"Ya, jangan merajuk lah, Bang!" Siti Hapsari memasang wajah cemberut. "Abang ini galak kali sama Siti. Apa salah Siti, Bang? Kalau tidak demi kebahagiaan Ayah pun tidak sudi Siti menikah dengan Abang. Abang kira Siti senang? Tidak, Bang!" Siti Hapsari pura-pura beringsut menjauh dari Kama. "Sebetulnya Siti pun sudah ada Bang Syamsul, kekasih Siti sejak sama-sama SMU dulu. Bukan hanya Abang yang sudah punya Seika, betul." Serta merta Kama bangkit dari tempat tidur. Antara sadar dan tidak, menggapai tangan Siti Hapsari yang halus, lembut, wangi. Menariknya hingga tubuh tinggi semampai sexy dalam balutan lingerie biru langit itu terjatuh ke dalam pelukan bidangnya. "Ti, jawab pertanyaanku sekarang!" Takut, senang, dipenuhi gairah Siti Hapsari mengangguk kecil. Tersenyum tegar. "Kita sama-sama terpaksa menjalani pernikahan ini, apa kau yakin kita bisa bertahan?" Seisi dada Siti Hapsari bergemuruh demi mendengar pertanyaan Kama. Apa kita bisa kita bertahan? Oh, sungguh Siti Hapsari t
"Oh, my God!" William menepuk-nepuk dadanya kirinya. Dia baru saja sampai di Bakso Bathok, menyusul calon isteri tercinta dan adik sepupu tersayang. "Anda berdua suka membuat saya terkena heart attack, ya?" selorohnya sambil menghempaskan tubuh di depan Welas. Bukannya merasa bersalah saya bagaimana dua orang yang sangat penting dan berharga dalam hidupnya itu malah tertawa lirih, cekikikan. William menggeleng-gelengkan kepala keheranan, tentu saja. Kompak sekali dua sahabat dekat itu! Sayang, kadang-kadang kekompakannya di luar malaria manusia. Seperti ini misalnya, tertawa senang di atas penderitaan orang yang benar-benar care. "William … Mau minum apa, mau makan bakso juga?" Welas bertanya masih sambil tertawa. "Aku pesankan nanti." Lagi, William menggeleng-gelengkan kepala tetapi kali ini sambil mencuil pucuk dagu Welas. Sayang, gemas. "Kopi hitam pahit sama bakso kuah plus pangsit." "Malu ah, William?" Welas menjauhkan wajah dari sang Pujaan Hati. "Oke, aku pesankan dulu ya, k
"Kalian tahu nggak, kenapa aku cinta banget sama Kama?" Seika tersenyum sedih, hancur. "Cinta mati, bahkan." lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala lemah. William dan Welas saling pandang, sama-sama tersenyum empatik tetapi tak secuil kecil kata pun tergetar dari bibir mereka. Hanya diam, menunggu apa yang akan diungkapkan Seika pagi setelah ini. Berharap semoga dengan sharing seperti ini keadaan Seika semakin membaik. "I didn't know why … Yakin, kalau Kama adalah pribadi yang baik, setia, tulus, jujur, bertanggung jawab." terbata-bata Seika mengungkapkan seluruh isi hatinya. "Rasanya tak percaya, masih seperti mimpi bahwa ternyata dia sanggup berkata dusta, ingkar dan puncaknya adalah berkhianat. Oh, my God! Apa yang ada dalam benak Kama waktu itu ya William, Welas? Ck, semudah itu dia meninggalkan aku!" "Dan dia pasti akan menyesal seumur hidupnya, Sei!" simpul Welas sambil merapatkan selimut Seika hingga ke leher. "Jangankan kamu Sei, aku saja yang hanya kolega, nggak nya
"Noni …?" Bibi menyambut kepulangan Seika dari rumah sakit dengan mata berbinar, wajah berseri-seri. "Oh Noni, selamat datang di rumah kembali dan jangan pernah jadi pasien di rumah sakit lagi. Oh, Bibi sedih sekali Noni sakit." Seika tersenyum, berjalan gontai di antara Welas dan William yang terus menjaga tanpa kenal lelah. "Seika nggak apa-apa kok, Bi. Nih, sudah sembuh. Hahahaha, sebenarnya Seika sudah nggak betah di sana tapi dokter mengharuskan sampai infus habis. Hehehehe, orang sehat kok, dirawat inap?" Gemas, Bibi menarik pucuk hidung Seika. "Makanya Noni jangan nakal, nurut apa kata Bibi. Bandel sih, pakai ke pergi ke pantai segala. Tanpa izin Bibi lagi, kan?" Welas, William dan Seika tertawa lepas. Bibi ikut tertawa diikuti oleh Pak Gading. Pak Raka sudah habis masa kontrak kerjanya, sudah tidak di sini lagi. Kalau masih ada, wah, bisa-bisa ruang tamu ini lebih meriah lagi. Sayang, Pak Gading juga sudah harus berhenti pekan depan tetapi sepertinya William mau menawarkan
"Oh, oke." sahut William lembut, tegas sekaligus khawatir. "Aku segera pulang. Tolong temani Welas sebentar ya, Seika?" "Oke, William. Aku balik ke ruang keluarga lagi." Seika turun dari ayunan. "Kamu jangan lama-lama, ya?" William menyahut oke lalu memutuskan sambungan telepon. Sekarang, Seika berderap menuruni anak tangga, kembali ke ruang keluarga. "Welas, gimana?" Seika to the point, memperhatikan Welas dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak apa-apa, kan?" Welas menghela napas panjang, mengusap-usap pinggul. "Nggak Sei, cuman pinggangnya pegel banget." Seika menggigit bibir bawah kuat-kuat. "Oh, mau aku bantu usap-usap? Emh, pakai minyak zaitun ya biar lebih nyaman?" Welas mengangguk. "Aku tiduran miring di sofa saja ya, Sei?" "Oke, Welas. Sebentar ya aku ambil minyak zaitunnya di kotak P3K dulu?" "Oke, Sei." Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Seika berjalan ke wastafel samping kamar mandi tamu. Kotak P3K tergantung di sana. "Minyak zaitun, minyak zaitun … Nah,
"Ah kau, Ti!" Kama tak mampu mencegah dirinya sendiri untuk tidak kesal. "Suka kali lah mereka-reka cerita tentang Seika Eline. Suka kali kau tengok aku menderita. Apa kau pun ingin tengok aku hancur berkalang tanah, Ti? Sangsi aku Ti, dengan semua sikap baik kau selama ini. Jangan-jangan semua itu hanyalah sandiwara belaka?" Mengunduh respon seperti itu dari suaminya, Siti Hapsari mengurungkan niat untuk menunjukkan di mana Seika Eline berada, tentu saja. Nanti, kalau betul-betul Kama jatuh pingsan dan tak pernah bangun lagi, bagaimana? Mengerikan, menyedihkan sekali rasanya menjadi janda saat hamil tua seperti sekarang ini. Ya, dalam keadaan tidak mengandung pun kalau bisa jangan sampai. "Ya nggak lho, Bang." Siti Hapsari berusaha untuk menetralisir suasana. "Yang Siti minta Bang, kita sama-sama panjang umur murah rezeki. Berkah melimpah ruah, Bang. Bukan macam Abang cakap tadi." Kama tersenyum sedih. "Ya sudah yuk Ti, kita belanja lagi. Apa saja tadi yang belum terbeli? Kain bed
"Tolong bebaskan saya, Menir Willy!" Derya semakin meradang. Resmi sudah dia menjadi narapidana dan terpaksa mendekam di hotel prodeo. Sebongkah penyesalan yang kini mengisi hatinya pun sudah tiada berguna lagi. William berkeras, bersikukuh dengan segala tuntutannya. Bagaimana mungkin Derya berkelit dari pasal berlapis yang begitu kuat menjeratnya? "Hanya Menir Willy yang bisa membebaskan saya. Tolong Menir Willy, saya mohon!" Melihat Derya yang terlihat seperti cacing kepanasan, William tersenyum simpul. "Sorry Derya, saya tidak bisa menolong Anda. Ini adalah keadilan terbaik untuk kita. Semoga Anda bisa banyak belajar dari kejadian ini." Derya masih belum menyerah, terus memohon supaya William membebaskannya. "Saya tahu Menir Willy tapi saya mohon … Saya janji, ketika bebas nanti saya tidak akan mengusik ketenangan hidup keluarga almarhum Menir Hank lagi. Sungguh menir Willy, saya mohon." "Kalau begitu, sampai jumpa tiga puluh enam tahun lagi, Derya!" cakap William penuh keyakin
"OK, no problem jika keputusan kamu sudah bulat, Hiranur." William mencoba menenangkan Hiranur. Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dalam hati bergumam gembira, karena masih ada waktu sekitar sepuluh menit lagi untuk berbicara dengannya. "Saya hanya memberikan pengarahan saja, kok. Kamu tidak harus mengikutinya karena saya percaya kamu lebih memahami situasi dan kondisinya dari pada saya. Saya harap pengunduran diri kamu ini adalah keputusan yang tepat, Hiranur." Tangis Hiranur sudah menyusut, sudah tidak terlalu sulit untuk berbicara namun masih diam. Entah mengapa, berat rasanya untuk melanjutkan langkah. Berat sekali rasanya untuk menekan tombol pengunduran diri yang dia ciptakan sendiri. Hiranur semakin bingung dan ketakutan. "Hiranur, apakah kamu baik-baik saja?" "Emh ya, Pak William." William memperhatikan Hiranur lebih dalam lagi. "Jadi, apa keputusan kamu? Saya masih menunggu, masih ada sekitar delapan menit lagi. Saya sudah berjanji pada Welas
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!