan ada kerjaan, bagaimana kalau nanti orang pada bahas masalah ini. Tolonglah berpikir dulu sebelum bertindak!”“Ya mau ngapain lagi, emang Abang berani laporin mbak sendiri ke polisi. ‘Kan enggak? Abang mana tega sama kakak sendiri, beda sama aku yang cuma orang lain.”“Ya, enggak begitu juga. Masih mending lapor polisi dari pada diviralkan di sosial media. Sanksi sosial itu akan terus ada sampai nanti. Kebayang ‘kan me
“Mas Jerom udahlah enggak usah buang-buang waktu, di mana anak saya. Saya enggak terima anak saya dibawa-bawa.”“Kamu sendiri yang minjemin kok, kenapa jadi marah-marah begini. Kamu juga main viral-viralkan aja, saya bisa tuntut kamu loh Dara atas pencemaran nama baik sama ITE.”“Ya tuntut aja Pak Dewan, Dara juga bisa nuntut Anda atas tindakan pencurian bayi. Saya rasa tuntutannya akan jauh lebih berat pencurian bayi ya, aduh enggak kebayang sih kalau tiba-tiba gara-gara kasus ini jabatannya dicopot. Mantap kayaknya. Bisa mungkin jadi sopir taxy online kayak saya. Nanti kita bisa nongkrong bareng.”“KURANG NGAJAR! PAK SATPAM USIR MEREKA DARI SINI.”Mas Jerom mulai emosi. Beberapa petugas keamanan juga mulai memegangiku dan Rey. Namun, pria itu masih tetap santai.“Dara udah direkam ‘kan semuanya?” tanya Rey sambil tersenyum licik ke arah Mas Jerom.Sedangkan Dara hanya mengacungkan jempol dari jauh. Entah kapan istriku menjauh sepertinya semua ini sudah bagian dari rencananya.“Siala
"Abang bilang abak kita dibawa ibu? Terus mana anak kita? Kenapa rumahnya kosong?"“Sayang, Abang bisa jelasin! Ja-jadi Ibu bawa anak kita itu ada alasannya. Anak kita cuma jadi pancingan aja kok. Nanti dibalikkin.""PANCINGAN APA? KENAPA GK IZIN AKU? ITU AMANYA MENCURI!""Sabar dulu, ibu bilang sementara.""Aku gk bisa sabar, sekarang di bawa ke mana anakku?” tanya Dara dengan mata yang memerah.“Sayang, kamu tahu ‘kan kalau Mbak Eca itu enggak punya anak udah 15 tahun.”“Terus apa hubunganya sama Mita?”“Ya, jadi Ibu bawa Mita ke sana.”“Abang tahu enggak sih, aku hampir kehilangan nyawa waktu lahiran Mita. Kenapa Abang kasihkan begitu aja sama mereka?”Saat aku tidak tahu harus berkata apa pada Dara wanita itu malah pergi keluar rumah dengan langkah yang tertatih-tatih. Maklum saja ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah melahirkan beberapa hari yang lalu.“Abang enggak tahu juga kalau anaknya bakal diambil begitu aja. Apa lagi sampai dibawa ke rumah Mbak Eca.”“Bohong kalau A
“Kamu mau ngelakuin apa Dara, ini bukan soal kaya atau miskin. Abang yakin kok Mbak Eca pasti balik lagi. Rumah dia di sini, mungkin mereka cuma jalan-jalan aja.”“Anak sekecil itu diajak jalan? Mereka tuh ada enggak sih rasa khawatir sama anak orang lain yang bisa aja kenapa-kenapa di jalan. Selama hamil aku menjaganya dengan sangat hati-hati, terus bisa-bisanya orang lain memperlakukan anakku dengan sembarangan seperti itu,” ucap Dara.Saat itu Dara langsung berjalan sambil memegangi dinding, sesekali aku melihatnya meringis kesakitan. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat pasi, bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur di wajahnya, sudah pasti ia sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, setiap kali aku menawarkan bantuan Dara malah menolaknya, ia lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Mau tidak mau aku jadi harus mengikuti Dara jalan kaki, sementara mobil kuparkir di depan rumah Mbak Eca.“Sakit yang aku rasain sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan a
