“Ohhh ... datang kat sini nak off-road? Bukan nak termui istri kah?” “Dua-duanya lah.” “Hih!” Alina marah, tapi dia menarik tanganku dan menciumnya. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Menyediakan minum dan lainnya. Aku mengobrol dengan ibu dan bapak mertua seperti keluarga pada umumnya. Bapak mertua sangat antusias bertanya tentang rencana offroad kami. Beliau malah ingin ikut. “Bapak ikut sama saya esok.” “Siap.” “Tak boleh. Bahaya!” timpal Alina ketus. “Ni bukan off-road ekstrem lah. Ringan je. Kami hanya menyusuri hutan tanpa hambatan, and berhenti di kali.” “Di kali?” Alina mengernyit. “Hmm... yang dulu pernah kita lihat.” “Kali yang itu?” Dia seperti tertarik. “Adik nak ikut? Tempat main adik di hutan, sawah, kali kan?” “Tak!” Alina masih ketus. ** Malamnya aku dan Alina hanya duduk diam-diaman. Menonton TV dan tidak melakukan apa pun. Kami duduk satu sofa, tapi rasanya sangat jauh. Wanita di sampingku ini sangat cantik dengan potongan rambut yang baru. Mahkota yan
Pov Alina Aku terpana melihat rombongan mobil monster itu datang. Banyak tetangga yang sengaja keluar rumah karena sangat menyita perhatian. Mana berhenti di jalanan depan rumah pula. Wanita mana yang tak marah. Katanya ingin disambut. Diberi pelayanan terbaik. Aku sudah siap-siap mempercantik diri dari kemarin tak tahunya malah bawa teman. Kesal, sungguh. Bukan main. Dua hari aku menghabiskan waktu di salon. Lah dia pulang malah mau offroad. Awalnya mau kubiarkan dia sampai pagi. Biar kapok maksudnya. Tapi tak tega melihat dia yang pasrah menunduk sambil melihat meja saat kuomeli. Padahal ponselnya menyala berkali-kali, tetapi abang diamkan saja. Pada akhirnya, aku yang luluh dan mengajaknya melakukan apa yang dia minta kemarin. Bertemu setiap hari dan bertemu dua minggu sekali itu berbeda. Ada rindu yang menyelimuti kami dan itu sungguh indah. Rindu kadang membuat tersiksa. Membuat pemiliknya merana. Namun, juga membawa bahagia yang berbeda. Paginya abang pergi offroad bersam
Selesai makan, aku dan Abang menonton di lantai dua. Chacha ikut duduk di antara kami. Aku menyisir rambut Chacha yang panjang. Kuikat dua lalu kukepang. Chacha bercermin dari kaca kecil. Dia komplain tidak mau diikat begitu. “Chacha maunya. Semua,” katanya dengan peragaan tangan yang seolah membuat lingkaran besar. “Dali atas sampai bawah.” “Oke, mudah je.” “Tante kayak upin-ipin.” Chacha terkekeh. “Ayam goreng? Betul, betul, betul.” Chacha semakin terpingkal. Kuganti gaya rambut Chacha menjadi kepangan dari atas sampai bawah. “Comel awak, Cha. Bak gadis desa lah.” “Tante bicala apa.” “Kamu kok cadel terus sih, kapan bisa bilang R. Zikri perasaan udah bisa bilang R, umur segini. Eh, tapi orang sana gak jelas sih R nya. Iya kan, Abang?” Bang Rasya yang sedang melihat ponsel diam saja. "Abang?" Dia melirik. “Hm?” Alisnya terangkat. “Sedang apa sih? Chat-an sama Aisha?” “Tak, teman Abang di Amerika.” Aku lanjut memainkan rambut Chacha. Abang menyimpan ponselnya dan ikut mem
Pov Alina Aku tahu, Bang Rasya hanya tak ingin melihat gurat kesedihan di wajahku, jadi dia menawarkan solusi yang sesungguhnya tak mungkin. Dia mengajakku pulang ke KL dan menjalankan program bayi tabung. Padahal waktu, tubuh, dan hatinya sedang terbagi. Menjalankan program bayi tabung dalam kondisi berbagi suami ... Oh, tidak. Aku tak akan siap. Takut ujung-ujungnya malah gagal. Dan itu pasti akan membuat lebih terluka. Dua minggu sebelumnya mungkin aku bisa mengalihkan perhatian dari pikiran-pikiran negatif, karena GAR sedang sibuk menyambut tahun baru. Tapi kalau di sana, meski beda rumah, rasanya belum bisa. "Abang ada rencana. Nak buat dekor rumah baru." Pria ini bicara sambil mengusap kepalaku. "Nak abang penggal rumah itu sekaligus halamannya. Lalu abang buat pagar tinggi. Next, adik tak kan bisa lihat Abang masuk ke gerbang rumah Aisha. Pun sebaliknya." Aku yang sedang tidur berbantalkan paha abang menimpali, "Jadi kami tetap di rumah itu. Tapi abang nak dibuat jadi du
Tanggal 30 Januari WHO menetapkan wabah itu menjadi darurat kesehatan. Waktu berjalan. Virus itu bertandang ke berbagai negara lewat pergerakan orang. AS bahkan menolak WNA yang telah melakukan perjalanan dari China. Tanggal 7 Februari Abang masih pulang. Tapi waktunya sudah semakin sibuk. Tak ada masa romantis-romantisan dan main-main. Aku yang memutuskan untuk kembali, tentu harus menerima semua konsekuensinya. Suamiku memang seperti ini, ada kalanya dia memiliki waktu longgar dan sangat perhatian. Ada kalanya dia tak bisa diusik sama sekali. Kami hampir tidak punya waktu siang yang romantis. Hanya saat malam, ketika dia mungkin terlalu tegang dengan pekerjaannya. Abang akan menghampiriku untuk melemaskan otot-ototnya. Itu pun hanya untuk memuaskan dirinya sendiri. Parahnya. Sebagai perempuan aku hanya bisa berlapang dada saat dalam kondisi seperti ini. Begitu banyak orang yang bergantung padanya menuntutku untuk kuat diterpa cobaan. "Jadi rencana renovasi rumah macam mana?" A
Pov Teuku Arasya “Abang, mari berpisah!” Alina bicara dengan nadanya yang lemas. Ada keputusasaan di sana. Aku terbatuk-batuk. “Jom!” jawabku tak kalah lemas. Alina terlihat sedikit mengulas senyum. Bukan senyuman bahagia melainkan senyum miris. “Baiklah, biar saya yang menggugat ke pengadilan.” Rautnya datar. “Tak perlu repot-repot. Tunggu Abang je.” Aku menjeda. Meminum air di meja, dan menyimpannya hati-hati. “Tunggu Abang mati.” Aku terbatuk lagi. Kuraba tenggorokan yang semakin sakit. Alina mengernyit. Alisnya hampir bertautan. “Saya bukan sedang membuat lelucon. Saya serius.” Aku mengangguk yakin. “Abang serius pun. Paru abang sudah cedera dari dulu. And Abang sekarang terkena covid. Tinggal tunggu mati lah.” Aku terbatuk lagi. Setelah hampir sepuluh bulan aku terhindar dari wabah itu, ternyata sekarang terkena juga. Aku memang tak bisa hanya diam di rumah, selalu ada keperluan yang mengharuskan keluar. Apa lagi November ini lonjakan kasus sedang tinggi. Sampai seribu p
Aku teringat kejadian paling buruk dalam setahun ini. Hari itu, aku sedang membaca berkas di kamar Aisha. Lalu Azka mengajakku bermain basket. Kulupakan berkas itu sesaat. Menyimpan di meja dan berpesan pada Aisha untuk menyimpannya ke ruang kerja. Berkas itu memang penting. Tender milyaran yang mungkin akan kembali menaikkan usaha setelah pandemi. Aku percaya pada Aisha. Kubiarkan berkas itu untuk dia amankan. Sementara aku bermain basket dengan Azka di lapangan belakang rumah. Tibalah di malam hari. Aku akan mempelajari berkas itu lagi. Kucari di meja kerja tapi tidak ada. "Adik, berkas yang tadi abang simpan di meja kat mana?" Aku membangunkan Aisha yang sudah tertidur. Kalau tidak penting, aku tak akan membangunkannya. Namun, ini penting, jadi terpaksa. Aisha terbangun dan seperti orang ling-lung. Diam. Memegangi kepala dan menggeleng. "Berkas apa?" "Berkas yang Abang simpan di meja." "Yang mana?" "Abang tadi berpesan, tolong simpan di ruang kerja Abang. Tak disimpan kah?
Pov Alina Di balkon ini, kuedarkan pandangan pada jalanan yang sepi. Sesekali kendaraan lewat dengan pengendaranya yang tertutup setengah wajah. Di seberang rumahku ini, ada rumah penduduk lain. Berjejer dua baris saja. Belakangnya sawah. Bisa kulihat hamparan luas padi yang baru ditanam itu. Memanjang sampai ke kaki bukit sana. Di atasnya, langit biru nan cerah. Kusimpan ponsel di meja. Baru saja aku gunakan benda ini untuk menelepon Bang Rasya. Mengajaknya mengakhiri pernikahan, tapi ternyata Abang sedang terkena covid. Andai kata ada tempat untuk membuang cinta. Akan kuhempaskan semua rasa dalam dada. Biar kubuang jauh agar tak lagi tersiksa. Sering kusesali kenapa punya hati yang begitu lemah. Dulu saat bersama Wisnu, aku hampir gila karena dia selingkuh. Padahal bila direnungi, siapa sih dia, punya apa? Tidak ada. Lalu kisahku dengan Bang Rasya saat ini. Oke lah dia tampan, kaya, baik. Tapi dia punya istri lain, dan hubungan kami sedang tidak baik. Alih-alih bahagia, yang ad
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku