Malang, sekarang
Ponsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.
“Halo, siapa ya?” sapa Asri.
“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.
Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”
“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”
“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.
“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.
“Hah? Sarapan gratis?”
“Bandi masak banyak hari ini, kalau kau tak keberatan masuk aja ke rumahku. Jangan sungkan-sungkan!” ajak Aryanaga.
Asri terkesiap. “Sebentar!” Dia mencari-cari tempat bedaknya, lalu ia melihat bayangannya sendiri di cermin itu. Rambutnya acak-acakan, bahkan mulutnya masih bau, karena belum gosok gigi.
“Tenang saja, aku tunggu di meja makan,” ucap Aryanaga yang seolah-olah tahu apa yang dipikirkannya.
Asri ingin menolak, tetapi perutnya keroncongan. Dia menghela napas. “Baik, aku akan ke sana.”
Buru-buru dia turun dari ranjang, setelah itu mencuci muka, menggosok gigi, menyisiri rambut, kemudian mencari baju yang tepat. Setidaknya bukan piyama berantakan, apalagi ia sekarang tak memakai daleman. Bisa-bisa ia jadi salting lagi seperti kemarin.
Setelah merasa cukup dengan penampilannya, Asri keluar dari kamarnya. Dia baru sadar kalau ternyata halaman rumah tempat kosnya ini cukup luas. Ada banyak tanaman-tanaman, mulai dari bunga, sampai pohon mangga. Beberapa tetes embun terlihat menggantung di pucuk-pucuk daun, membuat suasana tempat ini begitu asri. Asri bergegas menuju ke dalam rumah Aryanaga. Dia sedikit ragu saat membuka pintu.
“Masuk saja, tak dikunci,” ucap Bandi. Dia sedang menyirami tanaman.
“Eh, Pak Bandi,” Asri terkejut.
“Aku tadi sudah memasak banyak, kau bisa mencicipinya. Silakan komentar, baik atau buruk aku akan menerimanya,” kata Bandi sambil tersenyum.
Asri cuma nyengir saja. Ia tak perlu berlama-lama di luar, segera saja ia masuk. Pintu rumah dibuka dan betapa terkejutnya ia melihat isi rumah milik Aryanaga. Sangat mewah. Baru kali ini Asri melihat rumah semewah itu.
Sang pemilik pastinya seorang yang sangat menghargai karya seni dengan lukisan-lukisan fantasi bergambar prajurit, naga dan pemandangan. Di salah satu almari terdapat piala-piala yang berdiri kokoh memamerkan dirinya sebagai bukti kalau pemilik rumah ini punya prestasi. Satu-satunya benda elektronik yang cukup mencolok hanyalah TV LCD besar yang ada di tengah ruangan sangat kontras dengan segala benda seni artistik yang memenuhi populasi ruangan tersebut.
Berikutnya rak berisi buku-buku yang membuat mata Asri gatal untuk bisa membaca isinya. Beberapa kali ia membenarkan kacamatnya sebagai bentuk rasa keingin tahuannya terhadap jilid-jilid menarik berisi pengetahuan tersebut.
Ada tangga menuju ke lantai atas, mungkin kamar Aryanaga ada di atas. Asri kebingungan kemana ia harus melangkah, sebab ia benar-benar seperti berada di ruang pergelaran seni. Namun, tak lama baginya untuk tahu kemana tujuannya setelah melihat Aryanaga sedang berdiri di dapur menuangkan kopi ke cangkirnya.
“Mau kopi?” tanya Aryanaga.
Asri sebenarnya mulai kecanduan kopi semenjak bekerja di kantor berita. Dia awalnya tak suka, hanya saja karena terpaksa akhirnya ia pun mulai membiasakan diri. Asri mengangguk.
Aryanaga mengambil satu cangkir lagi, setelah itu menuangkan ke cangkir tersebut. Dia lalu membawa dua cangkir itu lalu meletakkannya di atas meja makan. Dia mempersilakan Asri untuk mengambilnya. Perlahan-lahan Asri mendekat ke meja makan. Dia menelan ludah melihat beberapa menu tersaji di sana. Ada berbagai macam sayuran, ada pula perkedel, tempe goreng, sayur bening, sup, ayam, semuanya dimasak oleh Bandi.
“Yuk, makan,” ajak Aryanaga, “tak perlu sungkan-sungkan. Kau boleh kok makan di meja ini sepuasnya. Tinggal bilang saja ke Bandi.”
“Meskipun dibilang boleh, tetap saja aku sungkan,” ucap Asri.
“Kenapa sungkan?”
