Nalini terbangun saat kepalanya terjungkal. Tertidur saat mengawasi Janu belajar menulis. Dilihatnya Janu juga tengah tertidur dengan posisi telungkup diatas meja. "Iya, lebih baik kita istirahat sejenak."Perhatian Nalini langsung teralihkan begitu melihat buku-buku kuno terbuka disekitar Janu. Tidak mungkin Janu bisa membaca buku-buku itu hanya dengan seharian belajar mengenal huruf.Nalini pun tergerak untuk membereskan terlebih dahulu benda-benda yang berserakan lainnya. Setelah itu, dia juga mengambil selimut untuk membalut tubuh Janu. Selesai semuanya, Nalini mulai membaringkan diri di ranjang yang sudah ditempatnya beberapa minggu. Nalini sudah menyamankan dirinya dan menganggap pondok sederhana ini seperti rumahnya sendiri. Beberapa jam kedepan.Seperti biasa, Janu sudah terbangun sebelum matahari terbit. Janu terkejut dengan dirinya berbalut selimut. Padahal semalam dirinya berniat memindahankan Nalini yang tertidur dihadapannya. Malah dia yang diurus oleh Nalini.
Satu bulan kemudian."Perbanyak latihan pernapasan. Kamu kesulitan bernapas." Ucap Janu sambil menyodorkan air minum. Nalini benar-benar tertinggal.Sejak menyadari potensi tenaga dalam yang dimiliki Janu. Seharusnya Nalini bisa mengukur kemampuan dirinya sangat jauh dengan Janu. Dia hanya membatu Janu mengenal huruf dan membaca. Hasilnya Janu maju lebih pesat. Sekali diberi pemahaman suatu gerakan jurus.Janu langsung mengerti dan berlatih dengan sempurna. Sedangkan Nalini harus beberapa kali berlatih untuk menguasai satu jurus saja. Nalini dan Janu kelelahan, mereka gunakan waktu dari pagi hingga siang untuk berlatih. "Aku akan isi air dan membawa beberapa makanan." Nalini hanya mengangguk sebagai jawabannya.Untuk sarapan, mereka akan memetik dedaunan atau buah yang mereka temui di hutan. Dalam tumpukan buku yang berisi jurus-jurus langka. Ada satu buku yang berisikan ilmu pengetahuan tentang dunia pengobatan. Serta informasi tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat. Sayang buku
Sudah hampir malam Nalini berjalan menyusuri jalan setapak setelah keluar dari hutan terlarang. Sepanjang jalan Nalini juga mengumpulkan berbagai tanaman obat yang dia temui.Sadar dirinya tidak memiliki uang sepeser pun dan satu-satunya kemampuan yang Nalini punya harus dia gunakan dengan maksimal.Niat Nalini mengumpulkan tanaman obat agar bisa dijual di desa terdekat agar bisa mendapatkan uang.Setelah langit benar-benar gelap. Nalini baru bisa melihat cahaya diujung jalan sana. Menandakan kalau dia sudah dekat dengan pemukiman warga.Alih-alih langsung memasuki desa. Nalini memilih pohon yang nyaman untuk dia jadikan tempat tidur. Dengan jurus ilmu meringankan tubuh, Nalini tidak kesulitan untuk memanjat keatas pohon. Cabang yang dirasa kuat menopang tubuh, akhirnya menjadi tempat Nalini tidur malam ini. Dengan posisi duduk berselonjor kaki diatas cabang pohon dan badan yang bersandar pada batang pohon.Nalini menyamankan diri untuk mulai tidur.Hal tersebut dilakukan, agar
Janu terduduk lemas saat membaca surat yang ditulis Nalini. Padahal dia baru sekejap memejamkan mata. Nalini sudah pergi meninggalkannya. "Katanya beberapa bulan lagi. Kenapa malah secepat ini." Kesal, Janu pun meremas dan menghempaskan surat tersebut. Sekarang Janu kembali ke rutinitas sendirinya. Seperti biasa, dia mulai mempersiapkan diri untuk latihan. Tapi diurungkannya. "Lebih baik aku berburu saja." Pikirnya itu bagus untuk mengatasi rasa marahnya. Bukannya mendapat hasil, Janu malah mengacaukan semuanya. Suara langkah yang berisik hingga membuat keberadaanya diketahui oleh para hewan.Anak panah yang terus meleset, serta jerat yang tidak ada hasil membuat Janu tambah kesal. "Argh! Kenapa enggak ada yang berjalan lancar." Janu jadi memutuskan kembali ke rumah. Memilih duduk sambil memandang hamparan rumput di depan sana.Berharap Nalini pergi hanyalah sebuah mimpi dan dia akan datang sambil membawa buruan dari arah hutan. Ditunggu sampai siang pun. Janu yang malah t
Untunglah kereta kuda dan beberapa kuda termasuk milik si tiga laki-laki brandal tadi, tidak kabur.Mereka yang terluka parah diberangkatkan dengan menggunakan kereta kuda.Menuju desa yang paling terdekat dari hutan ini.Sementara sisanya, Janu membuatkan gerobak dari kayu yang mengorbankan beberapa pohon untuk di tebang.Kemudian gerobak yang sudah jadi, Juna ikatkan pada kuda yang tersisa. Untuk orang yang masih bisa berjalan, mereka akan menyusul dibelakang. Karena jumlah kuda yang tidak kuat menarik semua orang. Harus ada yang sedikit berkorban. Mereka jadi berjalan bersama Janu.“Terima kasih ya Nak, jika tidak ada dirimu mungkin kami sudah mati di tengah-tengah hutan.”“Agar jadi karma baik. Kakek selalu mengajariku untuk berbuat kebaikan dimana dan kapan pun aku berada.”“Kalau boleh tahu, asalmu dari negara mana?”Janu terdiam, tidak mungkin dia bilang bahwa dia berasal dari hutan dibelakang sana. “Saya, hanya seorang pengelana biasa yang singgah dari satu tempat ke tempa
Janu kembali dengan tanaman obat di tangannya.Tapi yang dilihatnya, beberapa orang sedang menghaluskan bahkan sudah ada yang menggunakan tanaman obat pada lukanya.“Tanaman obat yang sama, jangan-jangan…”Janu berlari menghampiri salah satu yang sedang menghaluskan tanaman obat.“Dari mana kalian mendapatkan tanaman ini?” “Wah, kebetulan kami kekurangan obat." Raut wajah sumringah orang itu langsung turun saat melihat ekspresi Janu yang mengeras. “Seorang perempuan yang turun dari pohon mem—“ Dia seperti harus memberikan penjelasan tambahan pada Janu.“Lalu dimana perempuan itu sekarang?” Janu menggenggam bahu orang tersebut dengan kuat. “Dia sudah kembali keatas pepohonan, lalu pergi kearah sana.” Janu melihat arah yang ditunjukan oleh orang tersebut, sejalan dengan arah menuju desa.“Mungkin dia warga desa dekat sini. Tuan sudah disana, pasti itu tukang obat yang diutus Tuan untuk membantu kami.”Janu kembali lemas, ada benar juga ucapan orang dihadapannya. Bisa jadi itu bu
Janu dan rombongan pedagang yang terluka tiba di desa ketika matahari sudah berada di puncak. "Saya utusan dari kepala desa untuk menjemput kalian." Seorang laki-laki menghampiri Janu saat melewati perbatasan desa.Tentu saja Janu melihat kearah rombongan. Untuk memastikan itu. "Karena kami sering berkunjung, jadilah Tuan dan kepala desa mulai menjalin pertemanan."Setiap kesini, kami pasti dijamu dengan layak di rumah kepala desa."Janu mengangguk mengerti, mereka pun menuju rumah kepala desa. Namun begitu, tatapan mata Janu terus saja menengok kesana kemari. Melihat hiruk pikuk kehidupan di desa. Ada rasa kagum melihat banyak manusia yang berinteraksi satu sama lain. Janu juga mengamati para pedagang yang bercengkrama di sisi jalan. Diantara mereka, Janu tidak menemukan sosok Nalini. "Syukurlah... kalian sampai disini. Aku sudah sangat khawatir." Nona muda itu langsung melompat kearah Janu kemudian mengecek satu persatu anggotanya. Janu yang terkejut bahkan hampir terjungk
Nalini diberikan pakaian yang layak, berbahan sutra halus. Agak sedikit berlebihan untuk Nalini yang terbilang masih pemula dan anggota baru."Pakaian sangat penting untuk menggambarkan citra diri kita."Aku tidak mau orang menilai bahwa aku mengabaikan rombongan dagangku."Jahan pun meninggalkan Nalini dan Nalini kembali masuk ke dalam kamar yang berisikan anggota lainnya. Awalnya memang risih bagi Nalini ketika tahu dirinya akan sekamar dengan banyak laki-laki. Sudah kepalang dia menyamar jadi laki-laki apa mau dikata. "Tuan Muda Jahan memang sebaik itu. Pasti kamu yang tidak terbiasa memiliki pemikiran jelek tentang beliau."Jahan mengisi anggota daganganya dengan bermacam-macam orang dan juga keahlian yang mereka miliki. Salah satunya yang sekarang sedang mengajak ngobrol Nalini. Dia tukang pandai besi, sehingga ketika Jahan membeli senjata, peralatan dapur dan sebagainya yang berhubungan dengan besi. Orang ini yang akan dimintai pendapat saat pemilihan barang dan bahan.Se
"Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan di kediaman Jahan.Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan.Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini.Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar.""Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda.""Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nal
"Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung. "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu Nira dan saudagar dagang.Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se
"Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil aku dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Lebih baik penjarakan aku seumur hidup atau bunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali.Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya.Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jar
Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur.""Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelakan
Janu hanya bisa menghela napas panjang, begitu pintu gerbang ditutup dan menampilkan rombongan kereta kuda yang hanya terlihat sepersekian detik oleh dirinya. Kericuhan mulai lagi terjadi, bahkan sekarang penjaga kota mulai menunjukan sisi keras mereka. Tidak segan untuk mendorong, memukul dan melakukan serangan fisik lainnya bagi siapapun yang menentang. "Jika ingin semua ini cepat selesai, kendalikan diri kalia dan ikuti aturan yang berlaku!" Beberapa luka lebam didapatkan oleh para pengunjung kota. Para penjaga juga tidak memandang status mereka. Bangsawan dan rakyat biasa juga terkena hantaman penjaga. Seolah mereka mendapat kekuatan yang sulit dibantah, karena mendapat kuasa yang diturunkan langsung oleh keluarga kerajaan. "Kerajaan kami akan mengadukan sikap kalian yang kasar pada para tamu seperti ini.""Silahkan saja! Ini masih wilayah kekuasaan negara timur. Kalian bisa pulang hanya tinggal nama." Jauh dari keramaian, Nira masih saja menghadang Janu untuk maju kearah p
"Sudahlah, hentikan semua keributan ini dan kembali pada pos masing-masing." "Terima kasih Yang Mulia Putra Mahkota." Penjaga itu bangkit sambil undur diri dan diikuti oleh beberapa rekannya. Sementara para pengawal berjirah emas masih dia didalam kamar. "Apa masih ada urusan yang mau kamu sampaikan kepadaku?" "Mengapa Yang Mulia pergi keluar dari istana dan Ibu Kota secara diam-diam, tanpa pengawalan sama sekali?""Aku hanya tidak mau menimbulkan keributan. Lagi pula banyak dari para bangsawan yang lain datang kesini untuk menonton pertandingan dengan menggunakan pakai merakyat."Tadinya aku hanya ingin menonton pertarungan final yang katanya akan spektakuler. Ternyata sahabatku terluka dan aku datang untuk mengobatinya. "Sayang sekali obat-obatan disini tidak selengkap di ibu kota. Makannya aku berencana untuk membawanya pulang bersamaku."Oh iya, tolong sekalian siapkan kereta kuda untuk membawa sahabatku dan bagaimana kalau penjagaan kota di perketat. "Siapa tahu berita soal
Sebelum pengepungan oleh penjaga dan pengawal berjirah emas. "Tunggu sebentar Yang Mulia. Ada barang tertinggal yang harus aku bawa." Putra mahkota mengangguk memberikan izin, Jahan masuk kedalam penginapan. Lebih tepatnya masuk kedalam kamar yang dia sewa. Diatas meja masih berserakan kuas, tinta dan juga kertas. Dengan buru-buru Jahan mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di kertas. Hanya beberapa kalimat yang ditulisnya. Kemudian Jahan melipat kertas tersebut sampai ukuran paling kecil. "Jika ada kesempatan sekecil apapun, akan aku manfaatkan dengan baik." Putra mahkota dan Jahan kemudian pergi ke rumah tabib, menyusuri jalanan yang lenggang. Kebetulan segerombolan anak kecil datang dari arah berlawanan. Mungkin mereka bebas seperti sekarang ini lantaran para orang tua sedang sibuk menonton pertarungan final yang heboh. Ide itu langsung saja terbersit dalam pikiran Jahan. Dia dengan menyengajakan diri, berjalan diantara anak-anak yang berlari kearahnya tanpa disadari oleh a
"Sebentar lagi. Setelah tidur sebentar, aku akan pergi dari sini." Gumam Nalini sambil memejamkan matanya yang sudah mulai turun. Efek samping mengonsumsi obat herbal yang dibawakan oleh Jahan membuatnya selalu merasa mengantuk. Jika Jahan bersikeras untuk membawanya kembali ke kerajaan timur. Maka Nalini harus segera pergi dari jangkauan Jahan. Belum lama Nalini tertidur, Jahan dan putra mahkota kerajaan timur datang ke rumah tabib. "Nona mungki baru saja tertidur, dia perlu istirahat yang cukup." Mau bagaimana pun Nalini adalah pasien, sang tabib harus membuat batas demi kesembuhan pasiennya. "Aku berjanji tidak akan mengganggunya. Hanya ingin menemaninya." Jelas putra mahkota.Tabib itu menoleh pada Jahan, sekaligus bertanya melalui ekspresi wajahnya. "Dia salah satu keluarga Nona yang ada didalam. Aku yang memberitahukannya sehingga beliau datang kesini." Tabib juga tidak bisa berkutik dengan hubungan keluarga. Maka dia pun menunjukan jalan menuju kamar tamu yang bangunanny
Mungkin hingar bingar di pusat kota, membuat hal yang di luar dari itu nampak sepi. Termasuk sepanjang jalan yang dilalui Jahan untuk kembali ke penginapan. Toko-toko yang biasanya selalu buka, pada hari ini pun tutup serempak. Semua anggota dagangnya juga ikut menonton. Keadaan sudah dirasa aman. Jahan mengeluakan sebuah peluit dari dalam baju, kemudian meniupnya beberapa menit. Pendengaran manusia memang tidak bisa menangkap suara yang dihasilkan oleh peluit tersebut. Karena hampir tidak bersuara sama sekali. Tanpa menunggu lama. Satu ekor merpati putih terbang menghampiri Jahan sampai hinggap di pundak Jahan. Merpati tersebut hewan yang sudah dilatih Jahan selama bertahun-tahun dan peluit itu sebagai pemanggilannya. Disalah satu kaki merpati tersebut terdapat gulungan kertas. Surat balasan yang Jahan kirim pada putra mahkota kerajaan timur. Jahan terkejut dengan kertas gulungan yang kosong. Tidak ada tulisan sama sekali. "Jahan!" Dengan semangat putra mahkota kerajaan timu