[Bunda yakin kalau Dara enggak ada di rumah, mungkin aja dia lagi ke warung? Lagian Dara ‘kan baru aja melahirkan mungkin aja dia masih belum kuat buat bersih-bersih halaman juga. Bunda emang sudah cek ke dalam, mungkin istriku ada di dalam lagi istirahat.]
Meskipun ini sedikit tidak mungkin, tetapi aku masih berharap Dara masih ada di rumah dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. [Enggak ada Saka, Ayah sama Bunda udah cek semuanya. Enggak ada tanda-tanda istrimu datang, ini juga kami jadinya enggak bisa masuk. Orang rumahnya kekunci.] Sekarang ayah pun ikut angkat bicara. Aku tidak tahu anakku di mana, sekarang Dara malah ikut hilang. Kenapa rasanya kepalaku ingin pecah, memikirkan semuanya. [Ya sudah aku pulang dulu, anterin kunci.] [Emang kamu di mana?] tanya ayah. [Aku masih nungguin Mbak Eca, tapi enggak ada mereka enggak pulang sampai sekarang. Emang keterlaluan banget.] [Kamu ini kadang memang terlalu gampang percaya sama ibumu. Dia itu dari dulu sukanya gak adil sama anak sendiri. Eca terus yang dibelain, mentang-mentang dinikahin dewan sama anak sendiri pilih kasih. Sudahlah kalau kamu mau di sana dulu enggak apa-apa. Kami nanti nyari penginapan aja.] [Loh, masa cari penginapan Yah? Enggak apa-apa aku pulang aja, enggak enak loh jauh-jauh dari luar pulau masa datang ke sini harus tidur di penginapan.] [Saka kamu itu udah kehilangan anak sama istri. Sudah pikirkan dulu mereka, kamu mau sampai kapan jadi orang yang enggak enakkan. Kamu itu laki-laki, kepala keluarga, harus bisa milih mana yang jadi prioritas. Jangan selalu enggak enak sama orang! Sudah Ayah sama Bunda bukan anak kecil, kami bisa urus diri sendiri. Kamu di sana saja dulu, nanti kalau Dara pulang ke rumah biar kami bisa berkabar sama kamu.] [Aku cuma panik Yah, ya sudah kalau begitu. Aku enggak jadi pulang, tolong kabari kalau ada informasi soal Dara.] [Ya, sudah tenangkan diri kamu. Sambil cari tahu di mana Mbakmu itu. Kamu udah coba tongkrongin kantot Jerom?] [Kamu tunggu aja di sana, barangkali dia milih buat singgah di tempat lain, karena tahu kamu masih nunggu di rumah.] [Benar juga, aku enggak mikir sampai sana, tapi kemarin aja aku enggak bisa ketemu sama dia.] [Kamu itu harus belajar tegas. Kamu bilang ini darurat jangan lemah jadi laki-laki, kalau ada yang halangin kamu buat masuk, ambil aja kamera viralin. Orang dia anggota dewan kok, wakil rakyat kok susah ditemuin.] [Iya, Yah.] Semua yang dikatakan ayah itu memang benar, selama ini aku selalu saja mengiyakan permintaan orang lain hanya karena tak enak hati, tidak peduli jika hal itu sangat merugikan sekali pun. Aku masih saja tidak bisa menolaknya. Apa lagi jika yang meminta orang tua sendiri, aku akan cenderung lebih berat untuk mengatakan tidak. Hari ini karena hal itu aku bahkan kehilangan 2 hal yang paling berharga untukku. [Ingat kamu sudah jadi suami dan ayah, enggak boleh lembek Saka. Bukannya ayah mau mengatai kamu yang enggak-enggak, kenyataannya lelaki itu harus tahan banting. Mentalnya enggak boleh lemah, siapa yang akan melindung anak dan istrimu kalau kamu sendiri bahkan enggak bisa melindungi apa yang sudah jadi milikmu.] Setelah mnengatakan kalimat itu ayah langsung mematikan panggilannya tanpa mengucap salam. Tanpa pikir panjang saat itu juga aku menghubungi nomor Dara. [Iya Bang, bagaimana anak kita? Aku mau video call kalau anak kita udah ada sama Abang?] Aku bahkan mendengar cara bicaranya yang begitu berapi-api, seolah aku ini sedang membawa kabar bahagia untuknya, padahal sampai detik ini aku pun sama bingungya denganmu. [Abang ayo dong, pindahkan mode audionya ke video. Aku pengen lihat bayi kita, Mita kita udah ketemu ‘kan? Aku pulang sekarang ya.] [Kamu di mana memang?] [Hm aku masih di jalan.] [Di jalan mana?] [Aku kurang tahu sih ini, tapi yang jelas masih di Jakarta.] [Kamu masih di Jakarta? Kamu bilang sudah pulang ke Bogor?] [Enggak Bang, maafin aku ya. Aku berubah pikiran. Abang ayolah aku pengen lihat anak kita.] Ya Allah aku harus mengatakan apa? Dara sudah sangat berharap kabar tentang anak kami. Aku tidak tega mengatakan yang sebenarnya. [Abang kenapa diam aja? Anak kita ada ‘kan?] [Dara, bisa Abang bicara?] [Iya, dari tadi Abang sudah bicara ‘kan.] [Dara kamu harus kuat.] [Kenapa harus kuat?] [Dara, maafin Abang.] Detik itu juga aku hanya bisa mendengar embusan nafas Dara yang terdengar begitu berat, lantas detik berikutnya aku tidak lagi mendengar suaranya yang begitu menggebu-gebu. [Dara, Abang sudah janji akan bawa Adek Mita ke kamu ‘kan. Abang akan tepatin janji ini ke kamu.] [Sayang.] [Jangan hubungi aku kalau belum ketamu!] [Dara dengar Abang dulu! Abang sudah usaha kok, ini aja Abang masih di Jakarta.] [Memang harus diusahain, salah Abang yang ngasih Mita begitu aja ke orang lain. Mita bukan barang yang bisa dipinjam sana sini. Dia manusia, apa lagi umurnya masih itungan hari, kalau Abang enggak ada usaha buat nemuin Mita berarti Abang memang enggak cocok jadi ayah. Peran yang harusnya bisa melindungi kami, malah jadi orang yang memisahkan ibu dan bayinya. Udah ya, waktu sedetik aja berharga banget buat aku. Barangkali aja di sana Mita dalam bahaya, enggak ada yang tahu.] Saat itu panggilan pun langsung dimatikan. Aku sudah menjelaskan apa saja usahaku untuk menemukan anak kami, hanya saja Dara sepertinya enggan mengetahuinya. Ia hanya peduli pada Mita yang harus ada saat ini juga. Entah mendapat keberanian dari mana, karena rasa bersalahku pada Dara yang teramat besar detik itu juga aku nekat menerabas penjagaan di kantor pemerintah daerah. Sayangnya pihak sana malah mengatakan harus buat janji lebih dahulu. Aku menunjukkan foto pernikahan dengan Mas Jerom, mereka tetap tak percaya. Aku jadi curiga kalau kakak iparku sengaja tidak ingin bertemu denganku. “Pak Jerom sedang ada kunjungan ke luar, makanya enggak bisa ditemui. Sebaiknya lain kali Bapak buat janji dulu, karena Pak Jerom sudah titip pesan dia sedang sibuk dan enggak bisa bertemu sama siapa-siapa.” “Dia itu sengaja cari alasan biar enggak ketemu saya, karena bawa kabur anak saya yang baru lahir,” ucap seseorang di belakangku. Itu suara perempuan, bahkan tanpa berbalik pun aku tahu itu suara siapa. Sudah jelas milik Dara, rupanya dugaanku benar. Ternyata Dara masih ada di sekitar sini. “Maksud Ibu bagaimana ya? Bawa kabur anak Ibu? Siapa? Pak Jerom?” “Iya, saya ibu dari anak itu. Bilang sama Pak Jerom, kalau dalam 24 jam dia enggak menemui saya dan balikin anaknya, saya viralkan kasusnya,” ucap Dara.“Dek, kamu serius mau viralin?” tanyaku.“Iya, kenapa memangnya? Abang enggak berani, enggak apa-apa. Abang diam aja enggak usah ngapa-ngapain biar aku yang gerak. Kayak biasanya aja!” ucap Dara.Ia sepertinya sengaja menyinggungku.“Tapi, nanti masalah ini jadi ke mana-mana Dek, kamu tahu ‘kan nitizen kita?”“Tahu, mau sampai ke mana memang pembahasan mereka? Abang takut kebawa-bawa, karena nyerahin anak kita gitu aja ke anggota dewan yang terhormat itu?”“Enggak takut kena hujat juga Dek, cuma Abang enggak mau aja masalah kita jadi omongan banyak orang. Abang juga ‘kan ada kerjaan, bagaimana kalau nanti orang pada bahas masalah ini. Tolonglah berpikir dulu sebelum bertindak!”“Ya mau ngapain lagi, emang Abang berani laporin mbak sendiri ke polisi. ‘Kan enggak? Abang mana tega sama kakak sendiri, beda sama aku yang cuma orang lain.”“Ya, enggak begitu juga. Masih mending lapor polisi dari pada diviralkan di sosial media. Sanksi sosial itu akan terus ada sampai nanti. Kebayang ‘kan me
“Mas Jerom udahlah enggak usah buang-buang waktu, di mana anak saya. Saya enggak terima anak saya dibawa-bawa.”“Kamu sendiri yang minjemin kok, kenapa jadi marah-marah begini. Kamu juga main viral-viralkan aja, saya bisa tuntut kamu loh Dara atas pencemaran nama baik sama ITE.”“Ya tuntut aja Pak Dewan, Dara juga bisa nuntut Anda atas tindakan pencurian bayi. Saya rasa tuntutannya akan jauh lebih berat pencurian bayi ya, aduh enggak kebayang sih kalau tiba-tiba gara-gara kasus ini jabatannya dicopot. Mantap kayaknya. Bisa mungkin jadi sopir taxy online kayak saya. Nanti kita bisa nongkrong bareng.”“KURANG NGAJAR! PAK SATPAM USIR MEREKA DARI SINI.”Mas Jerom mulai emosi. Beberapa petugas keamanan juga mulai memegangiku dan Rey. Namun, pria itu masih tetap santai.“Dara udah direkam ‘kan semuanya?” tanya Rey sambil tersenyum licik ke arah Mas Jerom.Sedangkan Dara hanya mengacungkan jempol dari jauh. Entah kapan istriku menjauh sepertinya semua ini sudah bagian dari rencananya.“Siala
“Kamu mau lapor siapa Dara, lupa ya kalau saya ini anggota dewan? Sekali ngomong aja mereka pasti nurut apa yang saya mau,” ucap Mas Jerom dengan penuh percaya diri.Dia masih saja seangkuh ini padahal aku yakin ia juga pasti panik karena akan dilaporkan polisi.“Sudahlah Mas, mau sampai kapan sih bawa anak orang.”“Bawa bagaimana? Kita pegang dokumen yang sah.”“Dara jangan mau kalah, kamu juga pegang dokumen surat kelahiran. Kamu lebih berhak atas apa pun dari pada mereka,” ucapku.Saat itu aku bisa melihat Dara melihatku dengan pandangan terkejut.“Aku enggak akan diam aja, enggak peduli polisi mau menindak lanjuti kasus ini atau enggak, kami akan tetap mengusahakan agar bayi itu kembali,” ucap Dara sembari menatap tajam ke arah Jerom.“Kamu enggak usah ngancam begitu, punya power apa kamu ngancem saya! Cuma buang-buang uang waktu dan tenaga.”“Ternyata begini ya kelakuan pejabat negara, wow lebih dari hewan,” ucap Rey.Sontak saja semua orang yang berada di sini terlonjak kaget.“
Aku hanya mendengar dari anak-anak di kantor yang kerap mengatakan jika seseorang yang ingin memviralkan sesuatu biasanya menggunakanbuzz0erdan kita hanya perlu membayarnya. Rencananya aku ingin mencari tahu lewat mereka. Sekarang yang terpenting mengamankan posisi dahulu.Setidaknya sekarang Dara jauh lebih tenang, ia tahu jika Mita ada di mana.“Kamu udah makan, Dek?”“Belum, mana kepikiran makan.”“Jangan bilang kamu dari kemarin belum makan.”“Belum lapar, lain kali ajalah.”“Jangan begitu, kalau bukan kita yang peduli sama kesehatan diri sendiri siapa lagi? Kalau kamu sakit ibaratnya bukankah akan menyulitkan proses kita mencari Mita?”“Ya sudah terserah Abang aja mau makan apa.”“Kamu tunggu di sini Abang belikan dulu.”Saat itu aku memutuskan untuk pergi mencari makanan, tetapi malah bertemu kembali
“Ra? Ka-kamu serius sejauh itu?”“Kenapa? Enggak berani ‘kan? Ya sudah biar aku aja yang lakuin. Cuma bisa ngilangin anak, giliran balikkin enggak bisa!”Saat itu Dara langsung berdiri, aku juga langsung mengejarnya, meskipun masih sedikit terkejut karena Dara akan senekat itu.“Kamu mungkin masih percaya kalau mereka akan mengembalikan anak kita, tapi aku yakin dari awal mereka itu sudah punya niat jahat. Pada dasarnya Mbak Eca itu enggak pantas jadi Ibu, dia bahkan enggak cari tahu apa saja yang boleh dan tidak dilakukan anak baru lahir. Dia cuma ingin punya anak, tapi enggak belajar pengetahuan cara merawat bayi dengan benar. Di dunia ini uang enggak bisa bayar orang malas.”“Dara, Abang pikir masalah kita enggak akan sejauh ini.”“Abang selalu mikir positif sama orang sampai kurang waspada, bahkan sudah jelas-jelas mereka dengan semena-mena mau ganti nama anak kita Abang masih bi
Aku pikir masalah ini tidak akan membuatmu berpikir buat pergi dariku.“Aku enggak layak dapat maaf dari kamu?”“Aku bisa maafin kesalahan apa pun yang kamu lakukan, tapi enggak buat anak kita yang kamu kasih ke orang lain. Itu seperti menyerahkan bagian dalam diriku. Sakit Bang, seperti orang yang kehilangan anggota tubuhnya. Aku merasa enggak utuh lagi.”“Kita bahas di mobil ya, di sini panas. Takut kamu enggak nyaman, kalau di mobil kamu bisa tiduran.”“Oke.”“Aku udah cetak selembarannya, tapi harus nunggu sebentar soalnya cukup banyak. Aku cetak sekitar 1.000 lembar.”Dari pada meneruskan pembahasan tentang Dara yang ingin menyerah dengan pernikahan kami, jika Mita tak kunjung kembali, lebih baik
Aku tahu ini akan terjadi, tetapi aku bahkan tidak menyangka kalau tanpa dipaksa pun ibuku sudah memberitahunya secara langsung. Seolah sedang menantangku.[Jangan Ibu pikir karena kita ini keluarga aku enggak akan bertindak tegas!][Ya silakan aja, berati kamu memang kamu mau masuk neraka.][Memangnya kalau orang yang sengaja memisahkan anak dengan orang tuanya itu bakal masuk surga?][Kamu nyindir ibu?][Ibu tersindir?]Saat itu aku bahkan bisa mendengar embusan nafas ibuku yang begitu jelas. Sudah pasti ia tidak terima dengan semua ucapanku.[Berani melawan ya kamu sekarang. Kamu lupa apa bagaimana, lawanmu bukan orang sembarangan.][Tahu, anggota dewan ‘kan? Tenang aja aku juga
Yang kita lawan ini memang bukan orang sembarangan, tapi yang diambil juga bukan barang yang mudah untuk diikhlaskan begitu saja bahkan jika kami adalah manusia yang berasal dari yang sama.[Saka denger ya suami aku nggak akan pernah tinggal diam atau semua yang kamu lakukan hari ini. Kamu akan menanggung akibatnya dari keberanian kamu yang nggak kamu perhitungkan ini.][Kamu ngancem, Mbak? Lupa kalau percakapan ini juga direkam. Aku nggak akan pernah melewatkan satu kesempatan pun buat bikin kamu jatuh.][Kamu pernah mikir nggak kalau anak kalian itu berada di tangan aku? Gimana kalau aku melakukan sesuatu yang nggak pernah kalian sangka? Tadinya aku berpikir buat mempertemukan Sela dengan kalian walaupun sebagai orang tua angkat, karena sela hanya akan menganggap aku dan Mas Jerom sebagai orang tua kandungnya. Sayangnya, niat baik aku ini kayaknya nggak bakal terlaks
"Abang mungkin bisa nitip ke penjaga makam kalau Mbak Eka ke makam, biar telepon kamu atau minta nomor hpnya.""Kamu yakin Dek, kalau Mbak Eka bakal ke makan secara rutin.""Aku sih mikirnya Mbak Eka kalau memang bener-bener berubah, seharusnya bakal ke sana."Cara ini mungkin membutuhkan banyak waktu, tapi faktanya mencari Mbak Eka juga sesulit itu. Saka juga sudah menanyakan pada orang-orang di sekitar rumahnya, tapi tak ada yang pernah menemui Mbak Eka selain orang-orang yang rumahnya dekat pemakaman. Jadi, Saka hanya bisa menitipkan pesan pada temannya yang kebetulan punya rumah dekat makam juga, untuk memberinya kabar kalau Mbak Eka ziarah.Sebulan berlalu, akhirnya Saka mendapatkan informasi kalau Mbak Eka ziarah ke makam ibu. Tanpa pikir panjang Saka yang kala itu masih berada di rumah makan langsung meluncur ke sana. Untungnya temannya yang dititipkan pesan oleh Saka mencoba untuk menahan Mbak Eka dengan mengajaknya bicara banyak hal, alhasil begitu Saka samp
"Dara, bagaimana kabar kamu?"Kala itu wajah semringah Dara langsung berubah. Rupanya ia masih belum melupakan kejadian di masa lalu."Mbak mau ngapain ke sini? Mita udah enggak ada, tolong jangan ambil anakku lagi."Dara mungkin sudah mencoba mengiklaskan apa yang terjadi di masa lalu, tetapi siapa yang menyangka kalau ketika dihadapkan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Ada sedikit rasa khawatir yang ia sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa terjadi."Dara, maafin Mbak. Aku datang ke sini bukan mau ambil anak kamu. Mbak cuma mau silaturahmi aja.""Bang...."Kala itu Dara menatap Saka dengan wajah yang nanar. Rupanya Saka pun demikian, kenyataannya pria itu masih sedikit khawatir kalau perempuan ini punya niat yang tidak baik. Dari banyaknya waktu kenapa Mbak Eka harus datang tepat kala Dara baru saja melahirkan. Siapa juga yang tidak akan menaruh curiga."Mbak sebaiknnya kita bicara di luar aja ya, tunggu sebentar."Kala itu Saka jug
"Apa aku hamil ya?""Hah, Adek serius? Emang udah telat?""Udah 2 bulan sih enggak halangan.""Loh, kenapa enggak bilang Sayang?""Aku enggak mau aja bikin Abang berharap kalau beneran hamil.""Ya udah nanti di sana paling diperiksa. Apa mau beli test pack aja?""Boleh.""Ya udah nanti mampir ke apotek sebentar, Abang belikan buat kamu.""Makasih, ya!"Dara mendadak tak bisa tenang, jantungnya bahkan berdentum-dentum tak karuan, membayangkan jika ia harus kembali mengecewakan Saka. Entah kenapa rasa tidak tega, melihat Saka begitu bersemangat tatkala pria itu membelikan alat tes kehamilan untuknya."Apa pun hasilnya, sama sekali enggak akan mengurangi rasa cinta dan sayang Abang ke kamu."Dara hanya tersenyum tipis, jelas di hatinya ia merasa khawatir kalau hal serupa akan kembali terulang. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Ia masih hafal bagaimana rasanya hamil dan yang tengah ia rasakan saat ini sama persis.Di toilet Dar
Begitu Dara kembali untungnya keadaan sudah seperti semula. Rey sudah meninggalkan meja mereka, tetapi sepertinya Saka masih kesal dengankehadiran pria itu di sini.“Abang kenapa sih kok cemberut gitu? Ada yang bikin kesel?” tanya Saka.“Udah enggak ada sih sekarang, kita pulang aja sekarang yuk!”“Ayo! Ini juga udah siap kok.”Merasa Saka tampak terburu-buru, hal ini rupanya membuat Dara smenjadi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya disembunyikan suaminya.Terbukti di perjalanan sampai mereka tiba di rumah pun Saka lebih banyak diam.“Abang, kenapa? Beneran enggak mau cerita?” tanya Dara kala mereka sudah sampai di rumah.Awalnya Saka tidak ingin menceritakan hal ini, ia bahkan tampak menatap istrinya hingga cukup lama. Seolah tampak begitu berat.“Enggak masalah kalau belum mau cerita sekarang atau Abang enggak mau cerita sama sekali. Adek enggak akan maksa.”“Abang tadi ketemu Rey di resto.”“
“Hehe, iya Sayang. Maaf. Ya udah sekarang kita ngapain?”“Keluar aja yuk.”“Abang enggak ada mobil.”“Mobil aku juga mobil Abang juga. Itu juga yang beli Abang, akukasih sticker aja makanya ganti warna.”“Kamu tuh ya, suka banget sama warna pink. Emang semuanya haruspink?”Kala itu saking gemasnya, Saka malah mencubit pipi istrinya.Sayangnya, keinginan mereka untuk jalan-jalan harus tertunda, karena banyak halyang harus diurus, terutama rumah mereka yang masih berantakan.Pada akhirnya mereka baru bisa jalan-jalan dengan tenang keesokanharinya. Ata juga sudah kembali ke Pontianak, karena memang ia hanya ambil masacuti 2 hari saja. Jadi di rumah ini hanya ada Saka dan Dara. Orang tua Darajuga sudah kembali ke rumahnya, Tante Disa memutuskan untuk memperjuangkanpernikahannya, meskipun ia tahu kali ini tidak akan mudah.“Sayang, hm kamu kapan bisa ke Pontianak juga?”“Kapan aja bisa. Sekarang juga boleh.”
“Aku duluan!”Sontak saja Dara langsung berjalan cepat kearah toilet. Di momen itu setelah menuaikan salah sunah pengantin, akhirnyarasa rindu mereka yang selama ini hanya bisa terpendam benar-benar terbayar.“Makasih banyak ya Sayang, maaf dulu Abanggagal jadi suami yang baik buat kamu.”“Aku juga bukan istri yang baik buat kamu.Yang lalu biarlah berlalu, kita hidup di masa sekarang. Aku yakin Allah pastienggak akan kasih ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.”“Benar, tapi jujur ujian kita berat banget.”“Maafin aku ya, dalam hal ini aku jugamengambil peranan yang cukup banyak. Aku bikin Abang memusuhi keluargasendiri.”“Enggak Sayang, kamu sama sekali enggak perluminta maaf. Enggak ada asap kalau enggak ada api. Abang sudah mencoba berdamaisama semuaya. Semoga kali ini kita tetap bisa sama-sama dalam menghadapi ujianapa pun.”“Aamiin.”Sedang asyik mengobrol pintu kamar merekamalah diketuk dari arah luar.
“SAH!”Mendengar kalimat itu tentu saja membuat Dara yang sejak tadibegitu tegang mendadak lega. Kala itu ia digandeng Via dan Febi menuju kehalaman rumah. Mereka mengadakan pernikahan itu di rumah lama. Sepertidihidupkan kembali setelah sekian lama mati suri, melihat Saka yang lengkapdengan beskap khas sunda membuat Dara tak kuasa menahan haru. Begitupun Sakayang melihat wanitanya tampak anggun dengan balutan kebaya panjang denganhiasan siger sunda di kepalanya, menambah kesakralan acara kala itu.Ia tahu sampai dititik ini tidak mudah, ada banyak hal yangdilewati. Begitu banyak kerinduan yang selama ini tak pernah bisa diungkapkan.Tak pernah terbayangkan Saka akan kembali mengalami momen seperti ini lagi.Rasanya memimpikannya saja ia tak pernah berani. Saka tahukesalahannya pada Dara terlalu besar. Imam yang seharusnya bisa melindungimakmumnya, yang terjadi di kehidupan sebelumnya justru ialah yang memberikanluka pada mereka.Kini setelah berja
“Pak, apa enggak sebaiknya antar Via ke sekolah dulu?” tanya Dara yang mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan saat ini.“Buat apalah, ojek ada. Disa juga bisa antar pakai motor. Udah enggak usah dipikirkan.”Pak Toro malah terlihat masa bodo dengan istrinya yang meninggalkan hotel dengan wajah yang masam.“Tapi, tadi Tante Disa kayaknya marah banget. Aku cuma enggak mau aja Yah, pulang dari sini kalian malah berantem lagi kayak semalam.”“Asal kamu tahu Dara, enggak hari ini aja kok kita berantem. Hari-hari dia sering banget ngajak berantem. Maafin Bapak ya, harusnya dulu minta pendapat kamu dulu sebelum memutuskan buat menikah sama perempuan enggak jelas itu.”“Istighfar Pak, hm ini minum dulu! Biar agak tenang!”Kala itu Dara menyodorkan segelas air untuk Pak Toro. Saka juga tidak berani membuka suara. Ia tahu masalah ini bukan ranahnya ikut campur.“Nak Saka, maaf ya harusnya kita enggak bicara di tempat ini.”“Enggak masalah Pak, saya di mana aj
Tak jauh dari rumah masa kecilnya, ada sebuah penginapan untungnya masih ada kamar kosong. Jadi Dara tidak perlu berlari terlalu jauh. Sebenarnya wanita itu sudah mempersiapkan hal ini sejak lama, kalau keluarganya akan memperlakukannya dengan buruk. Hanya tetap saja dihadapkan dengan situasi secara langsung, Dara tetap saja ikut larut dalam emosinya. Ia tidak pulang setiap hari, bahkan bisa terhitung hari dalam setahun. Namun, kenapa bagi ibu sambungnya hal itu seperti beban. Ia merelakan tempat tidur dan semua barang yang ada yang ada di kamarnya pun untuk adik-adiknya, tetapi itu sama sekali tak mengubah apa pun bagi wanita paruh baya itu.~Ketika di lobi tanpa sadar Dara menitikkan air matanya. Ia sudah berusaha menahannya sejak tadi, tetapi tetap saja. Akhirnya demi menutupi penampilannya yang kacau, Dara memilih untuk memakai kaca mata menuju kamarnya. Kala itu ia memang tak membawa banyak baju, jadi kali ini Dara hanya memakai tote bag berukuran sedang yang ber