“Kenapa kau baik kepadaku? Maksudku, kita kan baru kenal?”
Aryanaga mengangkat bahunya. “Kenapa memangnya? Tak boleh orang yang baru kenal baik?”
“Biasanya yang seperti itu lebih terkesan mencurigakan,” ujar Asri.
“Aku bisa mengerti. Kalau begitu aku akan tinggalkan kamu makan sendirian,” ucap Aryanaga sambil melangkah pergi.
“Tunggu!” cegah Asri.
Aryanaga menoleh kepadanya. “Ada apa?”
“Temani aku!” pinta Asri.
Kadang pikiran wanita emang tak masuk akal. Tadi curiga, sekarang minta ditemani. Aryanaga duduk. Asri di seberang meja, berhadapan dengan Aryanaga. Dia mengambil secangkir kopi yang tadi dibuat oleh cowok itu, kemudian menyeruput isinya. Mata Asri masih menatap Aryanaga tanpa berkedip. Ada yang menarik dari pemandangan yang ada di hadapannya, bisa jadi inilah yang membuat dia tak mau beranjak. Aryanaga memakai kaos abu-abu ketat, memperlihatkan betapa atletisnya badan cowok itu. Terlihat susunan otot-otot pemuda yang ada di depannya ini terlihat jelas. Mulai dari lengan, dada dan perut yang rata. Asri menelan ludah bersamaan dengan kopi yang masuk ke kerongongannya. Ia berharap tak mimisan pagi ini.
“Silakan ambil makanannya, aku akan temani,” kata Aryanaga.
“Terima kasih,” ucap Asri. Ia kini tak malu-malu mengambil makanannya. Sebenarnya hal ini ia lakukan agar Aryanaga tak sadar kalau dia diperhatikan olehnya selama ini. Ekor mata Asri masih mencuri-curi pandang ke arah cowok itu.
Anjir, padahal tadi malem aku mimpi ketemu Damar. Eh, malah sekarang dikasih pemadangan begini. Bisa mimisan beneran, nih. Asri bergelut dengan pikirannya sendiri.
Mereka menyantap sarapan pagi dalam diam. Harus diakui masakan Bandi sangat enak. Jarang ada pembantu lelaki bisa masak seenak ini dan Asri baru mengetahuinya. Di Jogja, Asri punya pembantu wanita paruh baya bernama Mbok Siti. Masakannya juga enak dan sudah mengabdi selama yang Asri ingat. Asri sangat malu untuk mengakui ia benar-benar kenyang. Setelah meneguk air putih, Asri mengucapkan terima kasih.
“Makasih sudah berkenan mengajakku sarapan bersama. Aku harus pergi,” ucap Asri.
“Kau tak ada kuliah pagi bukan?” tanya Aryanaga.
Asri mengangguk.
“Ingat yah, kalau kamu ingin sarapan, makan siang ataupun makan malam, tinggal bilang ke Bandi,” ucap Aryanaga.
“K-kenapa kau sebaik ini?” tanya Asri tiba-tiba. Tentu saja ia penasaran.
“Anggap saja ini fasilitas kos,” jawab Aryanaga. “Aku akan kasih kamu kos gratis kalau kau bisa mengajak siapapun untuk jadi penghuninya juga. Bagaimana?”
Asri mengernyit. Ada sesuatu yang diinginkan Aryanaga, tapi entah apa. “Aku tak bisa janji.”
“Ini penawaran yang menarik lho. Tapi kalau kamu nggak mau, tak apa-apa kok. Santai saja,” kata Aryanaga.
“Baiklah, aku mau pergi. Masih ada urusan,” ucap Asri sambil meninggalkan Aryanaga. Aryanaga hanya tersenyum melihatnya pergi meninggalkan ruangan.
* * *
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Kota Malang, sekarangAryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah men
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p
Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu“Astaghfirullah! Mbak, bawa apa itu?” seru Rah Wito, adiknya Asri saat melihat kakaknya membawa kandang kecil berisi kadal besar.“Kadal. Kenapa?” tanya Asri yang baru datang dari acara naik gunung bersama pecinta alam. Dia menurunkan ransel besarnya lalu kadang kecil berisi kadal besar itu diletakkannya begitu saja di atas meja.“Mbak, geli, Mbak!” ucap Rah Wito. “Darimana dapetnya?”“Pas naik gunung kemarin nemu ini. Kok ya lulut sama aku, akhirnya aku bawa aja deh.”“Mbak nggak takut?”Asri menggeleng. “Ngapain takut? Nggak gigit kok. Aku malah seneng dia seneng banget makan kecoak.”“Ih, jijik mbak. Aku gilo ndelok e (aku geli melihatnya).”
