Pov Dewi"Maaf, Wi, Mama Hera. Saya sudah mengambil keputusan dan tidak akan bisa diubah lagi. Saya memang akan bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi, tetapi bukan dengan merujuknya kembali."Keputusan Mas Dipta memupuskan harapan untuk bisa kembali menjadi istrinya. Aku salah mengira. Ternyata kehadiran anak ini tidak lantas membuatnya berubah pikiran dan mau menerimaku kembali. Ini semua karena Mbak Inaya. Mas Dipta pasti ketakutan istrinya tersebut akan meninggalkannya jika kami rujuk demi anak ini. Sebagai sesama wanita, Mbak Inaya sama sekali tidak mempunyai rasa empati. Dengan pongahnya ia meminta berpisah dari Mas Dipta jika suaminya tersebut merujukku, wanita yang sedang mengandung anak pria itu ... setidaknya seperti itulah kenyataan yang mereka ketahui. Tentang siapa ayah dari janin ini memang hanya aku sendiri yang tahu. Bahkan Mama pun tidak akan pernah kuberitahu sebab kepercayaanku kepada Mama sudah mulai memudar. Aku takut, bisa saja suatu saat ia kelepa
Pov DiptaAku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Dada ini rasanya ingin meledak sebab kemarahan yang sulit kukendalikan. Kebohongan Dewi yang terbongkar hari ini benar-benar mengubah cara pandangku terhadapnya.Marah, kecewa, kesal dan sesal berbaur menjadi satu. Lagi, aku ditipu mentah-mentah oleh mantan istriku itu. Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu hingga aku harus dipertemukan dengan wanita seperti dia. Wanita yang dengan mudahnya merancang rencana jahat dengan memanfaatkan janin yang tak berdosa. Benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sipat Dewi dengan Mama Hera ternyata sama, mereka rela melakukan apa saja demi keinginan yang belum tercapai, termasuk menipu dan mengelabui orang lain dengan licik.Sungguh, aku seperti orang bodoh di hadapan mereka. Pria sekelas Dipta Kharisma Darmawan yang merupakan pewaris tunggal dan pemimpin perusahaan, ditipu mentah-mentah oleh dua wanita ular bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Sungg
Aku harus menemui Inaya sekarang juga, Pa. Malam ini aku berangkat ke Sukabumi," terangku pada Papa, sembari mengemasi beberapa potong pakaian untuk ganti di sana. "Kamu yakin dia ada di sana? Memangnya kamu tau letak kampung dan rumahnya?" cecar Papa. "Sangat yakin. Informasi ini aku dapat dari salah satu pegawai di salon milik sahabatnya Inaya. Wanita itu sedang mengunjungi istriku di Sukabumi. Aku ingat pernah ke sana sekali waktu sepupunya Inaya menikah," terangku dengan gerakan tangan yang masih memasukan beberapa pakaian ke dalam tas. "Apa tidak sebaiknya kamu berangkat besok pagi saja? Ini sudah larut. Papa khawatir kalau kamu nyetir sendirian ke sana.""Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Pa. Aku sudah sangat kangen sama istri dan anakku."Papa menghela napas yang terdengar berat. "Setidaknya minta Pak Anton untuk menemanimu ke sana. Biar dia yang nyetir." Papa memberi saran. Jika dipikir-pikir, benar juga. Aku tidak mungkin menyetir sendiri dalam keadaan kalut seperti ini.
"Lho, Mas. Kok malah narik saya ke sini?" Rizki celingukan ketika aku menariknya ke belakang rumah salah satu warga. Beruntung Inaya dan yang lainnya belum menyadari kedatanganku hingga aku bisa bersembunyi lebih dulu. "Ada yang harus saya bicarakan dulu dengan pria itu. Mas Rizki kalau mau pulang, silakan. Tapi saya minta, jangan memberitahu istri saya kalau sekarang saya berada di sini," bisikku sembari menatap sekeliling. Memastikan Akbar dan Meli belum lewat agar nantinya aku bisa bergegas menyusul mereka. "Oh, ya sudah kalau begitu. Saya janji gak akan memberitahu Mbak Inaya. Saya ke rumah dulu ya, Mas. Takut jam makan siang keburu habis.""Silakan, maaf kalau saya merepotkan Mas Rizki.""Gak papa, Mas. Saya justru senang bisa bertemu lagi dengan Mas Dipta."Setelah kepergian Rizki, aku meminta Pak Anton untuk mengikutiku menuju jalan raya, tempat di mana mobil Akbar terparkir di sana. Aku baru menyadari bahwa mobil yang tadi sempat aku lewati adalah mobil sepupuku setelah mel
"Jalan delapan Minggu."Aku mengusap wajah kasar. Berusaha menghilangkan kegusaran setelah mendengar pengakuan Inaya tentang usia kandungannya. Di satu sisi aku bahagia karena akhirnya aku akan kembali menjadi seorang Ayah, tetapi di sisi lain aku kecewa sebab Inaya menyembunyikan kabar kehamilannya. "Sudah dua bulan dan kamu menyembunyikannya dari Mas?" Inaya mendongak. Mata kami beradu tatap untuk sekian detik sebelum dia menunduk lagi. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan kabar ini dari Mas Dipta. Aku juga baru tahu kemarin waktu aku memutuskan diperiksa karena aku sering mual dan pusing," jawabnya masih dengan menunduk. "Lagipula, untuk apa aku menyembunyikan kabar ini kalau pada akhirnya keberadaan anak ini tetap harus diketahui oleh ayahnya. Terlepas dari Mas akan senang atau tidak, aku tetap harus memberitahu," imbuhnya."Kenapa kamu berkata seperti itu, Nay? Mas tentu saja senang mendengar kabar ini. Apa Mas seburuk itu di matamu sampai kamu menduga Mas tidak akan senang d
"Yang sabar, Mas. Papa pasti baik-baik saja." Inaya mengusap bahuku. Setelah mendengar kabar tentang Papa yang mengalami kecelakaan, kami langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya. Dokter mengatakan, Papa mengalami benturan di kepala hingga pihak medis harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika sampai ada hal yang membahayakan, maka Dokter akan langsung melakukan tindakan lanjutan. "Mas tidak pernah menyangka Papa akan mengalami musibah seperti ini. Mas masih ingat, beberapa hari yang lalu Papa sangat bersemangat mempersiapkan acara pengajian untuk calon anak kita. Tapi sekarang, Papa tergolek lemah di dalam sana, Nay. Mas takut ... Papa--""Sstt. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kita berdoa semoga kondisi Papa akan baik-baik saja dan bisa melewati masa kritisnya," tegur istriku. "Aamiin. Terima kasih, Sayang. Mas tidak bisa membayangkan bagaimana menghadapi kejadian ini tanpa kamu di samping Mas. Jangan pernah meninggalkan Mas lagi ya, Nay. Mas sangat membutu
"Dewi?" Aku mematung menatap sosok yang berdiri di hadapanku. Setelah dikabarkan menghilang dan tanpa kabar, kini ia kembali dengan penampilan yang lebih tertutup. Gamis dan jilbab panjang yang ia kenakan hampir saja membuatku tidak mengenalinya. Penampilan Dewi kali ini sangat jauh berbeda dengan Dewi yang dulu lebih suka memakai pakaian yang agak terbuka. "Maaf mengganggu waktunya. Bisakah kita bicara sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan pada Mas Dipta dan Mbak Inaya," ujarnya setelah cukup lama aku membiarkannya berdiri di ambang pintu. Sebenarnya aku ragu untuk membiarkan Dewi masuk ke rumah ini. Kondisi Inaya yang sedang hamil, ditambah ia akan sangat sensitif ketika mendengar apa pun yang berhubungan dengan mantan madunya ini, tentu menjadi bahan pertimbangan untuk mengizinkan Dewi menemui istriku. "Aku mohon, Mas. Aku janji tidak akan lama." Wajah itu memelas. Bisa kulihat sorot penuh harap dari matanya yang nampak sembab. Tidak ada pilihan selain mengizinkan dia masuk.
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu
"Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a
Lima bulan sudah Inaya terbaring koma di rumah sakit, dan selama itu pula hampir setiap malam aku menungguinya di sana. Aku selalu mengajaknya berbicara, menceritakan perkembangan putra-putri kami yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibunya. Syafa yang hampir setiap hari menanyakan sang Bunda, dan Aqlan yang terpaksa harus minum susu formula. Putra bungsuku itu dirawat oleh seorang Baby Sitter yang dipekerjakan sejak Aqlan keluar dari rumah sakit. Sesekali Ayah Wirya berkunjung ke rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Meski senyum tak pernah lepas dari bibir pria paruh baya itu, tetapi aku tahu, dalam hatinya menyimpan kesedihan yang teramat dalam sebab sang putri yang tak kunjung bangun dari koma. "Tadi Aqlan nangis. Dia gak mau ditinggal kakeknya. Syafa juga begitu. Dia merengek dan membujuk Ayah agar tidak pulang. Mereka sangat dekat dengan kedua kakeknya. Mas sampai kewalahan kalau sudah membujuk mereka, sama susahnya waktu Mas membujuk kamu yang sedang merajuk." Aku te
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu