Share

7. Buku Kuno

Penulis: D'Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ingatanku belum pulih jadi--"

"Kamu mungkin salah satu pendekar diluar sana." Janu memotong perkataan Nalini.

"Walau kamu seorang wanita, tapi aku bisa merasakan tangan yang sering menggunakan pedang. Sama seperti tangan Kakek."

Saat memikirkan jawaban yang harus diberikan pada Janu.

Ranting yang berada ditangan Nalini bergerak.

Membuat tubuhnya tertarik kearah sungai karena lengah.

Jika tidak ditahan oleh Janu, mungkin Nalini akan jatuh kedalam sungai yang dingin.

Takut terjatuh, Nalini juga membalas mengenggam tangan Janu agar tidak melepaskan dirinya.

Dengan menggenggam tangan Janu, Nalini bisa merasakan denyut nadi Janu.

Tenaga dalam yang sangat hebat mengalir disana.

Bahkan melebihi dari milik kakak tertua perguruan Danadyaksa.

Tubuh Janu akan sangat mudah untuk dilatih jurus apapun.

"Dalam hitungan ketiga, kita tarik bersama-sama"

Ucapan Janu, mengembalikan Nalini dari pikirannya sendiri.

"Satu.. dua.. tiga!" Janu menarik tangan Nalini kearahnya.

Begitu pula Nalini menggunakan tangan yang satunya lagi untuk menarik ranting menjauh dari aliran sungai.

Ikan berukuran besar terkapar diatas bebatuan.

"Woah... aku bisa menangkap ikan."

Seketika Nalini melupakan apa yang baru dipikirkannyan tentang tenaga dalam Janu.

Di dunia baru ini, Nalini banyak menemukan kesenangan dari hal yang sederhana.

Melupakan status, tatakrama memuakan, serta politik kerajaan yang selalu menjadi makanan sehari-harinya.

"Ayo kita pulang saja, ikannya kita bagi dua." Usul Janu.

"Tidak mau! Ini hasil tangkapanku. Kamu tunggulah kail mu bergerak."

"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu."

Janu langsung mengenggam tangan Nalini untuk mengikutinya.

Daripada dia kesulitan dengan Nalini yang tersesat di hutan.

Mereka berjalam cepat tapi lama kelamaan Janu akhirnya mengajak Nalini berlari.

Melewati setiap pepohonan dan padang rumput yang luas sebelum tiba di pondok Janu yang sederhana.

Nalini langsung duduk di bangku panjang sambil mengatur napasnya.

Janu masuk dan kembali dengan satu gelas beserta satu buku di masing-masing tangannya.

Pertama dia menyodorkan gelas tersebut untuk Nalini.

Janu menunggu dengan sabar sampai air dalam gelas itu tandas diminum Nalini.

Setelahnya Janu menyodorkan buku yang sudah sangat lusuh.

"Aku menemukannya, tapi enggak mengerti isinya." Jelas Janu.

Nalini menelisik pada wajah Janu.

"Iya! Aku enggak bisa membaca. Jangan bilang gara-gara hilang ingatan, kamu juga enggak bisa baca tulisan di buku itu?"

Nalini hanya tersenyum singkat lalu kembali pada buku tersebut.

Selain lembab buku ini juga sangat terlihat rapuh.

Nalini dengan perlahan membuka setiap lembarannya.

"Jadi apa isinya? Apa sesuatu yang menarik. Aku hanya memperhatikan gambarnya saja."

Terjawab sudah tenaga dalam hebat itu berasal.

Walau pun Janu masih tidak tahu cara melakukannya.

Hanya dengan berlatih setiap hari saja menggunakan gerakan yang tertera dibuku.

Janun sudah bisa melatih tenaga dalam sampai sehebat itu.

"Bertemu denganmu suatu keberuntungan buatku. Ayo kita berlatih bersama?"

Janu tersenyum lebar memandang Nalini.

"Kamu dapatkan buku ini dari mana? Kakek?"

Selain dari kondisi buku, jurus seperti ini juga asing dimata Naliani.

Banyak pendekar yang datang ke perguruan hanya untuk melakukan duel dengan guru besar.

Jurus yang di dalam buku belum pernah Nalini lihat ada pendekar yang menggunakannya.

"Beritahu terlebih dahulu apa isinya. Nanti aku katakan darimana." Janu juga tidak mau mengalah.

"Tulisannya, hanya menunjukan bagaimana cara bernafas dalam setiap gerakannya. Coba tunjukan hasil belajarmu."

Janu bersiap dengan memasang posisi kuda-kuda.

Tanganya mulai bergerak sesuai gambar dibuku.

Benar dugaan Nalini, napasnya berantakan dan gerakannya tidak lues.

"Saat tanganmu turun, napas juga harus dihembuskan dengan perlahan lewat hidung."

Janu mengulang sesuai arahan Nalini.

Reaksi tubuhnya menjadi lebih ringan dan lebih bertenaga setelahnya.

"Sekarang, beritahu dari mana buku ini?" Nalini menghentikan latiha mereka.

"Ah, kamu mempermainkanku. Ini belum selesai sampai akhir."

Nalini seperti enggan memberitahu kelanjutannya.

Dia menutupkan buku sambil memberikannya kembali pada Janu.

"Mau kemana?" Janu menahan tangan Nalini. "Ikut aku."

Mereka kembali kedalam pondok dan Janu berhenti di depan sebuah peti kayu.

Peti kayu yang sepertinya dijadikan tempat menyimpan barang-barang berharga versi Janu.

Jika jawaban Janu buku itu berasal dari peti kayu, Nalini akan mengamuk.

Janu berjongkok dan mulai menggeser peti kayu yang terlihat berat.

Bergeser dan Janu menarik tali yang jika sekilas tidak akan terlihat.

Pintu menuju ruang bawah tanah, sedikit mengingatkan Nalini pada pintu rahasia guru besar .

"Bawa lilin, kamu enggak terbiasa dengan gelap bukan?" Tanpa masalah Janu langsung turun.

Pandangan Nalini langsung tertuju pada lilin dan juga dua batu kecil disampingnya.

Beberapa kali Nalini menggesekkan dua batu tersebut agar memercikan panas dan membakan sumbu lilin.

"Hey, lama sekali? Aku tinggal."

Semakin panik Nalini, akhirnya menyerah dan turun saja mengikuti Janu.

"Mana lilin nya? Aku enggak akan tanggungjawb kalau--"

Nalini langsung memeluk lengan Janu yang membuatnya terkejut.

"Begini saja, ayo jalan." Ucap Nalini.

Bab terkait

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   8. Ruang Bawah Tanah

    Keadaan di dalam memang tidak terlalu gelap. Ada beberapa celah yang membuat cahaya masuk. Walau begitu, Nalini masih belum terbiasa dengan pencahayaan yang minim. Dalam beberapa persimpangan jalan juga terdapat genangan air. Bahkan ada satu sisi yang cahaya tidak ada sama sekali, yang terdengar hanya suara air yang turun. Entah dari mana, mata Nalini tidak bisa menangkap keberadaan air tersebut. Janu juga bisa tahu kalau Nalini ragu dan ketakutan. Beberapa kali Janu merasakan tangannya dipeluk dengan kencang. Karena tubuh mereka sangat dekat. Degup jantung milik Janu mulai memacu dengan cepat. "Janu kenapa berhenti?" Nalini berpikir bahwa Janu mungkin tidak sesering itu untuk turun ke ruang bawah tanah. Mereka tersesat. Nalini seperti menebak Janu yang sedang berpikir untuk memilih jalan yang mana.Karena mereka cukup lama berdiri di persimpangan jalan. Sebenarnya yang terjadi, Janu mulai resah dengan reaksi tubuh yang sebelumnya tidak pernah seperti ini. Ruang bawah t

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   9. Nanda

    Nalini terbangun saat kepalanya terjungkal. Tertidur saat mengawasi Janu belajar menulis. Dilihatnya Janu juga tengah tertidur dengan posisi telungkup diatas meja. "Iya, lebih baik kita istirahat sejenak."Perhatian Nalini langsung teralihkan begitu melihat buku-buku kuno terbuka disekitar Janu. Tidak mungkin Janu bisa membaca buku-buku itu hanya dengan seharian belajar mengenal huruf.Nalini pun tergerak untuk membereskan terlebih dahulu benda-benda yang berserakan lainnya. Setelah itu, dia juga mengambil selimut untuk membalut tubuh Janu. Selesai semuanya, Nalini mulai membaringkan diri di ranjang yang sudah ditempatnya beberapa minggu. Nalini sudah menyamankan dirinya dan menganggap pondok sederhana ini seperti rumahnya sendiri. Beberapa jam kedepan.Seperti biasa, Janu sudah terbangun sebelum matahari terbit. Janu terkejut dengan dirinya berbalut selimut. Padahal semalam dirinya berniat memindahankan Nalini yang tertidur dihadapannya. Malah dia yang diurus oleh Nalini.

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   10. Hadiah Perpisahan

    Satu bulan kemudian."Perbanyak latihan pernapasan. Kamu kesulitan bernapas." Ucap Janu sambil menyodorkan air minum. Nalini benar-benar tertinggal.Sejak menyadari potensi tenaga dalam yang dimiliki Janu. Seharusnya Nalini bisa mengukur kemampuan dirinya sangat jauh dengan Janu. Dia hanya membatu Janu mengenal huruf dan membaca. Hasilnya Janu maju lebih pesat. Sekali diberi pemahaman suatu gerakan jurus.Janu langsung mengerti dan berlatih dengan sempurna. Sedangkan Nalini harus beberapa kali berlatih untuk menguasai satu jurus saja. Nalini dan Janu kelelahan, mereka gunakan waktu dari pagi hingga siang untuk berlatih. "Aku akan isi air dan membawa beberapa makanan." Nalini hanya mengangguk sebagai jawabannya.Untuk sarapan, mereka akan memetik dedaunan atau buah yang mereka temui di hutan. Dalam tumpukan buku yang berisi jurus-jurus langka. Ada satu buku yang berisikan ilmu pengetahuan tentang dunia pengobatan. Serta informasi tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat. Sayang buku

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   11. Desa Terdekat

    Sudah hampir malam Nalini berjalan menyusuri jalan setapak setelah keluar dari hutan terlarang. Sepanjang jalan Nalini juga mengumpulkan berbagai tanaman obat yang dia temui.Sadar dirinya tidak memiliki uang sepeser pun dan satu-satunya kemampuan yang Nalini punya harus dia gunakan dengan maksimal.Niat Nalini mengumpulkan tanaman obat agar bisa dijual di desa terdekat agar bisa mendapatkan uang.Setelah langit benar-benar gelap. Nalini baru bisa melihat cahaya diujung jalan sana. Menandakan kalau dia sudah dekat dengan pemukiman warga.Alih-alih langsung memasuki desa. Nalini memilih pohon yang nyaman untuk dia jadikan tempat tidur. Dengan jurus ilmu meringankan tubuh, Nalini tidak kesulitan untuk memanjat keatas pohon. Cabang yang dirasa kuat menopang tubuh, akhirnya menjadi tempat Nalini tidur malam ini. Dengan posisi duduk berselonjor kaki diatas cabang pohon dan badan yang bersandar pada batang pohon.Nalini menyamankan diri untuk mulai tidur.Hal tersebut dilakukan, agar

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   12. Rintangan Pertama

    Janu terduduk lemas saat membaca surat yang ditulis Nalini. Padahal dia baru sekejap memejamkan mata. Nalini sudah pergi meninggalkannya. "Katanya beberapa bulan lagi. Kenapa malah secepat ini." Kesal, Janu pun meremas dan menghempaskan surat tersebut. Sekarang Janu kembali ke rutinitas sendirinya. Seperti biasa, dia mulai mempersiapkan diri untuk latihan. Tapi diurungkannya. "Lebih baik aku berburu saja." Pikirnya itu bagus untuk mengatasi rasa marahnya. Bukannya mendapat hasil, Janu malah mengacaukan semuanya. Suara langkah yang berisik hingga membuat keberadaanya diketahui oleh para hewan.Anak panah yang terus meleset, serta jerat yang tidak ada hasil membuat Janu tambah kesal. "Argh! Kenapa enggak ada yang berjalan lancar." Janu jadi memutuskan kembali ke rumah. Memilih duduk sambil memandang hamparan rumput di depan sana.Berharap Nalini pergi hanyalah sebuah mimpi dan dia akan datang sambil membawa buruan dari arah hutan. Ditunggu sampai siang pun. Janu yang malah t

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   13. Melewatkanmu

    Untunglah kereta kuda dan beberapa kuda termasuk milik si tiga laki-laki brandal tadi, tidak kabur.Mereka yang terluka parah diberangkatkan dengan menggunakan kereta kuda.Menuju desa yang paling terdekat dari hutan ini.Sementara sisanya, Janu membuatkan gerobak dari kayu yang mengorbankan beberapa pohon untuk di tebang.Kemudian gerobak yang sudah jadi, Juna ikatkan pada kuda yang tersisa. Untuk orang yang masih bisa berjalan, mereka akan menyusul dibelakang. Karena jumlah kuda yang tidak kuat menarik semua orang. Harus ada yang sedikit berkorban. Mereka jadi berjalan bersama Janu.“Terima kasih ya Nak, jika tidak ada dirimu mungkin kami sudah mati di tengah-tengah hutan.”“Agar jadi karma baik. Kakek selalu mengajariku untuk berbuat kebaikan dimana dan kapan pun aku berada.”“Kalau boleh tahu, asalmu dari negara mana?”Janu terdiam, tidak mungkin dia bilang bahwa dia berasal dari hutan dibelakang sana. “Saya, hanya seorang pengelana biasa yang singgah dari satu tempat ke tempa

