"Tinggalkan kami berdua. Aku hanya ingin berbicara empat mata dengan cucuku." Semua orang yang berada di kamar sang Guru segera berhamburan keluar. Sejak guru besar dunia persilatan ini sakit, tidak sedikit para pendekar datang mengunjungi perguruan Danadyaksa setiap harinya.Mereka juga sering membawa buah tangan seperti obat-obatan herbal dan beberapa barang berharga. "Aku tidak akan membebani mu untuk mengurus perguruan ini."Nalini tahu kemana arah pembicaraan sang kakek. Dia masih tidak rela jika kakeknya harus pergi meninggalkannya.Satu-satunya keluarga yang dia miliki hanyalah sang kakek.Dia kehilangan kedua orang tuanya ketika terjadi perang besar untuk menyatukan dunia persilatan. Berkat usaha sang guru besar untuk menciptakan perdamaian, walau harus melewati berbagai perang pertumpahan darah.Serta hasil akhir yang tidak sesuai harapan. Tapi setelahnya dunia persilatan menjadi lebih damai dan tertib.Sekarang dunia persilatan terbagi menjadi empat kerajaan. Kerjaan b
Acar pemakaman di langsungkan dengan perasaan haru dan sedih. Sebagian penduduk kerajaan Arnawarman berduka di hari itu. Raja-raja penguasa dunia persilatan juga turut hadir bersama para putra mahkota mereka. Para klan pendekar juga tidak melewatkan hal ini.Saking banyaknya orang yang datang. Upacara pemakaman sampai harus dipindah tempatkan. Awalnya akan dilangsungkan depan aula istana kerjaan Arnawarman.Berpindah menjadi di tanah lapang area belakang istana.Selama upacara berlangsung, Nalini mulai mengawasi gerak-gerik dari para tamu yang hadir disana. Dia jadi berpikir, jiwa murni yang seperti apa sehingga pantas mendapatkan pedang legendaris Danadyaksa.Sayangnya, Nalini malah mendengar cemoohan dan rencana jahat untuk merebut paksa pedang legendaris. Walau mereka tidak mengetahui sama sekali keberadaan pedang tersebut. Emosi Nalini mulai menaik mendengarnya."Kakak tertua--" "Diam dan pura-pura tidak mendengar saja." Bisik kakak seperguruan yang tertua."Sekarang Nona
Tiga tahun berlalu. Beberapa hari lagi putra mahkota kerajaan timur akan berulang tahun. Semua warga menyambut dengan suka cita, bahkan hari itu dijadikan sebagai hari perayaan kerajaan timur oleh Raja Arnawarman. Karena dunia persilatan mencapai kesepakatan damai, bertepatan dengan hari kelahiran putra mahkota kerjaan Arnawarman. Setiap tahun memang Permasuri akan mengadakan pertemuan dengan para putri bangsawan dan putri para pendekar.Tahun ini, dia juga melibatkan Nalini untuk menghadiri pertemuan. Semasa guru besar hidup, Nalini tidak pernah ikut pertemuan-pertemuan yang dia tidak suka. Nalini bebas menentukan apa yang dia mau. Apalagi acara resmi kerjaan, itu membuatnya bosan. Terlalu banyak tatakrama.Memasang wajah palsu, untuk mendengarkan dan harus bersikap ramah tamah demi menjaga nama baik sang kakek.Sementara isi pertemuan itu sendiri memuakan Nalini.Pasti akan banyak adu siapa yang paling unggul diantara mereka. Dari mulai adu kekayaan, adu kekuatan serta adu n
Semua mengenakan pakaian terbaik mereka hari ini. Dari mulai rakyat biasa yang bersuka cita di setiap jalan kerajaan Arnawarman. Sampai para tamu kehormatan yang menghadiri undangan di aula kerajaan. "Nalini dan Arkana Danadyaksa tiba..." Pelayan mengumumkan satu persatu undangan saat memasuki aula istana.Mereka akan mengucapkan dan memberikan hadiah kepada putra mahkota secara berurutan sesuai jabatan, kekayaan dan juga hak istimewa lainnya. Untuk selanjutnya hadiah-hadiah itu akan diterima dan dibawa oleh pelayan ke ruangan penyimpanan. Sementara pertujukan para putri akan di mulai saat para tetua selesai beramah tamah.Ada yang membawakan puisi, memainkan alat musik dan bernyanyi. Tidak ada yang menampilkan tarian. Selain pertunjukan khusus untuk Nalini. Penampilan Nalini juga sengaja disimpan paling akhir, sebagai penutup pertunjukan. Kehadiran Nalini saja di tahun ini mengejutkan beberapa pihak. Mereka jadi beranggapan kalau pihak kerjaan mulai memamerkan Nalini sebagai
Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut di wajah Nalini. Menggelitik pipi, membuat dia terbangun. "Ah, apakah ini surga?" Ucap Nalini dalam hati.Dirinya tengah terbangun di sebuah pondok kecil yang menghadap hamparan padang rumput sejuk. Seingat Nalini siang tadi terkena tusukan pedang pengawal putra mahkota. Begitu dia hendak bangun, seluruh badanya terasa sakit. Apalagi pada bagian dada sebelah kiri. "Eh, kamu jangan bangun dulu!" Seorang pria asing membantu Nalini untuk tetap berbaring diatas ranjangnya. "Akhirnya sadar juga. Sudah lima hari sejak aku menemukan mu di pinggir sungai." Penjelasan pria tersebut membuat Nalini terkejut. "Racun di luka mu juga semakin membaik."Otomatis Nalini melotot pada pria itu. Jika dia mengobati lukanya berarti dia juga membuka baju Nalini. *Ah, maaf kurang ajar. Tapi kalau enggak diobati, kamu akan demam dan luka itu menimbulkan infeksi.""Heh, apa kamu juga bisu? Dari tadi aku ngomong sendirian." "Apa kamu tidak punya tatakrama k
"Jadi ini pedang yang menyakitimu atau milikmu?"Saking bersemangatnya Nalini melupakan kalau dia sedang sakit dan ada Janu disana."Ini satu-satunya harta peninggalan keluargaku." "Itu artinya kamu berasal dari kelurga pendekar."Kini giliran Janu yang bersemangat. Matanya berbinar-binar menatap Nalini. "Kamu tahu sesuatu tentang pendekar?" Nalini bertanya dengan penuh selidik."Kakekku pernah bercerita tentang perang dunia persilatan dimasa lalu.""Katanya ada seorang pendekar sakti yang enggak bisa di kalahkan siapapun." "Dia memiliki sebuah pedang yang selalu dibawanya, dia juga yang akhirnya mendamaikan peperangan dunia persilatan." "Jadi aku sangat kagum saat melihat pedang itu. Makannya kusimpan baik-baik." Nalini jadi penasaran ingin bertemu dengan kakek Janu. Mungkin dia salah satu pendekar yang mengenali dirinya sebagai keluarga Danadyaksa. Bisa gawat kalau identitas aslinya terbongkar bersama pedang legendaris. "Oh iya, keliatannya kamu sudah sehat. Besok aku ajak p
"Ingatanku belum pulih jadi--""Kamu mungkin salah satu pendekar diluar sana." Janu memotong perkataan Nalini. "Walau kamu seorang wanita, tapi aku bisa merasakan tangan yang sering menggunakan pedang. Sama seperti tangan Kakek." Saat memikirkan jawaban yang harus diberikan pada Janu. Ranting yang berada ditangan Nalini bergerak. Membuat tubuhnya tertarik kearah sungai karena lengah. Jika tidak ditahan oleh Janu, mungkin Nalini akan jatuh kedalam sungai yang dingin. Takut terjatuh, Nalini juga membalas mengenggam tangan Janu agar tidak melepaskan dirinya. Dengan menggenggam tangan Janu, Nalini bisa merasakan denyut nadi Janu. Tenaga dalam yang sangat hebat mengalir disana. Bahkan melebihi dari milik kakak tertua perguruan Danadyaksa. Tubuh Janu akan sangat mudah untuk dilatih jurus apapun."Dalam hitungan ketiga, kita tarik bersama-sama" Ucapan Janu, mengembalikan Nalini dari pikirannya sendiri. "Satu.. dua.. tiga!" Janu menarik tangan Nalini kearahnya. Begitu pula Nalini
Keadaan di dalam memang tidak terlalu gelap. Ada beberapa celah yang membuat cahaya masuk. Walau begitu, Nalini masih belum terbiasa dengan pencahayaan yang minim. Dalam beberapa persimpangan jalan juga terdapat genangan air. Bahkan ada satu sisi yang cahaya tidak ada sama sekali, yang terdengar hanya suara air yang turun. Entah dari mana, mata Nalini tidak bisa menangkap keberadaan air tersebut. Janu juga bisa tahu kalau Nalini ragu dan ketakutan. Beberapa kali Janu merasakan tangannya dipeluk dengan kencang. Karena tubuh mereka sangat dekat. Degup jantung milik Janu mulai memacu dengan cepat. "Janu kenapa berhenti?" Nalini berpikir bahwa Janu mungkin tidak sesering itu untuk turun ke ruang bawah tanah. Mereka tersesat. Nalini seperti menebak Janu yang sedang berpikir untuk memilih jalan yang mana.Karena mereka cukup lama berdiri di persimpangan jalan. Sebenarnya yang terjadi, Janu mulai resah dengan reaksi tubuh yang sebelumnya tidak pernah seperti ini. Ruang bawah t
"Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan di kediaman Jahan.Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan.Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini.Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar.""Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda.""Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nal
"Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung. "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu Nira dan saudagar dagang.Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se
"Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil aku dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Lebih baik penjarakan aku seumur hidup atau bunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali.Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya.Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jar
Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur.""Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelakan
Janu hanya bisa menghela napas panjang, begitu pintu gerbang ditutup dan menampilkan rombongan kereta kuda yang hanya terlihat sepersekian detik oleh dirinya. Kericuhan mulai lagi terjadi, bahkan sekarang penjaga kota mulai menunjukan sisi keras mereka. Tidak segan untuk mendorong, memukul dan melakukan serangan fisik lainnya bagi siapapun yang menentang. "Jika ingin semua ini cepat selesai, kendalikan diri kalia dan ikuti aturan yang berlaku!" Beberapa luka lebam didapatkan oleh para pengunjung kota. Para penjaga juga tidak memandang status mereka. Bangsawan dan rakyat biasa juga terkena hantaman penjaga. Seolah mereka mendapat kekuatan yang sulit dibantah, karena mendapat kuasa yang diturunkan langsung oleh keluarga kerajaan. "Kerajaan kami akan mengadukan sikap kalian yang kasar pada para tamu seperti ini.""Silahkan saja! Ini masih wilayah kekuasaan negara timur. Kalian bisa pulang hanya tinggal nama." Jauh dari keramaian, Nira masih saja menghadang Janu untuk maju kearah p
"Sudahlah, hentikan semua keributan ini dan kembali pada pos masing-masing." "Terima kasih Yang Mulia Putra Mahkota." Penjaga itu bangkit sambil undur diri dan diikuti oleh beberapa rekannya. Sementara para pengawal berjirah emas masih dia didalam kamar. "Apa masih ada urusan yang mau kamu sampaikan kepadaku?" "Mengapa Yang Mulia pergi keluar dari istana dan Ibu Kota secara diam-diam, tanpa pengawalan sama sekali?""Aku hanya tidak mau menimbulkan keributan. Lagi pula banyak dari para bangsawan yang lain datang kesini untuk menonton pertandingan dengan menggunakan pakai merakyat."Tadinya aku hanya ingin menonton pertarungan final yang katanya akan spektakuler. Ternyata sahabatku terluka dan aku datang untuk mengobatinya. "Sayang sekali obat-obatan disini tidak selengkap di ibu kota. Makannya aku berencana untuk membawanya pulang bersamaku."Oh iya, tolong sekalian siapkan kereta kuda untuk membawa sahabatku dan bagaimana kalau penjagaan kota di perketat. "Siapa tahu berita soal
Sebelum pengepungan oleh penjaga dan pengawal berjirah emas. "Tunggu sebentar Yang Mulia. Ada barang tertinggal yang harus aku bawa." Putra mahkota mengangguk memberikan izin, Jahan masuk kedalam penginapan. Lebih tepatnya masuk kedalam kamar yang dia sewa. Diatas meja masih berserakan kuas, tinta dan juga kertas. Dengan buru-buru Jahan mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di kertas. Hanya beberapa kalimat yang ditulisnya. Kemudian Jahan melipat kertas tersebut sampai ukuran paling kecil. "Jika ada kesempatan sekecil apapun, akan aku manfaatkan dengan baik." Putra mahkota dan Jahan kemudian pergi ke rumah tabib, menyusuri jalanan yang lenggang. Kebetulan segerombolan anak kecil datang dari arah berlawanan. Mungkin mereka bebas seperti sekarang ini lantaran para orang tua sedang sibuk menonton pertarungan final yang heboh. Ide itu langsung saja terbersit dalam pikiran Jahan. Dia dengan menyengajakan diri, berjalan diantara anak-anak yang berlari kearahnya tanpa disadari oleh a
"Sebentar lagi. Setelah tidur sebentar, aku akan pergi dari sini." Gumam Nalini sambil memejamkan matanya yang sudah mulai turun. Efek samping mengonsumsi obat herbal yang dibawakan oleh Jahan membuatnya selalu merasa mengantuk. Jika Jahan bersikeras untuk membawanya kembali ke kerajaan timur. Maka Nalini harus segera pergi dari jangkauan Jahan. Belum lama Nalini tertidur, Jahan dan putra mahkota kerajaan timur datang ke rumah tabib. "Nona mungki baru saja tertidur, dia perlu istirahat yang cukup." Mau bagaimana pun Nalini adalah pasien, sang tabib harus membuat batas demi kesembuhan pasiennya. "Aku berjanji tidak akan mengganggunya. Hanya ingin menemaninya." Jelas putra mahkota.Tabib itu menoleh pada Jahan, sekaligus bertanya melalui ekspresi wajahnya. "Dia salah satu keluarga Nona yang ada didalam. Aku yang memberitahukannya sehingga beliau datang kesini." Tabib juga tidak bisa berkutik dengan hubungan keluarga. Maka dia pun menunjukan jalan menuju kamar tamu yang bangunanny
Mungkin hingar bingar di pusat kota, membuat hal yang di luar dari itu nampak sepi. Termasuk sepanjang jalan yang dilalui Jahan untuk kembali ke penginapan. Toko-toko yang biasanya selalu buka, pada hari ini pun tutup serempak. Semua anggota dagangnya juga ikut menonton. Keadaan sudah dirasa aman. Jahan mengeluakan sebuah peluit dari dalam baju, kemudian meniupnya beberapa menit. Pendengaran manusia memang tidak bisa menangkap suara yang dihasilkan oleh peluit tersebut. Karena hampir tidak bersuara sama sekali. Tanpa menunggu lama. Satu ekor merpati putih terbang menghampiri Jahan sampai hinggap di pundak Jahan. Merpati tersebut hewan yang sudah dilatih Jahan selama bertahun-tahun dan peluit itu sebagai pemanggilannya. Disalah satu kaki merpati tersebut terdapat gulungan kertas. Surat balasan yang Jahan kirim pada putra mahkota kerajaan timur. Jahan terkejut dengan kertas gulungan yang kosong. Tidak ada tulisan sama sekali. "Jahan!" Dengan semangat putra mahkota kerajaan timu