Malang, sekarangHari Minggu ini rencananya Aryanaga ingin jalan-jalan ke Pasar Buku Wilis, untuk mencari buku-buku yang menarik baginya. Sebenarnya pemuda berambut jabrik ini tak suka membaca buku. Dia lebih suka menonton film. Namun, kebiasaan berubah setelah ia tahu Asri lebih suka dengan pria yang gemar membaca buku. Demi untuk bisa suka membaca buku, akhirnya ia berusaha mati-matian untuk tidak bosan ketika membaca satu buku. Ia menarget seratus buku berbeda dia baca selama tiga bulan lamanya. Awalnya berat. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil juga dengan hobi barunya itu.Untuk buku-buku baru sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar. Tapi untuk buku-buku lama perlu mencarinya di toko-toko buku bekas. Di Malang ada dua tempat, pertama di Pasar Buku Wilis. Kedua, ada di toko buku-buku bekas Velodrome. Kedua tempat ini sangat terkenal. Mahasiswa dan pelaj
Asri memesan pia cokelat dan secangkir americano, sedangkan Tyas memesan pisang goreng keju dan machiato. Mereka sibuk dengan akun instagram dan diskusi soal perkuliahan. Besok mereka ada tugas yang harus dikumpulkan.“Kita kurang kelompok, kamu ama aku, trus Icus. Kan butuh empat orang,” ucap Tyas.Asri menoleh ke Aryanaga, “Arya? Kamu sudah ada kelompok belum?”Aryanaga tak menjawab. Dia masih fokus membaca.“Idih, kalau sudah membaca fokus sekali,” kekeh Tyas, “idolamu tuh.”Asri menggeleng-gelengkan kepala. “Arya!” Asri lalu menyentuh bahu Arya.Arya langsung tersadar, “Eh, iya? Ada apa?”“Yee, dipanggil dari tadi nggak nyahut,” ucap Tyas sambil mengerucutkan bibirnya.“Kamu sudah ada kelompok
Aryanaga menyandarkan punggungnya di kursi. Dia memperhatikan kondisi Asri yang masih belum sadar. Ia cepat-cepat membawa Asri ke klinik dengan kekuatan naganya. Semoga saja tak ada orang yang menyadarinya. Tentunya kecepatan larinya sambil menggendong orang bukanlah kecepatan lari manusia biasa. Tyas masih belum datang. Setidaknya sudah satu jam setelah dokter menangani Asri dari masa kritisnya.Tak berapa lama kemudian pintu kamar terbuka dan Tyas terlihat masuk. Barang bawaannya cukup banyak, ada tas milik Asri dan satu tas kresek besar. Ia langsung menghampiri Aryanaga, “Bagaimana kondisinya?”“Sementara sih sudah baikan. Tinggal nunggu siuman aja,” jawab Aryanaga.Tyas mendesah lega. Dia lalu mencari kursi untuk duduk. “Syukurlah. Aku khawatir banget. Terus terang aku tak tahu kalau dia alergi kacang. Pantas saja ia tak pernah mau diajak makan pecel.”
Asri terbangun, melihat Tyas di sisinya. Tyas sangat bahagia melihat sahabatnya sudah siuman. Tyas terus menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan juga fakta kalau dia baru tahu Asri alergi terhadap kacang. Dia memarahi Asri karena sahabatnya itu tak menceritakan kalau dia selama ini alergi kacang.“Maaf, ya. Merepotkanmu,” ucap Asri. Matanya masih menatap kosong. Ia teringat bagaimana Aryanaga bertindak. Misteri besarnya, kenapa cowok itu tahu tentang alerginya. Hanya dia dan keluarganya saja yang tahu tentang permasalahan itu. Siapa sebenarnya Aryanaga sampai tahu tentang kehidupannya?Dokter yang menangani Asri masuk. Dia seorang wanita dengan senyuman yang ramah. “Mbak Asri, sudah baikan? Lupa tidak bawa obat anti alerginya ya?”“Bukan lupa sih, Dok. Memang sengaja tidak membawa,” jawab Asri.
Ternyata serangan tersebut tidak hanya dari satu sisi bumi saja. Daratan lain pun sudah mulai diserang. Para naga tersebut mulai memasuki pantai dari daratan yang lain, hingga setiap manusia yang mereka temui pun dimangsa. Mereka tidak melihat apakah itu orang dewasa atau anak-anak. Lelouch dan pasukan naganya tak mampu berbuat apa-apa selain menghalau apa yang mereka bisa. Hari itu mereka kalah, meskipun memenangkan pertempuran.Lelouch bertengger di atas bukit. Dari kejauhan dia melihat bangkai-bangkai naga bergelimpangan di tepi pantai. Sesaat dia mendongak ke atas, seolah-olah meminta bantuan kepada Sang Pencipta. Setelah itu dia menunduk, menutup sayapnya, berada dalam kebimbangan.“Yang Mulia,” panggil salah satu naga yang mengampirinya.“Aku sedang ingin sendiri,” ucap Lelouch.“Tidak, bukan begitu Yang Mulia. Lihat ke atas!” ucap naga tersebut.Lelouch mendongak. Tidak pernah disangka sebelumnya oleh Lelo
“Bagaimana awalnya kita, para naga bisa menempati bumi ini?” tanya sesosok naga bersirip hitam dan putih. Di depannya tampak naga-naga kecil sedang duduk mendengarkan petuah-petuahnya. Hari ini adalah hari rutin untuk anak-anak naga mendapatkan pelajaran dari naga Lelouch. “Kita adalah makhluk yang dikutuk, tetapi sebagian dari kita dimaafkan. Bapak kita, adalah naga yang membuat bumi ini jadi ditempati oleh manusia. Namanya Azrael, dia penguasa lautan, sedangkan kita penguasa daratan,” lanjut Lelouch. “Yang Mulia, apakah kita akan terus bertempur dengan mereka?” tanya salah seekor naga kecil. “Pertempuran ini akan terus berlanjut sampai akhir zaman. Kita hanya bisa mengusirnya agar tidak sampai menguasai daratan. Daratan adalah tempat para manusia dan makhluk-makhluk lainnya, lautan adalah tempat kekuasaannya. Sebab, di sana dia bersama Iblis dan menjadi kaki tangannya,” jawab Lelouch. “Apakah dia bisa dikalahkan?” tanya naga kecil yang lain.
“Penjara apa?” tanya Aryanaga. “Eee… sebentar yang Mulia, apa tidak bisa diringankan hukumannya? Itu Penjara yang mengerikan. Tidak ada satupun yang keluar dari penjara itu sampai sekarang!” ucap sang Pembela. “Penjara apa? Apa itu?” “Pangeran Aryanaga, Penjara Tujuh Pintu adalah Penjara yang berada di kegelapan bumi. Kau tak akan bisa menghirup udara bebas. Di dalamnya ada tujuh pintu yang mana semuanya mewakili tujuh dosa mematikan. Selama jiwamu ada dosa itu, kau tak akan bisa keluar.” Aryanaga terkekeh. “Masukkan aku ke penjara itu. Aku tak keberatan.” “Sudah diputuskan, bawa dia!” ucap seseorang anggota Dewan Kehormatan Naga. Palu pun diketok dan sang pembela tak bisa meringankan hukuman Pangeran Aryanaga. Arya
Aprilia berada di depan dua gundukan tanah. Air matanya terus berderai seperti tak akan pernah habis. Bandi menepuk pundaknya, berusaha menenangkan Aprilia, bagaimana pun Aprilia adalah wanita dan hatinya lembut. Kepergian Raja Primadigda dan Asri membuatnya sedih. Keduanya dikuburkan di tanah terbaik dan tempat terbaik, yaitu di pemakaman para raja. Di tempat ini juga ada makam para raja sebelum Raja Primadigda.Orang-orang banyak yang menghadiri pemakaman itu. Mulai dari para prajurit, menteri dan juga para pejabat kerajaan. Hari itu rakyat berkabung atas gugurnya Raja Primadigda. Rumor pun cepat menyebar kalau Raja Primadigda dikalahkan oleh anaknya sendiri. Orang-orang mulai bertanya-tanya tentang motif pembunuhan ini. Aprilia dan Bandi sengaja tidak memberitahu, karena saat ini Antabogolah yang berkuasa. Nyaris semua lini kekuatan militer sekarang di pegang oleh Antabogo, sehingga mustahil baginya membuat su
Aryanaga sama sekali tak bercanda. Dia kembali mengeluarkan tombak elemental dari telapak tangannya, kali ini warnanya kekuningan dengan percikan energi listrik di sekitar ujung tombaknya. Menyadari ada bahaya, Pangeran Bagar menjauh. Aryanaga tetap fokus kepadanya. Setiap pergerakan Pangeran Bagar, bisa dilihatnya. Dan ternyata, Aryanaga tak hanya mengeluarkan satu tombak, tapi lagi, lagi dan lagi hingga sepuluh tombak dengan energi listrik melayang di atasnya. Aryanaga mengambil satu per satu tombaknya, melemparkannya dengan kuat.Pangeran Bagar tak bisa kabur dari serangan itu. Sepuluh tombak beruntun menghantam di sekitarnya. Sepuluh kali petir menyambar-nyambar, jutaan volt menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan listrik yang menggelegar.Aprilia dan Bandi yang menyaksikan pertarungan itu dari jauh cukup ngeri dengan kekuatan yang dimiliki
Bandi masih menangis, tetapi ia juga harus membawa jenazah Raja Primadigda. Dengan tersedu-sedu dia menggendong jenazah tersebut. Aprilia juga melakukannya. Aprilia sekarang yang gantian bermandikan darah Asri. Dia dan Bandi pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Aryanaga yang tak terkendali.Pangeran Bagar menjauh. Kini ratusan prajuritnya menghadapi Aryanaga. Mereka terdiri dari ras naga pilihan yang dilatih dengan ilmu perang yang cukup andal. Pangeran Bagar, tidak pernah salah dalam memilih anak buah. Mereka ahli pedang, tombak dan panah. Para prajurit membentuk formasi mengepung Aryanaga. Aryanaga mengamati mereka. Tombak-tombak terhunus ke arah Aryanaga, setiap tombak ini tentu saja ada bagian dari tubuh para naga, sebagian lagi adalah besi yang ditempa oleh para peri, sehingga bisa melukai para naga.Aryanaga sama sekali tak gentar. Ia mengeluarkan kekuatan yang san
“Pangeran Bagar, kenapa kau lakukan ini? Bukannya kau hanya menginginkan Aryanaga? Kenapa kau lukai Asri?” tanya Aprilia. Air matanya tak mampu lagi dibendung. Ia memeluk tubuh Asri yang terbujur kaku.Tangan Asri meremas lengan Aprilia. Suaranya terbata-bata lirih terdengar di telinga Aprilia yang sangat peka. Pangeran Bagar merasa tak bersalah. Dia telah menuntaskan rencananya agar Aryanaga kehilangan sesuatu yang ia cintai. Pangeran Bagar menganggap Asri adalah orang yang dicintai oleh Pangeran Aryanaga, maka dari itu misinya hanya satu yaitu membunuh Asri, tetapi tanpa mengotori tangannya. Sayang sekali rencananya meleset.“Omong kosong semua ini. Kenapa kalian mengacaukan semua rencanaku?” gerutu Pangeran Bagar, “aku adalah ahli strategi terbaik. Kalau begini caranya, ayahku tak akan mengakuiku.”
“Ayah mengamuk!” seru Aryanaga.“Aku bisa melihatnya. Yang Mulia Primadigda akan berubah ke wujud naganya, kesempatan kita cuma satu. Kamu bisa?” tanya Aprilia.Aryanaga menggeleng. “Aku tak bisa.”“Pangeran!” Aprilia memegang bahu Aryanaga. “Semuanya akan baik-baik saja, kau tidak bersalah atas hal ini. Ini yang diinginkan ayahmu.”“Tapi...”Aryanaga menatap mata Aprilia. Untuk beberapa detik mereka saling berpandangan satu sama lain. Aryanaga mencari sudut mata Aprilia, di sudut mata Aprilia ada rasa percaya kepadanya. Aprilia tahu, ini ujian terberat Aryanaga untuk saat ini. Kalau mereka kalah sekarang, semuanya akan sia-sia belaka.“Bantu ak
Primadigda memulai menerjang ke arah Asri. Aryanaga mencoba menghalangi, tubuhnya menghadang Raja Primadigda, sayangnya Primadigda memutar tubuhnya sehingga bisa mengecoh Aryanaga begitu saja. Namun, Aprilia dengan cepat menendang tubuh Primadigda sehingga sang Raja terempas ke belakang. Aryanaga tak tega melihat ayahnya diperlakukan seperti itu.Aprilia tiba-tiba melayangkan tamparannya dengan keras ke pipi Aryanaga. “BANGUN! Apa yang kau lakukan?”Aryanaga terkejut.“Kau mau Asri tewas? Bertarunglah dengan sungguh-sungguh! Aku tahu dia ayahmu, tapi saat ini kau tak punya pilihan. Kalahkan beliau, lalu kita sama-sama menghajar Bagar,” ucap Aprilia menyemangati Aryanaga, “kau tak perlu khawatir, ayahmu yang menginginkan ini. Nyawanya tidak akan sia-sia. Ia bangga melatih anaknya untuk terakhir kali. Ia juga