Pov DiptaAku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Dada ini rasanya ingin meledak sebab kemarahan yang sulit kukendalikan. Kebohongan Dewi yang terbongkar hari ini benar-benar mengubah cara pandangku terhadapnya.Marah, kecewa, kesal dan sesal berbaur menjadi satu. Lagi, aku ditipu mentah-mentah oleh mantan istriku itu. Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu hingga aku harus dipertemukan dengan wanita seperti dia. Wanita yang dengan mudahnya merancang rencana jahat dengan memanfaatkan janin yang tak berdosa. Benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sipat Dewi dengan Mama Hera ternyata sama, mereka rela melakukan apa saja demi keinginan yang belum tercapai, termasuk menipu dan mengelabui orang lain dengan licik.Sungguh, aku seperti orang bodoh di hadapan mereka. Pria sekelas Dipta Kharisma Darmawan yang merupakan pewaris tunggal dan pemimpin perusahaan, ditipu mentah-mentah oleh dua wanita ular bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Sungg
Aku harus menemui Inaya sekarang juga, Pa. Malam ini aku berangkat ke Sukabumi," terangku pada Papa, sembari mengemasi beberapa potong pakaian untuk ganti di sana. "Kamu yakin dia ada di sana? Memangnya kamu tau letak kampung dan rumahnya?" cecar Papa. "Sangat yakin. Informasi ini aku dapat dari salah satu pegawai di salon milik sahabatnya Inaya. Wanita itu sedang mengunjungi istriku di Sukabumi. Aku ingat pernah ke sana sekali waktu sepupunya Inaya menikah," terangku dengan gerakan tangan yang masih memasukan beberapa pakaian ke dalam tas. "Apa tidak sebaiknya kamu berangkat besok pagi saja? Ini sudah larut. Papa khawatir kalau kamu nyetir sendirian ke sana.""Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Pa. Aku sudah sangat kangen sama istri dan anakku."Papa menghela napas yang terdengar berat. "Setidaknya minta Pak Anton untuk menemanimu ke sana. Biar dia yang nyetir." Papa memberi saran. Jika dipikir-pikir, benar juga. Aku tidak mungkin menyetir sendiri dalam keadaan kalut seperti ini.
"Lho, Mas. Kok malah narik saya ke sini?" Rizki celingukan ketika aku menariknya ke belakang rumah salah satu warga. Beruntung Inaya dan yang lainnya belum menyadari kedatanganku hingga aku bisa bersembunyi lebih dulu. "Ada yang harus saya bicarakan dulu dengan pria itu. Mas Rizki kalau mau pulang, silakan. Tapi saya minta, jangan memberitahu istri saya kalau sekarang saya berada di sini," bisikku sembari menatap sekeliling. Memastikan Akbar dan Meli belum lewat agar nantinya aku bisa bergegas menyusul mereka. "Oh, ya sudah kalau begitu. Saya janji gak akan memberitahu Mbak Inaya. Saya ke rumah dulu ya, Mas. Takut jam makan siang keburu habis.""Silakan, maaf kalau saya merepotkan Mas Rizki.""Gak papa, Mas. Saya justru senang bisa bertemu lagi dengan Mas Dipta."Setelah kepergian Rizki, aku meminta Pak Anton untuk mengikutiku menuju jalan raya, tempat di mana mobil Akbar terparkir di sana. Aku baru menyadari bahwa mobil yang tadi sempat aku lewati adalah mobil sepupuku setelah mel
"Jalan delapan Minggu."Aku mengusap wajah kasar. Berusaha menghilangkan kegusaran setelah mendengar pengakuan Inaya tentang usia kandungannya. Di satu sisi aku bahagia karena akhirnya aku akan kembali menjadi seorang Ayah, tetapi di sisi lain aku kecewa sebab Inaya menyembunyikan kabar kehamilannya. "Sudah dua bulan dan kamu menyembunyikannya dari Mas?" Inaya mendongak. Mata kami beradu tatap untuk sekian detik sebelum dia menunduk lagi. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan kabar ini dari Mas Dipta. Aku juga baru tahu kemarin waktu aku memutuskan diperiksa karena aku sering mual dan pusing," jawabnya masih dengan menunduk. "Lagipula, untuk apa aku menyembunyikan kabar ini kalau pada akhirnya keberadaan anak ini tetap harus diketahui oleh ayahnya. Terlepas dari Mas akan senang atau tidak, aku tetap harus memberitahu," imbuhnya."Kenapa kamu berkata seperti itu, Nay? Mas tentu saja senang mendengar kabar ini. Apa Mas seburuk itu di matamu sampai kamu menduga Mas tidak akan senang d
"Yang sabar, Mas. Papa pasti baik-baik saja." Inaya mengusap bahuku. Setelah mendengar kabar tentang Papa yang mengalami kecelakaan, kami langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya. Dokter mengatakan, Papa mengalami benturan di kepala hingga pihak medis harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika sampai ada hal yang membahayakan, maka Dokter akan langsung melakukan tindakan lanjutan. "Mas tidak pernah menyangka Papa akan mengalami musibah seperti ini. Mas masih ingat, beberapa hari yang lalu Papa sangat bersemangat mempersiapkan acara pengajian untuk calon anak kita. Tapi sekarang, Papa tergolek lemah di dalam sana, Nay. Mas takut ... Papa--""Sstt. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kita berdoa semoga kondisi Papa akan baik-baik saja dan bisa melewati masa kritisnya," tegur istriku. "Aamiin. Terima kasih, Sayang. Mas tidak bisa membayangkan bagaimana menghadapi kejadian ini tanpa kamu di samping Mas. Jangan pernah meninggalkan Mas lagi ya, Nay. Mas sangat membutu
"Dewi?" Aku mematung menatap sosok yang berdiri di hadapanku. Setelah dikabarkan menghilang dan tanpa kabar, kini ia kembali dengan penampilan yang lebih tertutup. Gamis dan jilbab panjang yang ia kenakan hampir saja membuatku tidak mengenalinya. Penampilan Dewi kali ini sangat jauh berbeda dengan Dewi yang dulu lebih suka memakai pakaian yang agak terbuka. "Maaf mengganggu waktunya. Bisakah kita bicara sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan pada Mas Dipta dan Mbak Inaya," ujarnya setelah cukup lama aku membiarkannya berdiri di ambang pintu. Sebenarnya aku ragu untuk membiarkan Dewi masuk ke rumah ini. Kondisi Inaya yang sedang hamil, ditambah ia akan sangat sensitif ketika mendengar apa pun yang berhubungan dengan mantan madunya ini, tentu menjadi bahan pertimbangan untuk mengizinkan Dewi menemui istriku. "Aku mohon, Mas. Aku janji tidak akan lama." Wajah itu memelas. Bisa kulihat sorot penuh harap dari matanya yang nampak sembab. Tidak ada pilihan selain mengizinkan dia masuk.
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir