Byakta terkejut karena tiba-tiba dipanggil. Begitu mengetahui orang itu adalah Dianti, dia segera memberi hormat dan menyapa, "Salam, Nona Dianti."Dianti menghampiri Byakta, lalu melirik ke arah tong sampah sekilas sebelum bertanya, "Kenapa Kak Byakta bisa ada di sini?""Cu ... Cuma lewat," sahut Byakta. Jelas sekali dia berbohong.Dianti tersenyum sembari membalas, "Ini pintu belakang. Jarang ada yang lewat. Kak Byakta datang karena Kak Andini, 'kan?"Mendengar ini, Byakta seketika menatap Dianti dengan kaget.Dianti menambahkan, "Kak Abimana sudah ceritakan padaku tentang Kak Byakta."Ternyata begitu. Menurut Byakta, hubungan Abimana dan Dianti sangat baik. Tidak heran jika Abimana menceritakan kepada Dianti bahwa Byakta punya perasaan pada Andini.Wajah Byakta langsung memerah. Dia berucap dengan terbata-bata, "A ... aku masih ada urusan. Aku pamit dulu."Ketika Byakta hendak pergi, Dianti bertanya, "Kak Byakta mau menyerah?"Langkah Byakta terhenti. Di belakangnya, Dianti melanjut
Beberapa hari kemudian. Ketika Andini baru selesai makan, Laras datang membawa sebuah kotak makan. Katanya, "Nona, lihat ini!"Andini tersenyum tipis sambil bertanya, "Kamu mau buat aku kekenyangan? Dari mana kamu dapat makanan itu?""Hamba temukan di sudut paviliun." Laras tersenyum dengan ekspresi misterius dan bertanya, "Nona nggak merasa kotak makan ini sangat familier?"Mendengar ini, Andini memperhatikan kotak makan itu lebih lama dan merasa familier. Dia juga memiliki satu yang sama persis. Itu adalah kotak makan yang sebelumnya dibawa oleh Byakta saat tengah malam. Sampai sekarang, belum diambil kembali.Jadi, kotak makan di depannya ini ....Sebelum Andini bertanya lebih jauh, Laras sudah meletakkan kotak makan di atas meja. Dia membukanya dan menyajikan sepiring usus sapi.Warnanya menarik. Aromanya juga menggugah selera. Dua orang yang sudah terbiasa mencium bau tak sedap selama beberapa hari ini seketika menelan ludah.Laras bahkan mencium aromanya tanpa ragu. Dia mengambil
"Nggak perlu jelaskan padanya," tukas Andini dengan datar.Andini mengambil saputangan dan menyeka mulutnya dengan pelan sebelum berujar, "Selalu ada alasan untuk menyalahkanku. Kalau mau menuduhku, silakan saja."Setelah konflik sebelumnya, Andini sudah mengerti. Bagi Abimana, Andini sudah jahat sejak lahir. Apa pun yang dia katakan, Abimana juga tidak akan mendengarkannya. Jika begitu, untuk apa repot-repot menjelaskan?Melihat Andini bersikap seakan-akan tidak peduli lagi, Abimana makin marah. Dia menyergah, "Aku menuduhmu? Apa mungkin usus sapi ini datang sendiri? Aku penasaran, apa istimewanya makanan ini sampai lebih enak dari kue Argani? Asal kamu tahu, harus antre sampai malam baru bisa beli kue itu!"Yang dimaksud Abimana adalah kue yang Rangga letakkan di kereta kuda. Lantaran saat itu Andini tidak menyentuhnya, Rangga memberikannya sendiri kepada Andini. Namun, Andini malah meminta orang untuk memberikannya kepada Dianti.Andini mendengus dingin sebelum menimpali, "Sekalipun
Ketika melihat punggung Abimana, hati Andini terasa hancur. Dia melihat usus sapi di atas meja yang belum habis, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Laras, kembalikan semua ini ke Wakil Jenderal Byakta sekarang."Andini berpesan, "Sampaikan padanya, masakannya sama sekali nggak cocok dengan seleraku. Sebelumnya aku bilang enak cuma karena dia pernah menolongku. Minta dia jangan salah paham."Setelah melontarkan ucapan ini, bibir Andini tidak bisa berhenti bergetar. Dia merasa sedikit kesulitan, tetapi dia tetap harus mengatakannya.Andini menambahkan, "Sampaikan juga padanya, meski sekarang aku cuma putri angkat Keluarga Adipati, aku tetap bukan orang yang bisa diimpikan orang sepertinya. Minta dia jangan melakukan hal yang bisa merusak nama baikku lagi, kalau nggak ...."Andini akhirnya tidak bisa melanjutkan kata-katanya.Bagi orang yang tulus memberikan hati padanya, kata-kata Andini seperti pisau tajam yang menusuk hati itu dengan kuat. Namun, Andini tidak punya piliha
"Tentu saja karena status Byakta yang rendah!" Abimana mengernyit sambil menjelaskan, "Bagi orang biasa, kondisi Byakta memang cukup baik. Tapi, Andin itu Nona Besar Keluarga Adipati. Gimana bisa menikah dengan seorang wakil jenderal?"Entah kenapa begitu mendengar Abimana mengatakan Andini adalah Nona Besar Keluarga Adipati, hati Dianti tiba-tiba dipenuhi rasa cemburu yang menyesakkan.Namun, Dianti segera menekan perasaannya dan tersenyum manis kepada Abimana. Katanya, "Kak Abimana memang Kakak terbaik di dunia. Kakak selalu memikirkan aku dan Kak Andini."Kata-kata Dianti seolah-olah tangan lembut yang menyingkirkan amarah di hati Abimana.Abimana menatap Dianti, lalu mengelus kepala adiknya dengan lembut seraya berucap, "Andai Andin juga sepertimu yang bisa memahami niat baikku.""Kak Andini akan paham." Dianti masih tersenyum manis sembari menimpali, "Meski sekarang Kak Andini belum paham, suatu saat dia juga akan paham."Abimana menyunggingkan senyum dan berkata, "Semoga begitu."