Bagaimana kalau Pak Toro ikut emosi karena masalah ini, bukan tidak mungkin aku akan kena hantam juga. Ah, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana.[Yah, bisa enggak sih kita selesaikan masalah ini sendiri dulu. Enggak perlu kasih tahu Pak Toro, aku yakin ini cuma masalah kecil. Ayah tahu ‘kan Mbak Eca udah menikah lama tapi enggak punya anak?][Ya, tahu. Cuma mau bagaimana pun cara Mbakmu itu enggak bisa dibenarkan. Mengambil anak orang tanpa persetujuan ibunya itu bukan masalah kecil Saka. Kamu kok bisa-bisanya masih santai banget, itu anak kamu sendiri. Darah daging kamu.][Karena aku juga yakin ibu sama Mbak Eca juga enggak akan ngapa-ngapain anakku. Bagaimana pun mereka juga pasti sayang sama Mita Yah, jadi aku pikir Pak Toro enggak perlu tahu dulu. Aku janji setelah masalah ini selesai aku akan langsung kasih kabar keluarganya Dara.”][Kamu takut sama Pak Toro?] tanya Ayah.Sudah pasti aku takut jika masalah ini akan melebar ke mana-mana. Bukan hanya sekedar takut dipukul, teta
“Mas Jerom udahlah enggak usah buang-buang waktu, di mana anak saya. Saya enggak terima anak saya dibawa-bawa.”“Kamu sendiri yang minjemin kok, kenapa jadi marah-marah begini. Kamu juga main viral-viralkan aja, saya bisa tuntut kamu loh Dara atas pencemaran nama baik sama ITE.”“Ya tuntut aja Pak Dewan, Dara juga bisa nuntut Anda atas tindakan pencurian bayi. Saya rasa tuntutannya akan jauh lebih berat pencurian bayi ya, aduh enggak kebayang sih kalau tiba-tiba gara-gara kasus ini jabatannya dicopot. Mantap kayaknya. Bisa mungkin jadi sopir taxy online kayak saya. Nanti kita bisa nongkrong bareng.”“KURANG NGAJAR! PAK SATPAM USIR MEREKA DARI SINI.”Mas Jerom mulai emosi. Beberapa petugas keamanan juga mulai memegangiku dan Rey. Namun, pria itu masih tetap santai.“Dara udah direkam ‘kan semuanya?” tanya Rey sambil tersenyum licik ke arah Mas Jerom.Sedangkan Dara hanya mengacungkan jempol dari jauh. Entah kapan istriku menjauh sepertinya semua ini sudah bagian dari rencananya.“Siala
“Dek, kamu serius mau viralin?” tanyaku.“Iya, kenapa memangnya? Abang enggak berani, enggak apa-apa. Abang diam aja enggak usah ngapa-ngapain biar aku yang gerak. Kayak biasanya aja!” ucap Dara.Ia sepertinya sengaja menyinggungku.“Tapi, nanti masalah ini jadi ke mana-mana Dek, kamu tahu ‘kan nitizen kita?”“Tahu, mau sampai ke mana memang pembahasan mereka? Abang takut kebawa-bawa, karena nyerahin anak kita gitu aja ke anggota dewan yang terhormat itu?”“Enggak takut kena hujat juga Dek, cuma Abang enggak mau aja masalah kita jadi omongan banyak orang. Abang juga ‘kan ada kerjaan, bagaimana kalau nanti orang pada bahas masalah ini. Tolonglah berpikir dulu sebelum bertindak!”“Ya mau ngapain lagi, emang Abang berani laporin mbak sendiri ke polisi. ‘Kan enggak? Abang mana tega sama kakak sendiri, beda sama aku yang cuma orang lain.”“Ya, enggak begitu juga. Masih mending lapor polisi dari pada diviralkan di sosial media. Sanksi sosial itu akan terus ada sampai nanti. Kebayang ‘kan me
[Bunda yakin kalau Dara enggak ada di rumah, mungkin aja dia lagi ke warung? Lagian Dara ‘kan baru aja melahirkan mungkin aja dia masih belum kuat buat bersih-bersih halaman juga. Bunda emang sudah cek ke dalam, mungkin istriku ada di dalam lagi istirahat.]Meskipun ini sedikit tidak mungkin, tetapi aku masih berharap Dara masih ada di rumah dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku.[Enggak ada Saka, Ayah sama Bunda udah cek semuanya. Enggak ada tanda-tanda istrimu datang, ini juga kami jadinya enggak bisa masuk. Orang rumahnya kekunci.]Sekarang ayah pun ikut angkat bicara. Aku tidak tahu anakku di mana, sekarang Dara malah ikut hilang. Kenapa rasanya kepalaku ingin pecah, memikirkan semuanya. [Ya sudah aku pulang dulu, anterin kunci.][Emang kamu di mana?] tanya ayah.[Aku masih nungguin Mbak Eca, tapi enggak ada mereka enggak pulang sampai sekarang. Emang keterlaluan banget.][Kamu ini kadang memang terlalu gampang percaya sama ibumu. Dia itu dari dulu sukanya gak ad
Bagaimana kalau Pak Toro ikut emosi karena masalah ini, bukan tidak mungkin aku akan kena hantam juga. Ah, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana.[Yah, bisa enggak sih kita selesaikan masalah ini sendiri dulu. Enggak perlu kasih tahu Pak Toro, aku yakin ini cuma masalah kecil. Ayah tahu ‘kan Mbak Eca udah menikah lama tapi enggak punya anak?][Ya, tahu. Cuma mau bagaimana pun cara Mbakmu itu enggak bisa dibenarkan. Mengambil anak orang tanpa persetujuan ibunya itu bukan masalah kecil Saka. Kamu kok bisa-bisanya masih santai banget, itu anak kamu sendiri. Darah daging kamu.][Karena aku juga yakin ibu sama Mbak Eca juga enggak akan ngapa-ngapain anakku. Bagaimana pun mereka juga pasti sayang sama Mita Yah, jadi aku pikir Pak Toro enggak perlu tahu dulu. Aku janji setelah masalah ini selesai aku akan langsung kasih kabar keluarganya Dara.”][Kamu takut sama Pak Toro?] tanya Ayah.Sudah pasti aku takut jika masalah ini akan melebar ke mana-mana. Bukan hanya sekedar takut dipukul, teta
“Kamu mau ngelakuin apa Dara, ini bukan soal kaya atau miskin. Abang yakin kok Mbak Eca pasti balik lagi. Rumah dia di sini, mungkin mereka cuma jalan-jalan aja.”“Anak sekecil itu diajak jalan? Mereka tuh ada enggak sih rasa khawatir sama anak orang lain yang bisa aja kenapa-kenapa di jalan. Selama hamil aku menjaganya dengan sangat hati-hati, terus bisa-bisanya orang lain memperlakukan anakku dengan sembarangan seperti itu,” ucap Dara.Saat itu Dara langsung berjalan sambil memegangi dinding, sesekali aku melihatnya meringis kesakitan. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat pasi, bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur di wajahnya, sudah pasti ia sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, setiap kali aku menawarkan bantuan Dara malah menolaknya, ia lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Mau tidak mau aku jadi harus mengikuti Dara jalan kaki, sementara mobil kuparkir di depan rumah Mbak Eca.“Sakit yang aku rasain sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan a
"Abang bilang abak kita dibawa ibu? Terus mana anak kita? Kenapa rumahnya kosong?"“Sayang, Abang bisa jelasin! Ja-jadi Ibu bawa anak kita itu ada alasannya. Anak kita cuma jadi pancingan aja kok. Nanti dibalikkin.""PANCINGAN APA? KENAPA GK IZIN AKU? ITU AMANYA MENCURI!""Sabar dulu, ibu bilang sementara.""Aku gk bisa sabar, sekarang di bawa ke mana anakku?” tanya Dara dengan mata yang memerah.“Sayang, kamu tahu ‘kan kalau Mbak Eca itu enggak punya anak udah 15 tahun.”“Terus apa hubunganya sama Mita?”“Ya, jadi Ibu bawa Mita ke sana.”“Abang tahu enggak sih, aku hampir kehilangan nyawa waktu lahiran Mita. Kenapa Abang kasihkan begitu aja sama mereka?”Saat aku tidak tahu harus berkata apa pada Dara wanita itu malah pergi keluar rumah dengan langkah yang tertatih-tatih. Maklum saja ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah melahirkan beberapa hari yang lalu.“Abang enggak tahu juga kalau anaknya bakal diambil begitu aja. Apa lagi sampai dibawa ke rumah Mbak Eca.”“Bohong kalau A