Jika kau sudah terlalu sering dikhianati maka perhatian kecil akan terasa begitu berat untuk diterima.
****
'Semoga aku tidak bermimpi.'
Itu hanyalah harapan kecil dan sederhana yang Ariel ucapan sebelum tidur.
'Ah, aku disini lagi'
Ariel membuka matanya dalam kegelapan. Dia jatuh. Dan seperti sebelumnya kegelapan itu menelanya hingga dia menjadi tidak terlihat.
Ariel mendengar tawa anak-anak, bunyi lonceng dan wajahnya terasa hangat karena terkena sinar matahari. Dia membuka mata dan melihat langit biru yang cerah. Itu silau tetapi Ariel tidak berhenti untuk menatapnya. Dia bisa mencium aroma manis dari gula dan aroma segar dari rumput ketika angin bertiup.
"Hey."
Seorang anak perempuan menghalangi pandangan Ariel. Anak itu tersenyum dengan ceria. Anak itu memakai kemeja putih yang dimasukan ke dalam celana hitam. Rambut panjangnya diikat satu ke belakang. Bukan hanya dia Ariel juga memakai pakaian yang sama. Di rambut hitam pendeknya terpasang jepitan kecil berbentuk kupu-kupu.
"Apa yang kau lakukan. Ayo bangun. Ibu memanggil kita. Waktunya makan cemilan."
Suaranya begitu bersemangat.
Ariel duduk, dia bisa melihat sebuah rumah coklat tua besar. Rumah itu terlihat dekat, hanya butuh beberapa menit baginya untuk sampai di sana. Rumah berlantai dua itulah yang menjadi tempat pertama dia mengenal dunia. Rumah tempat dia tinggal sekaligus penjara yang mengurungnya. Dia bisa melihat beberapa anak yang berlari ke arah rumah itu. Mereka memakai kemeja putih dan celana hitam yang sama. Mereka semua rapi dan bersih. Mereka nampak bahagia.
Ariel melihat sekeliling dengan perasaan familiar. Saat ini dia berada di sebuah taman yang dikelilingi tembok bata. Halaman dengan rumput hijau, bunga dan pohon untuk bermain. Dia berada di taman yang luas dan indah.
Satu-satunya hal yang mencolok adalah fakta bahwa teman itu dikelilingi oleh tembok bata yang begitu tinggi.
"Ayo."
Anak perempuan berambut coklat itu menarik tangan Ariel dengan penuh semangat. Ariel melihat dalam diam tangan mereka yang saling bertautan. Dia balas menggenggam tangan anak itu dengan erat. Mereka bersama berlari ke arah rumah besar itu.
Namun tidak peduli berapa lama mereka berlari, mereka tidak pernah sampai disana.
Ariel tidak lelah. Anak yang menarik tangannya juga tidak. Anak itu terlihat begitu berenergi dan bahagia. Sepertinya hanya Ariel yang menyadari bahwa mereka telah berlari cukup lama.
Ketika dia bebas dari laboratorium itu, penguasa lantai 1 meletakan Ariel di sebuah panti asuhan di area hunian lantai 1.
Disana mereka memberinya makanan, mainan dan buku-buku. Mereka memberinya teman dan sosok ibu. Dan sebagai imbalannya tubuh Ariel diperiksa setiap minggu. Itu pemeriksaan yang tidak menimbulkan rasa sakit tetapi setiap kali pemeriksaan itu selesai. Luka bekas suntikan akan bertambah di tubuh kecil Ariel. Dia bukan satu-satunya ada lima puluh anak disana yang bernasib sama sepertinya.
Dan ketika dia sadar bahwa dia kembali dijadikan sebagai bahan eksperimen, semuanya sudah terlambat.
Di tempat itu dia belajar tentang dunia. Ariel tinggal di sebuah menara. Menara yang memiliki 108 lantai, dia berada di lantai satu area hunian. Untuk sampai ke lantai berikutnya harus melewati ujian yang diadakan oleh setiap penguasa lantai. Mereka yang menaiki menara disebut Aves. Dan mereka yang menguasai menara disebut sebagai para Rigel.
Para Rigel ditinggal di lantai 97 sampai 108. Ada 12 mahluk yang disebut sebagai Rigel. Mereka dikatakan memiliki kekuatan untuk menghancurkan satu lantai. Hanya orang-orang yang telah mencapai puncak menara yang pernah bertemu dengan para Rigel. Semua penghuni menara takut, hormat dan kagum pada para Rigel.
Banyak orang yang menaiki menara untuk dapat bertemu dengan mereka. Dikatakan bahwa semakin tinggi lantai tempat kau tinggal maka semakin tinggi pula kedudukan dan kekuasaan yang kau dapatkan. Di dalam menara mereka tidak mengenal umur. Disana mereka menua begitu lama. Dan khusus untuk para Rigel mereka adalah makhluk abadi. Karena hal itu orang-orang di menara sering menyebut mereka sebagai dewa.
Ariel dan anak perempuan itu terus berlari menuju rumah coklat tua itu.
"Aku rasa sebaiknya kita berhenti disini saja Ru."
Ariel berhenti berlari. Anak yang dipanggil Ru juga ikut berhenti, tangannya masih menggenggam tangan Ariel. Namun dia tidak berbalik. Ariel melihat tangan mereka yang saling bertautan. Dia merasa sesak untuk suatu alasan.
"Kenapa?"
Ru bertanya dengan suara pelan dan lirih.
Suaranya yang semangat dan ceria hilang.
"Ru."
Ariel memanggil namanya dengan lembut.
"Kenapa kau berlari sendiri. Kenapa kau meninggalkan kami!"
Ru berbalik dan berteriak marah. Ada darah di wajahnya. Darah itu jatuh dari kepalanya, melewati mata dan berakhir di dagunya. Ariel terkejut oleh perubahan yang tiba-tiba ini. Meskipun ini bukan mimpi pertamanya dia masih saja terkejut melihat wajah marah yang penuh dengan darah itu.
Ariel menggigit bibir bawahnya dengan keras. Dia harus tenang. Ini hanya mimpi.
"Aku benci darah. Kau tahu. Kenapa kau selalu muncul dengan keadaan seperti ini."
Ariel bertanya dengan santai. Dia mengusap darah di mata Ru. Ariel tersenyum lembut.
"Kau harusnya tidak datang dengan keadaan seperti ini ke dalam mimpi orang lain."
Ru terlihat berantakan. Pakaiannya yang tadi bersih kini kotor dan berisi bercak darah. Rambut coklatnya yang panjang kini hanya sebahu terlihat berantakan. Taman yang indah itu berubah menjadi Padang rumput yang gersang. Tembok yang mengelilinginya runtuh dan rumah besar di belakang Ru terbakar.
Melihat api itu membuat jantung Ariel berdetak kencang karena rasa takut.
Deg deg deg
Ariel memejamkan matanya. Tangannya masih menggenggam tangan Ru. Genggaman itu semakin kuat. Seolah dia takut ada orang yang akan memisahkan mereka.
"Aku membencimu."
"Terimakasih Ru."
Saat itulah Agnes terbangun dengan rasa sesak di dadanya. Dia duduk dan memegang dada kirinya.
Deg deg deg
Jantungnya berdetak begitu cepat. Nafasnya berantakan. Tangannya gemetar.
"Apa kau baru saja bermimpi buruk?"
Seorang pria asing dengan rambut putih dan mata merah tua duduk di sofa bertanya dengan ringan.
Agnes yang masih berusaha menenangkan dirinya mengabaikan pria itu. Dia menarik nafas perlahan dan menghembuskannya perlahan. Dia terus melakukan hal itu sampai dia bisa bernafas dengan normal. Tangannya masih gemetar namun jantung dan nafasnya mulai berjalan normal.
"Pasti itu mimpi yang begitu buruk hingga kau seperti ini."
Pria itu berdiri di samping tempat tidur Agnes dengan tangan satu tangan di saku celananya. Dia terlihat begitu santai dan acuh tak acuh.
"Siapa?"
Agnes bertanya tanpa sadar. Suaranya serak dan kering karena baru berbicara setelah sekian lama. Tenggorokannya juga teraksa sakit. Pria itu entah bagaimana tidak membuatnya merasa dalam bahaya.
Itulah sebabnya dia bisa mengabaikan pria itu dan mengontrol dirinya terlebih dahulu.
Pria itu tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit. Agnes tiba-tiba merasa menggigil begitu melihat senyum pria itu. Namun, itu bukan sesuatu yang berbahaya. Dia hanya menggigil kedinginan.
"Kau bisa memanggilku El. Aku adalah orang yang dikirim oleh Penguasa Dunia Bawah untuk melakukan kesepakatan denganmu."
"Kau bisa memanggilku El. Aku adalah orang yang dikirim oleh Penguasa Dunia Bawah untuk melakukan kesepakatan denganmu." "Apa?" Agnes bertanya dengan bingung. Penguasa dunia bawah apa itu semacam organisasi bawah tanah. "Bukan. Itu bukan organisasi tapi benar-benar dunia bawah." Agnes tersentak. "Kau…" "Ah, maafkan aku. Aku sering penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain jadi terkadang itu terjadi begitu saja." "..." " Kau tidak perlu khawatir sekarang aku tidak akan membaca pikiranmu lagi." 'Bagaimana aku bisa percaya.' "Kau pasti tidak percaya kan." "...." "Aku tidak membaca pikiranmu aku hanya menebaknya lewat wajahmu." "Siapa kau?" Pria itu mulai cemberut mendengar perkataan Agnes. "Aku sudah memperkenalkan diri." Agnes mengerutkan dahinya, El. Siapa? Selama membaca novel [Orion's Resurrection] Agnes, tidak Ariel sama sekali tidak pe
"Sepertinya dia hilang ingatan." El berkata dengan wajah santai tidak peduli. Berbeda dengan Aland yang wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sedikit pucat. Anges yang melihat wajah Aland yang memucat menjadi sedikit bersalah. Dia melirik El yang terlihat mulai bosan. "Aku rasa racun itu telah mempengaruhi sel otaknya. Kau sangat beruntung. Jika kau sedikit saja terlambat memberinya obat penawar maka dia pasti akan mati." Agnes mengerutkan dahinya mendengar penjelasan El. 'Kenapa dia begitu santai?' Ucapan El terdengar tanpa beban. Seolah-olah dia baru saja memberikan informasi tentang ramalan cuaca dan bukannya tentang nyawa seseorang.
"Dia benar-benar pergi begitu saja." Agnes berkata dengan rasa tidak percaya dan jengkel disaat yang bersamaan. Agnes melihat tempat dimana El tadi berada dan dia mulai ragu apa dia telah memilih orang yang benar untuk diajak bekerja sama. "Aku harus pergi sekarang." Agnes menoleh kearah Aland yang akhirnya mulai berbicara. Dia terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Matanya masih terlihat kebingungan namun wajahnya kembali tenang. Ini membuat Agnes sulit menentukan apa yang dipikirkan oleh Aland. "Mau kemana?" "Aku akan menjelaskan situasimu kepada yang lainnya." Dingin. Aland berbicara dengan nada dingin dan tegas, seperti seorang atasan yang memberikan perintah kepada bawahannya. Aland bahkan tidak menatap Agnes ketika dia berbicara. Tidak ada tatapan lembut atau kata-kata yang hangat seperti sebelumnya. Agnes merasa ini adalah hal yang memang seharusnya. Seperti inilah sikap Aland yang digambarkan di
Terkadang kegilaan diperlukan untuk bertahan hidup.****Tok tok tok"Ini aku."Itu suara Bin."Masuklah."Bin masuk diikuti Kai yang membawa sebuah nampan di belakangnya. Dengan langkah ringan mereka berjalan mendekati tempat tidur."Hai."Kai menyapa Agnes dengan nada suara seperti anak kecil. Dia memiliki senyum polos di wajahnya. Agnes tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban."Aku dengar kau sudah dapat menggerakkan tubuhmu.""Iya jauh lebih baik dari sebelumnya."Bin duduk di kursi dekat tempat tidur. DanKai meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas."Aku akan memeriksakan mu, berikan tangan kanan mu."Agens mengulurkan tangan kanannya dan membiarkan Bin memeriksa denyut nadinya."Hmm, perkembangannya lebih cepat dari yang aku duga. Baguslah."Dia nampak puas akan sesuatu.Setelah selesai dia melirik ke arah Kai. Kai yang mene