Tiga hari kemudian, pelayan dari paviliun Ainun datang ke Paviliun Ayana. Dia meminta Andini untuk pergi menemui Ainun.Ini belum waktunya Andini dibebaskan, tetapi Ainun sudah mengirim orang untuk memanggilnya. Andini merasa sangat cemas. Dia berpikir, jangan-jangan terjadi sesuatu pada Ainun sehingga dia dipanggil dengan tergesa-gesa. Langkahnya tanpa sadar menjadi lebih cepat.Begitu tiba di paviliun Ainun, Andini buru-buru memanggil, "Nenek!"Suaranya bahkan terdengar sedikit terisak. Namun, setelah melihat orang-orang di dalam ruangan, Andini seketika terdiam.Ainun sedang duduk di kursi utama. Raut wajahnya tampak seperti orang sakit, tetapi bibirnya tersenyum. Selain Ainun, Abimana dan Dianti juga ada di sana. Ada apa ini?Begitu melihat Andini, Ainun segera melambaikan tangannya sembari berkata, "Andin, ayo kemari!"Andini mendekat dan duduk di sebelah Ainun. Dia menatap Abimana dengan curiga, lalu bertanya pada Ainun dengan lembut, "Nenek, kenapa begitu tergesa-gesa panggil ak
Abimana tersenyum seraya menimpali, "Dian memang selalu yang paling lembut, paling baik, dan paling pengertian."Ketika mendengar Abimana dan Ainun memujinya, Dianti menunduk dengan malu-malu. Wajahnya penuh dengan kebahagiaan.Sementara itu, wajah Andini tetap dingin.Ainun yang melihat ketidaksetujuan Andini pun berkata dengan lembut, "Andin, kita cuma akan melihat-lihat. Kalau nggak ada satu pun yang kamu suka, kamu boleh pulang."Andini menarik napas dalam-dalam, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Dia membalas, "Nenek begitu terburu-buru mau menikahkan Andin? Andin masih mau menemani Nenek beberapa tahun lagi."Mendengar ini, mata Ainun berkaca-kaca. Dia mengelus kepala Andini sambil menatapnya dengan lembut . Katanya, "Sudah kubilang, Andin yang paling baik. Sayangnya, Nenek nggak bisa menemani Andin lebih lama lagi ...."Jadi, selagi masih hidup, Ainun ingin menyerahkan Andini ke tangan orang lain. Dia ingin melihat Andini memiliki kehidupan yang bahagia. Dengan begitu, Ainun
Wajah Abimana yang tersulut amarah tampak mengerikan. Namun, justru wajah mengerikan ini yang membuat Andini merasa familier. Sikap lembut barusan hanya topeng yang sering dipakai Abimana dulu. Sungguh memuakkan!Andini tertawa dingin sebelum membalas, "Aku sudah berjanji pada Nenek, jadi aku nggak akan mengingkarinya. Tapi, kamu juga jangan terlalu berharap."Selesai berbicara, Andini berbalik pergi. Tidak disangka, Dianti bergegas maju dan menghadang jalan Andini. Katanya, "Kak Andini, ada yang mau Dian katakan."Begitu melihat wajah yang penuh kepura-puraan ini, Andini langsung menimpali dengan tegas, "Aku nggak mau dengar."Dianti tercengang. Dia tidak menyangka sekarang Andini sudah tidak menghargainya. Namun, dia tetap mengatakannya.Dianti menggigit bibir dan berlinang air mata seperti orang yang sangat teraniaya. Katanya, "Meski Kakak nggak mau dengar, Dian tetap mau mengatakannya."Dianti meneruskan, "Aku tahu Kakak membenciku dan Kak Abimana. Tapi, tadi Kakak juga sudah lihat
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg