Kirana diam-diam merasa ada sesuatu yang aneh dengan kejadian ini. Namun, Dianti mulai menangis dan berteriak, "Ini semua salahku! Aku yang menipu Ayah dan Ibu! Ibu, hukum saja aku!"Setelah berkata begitu, Dianti langsung bersujud di hadapan Kirana. Mungkin karena Kirana sedang kacau, dia tidak segera membantu Dianti berdiri seperti yang biasanya dilakukan.Akibatnya, Dianti tetap dalam posisi bersujud, dengan kepala membentur lantai dan tubuh gemetar karena menangis.Melihat itu, Ratih segera berlari ke sisi Dianti dan ikut berlutut, "Nyonya, Nona melakukannya untuk melindungi hamba. Kalau Nyonya ingin marah, marah saja pada hamba! Jangan marah pada Nona!"Ratih mulai bersujud dan meneruskan, "Ini semua salah hamba! Tolong maafkan Nona!"Setiap kali berbicara, dia dkan membenturkan kepalanya hingga terdengar suara keras. Tidak lama kemudian, dahinya yang sudah terluka mulai mengeluarkan darah.Melihat pemandangan ini, hati Kirana bergetar hebat. Namun, entah kenapa, dia perlahan meno
Keesokan pagi setelah bersiap-siap, Andini duduk untuk menikmati sarapannya.Laras menghampiri untuk melayani. Senyuman cerah terus menghiasi wajahnya sejak tadi. Andini pun penasaran. "Apa yang membuatmu begitu bahagia?""Nggak ada kok!" sangkal Laras segera. Kemudian, dia melirik para pelayan yang berdiri di luar dan merendahkan suaranya. "Ratih belum makan apa-apa sejak semalam."Seperti yang sudah diduga. Andini mengangkat alisnya sedikit. "Kamu nggak kasih dia makanan?""Mana mungkin! Semua makanan enak sudah saya bawakan untuknya!" Justru karena Laras membawakan makanan yang terlalu mewah, Ratih menjadi takut untuk memakannya.Andini tersenyum dingin dan tidak memberi komentar lagi. Sebaliknya, Laras terlihat agak masam. "Apa Nona benar-benar percaya kalau Ratih adalah adik kandung Anda?"Mengenai apa yang diucapkan Dianti kemarin, Laras merasa hal itu sangat mencurigakan.Andini mengangkat bahu. "Nggak masalah, pasti ada yang menyelidikinya nanti." Kirana pasti akan mencari tahu
Tangan Andini yang diletakkan di kedua sisi tubuhnya mengepal erat tanpa sadar.Wanita yang berdiri di depannya bukan orang asing, melainkan dalang utama yang bertahun-tahun lalu mengirimnya ke penatu istana, memerintahkan para dayang untuk menindasnya selama tiga tahun penuh. Safira!Namun, sepertinya Safira tidak mengenalinya. Dengan tatapan meremehkan, Safira mengamati Andini dari atas ke bawah sebelum bertanya, "Maksudmu, aku bukan manusia?"Andini berpikir, jika Safira tidak mengenalinya, dia tidak perlu menunjukkan bahwa dia mengenali wanita itu.Sambil tersenyum ringan, Andini menjawab, "Jangan salah paham, Nona. Aku nggak bermaksud begitu. Kami pedagang, kejujuran adalah yang utama dalam bisnis."Tatapan Safira masih dipenuhi kekesalan. Dengan alis terangkat, dia bertanya lagi, "Kamu ini siapa?"Andini melangkah maju mendekati Safira, lalu mengeluarkan akta yang diberikan oleh Haira kemarin dan menyerahkannya kepada pengurus kedai. "Kemarin aku baru saja membeli kedai ini. Jadi
Tatapan Safira dipenuhi dengan kebencian yang kuat. Namun, Andini sama sekali tidak panik. Dia berlutut untuk memberikan salam, "Putri mengunjungi kedai saya secara pribadi. Saya tentu nggak berani mengungkapkan identitas Anda. Mohon dimaklumi."Secara tersirat, Andini menyatakan bahwa Safira tidak memperkenalkan identitasnya terlebih dahulu, jadi dia tidak berani langsung mengatakannya.Safira memandangnya dari atas dengan tatapan penuh penghinaan. Dia tidak mempermasalahkan Andini yang berpura-pura tidak mengenalnya, tetapi dia tidak suka dijadikan alat oleh orang lain.Dengan nada dingin, Safira berucap, "Aku pikir setelah tiga tahun di penatu istana, kamu setidaknya sudah belajar tata krama."Bukannya menunjukkan rasa takut, Andini justru bersikap tenang. Bahkan saat memberi salam pun, dia tidak menunjukkan rasa rendah diri. Sikap ini membuat Safira ingin mengirimnya kembali ke penatu istana untuk mencuci baju selama tiga tahun lagi!Andini tetap diam. Dia tahu bahwa Safira tidak m
Dianti dan Abimana juga ikut masuk. Melihat Andini terpaku di tempat, Dianti mendekatinya dan berkata, "Semua ini disiapkan oleh Kak Abi. Suka nggak?"Andini tidak tahu harus berkata apa. Hidangan yang memenuhi meja itu memang semuanya adalah makanan favoritnya. Bahkan, ada beberapa yang langsung bisa dikenali sebagai masakan dari para koki terkenal di kedai tertentu.Abimana pasti telah mengunjungi lebih dari sepuluh kedai untuk mengumpulkan semua hidangan ini. Sama seperti yang selalu dilakukan selama 15 tahun sebelumnya, Abimana selalu rela meluangkan waktu dan tenaga untuknya.Andini berpikir, jika ini adalah masa lalu, dia pasti sudah merasa sangat terharu dan gembira. Kalau saja ... masalah tiga tahun itu tidak pernah terjadi.Melihat Andini tetap diam, Dianti seperti teringat sesuatu dan berkata, "Kak Abi juga menyiapkan hadiah untukmu!"Usai berkata, Dianti mendesak Abimana untuk segera mengeluarkan hadiahnya. Abimana tampak sedikit canggung. Dengan ragu-ragu, dia mengambil seb
Andini tidak menggubris Dianti dan langsung berjalan ke sisi meja. Dia mengelilingi meja bundar kecil itu, menatap setiap hidangan yang dulu sangat dia sukai. Senyuman dingin terlukis di sudut bibirnya. "Jadi, ini yang kalian sebut perdamaian?"Hanya penjepit rambut usang dan meja penuh makanan, lalu mereka ingin berdamai dengannya?Dianti mendekati Andini. "Kak, kami benaran ingin berdamai denganmu ... ah!" Sebelum Dianti menyelesaikan kalimatnya, Andini tiba-tiba membalikkan meja itu. Disertai teriakan kaget Dianti, semua hidangan lezat di meja pun berserakan di lantai.Melihat makanan yang telah dipersiapkan dengan susah payah kini menjadi tidak bisa dimakan, Abimana akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Dia berteriak dengan marah, "Andini! Jangan seenaknya seperti ini!"Melihat Abimana marah, Laras langsung berdiri di depan Andini untuk melindunginya. "Tuan, ini Paviliun Ayana!"Tempat ini adalah wilayah Andini. Bagaimanapun, Abimana tidak boleh bertindak semena-mena di sini!Namu
Andini mengira dia salah dengar. "Apa yang kamu bilang?"Demi dirinya? Mereka jelas-jelas mengirimnya menuju kematian, 'kan?Abimana membawa kendi arak itu dan mendekati Andini. "Tentang Pangeran Baskoro, aku tahu kamu menyimpan dendam pada Keluarga Adipati. Tapi, kalaupun aku memberitahumu sejak awal, apa kamu akan memilih untuk membatalkan pernikahan?""Kamu sangat ingin memanfaatkan hubungan dengan bangsawan untuk membalas dendam pada Keluarga Adipati. Apa kamu tega melepaskan penopang seperti Pangeran Baskoro?"Sambil berbicara, Abimana sudah berdiri di depan Andini. Dia lebih tinggi satu kepala dari Andini. Bahkan saat dia menunduk, Andini tetap harus mendongak untuk melihatnya.Andini menatap mata Abimana yang dipenuhi kemarahan, sementara amarahnya sendiri semakin memuncak. "Tuan sudah salah paham. Bukan aku yang ingin menikah dengan Pangeran Baskoro, tapi Nyonya Kirana yang menjodohkanku dengannya. Kalau kamu keberatan, lebih baik sampaikan saja kepadanya."Sebelum Andini sempa
Ketika Andini sadar kembali, dia mendapati dirinya berbaring di atas ranjang yang asing. Udara di sekitar dipenuhi aroma kayu gaharu yang samar. Dia langsung menyadari bahwa ini adalah kamar seorang pria!Namun, sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, suara dingin terdengar di telinganya. "Kalau sudah sadar, cepat pergi!"Andini terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Di ujung ranjang, duduk seorang pria dengan fitur wajah yang tegas, mirip dengan Rangga. Auranya memancarkan aura seorang jenderal yang gagah, tetapi tubuhnya tampak kurus kering dan kulitnya juga pucat.Andini segera mengenalinya dalam sekali pandang. "Kak Lingga?"Dia sungguh terkejut dan mencoba bangkit dari ranjang. Namun, tubuhnya sangat lemah sehingga dia terjatuh dengan keras ke lantai. Rasa sakit itu membuatnya sedikit lebih sadar.Di atas ranjang, Kalingga tetap memandang dengan dingin tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Andini merasa panik. "Maaf, Kak. Aku ... Aku nggak tahu kenapa aku bisa ada di sini
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg