Pov Teuku Arasya “Abang, mari berpisah!” Alina bicara dengan nadanya yang lemas. Ada keputusasaan di sana. Aku terbatuk-batuk. “Jom!” jawabku tak kalah lemas. Alina terlihat sedikit mengulas senyum. Bukan senyuman bahagia melainkan senyum miris. “Baiklah, biar saya yang menggugat ke pengadilan.” Rautnya datar. “Tak perlu repot-repot. Tunggu Abang je.” Aku menjeda. Meminum air di meja, dan menyimpannya hati-hati. “Tunggu Abang mati.” Aku terbatuk lagi. Kuraba tenggorokan yang semakin sakit. Alina mengernyit. Alisnya hampir bertautan. “Saya bukan sedang membuat lelucon. Saya serius.” Aku mengangguk yakin. “Abang serius pun. Paru abang sudah cedera dari dulu. And Abang sekarang terkena covid. Tinggal tunggu mati lah.” Aku terbatuk lagi. Setelah hampir sepuluh bulan aku terhindar dari wabah itu, ternyata sekarang terkena juga. Aku memang tak bisa hanya diam di rumah, selalu ada keperluan yang mengharuskan keluar. Apa lagi November ini lonjakan kasus sedang tinggi. Sampai seribu p
Aku teringat kejadian paling buruk dalam setahun ini. Hari itu, aku sedang membaca berkas di kamar Aisha. Lalu Azka mengajakku bermain basket. Kulupakan berkas itu sesaat. Menyimpan di meja dan berpesan pada Aisha untuk menyimpannya ke ruang kerja. Berkas itu memang penting. Tender milyaran yang mungkin akan kembali menaikkan usaha setelah pandemi. Aku percaya pada Aisha. Kubiarkan berkas itu untuk dia amankan. Sementara aku bermain basket dengan Azka di lapangan belakang rumah. Tibalah di malam hari. Aku akan mempelajari berkas itu lagi. Kucari di meja kerja tapi tidak ada. "Adik, berkas yang tadi abang simpan di meja kat mana?" Aku membangunkan Aisha yang sudah tertidur. Kalau tidak penting, aku tak akan membangunkannya. Namun, ini penting, jadi terpaksa. Aisha terbangun dan seperti orang ling-lung. Diam. Memegangi kepala dan menggeleng. "Berkas apa?" "Berkas yang Abang simpan di meja." "Yang mana?" "Abang tadi berpesan, tolong simpan di ruang kerja Abang. Tak disimpan kah?
Pov Alina Di balkon ini, kuedarkan pandangan pada jalanan yang sepi. Sesekali kendaraan lewat dengan pengendaranya yang tertutup setengah wajah. Di seberang rumahku ini, ada rumah penduduk lain. Berjejer dua baris saja. Belakangnya sawah. Bisa kulihat hamparan luas padi yang baru ditanam itu. Memanjang sampai ke kaki bukit sana. Di atasnya, langit biru nan cerah. Kusimpan ponsel di meja. Baru saja aku gunakan benda ini untuk menelepon Bang Rasya. Mengajaknya mengakhiri pernikahan, tapi ternyata Abang sedang terkena covid. Andai kata ada tempat untuk membuang cinta. Akan kuhempaskan semua rasa dalam dada. Biar kubuang jauh agar tak lagi tersiksa. Sering kusesali kenapa punya hati yang begitu lemah. Dulu saat bersama Wisnu, aku hampir gila karena dia selingkuh. Padahal bila direnungi, siapa sih dia, punya apa? Tidak ada. Lalu kisahku dengan Bang Rasya saat ini. Oke lah dia tampan, kaya, baik. Tapi dia punya istri lain, dan hubungan kami sedang tidak baik. Alih-alih bahagia, yang ad
Aku berangkat ke GAR jam sembilan pagi. Mengendarai si pink seperti biasa. Kuparkirkan motor ini di tempat khusus. Lalu berjalan menuju pintu masuk. "Masa pemilik tempat wisata pakai motor," ucap suara laki-laki dari arah parkiran pengunjung. Aku langsung menengok. Pria itu tinggi. Memakai celana jeans dan jaket kulit. Wajahnya terlihat familiar, meski tertutup masker. Siapa? "Hai. Masih kenal tidak?" "Siapa ya?" Aku mengernyit. "Wah, benar-benar sudah lupa ternyata. Padahal waktu sekolah suka nebeng." Dia terkekeh. Lalu membuka maskernya. "Akmal?" Jariku menunjuk. Dia mengangguk tersenyum. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana. Akmal ini temanku waktu SMA. Kami pernah beberapa kali berangkat bareng, lebih tepatnya aku yang nebeng karena telat naik angkot. Rumah Akmal, ada di kecamatan yang berbeda. “Sudah lama sekali, ya, tak bertemu.” “Dulu aku pernah main. Katanya kamu sedang di Malaysia, eh sekarang sudah jadi bos.” “Ah bisa saja.” Aku menepis angin. “Mau libu
Kuedarkan dua netra menyusuri taman, beranjak ke pohon-pohon, lalu jalan yang selebar gang itu. Berharap Bang Rasya ada di sini. Kalau ada, aku akan berlari memeluknya.Mataku membola saat menemukan sesosok makhluk penguntit itu. Dia sedang memainkan ponsel di belakang pohon yang tak jauh dari kami. Siapa lagi kalau bukan Satria. Sudah kuberi pekerjaan lain, masih saja jadi mata-mata. Pemuda itu tadi bersembunyi. Setelah melapor, baru menampakkan diri.Dasar tak tahu sikon (situasi dan kondisi). Suamiku lagi sakit malah dikasih laporan begini. Tapi ada bagusnya juga sih. Karena hal ini dia jadi kirim pesan.Aku menekan huruf-huruf dengan cepat. Mataku berbinar dengan bibir yang mengulas senyum. Ada kelegaan dalam dada. [Teman sekolah.] balasku."Sudah, ya, Mal. Saya pergi dulu. Mata-mata suamiku sudah laporan." Aku menunjukkan layar lalu balik kanan. Langsung jalan ke office sambil memainkan ponsel.[Abang tak pernah lihat.] Balasnya setelah terjeda semenit.[Baru pulang dari peranta
Aku dan Aisha duduk di rooftop rumah. Menikmati sore dari ketinggian. Jauh di sana. Gedung-gedung berjajar."Aisha, sekarang lebih baik kamu jujur. Kenapa waktu itu bilang kalau kamu kembali karena sudah tak bisa berdiri sendiri lagi." Aku bicara sambil memeluk lutut di kursi santai yang nyaman.Aisha diam. Meresapi waktu seperti sedang berpikir. Dia duduk di ayunan."Baik saya mau jujur, Alin. Tapi jangan bilang Abang." Aisha menatap kosong. Seperti sedang melamun."Saat tsunami aku kehilangan ingatan. Entah karena cedera kepala atau apa. Lalu setelah dua belas tahun, aku terjatuh di pantai. Kepalaku membentur karang. Dan sejak saat itu ingatanku kembali." Aisha menjeda. Dia melirik sesaat, Aku mendengarkan serius."Lalu?""Kupikir ingatanku kembali semua, ternyata tidak. Aku lupa siapa saja saudara-saudara yang punya ikatan dengan Umi dan Abi, lupa juga siapa teman-temanku. Ingatanku ternyata tak kembali semua. Dan yang paling tak nyaman aku sering sakit kepala. Semakin bertambah ta
Selama isolasi mandiri, Bang Rasya selalu keluar kamar di pagi dan siang hari untuk joging. Saat itu, aku akan nongkrong di balkon hanya untuk melihat aktivitasnya. Pria yang memakai kaus dan celana pendek itu melakukan peregangan di depan rumah. Matahari pagi jam delapan menyorot hangat. Dia mulai berlari, menginjak jalan kecil yang terbuat dari kerikil pantai berwarna putih. Fisik sepertinya tidak sekuat dulu. Belum sampai setengah jalan mengelilingi rumah, Abang sudah berhenti. Dia melihat arloji di tangan kiri. Mengatur napas, sepertinya. Dua netranya menemukan kehadiranku. Aku melambaikan tangan. Dia mengacungkan satu tangan dan lanjut berlari lagi. Di hari pertama hanya satu putaran, hari kedua bisa dua putaran, dan hari-hari berikutnya sama dua putaran. Kami sekeluarga, selalu menjaga jarak darinya, ketika Abang ke luar. Maka kami tidak akan mendekati lokasi yang akan dia lalui. Separah itu. Beruntung rumah ini luas. Jaga jarak bisa dilakukan sesuai prosedur. . Hari ini t
“Sejak kapan ngikutin?” Aku langsung melingkarkan tangan di pinggangnya. “Now.” Aku menyembunyikan wajah di dada kanannya, dekat ketiak. “Zikri kat mana?” Abang melihat sekeliling. “Di bawah sama Mita.” “Hmmm.” Dia mengatupkan bibir. “Nak apa kita sekarang?” “Nak cicipi masakan saya.” “Jam dua, or jam tiga, boleh tak? Perut Abang dah penuh pun.” Aku meruncingkan bibir. “Oke, je.” Kami melanjutkan jalan ke kamar. Abang menghempaskan tubuh di kasur yang amat nyaman itu. “Rindu sangat Abang tidur kat sini.” Dua tangannya terlentang. “Hospital kasurnya tak empuk ya.” “Tak,” jawabnya sambil melihat plafon. Aku membuka kerudung dan abaya, lalu duduk dekat Abang. “Ni baju yang terakhir Abang beli kan?” “Hmmm.” “Cantik sangat.” “Apanya yang cantik?” “Dressnya.” Aku mendelik malas. “Adik belum cakap siapa lelaki di video.” Abang duduk dan menatap serius. “Kan sudah saya bilang, itu teman.” “Ya, siapa nama kah? Tinggal kat mana? Kenapa cakap dengan awak sambil jalan … hmmm