"Tolong bebaskan saya, Menir Willy!" Derya semakin meradang. Resmi sudah dia menjadi narapidana dan terpaksa mendekam di hotel prodeo. Sebongkah penyesalan yang kini mengisi hatinya pun sudah tiada berguna lagi. William berkeras, bersikukuh dengan segala tuntutannya. Bagaimana mungkin Derya berkelit dari pasal berlapis yang begitu kuat menjeratnya? "Hanya Menir Willy yang bisa membebaskan saya. Tolong Menir Willy, saya mohon!" Melihat Derya yang terlihat seperti cacing kepanasan, William tersenyum simpul. "Sorry Derya, saya tidak bisa menolong Anda. Ini adalah keadilan terbaik untuk kita. Semoga Anda bisa banyak belajar dari kejadian ini." Derya masih belum menyerah, terus memohon supaya William membebaskannya. "Saya tahu Menir Willy tapi saya mohon … Saya janji, ketika bebas nanti saya tidak akan mengusik ketenangan hidup keluarga almarhum Menir Hank lagi. Sungguh menir Willy, saya mohon." "Kalau begitu, sampai jumpa tiga puluh enam tahun lagi, Derya!" cakap William penuh keyakin
"OK, no problem jika keputusan kamu sudah bulat, Hiranur." William mencoba menenangkan Hiranur. Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dalam hati bergumam gembira, karena masih ada waktu sekitar sepuluh menit lagi untuk berbicara dengannya. "Saya hanya memberikan pengarahan saja, kok. Kamu tidak harus mengikutinya karena saya percaya kamu lebih memahami situasi dan kondisinya dari pada saya. Saya harap pengunduran diri kamu ini adalah keputusan yang tepat, Hiranur." Tangis Hiranur sudah menyusut, sudah tidak terlalu sulit untuk berbicara namun masih diam. Entah mengapa, berat rasanya untuk melanjutkan langkah. Berat sekali rasanya untuk menekan tombol pengunduran diri yang dia ciptakan sendiri. Hiranur semakin bingung dan ketakutan. "Hiranur, apakah kamu baik-baik saja?" "Emh ya, Pak William." William memperhatikan Hiranur lebih dalam lagi. "Jadi, apa keputusan kamu? Saya masih menunggu, masih ada sekitar delapan menit lagi. Saya sudah berjanji pada Welas
"El … Eline!" panggil Kama sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. "Seika Eline!" panggilnya lagi dengan raut wajah dipenuhi rindu. Hatinya berdebar-debar hebat, sementara jantung berdegup sangat kencang. Lebih kencang dari pada genderang mau perang. "Seika Eline!" Merasa ada yang memanggil, Seika menghentikan langkah persis di depan pintu utama toko buku LOVE READING. Memutar setengah badan, menghadap ke belakang dan sedikit menyesal. Jika tahu yang memanggil itu tadi Kama, mustahil dia menyisihkan waktu. "Aduh, gimana ceritanya sih, aku bisa pangling suara Kama? Apakah ini definisi mengukur dalam-dalam segala kenangan bersamanya?" Seika bergumam dalam hati. "Oh, hai, El!" Kama mendahului menyapa, memaksa henti gemuruh di rongga dada. "Maaf kalau aku ganggu, El?" Seika benar-benar menghadap Kama sekarang. Mengulum senyum sopan santun. "Ada perlu apa, Kama?" Kama menangkupkan tangan di dada. Tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas yang baru saja diberikan Seika. "P
"Sei, Seika!" Welas mengulangi panggilan, "Kamu tidur?" Seika tetap diam, meringkuk di tempat tidur. Mendekap bayang-bayang Kama yang begitu jelas berbaring di sampingnya. Seakan-akan itu bukan bayangan, Seika meletakkan kepala di dada bidangnya sambil berbisik lirih memanggil, "Kama … Kenapa semua ini harus terjadi, Kama? Sekarang aku nggak berani lagi untuk mengatakan cinta atau perasaan apa pun yang ada dalam diriku padamu. Nggak berani Kama, karena tahu ada Siti Hapsari yang harus kamu jaga dengan sebaik-baiknya. Maafkan aku Kama, maafkan aku. Tak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa berhenti mencintai kamu!" Untuk memastikan apakah Seika tidur atau terjaga tetapi tak mendengar panggilannya, Welas mengetuk pintu sekali lagi. "Sei!" Tok, tok, tok! "Sei?" "Kenapa Welas, ada apa?" William yang khawatir akan kondisi adik sepupunya menyusul Welas. Mendekatkan telinga ke daun pintu kamar Seika. Welas menggeleng-gelengkan kepala, berbisik lirih, "Dari tadi nggak ada sahu
