"Yang sabar, Mas. Papa pasti baik-baik saja." Inaya mengusap bahuku. Setelah mendengar kabar tentang Papa yang mengalami kecelakaan, kami langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya. Dokter mengatakan, Papa mengalami benturan di kepala hingga pihak medis harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika sampai ada hal yang membahayakan, maka Dokter akan langsung melakukan tindakan lanjutan. "Mas tidak pernah menyangka Papa akan mengalami musibah seperti ini. Mas masih ingat, beberapa hari yang lalu Papa sangat bersemangat mempersiapkan acara pengajian untuk calon anak kita. Tapi sekarang, Papa tergolek lemah di dalam sana, Nay. Mas takut ... Papa--""Sstt. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kita berdoa semoga kondisi Papa akan baik-baik saja dan bisa melewati masa kritisnya," tegur istriku. "Aamiin. Terima kasih, Sayang. Mas tidak bisa membayangkan bagaimana menghadapi kejadian ini tanpa kamu di samping Mas. Jangan pernah meninggalkan Mas lagi ya, Nay. Mas sangat membutu
"Dewi?" Aku mematung menatap sosok yang berdiri di hadapanku. Setelah dikabarkan menghilang dan tanpa kabar, kini ia kembali dengan penampilan yang lebih tertutup. Gamis dan jilbab panjang yang ia kenakan hampir saja membuatku tidak mengenalinya. Penampilan Dewi kali ini sangat jauh berbeda dengan Dewi yang dulu lebih suka memakai pakaian yang agak terbuka. "Maaf mengganggu waktunya. Bisakah kita bicara sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan pada Mas Dipta dan Mbak Inaya," ujarnya setelah cukup lama aku membiarkannya berdiri di ambang pintu. Sebenarnya aku ragu untuk membiarkan Dewi masuk ke rumah ini. Kondisi Inaya yang sedang hamil, ditambah ia akan sangat sensitif ketika mendengar apa pun yang berhubungan dengan mantan madunya ini, tentu menjadi bahan pertimbangan untuk mengizinkan Dewi menemui istriku. "Aku mohon, Mas. Aku janji tidak akan lama." Wajah itu memelas. Bisa kulihat sorot penuh harap dari matanya yang nampak sembab. Tidak ada pilihan selain mengizinkan dia masuk.
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir
Lima bulan sudah Inaya terbaring koma di rumah sakit, dan selama itu pula hampir setiap malam aku menungguinya di sana. Aku selalu mengajaknya berbicara, menceritakan perkembangan putra-putri kami yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibunya. Syafa yang hampir setiap hari menanyakan sang Bunda, dan Aqlan yang terpaksa harus minum susu formula. Putra bungsuku itu dirawat oleh seorang Baby Sitter yang dipekerjakan sejak Aqlan keluar dari rumah sakit. Sesekali Ayah Wirya berkunjung ke rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Meski senyum tak pernah lepas dari bibir pria paruh baya itu, tetapi aku tahu, dalam hatinya menyimpan kesedihan yang teramat dalam sebab sang putri yang tak kunjung bangun dari koma. "Tadi Aqlan nangis. Dia gak mau ditinggal kakeknya. Syafa juga begitu. Dia merengek dan membujuk Ayah agar tidak pulang. Mereka sangat dekat dengan kedua kakeknya. Mas sampai kewalahan kalau sudah membujuk mereka, sama susahnya waktu Mas membujuk kamu yang sedang merajuk." Aku te
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya