Persiapan pernikahan dilakukan secara kilat, bahkan Aleena baru tahu jika ternyata orang tua Aksa adalah seorang pengusaha yang dulunya menjadi salah satu relasi bisnis mendiang sang Ayah.
Wajah Aleena sejak tadi ditekuk, ia benar-benar merasa bosan sekaligus kesal sekarang. Ia sudah berada di butik tempat dirinya mencoba gaun-gaun untuk pernikahannya bersama Aksa nanti. Sudah lebih dari satu jam ia mencoba berbagai model gaun, namun masih belum menemukan yang dirasa cocok. Sebenarnya yang memutuskan cocok atau tidaknya adalah Aksa. Pria itu yang memutuskan segala hal dan mengabaikan tiap-tiap aksi protes maupun penolakan yang dilakukan oleh Aleena. Ini sudah kesekian kalinya Aleena mencoba gaun-gaun itu. Gadis itu berdiri di belakang tirai dengan menggengam se bucket bunga dengan wajah muram. Tirai terbuka, menampakkan Aleena dengan gaun berekor panjang berwarna putih. Gaun dengan model kemben berhias manik-manik itu tampak begitu pas di tubuhnya, memamerkan leher jenjangnya dengan begitu jelas. "Kami ambil yang ini," ujar Aksa tanpa basa-basi. Aleena menghela napas lega, ia segera berganti pakaian dan berjalan mendekati Aksa. Baru saja gadis itu akan mengumpati si pria, Aksa lebih dulu berbicara. "Maaf saya tidak bisa mengantar kamu. Saya ada urusan penting dan mendadak, tapi kamu sudah saya pesan kan taksi online," katanya. Pria itu berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Aleena yang mengumpat dalam hati. "Sial! Dasar cowok nyebelin!!" Dan pada akhirnya Aleena benar-benar pulang sendirian dengan rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubun. Pada mulanya tujuan Aleena memanglah ke rumah, namun saat ia melihat satu cafe langganan nya, ia merubah tujuan dengan cepat. Dirinya turun dengan senyuman lebar. "Coklat bisa bikin mood bagus lagi katanya, seengaknya kalo mood ku udah hancur gara-gara cowok stress itu, aku bisa naikin lagi pake coklat," monolognya masih dengan senyum yang terkembang jelas. Ia dengan masuk ke dalam dan memesan satu gelas coklat chocolate milkshake dan beberapa kue. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sembarang arah sembari menunggu pesanannya dibuat. Mata Aleena menyipit, ia memperhatikan dengan lambat seorang pria yang duduk tidak jauh darinya. Pria itu bersama seorang lelaki dengan kemeja berwarna biru muda. Keduanya seperti tengah mengobrol kan sesuatu yang begitu penting. "Itu 'kan, Aksa. Ngapain dia di sini? Katanya ada urusan penting!" gumam Aleena. Dengan radar kekesalan yang menggebu, gadis itu melangkah mendekat ke arah Aksa. Ia melipat tangannya di depan dada dan memasang wajah sangar begitu sampai di depan meja dua pria tersebut. "Jadi ini urusan penting kamu?" mulai Aleena dengan nada kesal. Aksa masih saja memperhatikannya dalam diam, ekspresi pria itu juga begitu datar. Berbeda dengan pria di depannya yang tampak kebingungan. "Ada apa kamu ke sini?" Bukannya menjawab, Aksa justru balik bertanya pada Aleena. "Kenapa aku di sini? Kamu jelas-jelas ninggalin aku di butik dengan alasan ada urusan penting, tapi tau-taunya kamu malah di sini." Aleena sengaja menaikkan volume suaranya, ia ingin membalas dendam atas perlakuan Aksa yang suka seenaknya. Dan terbukti, beberapa pengunjung cafe mulai melihat ke arah mereka, bahkan beberapa di antaranya mulai berbisik lirih. Merasa diperhatikan, Aksa bangkit dari duduknya. Pria itu kemudian menggandeng lengan Aleena, setengah menyeret, membawanya ke arah mobil miliknya. Tanpa mengatakan apapun Aksa memaksa Aleena untuk masuk, kemudian dirinya menjalankan mobil dan pergi dari cafe tersebut. *** Perjalanan saat itu terasa begitu lama, Aleena diam seribu bahasa begitupun dengan Aksa. "Apa yang sebenarnya kamu mau?" pertanyaan Aksa membuat Aleena menoleh. Gadis itu mengerutkan keningnya. "Saya tahu kamu sengaja melakukannya agar orang-orang memperhatikan kita, kamu mau membalas saya karena ninggalin kamu, 'kan," ujar Aksa lagi. Aleena diam karena memang itu kenyataanya. Aksa sempat mencuri pandang ke arah Aleena dan tersenyum kecil. "Kamu mau saya batalin semuanya?" Sekali lagi perkataan Aksa menarik perhatian Aleena. Pupil mata gadis itu membesar karena antusias. "Beneran? Kamu mau ngebatalin semuanya?" Aksa tersenyum kecil, pria itu membatin jika Aleena begitu polos. "Menurut mu?" tanya Aksa balik. Dan seketika saja raut wajah Aleena berubah, ia tahu jawaban apa yang muncul dari ekspresi juga senyum mengejek Aksa. "Pernikahan kita harus tetap berlanjut, nggak peduli apapun yang terjadi kamu tetap harus jadi istri saya," ucap Aksa dengan menekan kata harus. Aleena mendesah, ia benar-benar sudah mencapai pada puncaknya. "Kenapa harus aku? Kita bahkan nggak saling kenal! Kamu pasti punya niat terselubung, iya 'kan!" sentaknya. Aksa terkekeh kecil, pria itu kemudian mengangguk dengan entengnya, membuat Aleena juga cukup terkejut. Ia pikir Aksa akan mengelak atau memberikan alasan untuk menutupi niatnya yang sebenarnya. "Saya memang punya niat sama kamu, dan cuma kamu yang bisa bantu saya," ujar Aksa dengan nada serius. "Kenapa harus aku?" Cukup lama Aksa terdiam, pria itu seolah enggan untuk menjawab pertanyaan Aleena. "Aksa, jawab. Kenapa harus aku? Orang kaya kamu pasti banyak yang mau menikah sama kamu, kenapa harus aku. Asal kamu tahu, aku nggak mau menikah untuk saat ini, masih banyak hal yang pengen aku kejar. Aku-" "Masih banyak hal yang pengen kamu kejar, atau karena kamu takut buat komitmen di pernikahan itu sendiri?" potong Aksa cepat. Kini giliran Aleena yang terdiam. Ia tidak bisa menjawab apapun karena yang dikatakan Aksa memanglah benar. Ketakutan juga trust issue yang dimilikinya jadi salah satu faktor mengapa ia masih memilih melajang sampai saat ini. Dirinya terlalu khawatir dan takut untuk menikah, terlalu takut untuk berkomitmen pada pondasi pernikahan yang pada akhirnya akan gagal. "Jangan asal bicara kamu! Alasan aku belum mau menikah karena masih banyak hal yang mau aku kejar," sanggah Aleena dengan cepat. Ia tidak ingin kegelisahan nya saat ini diketahui oleh siapapun. Termasuk orang-orang terdekatnya. Mobil yang dikendarai Aksa telah tiba di halaman rumah Aleena. Saat Aleena hendak membuka pintu Aksa lebih dulu menahannya dengan menguncinya. "Apa yang kamu lakukan?" sungut Aleena. "Jawab dulu pertanyaan saya. Kamu belum menikah sampai sekarang karena kamu takut, 'kan?" Aleena menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ia dengan berani menatap ke arah mata Aksa yang juga tengah menatapnya. "Apapun alasan aku belum menikah sekarang, itu bukan urusan kamu?!" sahutnya dengan tekanan pada tiap kata. Seolah menegaskan apa yang dikatakannya. "Saya nggak bisa menikah sama perempuan." Perkataan Aksa membuat Aleena hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali. Apa maksudnya? Pria ini tidak bisa menikah dengan perempuan? "Apa maksud kamu?" Aleena bertanya dengan raut terkejut yang terlihat jelas. Tentu saja pikirannya sudah kemana-mana sekarang. "Kamu…, gay?"Pertanyaan Aleena tidak mendapatkan jawaban apapun, Aksa hanya diam sambil terus melihat ke arahnya dengan pandangan sulit diartikan."Tapi, kenapa harus aku? Kamu pikir hidupku ini sesuatu yang bisa kamu jadiin alasan buat nutupin kalo kamu nggak bisa nikah sama perempuan?!" Aleena tentu saja merasa tidak terima. Aksa memanfaatkan dirinya demi keuntungannya sendiri."Asal kamu tahu, ya. Tuan Aksa Bumantara, yang terhormat. Hidupku bukan mainan yang bisa dengan gampang kamu atur sesuka hati kamu, bukan juga lego yang bisa kamu bongkar pasang. Hidupku aku yang menentukan!"Tangan Aleena mengepal, matanya memerah karena menahan tangis. Entah kenapa perasaanya benar-benar tidak terkontrol untuk saat ini.Ia merasa benar-benar terluka, tersinggung atas apa yang dilakukan Aksa padanya saat ini. Memang benar, dirinya agak kewalahan dengan tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah. Tapi bukan berarti orang asing seperti Aksa boleh untuk memanfaatkan keadaan dengan menggunakan
Aksa tertawa kecil melihat reaksi Aleena yang panik. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan merangkul bahunya dengan senyum yang terkembang jelas.Sementara Aleena sendiri hanya bisa melotot sambil melihat ke arah Aksa dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu ingin melakukan aksi protes atas apa yang dilakukan Aksa, namun bisikkan lirih dari pria itu membuatnya urung melakukannya."Ikuti saja, buat semuanya terlihat natural atau Nenek akan curiga," bisik Aksa dengan suara lirih.Aleena kemudian mengalihkan fokusnya ke arah ruang tamu, di mana ada sang Ibu dan seorang wanita baya yang diketahui sebagai Nenek, Aksa.Wanita dengan kebaya merah juga konde khas Jawa itu melihat Aleena tanpa ekspresi. Sudah sejak tadi wanita baya itu memperhatikan Aleena dari atas sampai bawah dan mengulanginya beberapa kali."Ibu baru tahu kalo ternyata Nak Aksa ini cucunya, Oma Anya," ucap Ibu Shafira (Ibu Aleena) menginterupsi.Aksa hanya membalas hal tersebut dengan senyum tipis. Tapi tidak dengan
Malam hari rumah terasa begitu sunyi. Tidak ada suara televisi seperti biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang mengisi suasana rumah.Aleena berguling sekali lagi di atas ranjang. Ia memeluk boneka kucing biru di tangannya dengan erat.Sebelumnya, setelah ia selesai menyantap mie instant yang dibuatkan Aksa, dirinya berniat meminta maaf secara langsung pada pria itu.Namun saat Aleena hendak mendatangi Aksa yang kebetulan tengah berdiam di ruang televisi, langkahnya terhenti.Saat itu Aksa mendapatkan panggilan telepon dari seseorang dan bergegas pergi. Bahkan pria itu mengacuhkan dirinya saat ia memanggil pria itu beberapa kali."Dapet telepon dari siapa sih, kayaknya penting banget," gumam Aleena.Ia kembali membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar, sebelum kemudian bunyi kendaraan mengalihkan perhatiannya.Dengan bergegas Aleena mengintip dari jendela kamar. Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumahnya.Aleena tidak mengenali siapa si pe
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala.Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan.Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya.Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari.Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran.Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati."Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri.Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa na
"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah
"Aleena! Aksa!"Wanita baya itu berseru. Dua manusia lainnya memisahkan diri dengan cepat, Aleena segera merapikan rambutnya dan Aksa hanya bisa berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain."Apa yang sudah kalian lakukan? Ibu meninggalkan kalian belum lama dan kalian sudah berbuat…."Perkataan wanita baya itu menggantung. Namun dilihat dari ekspresinya saja Aleena sudah mengerti dengan teramat jelas apa yang Ibunya maksud.Ia menggeleng dengan segera, juga menggoyangkan tangan dengan gestur penolakan dan membentuk tanda silang di depan dada.Membantah mentah-mentah apa yang jadi asusmsi wanita yang melahirkannya sekarang ini."Tidak, bu. Sungguh kami tidak melakukan…"Belum selesai Aleena menjelaskan, Aksa sudah menyela lebih dulu. Dengan gaya sok pahlawan (ini menurut Aleena) pria itu mengambil tempat ke depan si wanita. Membuat Aleena bisa mengukur tinggi badannya yang hanya sampai bahu Aksa saja."Maafkan saya, Bu. Semuanya adalah kesalahan saya, jadi biarkan saya bertanggung j
Bisa Aleena dengar bisik-bisik tapi berisik yang dilakukan oleh beberapa tamu undangan. Beberapa di antara mereka (yang kebanyakan perempuan) menyanjung apa yang dilakukan Aksa.Sedangkan pria yang saat ini tengah menyimpan sepatu heelsnya di dekat kursi pelaminan tersenyum tipis ke arah sang istri yang justru menatapnya ganas.Aleena justru berpikiran jika Aksa tengah cari muka di hadapan para tamu undangan.Acara hari itu berjalan lancar juga khidmat. Aleena yang sudah merasa teramat lelah menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.Ia yang semula memejamkan mata dengan damai seketika melotot saat mendengar suara gemericik dari arah kamar mandi.Gadis itu segera bangkit dan menatap horor ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia kabur lagi dan membawa Coco turut serta? Atau ia bisa saja mengancam Aksa untuk menceraikannya dengan segera. Oh, mengambil langkah ekstrem, bagaimana dengan mengadukan kelainan Aksa pada orang tuanya?Tunggu,