Sore hari Asri pulang ke kos. Nyaris jantungnya copot saat ada amplop ditempel dengan menggunakan selotip di pintu kamarnya. Asri menoleh kiri kanan, perasaannya tak enak. Dia langsung saja mengambil amplop tersebut lalu masuk ke dalam kamar kosnya. Kamar kosnya berada di lantai dua dengan tangga yang langsung menuju akses ke parkiran. Maka dari itu siapa saja bisa masuk dan langsung mengetuk pintu kamarnya. Apalagi terkadang pagar kos dibuka kalau siang hari.
Setelah memastikan pintu dikunci, Asri lalu membuka amplop tersebut. Ada secarik surat di dalamnya dengan tulisan latin yang sangat indah. Langsung saja Asri tahu tulisan siapa itu. Asri membaca cepat, setelah itu ia mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di saku celananya untuk menghubungi seseorang.
“Halo? Tyas?” sapa Asri.
“Hei, ada apa?” tanya Tyas.
“Kamu tahu tempat kos yang aman nggak?”
“Hah? Kenapa? Ada apa? Kamu kemalingan?”
“Aku sudah terlacak.”
“Terlacak? Maksudnya?”
Asri menghela napas panjang. “Romo tahu aku ngekos di sini. Kamu tahu nggak tempat kos lain yang bisa buat aku sembunyi. Jauh nggak apa-apa deh. Kayaknya mata-mata Romo ada di mana-mana. Padahal aku sudah yakin bisa sembunyi dari beliau.”
“Waduh, ada sih tempat kos. Tapi jauh dari kampus. Kamu nggak keberatan?”
“Nggak apa-apa yang penting aman. Kamu tahu?”
“Sebentar!” ucap Tyas. Dia sepertinya sedang berbicara dengan seseorang. Asri sabar menunggu. Tak lama kemudian Tyas kembali lagi. “Ada sih tempat kos yang katanya baru gitu. Banyak kamar yang masih kosong katanya.”
“Ya udah, anter aku dong!”
“Sekarang?”
“Iya, aku mau pindah sekarang. Tempat ini sudah tidak kondusif lagi.”
“Oke. Aku meluncur. Tunggu ya!”
Setelah menutup teleponnya, Asri segera mengambil koper besarnya. Dia memasukkan semua baju-bajunya ke dalam koper, setelah itu menghubungi pemilik kos kalau ia ingin pindah. Tentu saja kabar ini terlalu cepat dan mengejutkan. Namun, Asri sudah tidak tahan lagi. Niat dia pergi ke Malang agar tidak bisa dilacak pun buyar. Ia harus segera cari tempat kos yang tersembunyi. Itu lebih baik.
Tak berapa lama kemudian Tyas datang dengan mobilnya yang dia parkir agak jauh dari tempat kos. Maklum saja tempat kos Asri masuk gang, jadi Tyas harus mencari tempat yang pas untuk parkir mobil. Kebetulan ada lahan kosong yang tak jauh dari tempat kos. Tyas langsung membantu Asri mengangkuti barang-barangnya.
Tyas sebenarnya punya rumah sendiri, tetapi ia lebih suka ngekos. Dia juga bukan dari keluarga yang tidak mampu. Seminggu sekali ia pulang ke rumahnya. Alasan kenapa ia ngekos adalah agar dekat dengan Asri.
“Serius pindah sekarang? Padahal kita juga belum tahu tempatnya penuh apa tidak,” ucap Tyas.
“Yah, kalau nggak ada nginep di tempatmu aja,” ucap Asri. “Kan tempatmu kosong.”
“Yee, jangan. Keluargamu kan sudah kenal aku,” ucap Tyas mengingatkan Asri.
“Sebentar saja. Kalau aku bisa dapat malam ini juga kan nggak jadi,” kata Asri sambil memasukkan koper besarnya ke bagasi.
Tyas ikut membantu mengangkat buku-buku dan semua barang-barang yang ada di kamarnya Asri. Tak banyak, memang Asri tak begitu suka mengkoleksi banyak barang. Mereka ibaratnya dua orang yang ingin pindahan, mondar-mandir dari kamar ke mobil yang jarak parkirnya lumayan bikin capek juga.
