Siang berganti sore, Wulan membuang vitamin yang sudah di campur racun oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu. "Perasaan baru tadi malam mereka membuat rencana jahatnya untuk ku, sekarang justru ibu yang masuk rumah sakit. Karma Allah memang instan" batin Wulan. Dari tadi ia menunggu Sarah pulang agar dirinya bisa gantian menunggu mertuanya yang sedang dirawat. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.Wulan kembali menelpon suaminya untuk memastikan jam berapa Sarah akan pulang ke rumah. Tapi ponsel Fatih tidak aktif, sepertinya baterainya habis, apalagi tadi malam suaminya itu memakai ponselnya untuk mendengarkan musik."Duh' mas Fatih, giliran penting aja nomornya malah nggak aktif," batin Wulan. Ia pun memilih kembali ke kamarnya.Sedangkan di rumah sakit Fatih yang nampak murung masih terduduk di kursi samping ranjang ibunya. Dengan setia ia menunggu ibunya yang sedang tertidur."Fatih, kamu nggak pulang dulu? Ini kan udah sore, kasian istrimu sendirian dirumah. Biar Mbak
"Bagus! Sebentar lagi kita bisa menguasai semuanya, lebih baik sekarang kamu hubungi Eva. Suruh dia siapkan uangnya sekarang juga, ibu tidak ingin preman-preman itu mengancam ibu lagi, ibu sudah muak dengan ancaman mereka," ujar Bu Ratna memerintah.Sarah pun lantas menelpon mesin uangnya itu, entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas Sarah meminta sejumlah uang dari Eva."Beres, Bu!" ucap Sarah memperlihatkan bukti transferan uang yang dikirim oleh Eva kepadanya.***Fatih memacu mobilnya dengan pikiran kacau, beberapa kali ia hampir menabrak karena tidak fokus mengemudi.Beep! Beep! Beep!Terdengar bunyi klakson mobil di belakang Fatih, saat mobil Fatih tiba-tiba berhenti mendadak."Shit!!" umpat Fatih saat ia hampir saja menyenggol pemotor di depannya.Fatih menarik nafas panjang dan membuangnya secara kasar. "Argh! Kenapa semuanya jadi berantakan begini? Apa yang harus aku katakan pada Wulan? Mana mungkin aku tega menduakannya? Tapi … jika aku tidak bicara dengan Wulan, bagaiman
"Maafkan aku, Lan. Aku tidak ada pilihan, aku tau ini sangat sulit untukmu. Tapi … aku tidak ada pilihan lain. Ibu terus memaksaku untuk memberinya cucu, aku tak mungkin tega memaksamu untuk cepat hamil, itu hanya akan menyakitimu," ucap Fatih menjelaskan."Lantas, apa dengan poligami kamu tidak menyakitiku, Mas?" jawab Wulan terisak."Aku tidak ada pilihan lain aku juga stres! … aku mohon mengertilah dengan posisiku saat ini, hanya ibu orang tua yang aku punya, aku tidak mungkin tega membiarkannya sakit-sakitan seperti ini, aku tidak mau menyesal jika sampai kehilangan ibu. Aku tau perasaanmu' Lan. Mas akan memberimu waktu untuk berfikir," tutur Fatih berusaha menjelaskan.Air mata Wulan terus menetes, Fatih berusaha menenangkan Wulan yang masih terisak. Tangannya berusaha merangkul tubuh Wulan. Namun, seketika istrinya itu pun menepisnya. "Jangan menyentuhku, Mas!""Mas tau ini berat, tapi akan lebih berat lagi jika kamu terus menanggung beban dan tuntutan untuk segera punya anak,
"K-kamu beneran mengijinkan aku untuk poligami?" tanya Fatih memastika. Ia benar-benar tidak menyangka jika Wulan bisa secepat itu mengizinkannya untuk menikah lagi dengan wanita lain.Wulan mengangguk, bibirnya tersenyum getir melihat kenyataan menyedihkan di depan mata."Iya, Mas. Bukankah itu yang kamu inginkan?" jawab Wulan sekuat tenaga menahan tangis. Ia berusaha tegar di hadapan pria yang sudah dua tahun menjadi imamnya itu.'Tapi tidak secepat ini Wulan, kamu bahkan tidak berusaha meminta waktu untuk berfikir. Ada apa denganmu? Apa rasa cintamu padaku sudah habis? Atau jangan-jangan ada pria lain di hati kamu?' Batin Fatih menerka-nerka."Baiklah, jika kamu sudah merestui keputusan poligami itu, nanti akan aku sampaikan pada ibu," ucap Fatih menahan sakit di hatinya. Ada serpihan hati yang terluka saat dengan mudahnya Wulan merestuinya untuk menikah lagi dan membagi cintanya dengan yang lain. Bukankah ini di luar dugaan? Fatih pikir, Wulan butuh waktu yang lama untuk memutuska
Sedangkan di klinik Fatih mulai menceritakan semuanya kepada ibu dan juga kakaknya. Mereka tidak menyangka jika Fatih berhasil membujuk Wulan. Senyum kemenangan terukir di bibir keduanya. Mendengar cerita Fatih Bu Ratna dan Sarah menganggap jika rencana mereka telah berhasil.'Aku tidak menyangka jika si benalu itu akhirnya menyerah juga, aku yakin–dia pasti tidak akan mau di ceraikan oleh Fatih, mau tidur dimana dia jika sampai bercerai dengan anakku? Dia kan orang miskin, yatim piatu. Jangankan tempat tinggal, saudara saja tidak punya,' gumam Bu Ratna dalam hati merasa puas."Syukurlah kalau begitu, itu artinya dia sudah ikhlas menerima Eva sebagai madunya," ucap Bu Ratna."Jadi–kapan rencana pernikahanmu dan Eva di gelar?" tanya Sarah pada adik semata wayangnya itu."Secepatnya! Lebih cepat, lebih baik!" Timpal Bu Ratna mendahului."Gimana kalau setelah ibu pulang dari sini? Nanti Mbak yang memberitahu Eva, biar dia menyiapkan dana nya, untuk acaranya kita gelar di rumah saja, gima
Wulan turun dari taxi online yang mengantarnya. Dengan langkah ragu-ragu ia pun mengetuk pintu kontrakan si Mbok."Non Wulan?" ucap si Mbok terkejut melihat majikannya itu berdiri di depan pintu dengan mata yang sembab dan wajah yang pucat."Ya allah, Non. Non Wulan kenapa? Ayo masuk!" ajak si Mbok. Tangannya mengambil alih tas jinjing di tangan Wulan.Wulan pun duduk di kursi, sedangkan Mbok Romlah bergegas pergi ke dapur untuk mengambil minum."Diminum dulu, Non. Biar tenang,""Terima kasih, Mbok,""Si Non kenapa? Kenapa matanya sembab gitu, Non Wulan habis nangis?" tanya wanita berambut setengah putih itu.Wulan terdiam, ia bingung harus mulai dari mana menceritakan masalahnya pada si Mbok."Non Wulan di jahatin Nyonya besar? Atau–dijahati Non Sarah? Jawab Non, jangan diem saja. Si Mbok jadi bingung, si mbok jadi khawatir,"Wulan menggeleng, perlahan ia membuka mulutnya. Dengan bibir bergetar ia pun menceritakan semua masalah yang menimpanya. "Apa?! T-tuan Fatih mau nikah lagi? No
"Pak Gio?!" ucap Wulan terkejut melihat Gio datang mencarinya.Pria itu menatap Wulan, sorot matanya sangat menyeramkan membuat Wulan takut. Dengan susah payah Wulan berusaha menelan salivanya. "Ikut saya!" Seru Gio penuh penekanan. Matanya nyalang menatap Wulan."M-mau kemana, Pak?" jawab Wulan memberanikan diri untuk bertanya.Gio tidak menjawab. Pria itu menarik tangan Wulan berjalan menuju motornya. Kemudian memasangkan helm berwarna merah itu di kepala Wulan."Naik!" Perintahnya. Dengan perasaan takut Wulan pun bergegas menaiki kendaraan roda dua itu. Dengan kasar Gio pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Rasa takut, khawatir dan kesal bercampur menjadi satu."Kita mau kemana, Pak?" tanya Wulan. Ia benar-benar takut. Bukannya menjawab Gio justru semakin mempercepat laju motornya.Wajah Wulan terasa sakit tersapu angin yang begitu kencang karena helm yang ia pakai tidak memiliki kaca. Wulan menjerit saat dirinya hampir saja terjatuh. "Saya mohon pelan-pelan bawa motor
Luka di wajahnya saja belum hilang, Gio justru membuat luka baru dengan memukulkan tangannya ke tembok."Argh!!" Gio berteriak seperti orang kesetanan. Beberapa kali ia terus melukai dirinya, dan itu membuat Wulan bingung penuh tanya.Dalam hati sejujurnya Wulan sangat kesal dengan perlakuan Gio padanya. Namun, melihat Gio yang melukai dirinya karena merasa bersalah Wulan jadi iba.'Aku yakin, pasti ada yang tidak beres dengan Pak Gio,' batin Wulan."Stop!" teriak Wulan saat Gio menjedotkan kepalanya ke tembok."Saya mohon berhenti! Tolong hentikan semua ini Pak!" ucap Wulan berjalan menghampiri pria itu.Wulan menutup mulutnya, ia begitu terkejut melihat darah yang mengucur dari pelipis Gio."Astagfirullah," bisik Wulan."Maafkan saya, Wulan! Saya khilaf, saya mabuk!" ucap Gio dengan dada naik turun mengatur nafas yang memburu, ia menatap Wulan penuh penyesalan. Rasa kasihan Wulan terhadap Gio jauh lebih besar dibanding dengan rasa kesalnya pada pria misterius ini. Wulan yakin, Gio