'Aku harus menangkap seekor tikus.'Untuk menangkap seekor ular dia harus menangkap tikus terlebih dahulu. Seekor tikus kecil yang bersembunyi di dalam rumahnya. Dia harus menangkap seorang pelayan yang memberinya teh beracun dalam keadaan hidup-hidup. Dengan begitu dia bisa terbebas dari ikatan pertunangan dengan Aland dan terhindar dari tokoh utama. Memikirkan hal itu membuat Agnes merasa bersemangat.Sayangnya, berbeda dengan keinginan Agnes yang ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat, waktu justru berjalan begitu lambat.'Sudah dua hari.'"Sial."Agnes berdiri di dekat jendela sambil memperhatikan keadaan di luar. Tidak ada yang dapat dilihat selain warna putih. Semua area luar dipenuhi oleh salju. Pemandangan yang membosankan jika dilihat selama dua hari. Dari kamarnya yang berada di lantai tiga Agnes bisa melihat tanah dibawahnya dan langit di atasnya. Hanya itu yang bisa dia lihat dari balik jendela kamarnya. T
Begitu Bin tidak terlihat lagi.Agnes menepuk kedua sisi wajahnya."Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?"Kenapa dia tidak bisa mengingat nama penulis [Orion's Resurrection]."Akh."Rasa sakit yang tadinya hilang kembali menyerang kepala Agnes. Rasanya Seperti ditusuk oleh jarum kecil. Memang tidak terlalu menyakitkan tetapi jika jarum tersebut terus menerus menusuk di tempat yang sama maka itu bisa membuat sebuah lubang kecil."Sial."Agnes menggigit bibir bawahnya. Dia kesal. Kenapa setiap kali dia ingin mengingat nama penulis novel itu kepalanya terasa sakit?Dia merebahkan diri di sofa dan mulai memejamkan mata.Agnes, tidak Ariel merupakan seseorang yang tidak pernah melupakan apapun yang dia telah lihat. Tidak peduli berapa lama waktu berlalu dia tidak akan pernah bisa melupakannya. Baik itu peristiwa yang menyenangkan atau peristiwa yang begitu buruk. Semua akan tersimpan di dalam kepalanya seperti se
Dia tidak mau lihatnya. Dia ketakutan. Untuk pertama kali setelah dia berada di ditubuh Agnes. Dia merasa begitu ketakutan.ClickEl menjentikkan jarinya dan seketika mereka berdua kembali berada di kamar Agnes.Agnes yang berbaring di sofa membuka matanya dan perlahan duduk tegak. Dia menatap El yang kini warna matanya kembali menjadi merah tua dengan marah.Agnes menggigit bibir bawahnya, matanya merah. Banyak emosi dan pertanyaan yang bercambuk di dalam dirinya."Siapa kau?"Ritual yang terakhir Agnes lihat adalah ritual yang sama yang pernah dia lihat sebagai Ariel. Waktu itu di lantai 29 banyak anak-anak dan para Aves lemah yang menghilang tiba-tiba. Karena jumlah mereka yang hilang semakin hari semakin bertambah penguasa lantai memberi perintah langsung untuk melakukan penyelidikan."Aku adalah utusan dewa penguasa dunia bawah,"El menjawab pertanyaan Agnes dengan santai. Dia sama sekali tidak peduli pada tatapan marah yang menga
Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda.****"Dia memang sudah menjadi Penjaga,"El menjawab dengan ringan.Agnes membuka dan menutup mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun dia tidak tahu apa yang harus dia katakan."Nah, Agnes Myosotis apa sekarang kau bersedia menjadi Gerbang?"El memiliki senyum bisnis di wajahnya."Kau bilang ini kesepakatan, bukan?""Iya.""Apa isi kesepakatannya?"Senyum.'Sial.''Agnes menggerutu dalam hati. Senyum El terlihat sangat jahat di matanya.Tap Tap TapLangkah kaki Aland yang kasar dan cepat terdengar di sepanjang koridor di kediaman Myosotis. Wajahnya seperti biasa terlihat dingin tanpa ekspresi. Namun, atmosfer di sekitarnya mengerikan. Dari sorot matanya dia nampak begitu marah. Setidaknya begitulah bagi mereka yang tidak mengenalnya dengan baik. Para pelayan yang tidak sengaja bertemu dengan Aland hanya bisa me