Baru saja melewati jembatan batu, Laras langsung menendang bagian belakang lutut Ratih dengan satu kaki dan membentak, "Berlutut!"Seorang pelayan yang sigap segera membawakan kursi untuk Andini. Andini duduk di kursi itu, lalu Laras menyodorkan secangkir teh panas. Andini menerimanya dan memegang penutup cangkir dengan ringan, menyisihkan daun teh yang mengapung di atas permukaan air dengan santai.Bunyi jernih dari penutup cangkir yang menyentuh tepi cangkir terdengar begitu tajam, seolah-olah menjadi pisau yang menusuk hati Ratih berulang kali.Ratih yang sedang berlutut di sana mulai gemetaran, tidak lagi terlihat keberanian atau ketegasan seperti saat dia memfitnah Andini tiga tahun lalu.Setelah menyeruput teh, Andini tersenyum tipis. "Apa kamu pernah membayangkan suatu hari kamu akan jatuh ke tanganku?"Pertanyaan itu seolah-olah menyentuh tombol tersembunyi di dalam diri Ratih. Dia langsung merangkak maju dengan berlutut, memegang pergelangan kaki Andini, dan memohon ampun."Ma
Keesokan hari, Andini menemani Kirana ke istana. Haira sudah menunggu sejak pagi.Begitu melihat Andini, Haira segera menyambutnya dengan mata berkaca-kaca. "Andin, akhirnya kamu datang! Aku kira kamu nggak ingin bertemu denganku lagi!""Itu nggak mungkin terjadi," jawab Andini dengan lembut, seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi.Haira tampak sangat gembira, bahkan melirik Kirana dengan penuh rasa syukur. Kirana pun berkata, "Sudah saya bilang, Andin nggak pernah menyimpan dendam atas kejadian itu. Anda tetap saja khawatir."Mendengar ini, Haira mengangguk berkali-kali. "Benar, aku memang nggak nyangka Andin sebaik ini. Eh, ayo kita masuk dulu!"Haira menggandeng Andini masuk ke ruangan. Namun, begitu melangkah masuk, Andini langsung berhenti. Ini karena ada seseorang yang sedang berlutut di dalam. Dari siluetnya saja, Andini sudah tahu itu adalah Baskoro.Melihat ekspresi Andini berubah, Haira segera menenangkannya, "Anak ini benar-benar kurang ajar. Hari ini, aku akan menghukum
Tatapan Baskoro sebelumnya jelas menunjukkan bahwa dia ingin sekali menghajar Andini hingga babak belur, sekarat, dan tak berdaya!Melihat Andini diam saja, Haira kembali kebingungan. Setelah berpikir sejenak, dia memberi isyarat kepada kepala dayangnya.Kepala dayang itu mengangguk paham, segera memimpin para dayang dan kasim keluar. Kini, di dalam ruangan hanya tersisa Haira, Kirana, dan Andini.Kirana bertanya dengan penasaran, "Selir Agung, apa yang Anda lakukan ...."Sebelum dia selesai berbicara, Haira menepuk lembut tangan Andini dan berkata pelan, "Tunggu sebentar."Setelah itu, Haira bangkit dan masuk ke ruang dalam. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa selembar akta tanah."Ini adalah properti yang kubeli di luar istana, sebuah kedai baju. Simpan baik-baik," ucap Haira sambil menyerahkan akta itu kepada Andini.Andini tampak terkejut. Sebenarnya, tujuan utamanya hari ini adalah untuk berurusan dengan Baskoro, bukan untuk menerima apa pun dari Haira.Kirana juga san
Melihat Andini tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut terhadap daerah barat kota, Baskoro mulai merasa penasaran. Ke mana sebenarnya Andini ingin membawanya?Baskoro mengangguk ringan dengan senyuman mencela di bibirnya. Dia yakin Andini tidak akan bisa lepas dari kendalinya.Bagaimana mungkin seekor "buruan" yang dengan sukarela diserahkan orang tua sendiri bisa lolos dari genggamannya?Namun, yang tidak disangka oleh Baskoro adalah tempat yang dituju Andini adalah Kedai Teh Vata. Kedai itu adalah tempat mereka pernah berjanji untuk bertemu, tetapi karena surat Andini ditukar oleh Abimana, mereka akhirnya tidak pernah bertemu.Kedai teh ini memiliki dua lantai. Di tengah aula lantai satu, terdapat panggung kecil. Biasanya, ada yang membuat pertunjukan di atas sana. Hari ini, seorang pendongeng sedang tampil di atas panggung.Kisah yang diceritakan tampaknya sangat menarik, membuat para tamu yang ada di kedai teh mendengarkannya dengan saksama.Andini dan Baskoro duduk di tempat yang
Jika hal ini tersebar luas hingga diketahui oleh semua orang, Baskoro tidak akan bisa menikah dengan keluarga bangsawan seperti Keluarga Biantara ataupun Keluarga Perdana Menteri yang paling berpengaruh. Seumur hidupnya, dia tidak akan bisa kembali ke ibu kota!Ketika saat itu tiba, Baskoro juga tidak akan berniat kembali ke ibu kota lagi. Bagaimanapun, harga dirinya dan martabatnya sebagai seorang pria telah tercoreng! Kekurangan fisiknya adalah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun!Seluruh tubuh Baskoro bergetar hebat. Amarah yang membara ditahannya dengan sekuat mungkin. Dia tidak berani meluapkannya sedikit pun. Namun, dia tidak mengerti. "Gimana kamu bisa tahu?"Kekurangannya itu adalah rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang!Andini tidak menjawab, tetapi Baskoro segera mengingat sesuatu. "Apa dari dayang di penatu yang dipindahkan untuk melayani ibuku? Namanya ... Ambar?"Baskoro berpikir, hanya orang yang dekat dengan ibunya yang mungkin mengetahui rahas
Ucapan Dianti bukan hanya membuat Andini terkejut, tetapi juga membuat Kirana ketakutan. Kirana sangat khawatir jika Andini mengiakan, Dianti akan benar-benar dikirim ke barat kota.Makanya, sebelum Andini sempat berbicara, Kirana berkata dengan panik, "Andin, jangan dengarkan omong kosong adikmu. Dia cuma khawatir pada Ratih."Melihat Kirana begitu terburu-buru melindungi Dianti, ini sangat kontras dengan sikapnya hari ini yang membawa Andini menemui Baskoro. Sungguh konyol.Hati Andini mencelos, tetapi sudut bibirnya tetap menyunggingkan senyuman tipis. "Aku tahu. Ratih sedang memulihkan diri di paviliunku, jadi kalian nggak perlu khawatir."Begitu ucapan itu dilontarkan, Dianti menjadi semakin cemas. "Memulihkan diri? Memulihkan diri gimana? Ratih baik-baik saja, kenapa dia harus memulihkan diri? Kak, apa kamu yang melukainya?" Ucapan itu diiringi dengan tangisannya yang deras.Andini merasa sangat jengkel sehingga berucap, "Kalau kamu khawatir, ikut saja denganku. Kamu bisa melihat
Begitu mendengarnya, Dianti langsung berlutut di hadapan Kirana. "Tolong jangan, Ibu! Jangan usir Ratih! Dia nggak sengaja, dia nggak bermaksud mengatakan hal-hal itu!"Andini yang berdiri di samping hanya merasa ini sangat lucu. "Apa maksudmu? Kamu menuduh aku yang mengajari Ratih bicara seperti itu?"Dianti tertegun, air mata sudah membasahi wajahnya. Dia menggeleng, lalu memohon dengan sedih kepada Kirana, "Bukan begitu, aku ... aku nggak bermaksud begitu. Ratih masih muda dan nggak tahu apa-apa, jadi dia salah bicara. Ibu, tenang saja. Mulai sekarang aku pasti akan mengawasinya dengan baik! Kumohon, jangan usir Ratih ...."Biasanya jika Dianti menangis seperti ini, Kirana pasti langsung merasa iba dan melunak. Namun, hari ini mungkin karena ucapan Ratih yang sudah melewati batas, Kirana sama sekali tidak tergerak. Sebaliknya, dia menatap Dianti dengan curiga. "Dia cuma pelayan biasa. Kenapa kamu sampai memohon untuknya?"Untuk pertama kalinya, Kirana merasa tindakan Dianti untuk se
Adik kandung? Ratih? Andini menatap Ratih dengan bingung, pikirannya kacau karena pengakuan Dianti barusan.Kirana juga tidak berkata apa-apa, hanya tertegun dengan ekspresi penuh keterkejutan.Hanya Laras yang tidak memercayai semua ini. Dia langsung berteriak, "Nggak mungkin! Ratih sama sekali nggak mirip dengan Nona Andini! Mana mungkin mereka adik kandung?"Mungkin memang benar, pengamat selalu punya pikiran yang lebih jernih. Setelah mendengar ucapan Laras, Andini mulai memperhatikan Ratih. Kulitnya putih, sedangkan kulit Ratih gelap. Matanya besar, sedangkan mata Ratih. Bahkan hidung, bibir, dan telinga, tidak ada yang mirip.Dianti langsung menjawab, "Itu karena Ratih mirip ayahnya! Ratih mirip sekali dengan ayahnya, sementara Kakak ... Kakak lebih mirip ibunya."Ibunya? Andini menatap Dianti dengan ekspresi dingin. Ibunya adalah bidan yang membantu Kirana melahirkan, tetapi Andini sendiri belum pernah melihatnya.Dia hanya mendengar cerita bahwa Kirana saat itu jatuh saat beper
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg