Aksa tertawa kecil melihat reaksi Aleena yang panik. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan merangkul bahunya dengan senyum yang terkembang jelas.
Sementara Aleena sendiri hanya bisa melotot sambil melihat ke arah Aksa dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu ingin melakukan aksi protes atas apa yang dilakukan Aksa, namun bisikkan lirih dari pria itu membuatnya urung melakukannya. "Ikuti saja, buat semuanya terlihat natural atau Nenek akan curiga," bisik Aksa dengan suara lirih. Aleena kemudian mengalihkan fokusnya ke arah ruang tamu, di mana ada sang Ibu dan seorang wanita baya yang diketahui sebagai Nenek, Aksa. Wanita dengan kebaya merah juga konde khas Jawa itu melihat Aleena tanpa ekspresi. Sudah sejak tadi wanita baya itu memperhatikan Aleena dari atas sampai bawah dan mengulanginya beberapa kali. "Ibu baru tahu kalo ternyata Nak Aksa ini cucunya, Oma Anya," ucap Ibu Shafira (Ibu Aleena) menginterupsi. Aksa hanya membalas hal tersebut dengan senyum tipis. Tapi tidak dengan Oma Anya. Wanita baya itu masih saja memperhatikan Aleena dengan lekat, tatapan mengintimidasi nya seakan menjelaskan jika ia tidak menyukai gadis itu. "Aksa, apa kamu sudah menyiapkan gedung untuk acara pernikahan nanti?" Oma Anya membuka suara. Wanita yang nampak begitu anggun dengan pakaian khas jawanya itu tampak begitu berwibawa. Membuat Aleena bahkan merasa segan hanya untuk menatap meski sekilas. "Sudah, Oma. Sebagian urusan sudah selesai, tadi juga Aksa dan Aleena sudah mengukur pakaian untuk acara ijab qabul dan resepsi," jawab Aksa sopan. Pria itu terlihat berbeda saat berbicara dengan Oma Anya. Aksa cenderung terlihat lebih sopan dan mengatur tiap kata yang terucap dari bibirnya. "Oh, iya. Nak Aksa, untuk rencana setelah menikah apa kalian akan tinggal di sini sementara waktu?" Ibu Shafira bertanya. "Nggak, Bu. Rencananya setelah pernikahan saya mau langsung boyong Aleena ke rumah pribadi yang sudah disiapkan jauh-jauh hari," jawab Aksa tenang. Berbeda dengan Aksa, lagi-lagi Aleena melotot kaget. Ia hanya bisa mendelikkan matanya ke arah Aksa, meminta penjelasan pria itu tanpa suara. "Kenapa Aleena, ada yang mau kamu omongin?" Ucapan Oma Anya membuat Aleena tergagap. Cepat-cepat ia menggeleng dan tersenyum kikuk. Entah kenapa ia serasa mati kutu saat berhadapan dengan Oma Anya, padahal sebelumnya ia sudah berapi-api untuk membatalkan semuanya. Tapi jangankan untuk membatalkan, menginterupsi saja ia merasa tidak sanggup. Aleena justru merasa cukup tertekan untuk saat ini. Dirinya merasa seperti seorang tersangka yang tengah dihadapkan dengan para penyidik. Sementara Aksa yang melihat hal itu hanya tertawa kecil, ia merasa kasihan sekaligus lucu dengan ekspresi Aleena saat ini. *** Setelah pertemuan tidak sengaja antara Aleena dan Oma Anya, gadis itu merasa hari-hari nya seolah selalu diawasi. Saat ia berada di luar rumah ia akan merasa ada seseorang yang membuntuti nya diam-diam. Dan saat ia berada di rumah, dirinya akan merasa ada orang lain yang tengah mengawasinya. "Lama-lama aku ngerasa kaya lagi syuting film horor," ujar Aleena sambil bergidik. Gadis itu kemudian segera beranjak dari teras belakang rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Niat awalnya yang ingin menikmati angin sepoi-sepoi sambil mencari inspirasi untuk bahan novelnya menjadi berantakan. Langkah Aleena pelan menuju ruang tengah, laptop di tangannya ia jinjing sambil mulutnya yang terus mengunyah permen karet. Tatapan gadis itu seketika mendelik saat ia mendapati Aksa yang tengah duduk nyaman di ruang tengah sambil menikmati satu bungkus keripik jagung. Laki-laki itu menoleh ke arah Aleena dan tersenyum tipis. "Ibu kamu pergi ke rumah saudara selama beberapa hari, dan beliau meminta saya buat jagain kamu sementara waktu," jelas Aksa tanpa diminta. Aleena menghela napas kasar. Apalagi ini? Ibunya menitipkan dirinya pada Aksa? Yang benar saja!! "Jangan bicara omong kosong! Ibuku tidak akan menitipkan ku pada orang asing kaya kamu. Lagian kan aku udah dewasa dan bisa jaga diri aku sendiri!" sembur Aleena. Aksa lagi-lagi hanya menanggapi perkataan Aleena dengan wajah datar. Pria itu menaruh bungkus keripik di meja sebelum memutar badannya ke arah Aleena. "Bukan orang asing, tapi saya calon suami kamu." "Terserah! Aku nggak peduli. Yang jelas kamu jangan ganggu aku!!" Setelah mengatakan hal itu Aleena beranjak ke kamarnya. Moodnya hari ini sudah hancur gara-gara Aksa. Waktu berlalu. Hari telah beranjak pegang saat Aleena terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat, sesekali menguap sampai ia tersadar akan bunyi perutnya sendiri. Gadis itu baru ingat jika ia belum menyantap nasi sedari pagi. Satu-satunya makanan yang masuk ke mulutnya hanyalah permen karet yang ia kunyah pagi tadi. Ia turun perlahan ke lantai satu, sesekali mengintip sambil memastikan jika Aksa memang telah pergi dari rumahnya. Tepat di tiga tangga terakhir Aleena melihat bayangan melintas dari arah dapur, disusul kemudian bau harum khas mie instan yang menusuk hidung. Dan benar saja, setelah itu perut Aleena kembali berbunyi. Menandakan perlu diisi dengan segera. Perlahan tapi pasti, Aleena mulai melangkah ke arah dapur. Matanya berbinar saat ia menemukan satu mangkok mie instan yang masih mengepul kan asap panas. Seperti baru saja selesai dibuat. Tanpa menunggu apapun lagi ia segera duduk di meja makan dan mulai menyantap mie tersebut. "Kamu udah bangun?" Aleena terlonjak, tersedak saat mie instan yang tengah ia santap serasa langsung masuk ke kerongkongan tanpa sempat ia kunyah. Aksa yang berdiri di belakang si gadis dengan tanggap memberikan satu gelas air, yang langsung diminum hingga hampir tandas. "Kau mau membunuh ku, ya!" sentak Aleena sewot. Aksa berdecak, ia menyilangkan dia tangannya di depan dada sambil menatap Aleena heran. "Saya sudah menyelamatkan kamu, harusnya kamu berterima kasih bukannya malah marah-marah," sahutnya. Aleena diam, gadis itu mencebik dan memilih untuk beranjak dari sana. Namun sebelum Aleena berhasil melewati Aksa, pria itu lebih dulu menahan lengan si gadis dan mendudukan nya kembali di kursi meja makan. "Duduk dan makan. Saya tahu kamu belum makan dari pagi. Maaf saya nggak bisa masak, jadi cuma saya buatkan mie instant saja," ucap Aksa. Pria itu kemudian berbalik, pergi dari area dapur tanpa mengatakan apapun. Hal itu membuat Aleena terdiam. Ia bertanya apakah yang dilakukannya sudah keterlaluan? Seharusnya ia berterima kasih pada Aksa, bukannya malah membentak dan memarahi pria itu. Ia menunduk, bahkan mie instant yang ada di depannya kini sudah tidak lagi menarik perhatiannya. "Bodo, ah! Sekarang makan aja dulu, abis ini baru pikirin cara minta maaf," gumam Aleena. Sekian detik kemudian gadis itu sudah kembali larut dengan makanan di hadapannya. Yang tidak Aleena tahu Aksa masih berada di sekitar sana. Pria itu tidak benar-benar menjauh dari area dapur, ia hanya diam berdiri di belakang dinding gabungan antara dapur dan ruang santai. Aksa juga mendengar apa gumaman Aleena beberapa saat lalu, karena gadis itu bergumam dengan suara yang cukup keras.Malam hari rumah terasa begitu sunyi. Tidak ada suara televisi seperti biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang mengisi suasana rumah.Aleena berguling sekali lagi di atas ranjang. Ia memeluk boneka kucing biru di tangannya dengan erat.Sebelumnya, setelah ia selesai menyantap mie instant yang dibuatkan Aksa, dirinya berniat meminta maaf secara langsung pada pria itu.Namun saat Aleena hendak mendatangi Aksa yang kebetulan tengah berdiam di ruang televisi, langkahnya terhenti.Saat itu Aksa mendapatkan panggilan telepon dari seseorang dan bergegas pergi. Bahkan pria itu mengacuhkan dirinya saat ia memanggil pria itu beberapa kali."Dapet telepon dari siapa sih, kayaknya penting banget," gumam Aleena.Ia kembali membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar, sebelum kemudian bunyi kendaraan mengalihkan perhatiannya.Dengan bergegas Aleena mengintip dari jendela kamar. Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumahnya.Aleena tidak mengenali siapa si pe
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala.Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan.Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya.Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari.Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran.Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati."Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri.Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa na
"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah
"Aleena! Aksa!"Wanita baya itu berseru. Dua manusia lainnya memisahkan diri dengan cepat, Aleena segera merapikan rambutnya dan Aksa hanya bisa berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain."Apa yang sudah kalian lakukan? Ibu meninggalkan kalian belum lama dan kalian sudah berbuat…."Perkataan wanita baya itu menggantung. Namun dilihat dari ekspresinya saja Aleena sudah mengerti dengan teramat jelas apa yang Ibunya maksud.Ia menggeleng dengan segera, juga menggoyangkan tangan dengan gestur penolakan dan membentuk tanda silang di depan dada.Membantah mentah-mentah apa yang jadi asusmsi wanita yang melahirkannya sekarang ini."Tidak, bu. Sungguh kami tidak melakukan…"Belum selesai Aleena menjelaskan, Aksa sudah menyela lebih dulu. Dengan gaya sok pahlawan (ini menurut Aleena) pria itu mengambil tempat ke depan si wanita. Membuat Aleena bisa mengukur tinggi badannya yang hanya sampai bahu Aksa saja."Maafkan saya, Bu. Semuanya adalah kesalahan saya, jadi biarkan saya bertanggung j
Bisa Aleena dengar bisik-bisik tapi berisik yang dilakukan oleh beberapa tamu undangan. Beberapa di antara mereka (yang kebanyakan perempuan) menyanjung apa yang dilakukan Aksa.Sedangkan pria yang saat ini tengah menyimpan sepatu heelsnya di dekat kursi pelaminan tersenyum tipis ke arah sang istri yang justru menatapnya ganas.Aleena justru berpikiran jika Aksa tengah cari muka di hadapan para tamu undangan.Acara hari itu berjalan lancar juga khidmat. Aleena yang sudah merasa teramat lelah menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.Ia yang semula memejamkan mata dengan damai seketika melotot saat mendengar suara gemericik dari arah kamar mandi.Gadis itu segera bangkit dan menatap horor ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia kabur lagi dan membawa Coco turut serta? Atau ia bisa saja mengancam Aksa untuk menceraikannya dengan segera. Oh, mengambil langkah ekstrem, bagaimana dengan mengadukan kelainan Aksa pada orang tuanya?Tunggu,
"Apa maksud kamu?"Aleena menyemprot Kasa dengan pertanyaan menyentak. Pria yang tengah mengemasi bajunya itu menoleh dengan satu alis terangkat."Apa?" tanya nya.Aleena mendengkus. Ia bersedekap dan menatap Aksa dengan galak."Apa maksud kamu dengan mengatakan akan membawaku ke rumahmu? Dalam Perjanjian tidak ada kata-kata untuk pindah dari rumah ini, kau tahu.""Memangnya aku pernah berjanji? Sudahlah, lebih baik kamu kemasi saja barang-barang mu, kita akan berangkat tidak lama lagi," sahut Aksa.Aleena menghembuskan napas tidak percaya, ia kemudian merebut baju yang hendak Aksa masukan ke dalam tasnya. Bermaksud agar pria itu memusatkan perhatian dan mendengarkan apa yang akan dirinya katakan. Namun sepertinya Aksa memiliki tanggapan berbeda.Pria itu menghela napas, menatap perempuan yang kini berstatus istrinya itu sebentar sebelum berusaha merebut kaus berwarna hitam dari dalam genggamannya.Karena Aleena yang tidak kunjung memberikan kaus tersebut, membuat Aksa mau tidak mau
Aksa kian mendekatkan tubuhnya, pria itu menyunggingkan senyum miring yang terlihat begitu menyebalkan di mata Aleena."Mundur! Atau aku akan berteriak!" seru si wanita keras.Bukannya menurut, Aksa justru terkekeh kecil dan kian semangat mendekatkan tubuhnya. Suasana saat itu begitu mencekam layaknya film horor bagi Aleena.Jarak diantara mereka hanya tersisa sejengkal, dan Aksa justru memajukan wajahnya hingga membuat sang istri memejamkan mata secara otomatis.Lama keduanya dalam posisi itu, hingga kemudian Aleena bisa mendengar suara kekehan kecil si pria yang perlahan mulai mengeras.Aleena membuka mata, dan hal yang pertama kali ia lihat adalah wajah Aksa yang tengah tertawa.Jujur saja pria itu terlihat cukup manis saat tertawa, terlebih cekungan pada pipi sebelah kirinya yang membuat kesan tersendiri.Melihat Aleena yang termenung, tersemat ide jahil di kepala Aksa. Ia dengan segera mengangkat tubuh sang istri ala bridal style dan menjatuhkannya di atas ranjang.Belum sempat A