Mendengar pertanyaan seperti itu, air mata Dianti akhirnya tidak terbendung lagi. Dia menggeleng berulang kali sambil berucap, "Bukan begitu, aku nggak pernah berniat menyakiti Kakak. Dulu memang aku yang memecahkan mangkuk kaca, itu salahku. Tapi yang fitnah Kakak adalah Ratih ...."Dianti berusaha keras untuk menjelaskan kepada Andini bahwa dia tidak pernah berniat menyakitinya. Namun, Andini hanya bersandar di pintu sambil bertanya dengan suara lembut, "Kalau begitu, kenapa tiga tahun lalu kamu nggak bilang?"Dianti tertegun. Dia tidak langsung memahami apa maksud Andini. Namun, dia bisa melihat sudut bibir Andini terangkat. Kakaknya itu memperlihatkan senyuman penuh ejekan.Andini melanjutkan, "Kamu bilang itu salahmu karena memecahkan mangkuk kaca, tapi kenapa tiga tahun lalu kamu nggak mengakuinya di depan Permaisuri dan Putri?"Dianti seperti kehilangan keseimbangan. Dia melangkah mundur satu langkah sambil tergagap, "Aku ... aku nggak berani .... Itu pertama kalinya aku masuk i
Andini menyampirkan luaran yang belum sempat dilepaskannya dan bertanya, "Ada apa? Siapa yang berteriak?"Laras yang cemas menggeleng. Dia mengikuti Andini dan menjawab, "Hamba juga nggak tahu. Hamba baru dengar ada yang teriak. Nona, pakai bajumu. Di luar dingin!"Namun, Andini tidak sempat memikirkan hal itu lagi. Dianti pasti jatuh ke kolam teratai di Paviliun Ayana. Dulu, Andini disiksa selama 3 tahun karena Dianti memecahkan mangkuk. Jika terjadi sesuatu pada Dianti di Paviliun Ayana, takutnya Abimana akan menghabisi Andini.Saat Andini sampai di kolam teratai, Dianti sedang bergerak-gerak di kolam. Air kolam sudah membeku dan sekarang muncul sebuah lubang besar. Para pelayan di jembatan batu melihat Dianti.Andini bergegas menghampiri mereka dan menegur, "Apa kalian semua nggak bisa berenang? Kenapa kalian nggak selamatkan dia?"Beberapa pelayan pria menyahut dengan ekspresi ragu, "Kami bisa berenang, tapi ... bagaimana kalau kami merusak reputasi Nona Dianti?""Apa reputasi lebi
Ucapan Andini membuat Abimana tersentak. Dia membayangkan Andini bergerak-gerak di kolam dan sekelompok pelayan istana mentertawakannya.Hati Abimana terasa sakit. Dia hendak bicara, tetapi suaranya tercekat. Setelah pintu rumah Andini tertutup, Abimana baru tersadar."Nona Dianti," panggil Ratih seraya menangis. Suara tangisannya membuat orang makin gusar.Dianti memelototi Ratih sambil menegur, "Jangan menangis lagi! Cepat panggil tabib kediaman!"Ratih baru tersadar. Dia buru-buru memanggil tabib. Abimana membawa Dianti kembali ke Paviliun Persik. Tabib kediaman datang bersama Kirana.Saat tabib kediaman memeriksa Dianti, Kirana menarik Abimana ke luar dan berucap, "Ada apa? Kenapa adikmu tiba-tiba jatuh ke dalam kolam? Apa Andin ...."Abimana menyergah sambil mengernyit, "Bu! Andin yang menyelamatkan Dian!"Kemudian, Abimana yang teringat sesuatu melihat Ratih dan berujar, "Kamu kemari dulu."Wajah Ratih membengkak. Sudah jelas Laras menampar Ratih dengan kuat. Ratih langsung berlu
Orang yang datang adalah sahabat Kirana, Haira. Melihat Haira berhasil mengendalikan Abimana, para pelayan di kolam memohon seraya menangis, "Selir Agung Haira ... bantu kami tegakkan keadilan."Suara pelayan yang menangis secara bersamaan benar-benar berisik. Haira mengernyit dan melihat pelayan pribadinya.Pelayan pribadi Haira langsung paham maksud majikannya. Dia membentak, "Cepat pergi ganti baju! Kalau kalian sakit dan urusan para selir terbengkalai, apa kalian mau dipenggal?"Semua pelayan itu baru berhenti menangis, lalu buru-buru keluar dari kolam dan kembali ke kamar masing-masing.Setelah semua pelayan pergi, Haira baru melihat tongkat yang dipegang Abimana. Dia bertanya dengan dingin, "Abimana, apa kamu juga mau pukul aku?"Abimana baru melempar tongkat ke samping, lalu memberi hormat kepada Haira dan menyahut, "Saya nggak berani."Haira yang marah menimpali, "Kamu berani pukul pelayan istana. Apa lagi yang nggak berani kamu lakukan?"Haira merasa Abimana terlalu gegabah. P
Bahkan Kresna juga melihat Andini. Hanya saja, dia berkata kepada Abimana, "Untung saja, hari ini Selir Agung Haira turun tangan. Kalau nggak, bukan hanya kamu, kemungkinan aku juga nggak bisa keluar dari istana!"Andini melihat lantai dan tersenyum sinis. Sepertinya ucapan Kresna ini ditujukan kepadanya. Tiba-tiba, terdengar suara Dianti. "Ayah ...."Dianti terlihat lemah dan juga cemas, seolah-olah kondisinya sudah sekarat. Andini mengernyit. Dia melihat Ratih memapah Dianti.Air mata Dianti langsung mengalir sewaktu melihat dahi Abimana berdarah. Kemudian, Dianti berlutut di samping Abimana dan berucap, "Ayah, jangan marah lagi ...."Sebelum menyelesaikan ucapannya, Dianti batuk-batuk. Kresna yang merasa kasihan pada Dianti menegur Ratih, "Cepat papah Dianti!"Bahkan, Kirana yang awalnya sibuk membela Abimana juga segera memapah Dianti. Dia bertanya, "Kamu lagi sakit. Kenapa kamu keluar?"Dianti menjawab sembari berlinang air mata, "Aku ... dengar Ayah mau hukum Kak Abimana. Aku tah
Sebenarnya Andini enggan masuk ke istana. Dia merasa gelisah begitu sampai di halaman istana Haira.Andini berada di penatu istana selama 3 tahun, tetapi dia tidak pernah masuk ke istana Haira. Andini merasa suasana di istana Haira sama dengan di penatu istana. Kedua tempat itu membuat Andini merasa tidak tenang.Andini takut dirinya tidak bisa pulang lagi setelah masuk ke istana, sama seperti 3 tahun yang lalu. Andini berdiri di halaman istana Haira cukup lama. Saat kakinya sudah mati rasa karena kedinginan, seseorang baru datang untuk membawanya menemui Haira.Begitu pintu ruangan dibuka, Andini baru merasa hangat. Dia menghela napas. Sebelum masuk ke ruangan, Andini mendengar Haira berkata, "Aku sudah lihat pakaiannya, bersih sekali."Andini baru melihat Haira. Dia segera berlutut dan menyapa, "Salam, Selir Agung Haira. Hamba berterima kasih atas pujian Selir Agung Haira."Andini sudah terbiasa menjadi pelayan di penatu istana. Biarpun sekarang Andini telah dijemput kembali ke Kedia
Andini sangat kaget. Bahkan dayang itu juga sempat mendongak dengan terkejut. Dia melirik Andini dan Rangga dengan cepat sebelum menjawab, "Baik."Tak lama kemudian, dayang itu segera meninggalkan mereka. Sementara itu, Rangga dengan santai mengulurkan tangannya ke arah Andini sambil berujar, "Nona Andini, silakan."Andini tak punya pilihan selain memaksakan diri dan berjalan bersama Rangga menuju gerbang istana. Namun, perjalanan keluar istana hari ini terasa luar biasa panjang. Andini beberapa kali memandang ke depan, tetapi dua daun pintu besar itu tetap tak terlihat di pandangannya.Tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Keheningan di antara mereka begitu mencekam. Hanya terdengar suara sepatu yang bergesekan dengan lantai. Situasi seperti ini sangat jarang terjadi sebelumnya.Dalam ingatan Rangga, Andini adalah gadis yang sangat cerewet. Dia selalu berbicara tanpa henti, seperti burung kecil yang berkicau sepanjang hari. Keheningan seperti ini justru membuat Rangga merasa ti
Andini tidak menyangka bahwa Ainun akan tiba-tiba menanyakan hal seperti itu. Melihat sorot mata penuh harap di wajahnya, Andini mendadak menyadari bahwa dia ingin menjodohkannya dengan Rangga.Meskipun kemarin Andini sudah dengan jelas mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Rangga, mereka berdua adalah teman masa kecil yang tumbuh bersama di mata Ainun.Selain itu, Rangga saat ini juga sangat dipercaya oleh Kaisar. Menurut Ainun, dialah orang terbaik yang bisa Andini andalkan.Hanya saja, hubungan antara Andini dan Rangga sejak awal memang cukup rumit. Kini, Rangga dan Dianti juga sudah saling mencintai. Andini sama sekali tidak punya posisi maupun niat untuk menyelipkan dirinya di antara mereka.Andini menolak sambil menggeleng, "Nek, hari ini Jenderal Rangga bahkan menitipkan kue untuk Dianti. Mereka adalah pasangan sejati. Nenek nggak perlu memikirkan hal-hal seperti ini lagi."Ainun bukanlah orang yang keras kepala. Mendengar ucapan itu, dia
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it