"Hai, Eline!" Pagi-pagi sekali, Leon sudah bertandang ke rumah Seika. Misi utamanya untuk mengetahui bagaimana keadaan sang Pujaan Hati. Berikutnya, memperkuat usaha untuk mendapatkan seluruh cintanya. "This is for you." penuh keyakinan Leon menyerahkan buket tulip putih padanya. "Specially, lovely for you." selain buket tulip putih---bunga favorit Seika---Leon juga menyerahkan senyum paling manis yang dia miliki. Senyum paling tulus. Sayang, tak seperti yang diharapkan Leon, Seika justru terlihat tidak senang, membuang muka. Menyedekapkan tangan sebagai pertanda bahwa dia tak bisa menerima pemberian Leon. "Eline …?" tak patah arang, Leon berjalan ke hadapan Seika, mengangsurkan buket cantiknya. "Tolong terima, ya?" pemilik cinta tulus murni pada Seika itu lalu mengulum senyum manis. Meskipun pedih di dalam tetapi tak ingin menunjukkan rasa itu padanya. Cukup dirinya. "Sorry, Leon …!" "Tapi kenapa, Eline?" Leon tersenyum getir. Tanpa senyuman Seika menggeleng-gelengkan ke
"Aku, apakah aku menyukai Leon?" Seika membalikkan pertanyaan, membuat William tersenyum setengah mengerling. "Ya." sahut William sambil mencuil pucuk dagu adik sepupu tersayangnya itu. "Kamu menyukainya, bukan?" Malu-malu, Seika memalingkan wajah yang sudah bersemburat merah. Menggeleng-gelengkan kepala tetapi bukan berarti tidak. Mati-matian Seika menyembunyikan perasaan yang sebenarnya pada Leon. Bukan ingin membohongi William atau semacamnya tetapi masih malu untuk mengakui. Masih ragu juga, karena di separuh hatinya masih ada Kama. "Ayolah Seika, kita bukan anak kecil lagi!" "Ya, aku tahu." "Jadi?" "Apanya?" "Hahahaha Seika, Seika! Jangan kamu pikir kakak sepupu kamu ini bodoh, ya? Kalau nggak ada perasaan apa pun pada Leon, kenapa harus marah ketika Welas terlambat memberi ta---" Seika memangkas kata-kata William dengan sempurna. "Aku nggak suka dibohongi, William. Kamu tahu, kan?" Giliran William menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak Seika, Welas tidak berbohong. Dia
"Maksud kamu, El?" Kama benar-benar tersentak dengan permintaan Seika. Sudah hampir satu tahun berlalu sejak perjodohan gila itu memberai ikatan cinta mereka dan baru sekarang Seika bertekad melakukannya. "Menemui Mamak, untuk …?" Seika tersenyum getir. "Untuk mencari jawaban kenapa begitu teganya Beliau mencampakkan aku begitu saja. Apa Mamak lupa, satu set perhiasannya bahkan masih kusimpan dengan rapi. Kujaga dengan baik sebagaimana pesannya Beliau dulu. Kama, tolong jawab aku, sebenarnya ada apa?" Kama menggeleng-gelengkan kepala, menyapu air mata yang memaksa menetes di wajah. "Aku juga nggak tahu El, sungguh. Semua terjadi begitu saja, bahkan Mamak sampai hati memalsukan kematiannya, kamu ingat?" "Ya. Aku ingat, Kama dan itulah mengapa aku berpikir harus menemui Mamak. Berbicara empat mata dengan Beliau. Meskipun itu takkan merubah kenyataan, setidaknya hati ini menjadi lega setelah tahu hal apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana, Kama?" Kama terdiam, tentu saja. Kebingun
Tok, tok, tok! "Assalamu'alaikum!" lirih karena takut Hiranur mengucapkan salam setelah Seika mengetuk pintu rumah Mamak dengan penuh keyakinan yang memancar di mata blue ocean miliknya. "Assalamu'alaikum, Mak Cik!" Kikuk, Hiranur melirik ke arah Seika yang berdiri tegak di sebelah kirinya. "Semoga ada di rumah ya, Seika?" Seika mengangguk, tersenyum optimis. Jangankan Kama, Welas dan William, seisi dunia pun takkan mampu menghalangi tekadnya. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi dia harus tetap ke sini, menjumpai Mamak. Titik. Sebenarnya Hiranur merasa sungkan menemani Seika ke rumah Mamak tetapi Seika memohon, memelas. Jelas, jika tidak karena berhutang budi pada Menir Hank yang berarti ayah kandung Seika, tidak mungkin bersusah payah seperti ini. Bukan hanya sakit baginya jika harus berhadapan dengan Mamak. Terlebih ketika Mamak memuji-muji Siti Hapsari sampai setinggi langit, setiap kali mereka berjumpa dan ada kesempatan berbicara. Wah, Hiranur seperti tercabik-cabik. "Mak C
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!