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   14. Untung Rugi

    Janu kembali dengan tanaman obat di tangannya.Tapi yang dilihatnya, beberapa orang sedang menghaluskan bahkan sudah ada yang menggunakan tanaman obat pada lukanya.“Tanaman obat yang sama, jangan-jangan…”Janu berlari menghampiri salah satu yang sedang menghaluskan tanaman obat.“Dari mana kalian mendapatkan tanaman ini?” “Wah, kebetulan kami kekurangan obat." Raut wajah sumringah orang itu langsung turun saat melihat ekspresi Janu yang mengeras. “Seorang perempuan yang turun dari pohon mem—“ Dia seperti harus memberikan penjelasan tambahan pada Janu.“Lalu dimana perempuan itu sekarang?” Janu menggenggam bahu orang tersebut dengan kuat. “Dia sudah kembali keatas pepohonan, lalu pergi kearah sana.” Janu melihat arah yang ditunjukan oleh orang tersebut, sejalan dengan arah menuju desa.“Mungkin dia warga desa dekat sini. Tuan sudah disana, pasti itu tukang obat yang diutus Tuan untuk membantu kami.”Janu kembali lemas, ada benar juga ucapan orang dihadapannya. Bisa jadi itu bu

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   15. Jalan Berbeda

    Janu dan rombongan pedagang yang terluka tiba di desa ketika matahari sudah berada di puncak. "Saya utusan dari kepala desa untuk menjemput kalian." Seorang laki-laki menghampiri Janu saat melewati perbatasan desa.Tentu saja Janu melihat kearah rombongan. Untuk memastikan itu. "Karena kami sering berkunjung, jadilah Tuan dan kepala desa mulai menjalin pertemanan."Setiap kesini, kami pasti dijamu dengan layak di rumah kepala desa."Janu mengangguk mengerti, mereka pun menuju rumah kepala desa. Namun begitu, tatapan mata Janu terus saja menengok kesana kemari. Melihat hiruk pikuk kehidupan di desa. Ada rasa kagum melihat banyak manusia yang berinteraksi satu sama lain. Janu juga mengamati para pedagang yang bercengkrama di sisi jalan. Diantara mereka, Janu tidak menemukan sosok Nalini. "Syukurlah... kalian sampai disini. Aku sudah sangat khawatir." Nona muda itu langsung melompat kearah Janu kemudian mengecek satu persatu anggotanya. Janu yang terkejut bahkan hampir terjungk

Bab terbaru

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   33. Kesepakatan Damai

    "Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan di kediaman Jahan.Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan.Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini.Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar.""Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda.""Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nal

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   32. Sebuah Kepercayaan

    "Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung. "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu Nira dan saudagar dagang.Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   31. Jarum Berbisa

    "Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil aku dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Lebih baik penjarakan aku seumur hidup atau bunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali.Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya.Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jar

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   30. Kembali Ke Awal

    Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur.""Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelakan

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   29. Kericuhan Kota

    Janu hanya bisa menghela napas panjang, begitu pintu gerbang ditutup dan menampilkan rombongan kereta kuda yang hanya terlihat sepersekian detik oleh dirinya. Kericuhan mulai lagi terjadi, bahkan sekarang penjaga kota mulai menunjukan sisi keras mereka. Tidak segan untuk mendorong, memukul dan melakukan serangan fisik lainnya bagi siapapun yang menentang. "Jika ingin semua ini cepat selesai, kendalikan diri kalia dan ikuti aturan yang berlaku!" Beberapa luka lebam didapatkan oleh para pengunjung kota. Para penjaga juga tidak memandang status mereka. Bangsawan dan rakyat biasa juga terkena hantaman penjaga. Seolah mereka mendapat kekuatan yang sulit dibantah, karena mendapat kuasa yang diturunkan langsung oleh keluarga kerajaan. "Kerajaan kami akan mengadukan sikap kalian yang kasar pada para tamu seperti ini.""Silahkan saja! Ini masih wilayah kekuasaan negara timur. Kalian bisa pulang hanya tinggal nama." Jauh dari keramaian, Nira masih saja menghadang Janu untuk maju kearah p

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   28. Jebakan Dalam Jebakan

    "Sudahlah, hentikan semua keributan ini dan kembali pada pos masing-masing." "Terima kasih Yang Mulia Putra Mahkota." Penjaga itu bangkit sambil undur diri dan diikuti oleh beberapa rekannya. Sementara para pengawal berjirah emas masih dia didalam kamar. "Apa masih ada urusan yang mau kamu sampaikan kepadaku?" "Mengapa Yang Mulia pergi keluar dari istana dan Ibu Kota secara diam-diam, tanpa pengawalan sama sekali?""Aku hanya tidak mau menimbulkan keributan. Lagi pula banyak dari para bangsawan yang lain datang kesini untuk menonton pertandingan dengan menggunakan pakai merakyat."Tadinya aku hanya ingin menonton pertarungan final yang katanya akan spektakuler. Ternyata sahabatku terluka dan aku datang untuk mengobatinya. "Sayang sekali obat-obatan disini tidak selengkap di ibu kota. Makannya aku berencana untuk membawanya pulang bersamaku."Oh iya, tolong sekalian siapkan kereta kuda untuk membawa sahabatku dan bagaimana kalau penjagaan kota di perketat. "Siapa tahu berita soal

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   27. Kesempatan Kecil

    Sebelum pengepungan oleh penjaga dan pengawal berjirah emas. "Tunggu sebentar Yang Mulia. Ada barang tertinggal yang harus aku bawa." Putra mahkota mengangguk memberikan izin, Jahan masuk kedalam penginapan. Lebih tepatnya masuk kedalam kamar yang dia sewa. Diatas meja masih berserakan kuas, tinta dan juga kertas. Dengan buru-buru Jahan mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di kertas. Hanya beberapa kalimat yang ditulisnya. Kemudian Jahan melipat kertas tersebut sampai ukuran paling kecil. "Jika ada kesempatan sekecil apapun, akan aku manfaatkan dengan baik." Putra mahkota dan Jahan kemudian pergi ke rumah tabib, menyusuri jalanan yang lenggang. Kebetulan segerombolan anak kecil datang dari arah berlawanan. Mungkin mereka bebas seperti sekarang ini lantaran para orang tua sedang sibuk menonton pertarungan final yang heboh. Ide itu langsung saja terbersit dalam pikiran Jahan. Dia dengan menyengajakan diri, berjalan diantara anak-anak yang berlari kearahnya tanpa disadari oleh a

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   26. Kebetulan Yang Aneh

    "Sebentar lagi. Setelah tidur sebentar, aku akan pergi dari sini." Gumam Nalini sambil memejamkan matanya yang sudah mulai turun. Efek samping mengonsumsi obat herbal yang dibawakan oleh Jahan membuatnya selalu merasa mengantuk. Jika Jahan bersikeras untuk membawanya kembali ke kerajaan timur. Maka Nalini harus segera pergi dari jangkauan Jahan. Belum lama Nalini tertidur, Jahan dan putra mahkota kerajaan timur datang ke rumah tabib. "Nona mungki baru saja tertidur, dia perlu istirahat yang cukup." Mau bagaimana pun Nalini adalah pasien, sang tabib harus membuat batas demi kesembuhan pasiennya. "Aku berjanji tidak akan mengganggunya. Hanya ingin menemaninya." Jelas putra mahkota.Tabib itu menoleh pada Jahan, sekaligus bertanya melalui ekspresi wajahnya. "Dia salah satu keluarga Nona yang ada didalam. Aku yang memberitahukannya sehingga beliau datang kesini." Tabib juga tidak bisa berkutik dengan hubungan keluarga. Maka dia pun menunjukan jalan menuju kamar tamu yang bangunanny

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   25. Merpati Putih

    Mungkin hingar bingar di pusat kota, membuat hal yang di luar dari itu nampak sepi. Termasuk sepanjang jalan yang dilalui Jahan untuk kembali ke penginapan. Toko-toko yang biasanya selalu buka, pada hari ini pun tutup serempak. Semua anggota dagangnya juga ikut menonton. Keadaan sudah dirasa aman. Jahan mengeluakan sebuah peluit dari dalam baju, kemudian meniupnya beberapa menit. Pendengaran manusia memang tidak bisa menangkap suara yang dihasilkan oleh peluit tersebut. Karena hampir tidak bersuara sama sekali. Tanpa menunggu lama. Satu ekor merpati putih terbang menghampiri Jahan sampai hinggap di pundak Jahan. Merpati tersebut hewan yang sudah dilatih Jahan selama bertahun-tahun dan peluit itu sebagai pemanggilannya. Disalah satu kaki merpati tersebut terdapat gulungan kertas. Surat balasan yang Jahan kirim pada putra mahkota kerajaan timur. Jahan terkejut dengan kertas gulungan yang kosong. Tidak ada tulisan sama sekali. "Jahan!" Dengan semangat putra mahkota kerajaan timu

DMCA.com Protection Status