“Fiuh, capek juga,” Tyas menghela napas.
“Yuk?!” ajak Asri. “Apa aku yang nyetir? Malam ini aku izin nggak kerja deh.”
“Emang boleh gitu izin mendadak?”
Asri mengangkat bahu.
“Yee, ntar dipecat tahu rasa kau!”
Asri segera mengambil ponselnya lalu menelpon seseorang. “Halo, bos? Ini Asri. Aku izin hari ini nggak bisa masuk.” Asri tampak mendengarkan dengan serius. Sebelum ia memohon-mohon. “Iya bos, kali ini saja. Soalnya aku harus pindahan. Maaf ya? Bye.”
Setelah itu ia menutup telepon.
“Segitu doang?” tanya Tyas sambil terheran-heran. “Biasanya para pekerja itu sudah dipecat izin mendadak seperti itu, mungkin kena SP.”
“Ini gara-gara bosnya naksir aku,” ucap Asri. “Kalau nggak mah, tidak bakal diizinkan.”
Tyas tertawa, “Suwer? Cakep nggak?”
“Cakep sih, tapi sudah Om-om umur 50-an. Mau?”
Raut wajah Tyas berubah. “Nggak deh, buat kamu aja.”
Asri tertawa lepas. “Sini kuncinya!” Tyas melempar kunci mobilnya ke Asri lalu ditangkapnya dengan cekatan. Dia segera masuk ke dalam mobil untuk mengemudi.
Malam itu Dinoyo padat merambat. Suasana seperti ini sudah menjadi hal yang biasa. Meskipun bukan ibukota, Malang memang benar-benar menjadi kota termacet di Jawa Timur. Apalagi daerah Dinoyo merupakan pusat dari segala kesibukan, mulai dari kampus, deretan ruko berjejer, mall, hingga traffic orang-orang yang ingin pergi ke Batu. Ibarat semut-semut mengantri, Asri dan Tyas terjebak dalam situasi ini.
Setelah sabar menghadapi kemacetan, akhirnya mereka pun sampai di jalanan jurusan tempat kos yang dimaksud oleh Tyas. Asri mengernyit, jalannya gelap dan kurang penerangan.
“Aku lupa omong kalau daerahnya gelap dan rawan, kamu nggak keberatan?” tanya Tyas tiba-tiba.
“Nggak masalah. Asalkan aku tak terlacak lagi,” jawab Asri.
“Emangnya kenapa sih, As? Toh mereka juga keluargamu sendiri.”
“Ceritanya panjang.”
“Kenapa? Masih ingin dijodohkan lagi?”
Asri menggeleng. “Sebenarnya alasannya nggak sesederhana itu. Aku sudah tidak sreg lagi dengan kehidupan kaum bangsawan. Makanya aku berusaha menyembunyikan gelarku kalau berkenalan ama orang-orang.”
“Tapi heran deh, bagaimana mereka bisa tahu kalau kamu kos di situ?” tanya Tyas.
“Mata-mata Romo itu banyak. Di Malang ini, aku cuma percaya ama kamu, Yas. Kuharap kamu tidak mengkhianatiku.”
Tyas tersenyum. “Kau bisa percaya ama aku.” Dia menepuk pundak Asri beberapa kali. Memang selama ini Asri selalu mengandalkan kawannya ini. Maka dari itulah Asri sangat percaya kepadanya.
Tyas memberi isyarat agar Asri menghentikan mobilnya. Mereka kemudian berhenti di depan bangunan rumah besar. Tyas mengendik. Asri terbelalak melihat rumah tersebut. Rumah itu cukup besar untuk ukuran kos. Dari luar sudah terlihat kamar-kamarnya, sedangkan yang menjadi daya tarik lainnya adalah bangunan lain yang ada di komplek tersebut. Bangunan rumah megah bergaya Yunani lengkap dengan pilar-pilar raksasa, serta kubahnya. Asri sampai tak percaya kalau itu adalah tempat kos. Namun, ia jadi percaya saat ada papan tulisan “TEMPAT KOS” tanpa diberitahu apakah ini tempat kos laki-laki atau perempuan.
“Ini tempat kosnya? Udah jauh, gelap pula jalannya,” ucap Asri. “Tapi tempatnya besar sih.”
“Ini tempat yang tidak bisa diduga loh, aku yakin mereka nggak bakal menemukanmu di tempat ini,” ujar Tyas. “Dan kayaknya juga baru buka, aku lihat iklannya di sosmed. Turun yuk?!”
Asri dan Tyas kemudian turun. Mereka lalu mendekat ke pagar rumah. Malam mulai gelap dengan suara-suara binatang malam seperti kodok dan jangkrik bernyanyi-nyanyi menghibur mereka. Asri melihat ada tombol bel di sisi sebelah pagar, segera ia tekan tombol itu.
“Rumahnya besar. Kira-kira penghuni kosnya banyak nggak?” gumam Asri. “Kayaknya sih enggak. Buktinya sudah dipencet bel nggak ada yang keluar,” jawab Tyas. “Lagian orang bego mana yang buka tempat kos di daerah terpencil seperti ini? Jauh pula dari kampus. Tapi apa boleh buat, aku memang ingin nggak bisa dilacak oleh keluargaku,” ujar Asri. “Iya, tempat ini cocok untuk persembunyian,” kata Tyas setuju dengan pendapat Asri.“
Asri terbangun. Hawa dingin menusuk tulang. Kamarnya masih berantakan karena tadi malam ia sekadar memasukkan saja tanpa menatanya. Dia langsung tidur begitu saja setelah barang-barangnya dimasukkan. Sementara itu Tyas sudah pergi, walaupun tak rela meninggalkan Asri seorang diri. Asri baru tahu kalau hawanya cukup dingin, lebih dingin daripada saat dia masih tinggal di daerah Sumbersari. Untuk sesaat ia nyaris panik saat terbangun di tempat yang asing, tetapi ia langsung sadar kalau dia sudah pindah. Memang bikin kesal. Dia tak ingin keluarganya tahu dia tinggal di mana sekarang. Maka dari itulah keputusannya untuk pindah sudah tepat, meskipun mungkin membuat dia lebih lelah dari biasanya. Asri melihat jam di layar pon
“Bwahahahahahaha,” suara tawa Tyas langsung pecah setelah Asri menceritakan apa yang terjadi. Untungnya mereka berada di tempat sepi sehingga tak ada orang yang melihat. “Aku malu, anjir!” Asri mengerucutkan bibirnya. “Aku lupa kalau ini bukan kosku yang lama. Kan kosku yang lama kos cewek. Kalau pun seharian mondar-mandir nggak pake bra juga nggak masalah, kan tamu cowok hanya diterima di depan, nggak sampai masuk kamar. Lha ini? Aduh, benar-benar memalukan.”“Kalau aku jadi kau, aku nggak mau lagi ketemu ama dia,” ujar Tyas. “Gimana nggak ketemu coba. Itu kamu kan nyaris telenji!”
“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.
3 tahun yang laluKoper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang bin
Malang, sekarangPonsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.“Halo, siapa ya?” sapa Asri.“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.“Hah? Sa
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Ternyata serangan tersebut tidak hanya dari satu sisi bumi saja. Daratan lain pun sudah mulai diserang. Para naga tersebut mulai memasuki pantai dari daratan yang lain, hingga setiap manusia yang mereka temui pun dimangsa. Mereka tidak melihat apakah itu orang dewasa atau anak-anak. Lelouch dan pasukan naganya tak mampu berbuat apa-apa selain menghalau apa yang mereka bisa. Hari itu mereka kalah, meskipun memenangkan pertempuran.Lelouch bertengger di atas bukit. Dari kejauhan dia melihat bangkai-bangkai naga bergelimpangan di tepi pantai. Sesaat dia mendongak ke atas, seolah-olah meminta bantuan kepada Sang Pencipta. Setelah itu dia menunduk, menutup sayapnya, berada dalam kebimbangan.“Yang Mulia,” panggil salah satu naga yang mengampirinya.“Aku sedang ingin sendiri,” ucap Lelouch.“Tidak, bukan begitu Yang Mulia. Lihat ke atas!” ucap naga tersebut.Lelouch mendongak. Tidak pernah disangka sebelumnya oleh Lelo
“Bagaimana awalnya kita, para naga bisa menempati bumi ini?” tanya sesosok naga bersirip hitam dan putih. Di depannya tampak naga-naga kecil sedang duduk mendengarkan petuah-petuahnya. Hari ini adalah hari rutin untuk anak-anak naga mendapatkan pelajaran dari naga Lelouch. “Kita adalah makhluk yang dikutuk, tetapi sebagian dari kita dimaafkan. Bapak kita, adalah naga yang membuat bumi ini jadi ditempati oleh manusia. Namanya Azrael, dia penguasa lautan, sedangkan kita penguasa daratan,” lanjut Lelouch. “Yang Mulia, apakah kita akan terus bertempur dengan mereka?” tanya salah seekor naga kecil. “Pertempuran ini akan terus berlanjut sampai akhir zaman. Kita hanya bisa mengusirnya agar tidak sampai menguasai daratan. Daratan adalah tempat para manusia dan makhluk-makhluk lainnya, lautan adalah tempat kekuasaannya. Sebab, di sana dia bersama Iblis dan menjadi kaki tangannya,” jawab Lelouch. “Apakah dia bisa dikalahkan?” tanya naga kecil yang lain.
“Penjara apa?” tanya Aryanaga. “Eee… sebentar yang Mulia, apa tidak bisa diringankan hukumannya? Itu Penjara yang mengerikan. Tidak ada satupun yang keluar dari penjara itu sampai sekarang!” ucap sang Pembela. “Penjara apa? Apa itu?” “Pangeran Aryanaga, Penjara Tujuh Pintu adalah Penjara yang berada di kegelapan bumi. Kau tak akan bisa menghirup udara bebas. Di dalamnya ada tujuh pintu yang mana semuanya mewakili tujuh dosa mematikan. Selama jiwamu ada dosa itu, kau tak akan bisa keluar.” Aryanaga terkekeh. “Masukkan aku ke penjara itu. Aku tak keberatan.” “Sudah diputuskan, bawa dia!” ucap seseorang anggota Dewan Kehormatan Naga. Palu pun diketok dan sang pembela tak bisa meringankan hukuman Pangeran Aryanaga. Arya
Aprilia berada di depan dua gundukan tanah. Air matanya terus berderai seperti tak akan pernah habis. Bandi menepuk pundaknya, berusaha menenangkan Aprilia, bagaimana pun Aprilia adalah wanita dan hatinya lembut. Kepergian Raja Primadigda dan Asri membuatnya sedih. Keduanya dikuburkan di tanah terbaik dan tempat terbaik, yaitu di pemakaman para raja. Di tempat ini juga ada makam para raja sebelum Raja Primadigda.Orang-orang banyak yang menghadiri pemakaman itu. Mulai dari para prajurit, menteri dan juga para pejabat kerajaan. Hari itu rakyat berkabung atas gugurnya Raja Primadigda. Rumor pun cepat menyebar kalau Raja Primadigda dikalahkan oleh anaknya sendiri. Orang-orang mulai bertanya-tanya tentang motif pembunuhan ini. Aprilia dan Bandi sengaja tidak memberitahu, karena saat ini Antabogolah yang berkuasa. Nyaris semua lini kekuatan militer sekarang di pegang oleh Antabogo, sehingga mustahil baginya membuat su
Aryanaga sama sekali tak bercanda. Dia kembali mengeluarkan tombak elemental dari telapak tangannya, kali ini warnanya kekuningan dengan percikan energi listrik di sekitar ujung tombaknya. Menyadari ada bahaya, Pangeran Bagar menjauh. Aryanaga tetap fokus kepadanya. Setiap pergerakan Pangeran Bagar, bisa dilihatnya. Dan ternyata, Aryanaga tak hanya mengeluarkan satu tombak, tapi lagi, lagi dan lagi hingga sepuluh tombak dengan energi listrik melayang di atasnya. Aryanaga mengambil satu per satu tombaknya, melemparkannya dengan kuat.Pangeran Bagar tak bisa kabur dari serangan itu. Sepuluh tombak beruntun menghantam di sekitarnya. Sepuluh kali petir menyambar-nyambar, jutaan volt menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan listrik yang menggelegar.Aprilia dan Bandi yang menyaksikan pertarungan itu dari jauh cukup ngeri dengan kekuatan yang dimiliki
Bandi masih menangis, tetapi ia juga harus membawa jenazah Raja Primadigda. Dengan tersedu-sedu dia menggendong jenazah tersebut. Aprilia juga melakukannya. Aprilia sekarang yang gantian bermandikan darah Asri. Dia dan Bandi pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Aryanaga yang tak terkendali.Pangeran Bagar menjauh. Kini ratusan prajuritnya menghadapi Aryanaga. Mereka terdiri dari ras naga pilihan yang dilatih dengan ilmu perang yang cukup andal. Pangeran Bagar, tidak pernah salah dalam memilih anak buah. Mereka ahli pedang, tombak dan panah. Para prajurit membentuk formasi mengepung Aryanaga. Aryanaga mengamati mereka. Tombak-tombak terhunus ke arah Aryanaga, setiap tombak ini tentu saja ada bagian dari tubuh para naga, sebagian lagi adalah besi yang ditempa oleh para peri, sehingga bisa melukai para naga.Aryanaga sama sekali tak gentar. Ia mengeluarkan kekuatan yang san
“Pangeran Bagar, kenapa kau lakukan ini? Bukannya kau hanya menginginkan Aryanaga? Kenapa kau lukai Asri?” tanya Aprilia. Air matanya tak mampu lagi dibendung. Ia memeluk tubuh Asri yang terbujur kaku.Tangan Asri meremas lengan Aprilia. Suaranya terbata-bata lirih terdengar di telinga Aprilia yang sangat peka. Pangeran Bagar merasa tak bersalah. Dia telah menuntaskan rencananya agar Aryanaga kehilangan sesuatu yang ia cintai. Pangeran Bagar menganggap Asri adalah orang yang dicintai oleh Pangeran Aryanaga, maka dari itu misinya hanya satu yaitu membunuh Asri, tetapi tanpa mengotori tangannya. Sayang sekali rencananya meleset.“Omong kosong semua ini. Kenapa kalian mengacaukan semua rencanaku?” gerutu Pangeran Bagar, “aku adalah ahli strategi terbaik. Kalau begini caranya, ayahku tak akan mengakuiku.”
“Ayah mengamuk!” seru Aryanaga.“Aku bisa melihatnya. Yang Mulia Primadigda akan berubah ke wujud naganya, kesempatan kita cuma satu. Kamu bisa?” tanya Aprilia.Aryanaga menggeleng. “Aku tak bisa.”“Pangeran!” Aprilia memegang bahu Aryanaga. “Semuanya akan baik-baik saja, kau tidak bersalah atas hal ini. Ini yang diinginkan ayahmu.”“Tapi...”Aryanaga menatap mata Aprilia. Untuk beberapa detik mereka saling berpandangan satu sama lain. Aryanaga mencari sudut mata Aprilia, di sudut mata Aprilia ada rasa percaya kepadanya. Aprilia tahu, ini ujian terberat Aryanaga untuk saat ini. Kalau mereka kalah sekarang, semuanya akan sia-sia belaka.“Bantu ak
Primadigda memulai menerjang ke arah Asri. Aryanaga mencoba menghalangi, tubuhnya menghadang Raja Primadigda, sayangnya Primadigda memutar tubuhnya sehingga bisa mengecoh Aryanaga begitu saja. Namun, Aprilia dengan cepat menendang tubuh Primadigda sehingga sang Raja terempas ke belakang. Aryanaga tak tega melihat ayahnya diperlakukan seperti itu.Aprilia tiba-tiba melayangkan tamparannya dengan keras ke pipi Aryanaga. “BANGUN! Apa yang kau lakukan?”Aryanaga terkejut.“Kau mau Asri tewas? Bertarunglah dengan sungguh-sungguh! Aku tahu dia ayahmu, tapi saat ini kau tak punya pilihan. Kalahkan beliau, lalu kita sama-sama menghajar Bagar,” ucap Aprilia menyemangati Aryanaga, “kau tak perlu khawatir, ayahmu yang menginginkan ini. Nyawanya tidak akan sia-sia. Ia bangga melatih anaknya untuk terakhir kali. Ia juga