Pov Alina Di balkon ini, kuedarkan pandangan pada jalanan yang sepi. Sesekali kendaraan lewat dengan pengendaranya yang tertutup setengah wajah. Di seberang rumahku ini, ada rumah penduduk lain. Berjejer dua baris saja. Belakangnya sawah. Bisa kulihat hamparan luas padi yang baru ditanam itu. Memanjang sampai ke kaki bukit sana. Di atasnya, langit biru nan cerah. Kusimpan ponsel di meja. Baru saja aku gunakan benda ini untuk menelepon Bang Rasya. Mengajaknya mengakhiri pernikahan, tapi ternyata Abang sedang terkena covid. Andai kata ada tempat untuk membuang cinta. Akan kuhempaskan semua rasa dalam dada. Biar kubuang jauh agar tak lagi tersiksa. Sering kusesali kenapa punya hati yang begitu lemah. Dulu saat bersama Wisnu, aku hampir gila karena dia selingkuh. Padahal bila direnungi, siapa sih dia, punya apa? Tidak ada. Lalu kisahku dengan Bang Rasya saat ini. Oke lah dia tampan, kaya, baik. Tapi dia punya istri lain, dan hubungan kami sedang tidak baik. Alih-alih bahagia, yang ad
Aku berangkat ke GAR jam sembilan pagi. Mengendarai si pink seperti biasa. Kuparkirkan motor ini di tempat khusus. Lalu berjalan menuju pintu masuk. "Masa pemilik tempat wisata pakai motor," ucap suara laki-laki dari arah parkiran pengunjung. Aku langsung menengok. Pria itu tinggi. Memakai celana jeans dan jaket kulit. Wajahnya terlihat familiar, meski tertutup masker. Siapa? "Hai. Masih kenal tidak?" "Siapa ya?" Aku mengernyit. "Wah, benar-benar sudah lupa ternyata. Padahal waktu sekolah suka nebeng." Dia terkekeh. Lalu membuka maskernya. "Akmal?" Jariku menunjuk. Dia mengangguk tersenyum. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana. Akmal ini temanku waktu SMA. Kami pernah beberapa kali berangkat bareng, lebih tepatnya aku yang nebeng karena telat naik angkot. Rumah Akmal, ada di kecamatan yang berbeda. “Sudah lama sekali, ya, tak bertemu.” “Dulu aku pernah main. Katanya kamu sedang di Malaysia, eh sekarang sudah jadi bos.” “Ah bisa saja.” Aku menepis angin. “Mau libu
Kuedarkan dua netra menyusuri taman, beranjak ke pohon-pohon, lalu jalan yang selebar gang itu. Berharap Bang Rasya ada di sini. Kalau ada, aku akan berlari memeluknya.Mataku membola saat menemukan sesosok makhluk penguntit itu. Dia sedang memainkan ponsel di belakang pohon yang tak jauh dari kami. Siapa lagi kalau bukan Satria. Sudah kuberi pekerjaan lain, masih saja jadi mata-mata. Pemuda itu tadi bersembunyi. Setelah melapor, baru menampakkan diri.Dasar tak tahu sikon (situasi dan kondisi). Suamiku lagi sakit malah dikasih laporan begini. Tapi ada bagusnya juga sih. Karena hal ini dia jadi kirim pesan.Aku menekan huruf-huruf dengan cepat. Mataku berbinar dengan bibir yang mengulas senyum. Ada kelegaan dalam dada. [Teman sekolah.] balasku."Sudah, ya, Mal. Saya pergi dulu. Mata-mata suamiku sudah laporan." Aku menunjukkan layar lalu balik kanan. Langsung jalan ke office sambil memainkan ponsel.[Abang tak pernah lihat.] Balasnya setelah terjeda semenit.[Baru pulang dari peranta
Aku dan Aisha duduk di rooftop rumah. Menikmati sore dari ketinggian. Jauh di sana. Gedung-gedung berjajar."Aisha, sekarang lebih baik kamu jujur. Kenapa waktu itu bilang kalau kamu kembali karena sudah tak bisa berdiri sendiri lagi." Aku bicara sambil memeluk lutut di kursi santai yang nyaman.Aisha diam. Meresapi waktu seperti sedang berpikir. Dia duduk di ayunan."Baik saya mau jujur, Alin. Tapi jangan bilang Abang." Aisha menatap kosong. Seperti sedang melamun."Saat tsunami aku kehilangan ingatan. Entah karena cedera kepala atau apa. Lalu setelah dua belas tahun, aku terjatuh di pantai. Kepalaku membentur karang. Dan sejak saat itu ingatanku kembali." Aisha menjeda. Dia melirik sesaat, Aku mendengarkan serius."Lalu?""Kupikir ingatanku kembali semua, ternyata tidak. Aku lupa siapa saja saudara-saudara yang punya ikatan dengan Umi dan Abi, lupa juga siapa teman-temanku. Ingatanku ternyata tak kembali semua. Dan yang paling tak nyaman aku sering sakit kepala. Semakin bertambah ta
Selama isolasi mandiri, Bang Rasya selalu keluar kamar di pagi dan siang hari untuk joging. Saat itu, aku akan nongkrong di balkon hanya untuk melihat aktivitasnya. Pria yang memakai kaus dan celana pendek itu melakukan peregangan di depan rumah. Matahari pagi jam delapan menyorot hangat. Dia mulai berlari, menginjak jalan kecil yang terbuat dari kerikil pantai berwarna putih. Fisik sepertinya tidak sekuat dulu. Belum sampai setengah jalan mengelilingi rumah, Abang sudah berhenti. Dia melihat arloji di tangan kiri. Mengatur napas, sepertinya. Dua netranya menemukan kehadiranku. Aku melambaikan tangan. Dia mengacungkan satu tangan dan lanjut berlari lagi. Di hari pertama hanya satu putaran, hari kedua bisa dua putaran, dan hari-hari berikutnya sama dua putaran. Kami sekeluarga, selalu menjaga jarak darinya, ketika Abang ke luar. Maka kami tidak akan mendekati lokasi yang akan dia lalui. Separah itu. Beruntung rumah ini luas. Jaga jarak bisa dilakukan sesuai prosedur. . Hari ini t
“Sejak kapan ngikutin?” Aku langsung melingkarkan tangan di pinggangnya. “Now.” Aku menyembunyikan wajah di dada kanannya, dekat ketiak. “Zikri kat mana?” Abang melihat sekeliling. “Di bawah sama Mita.” “Hmmm.” Dia mengatupkan bibir. “Nak apa kita sekarang?” “Nak cicipi masakan saya.” “Jam dua, or jam tiga, boleh tak? Perut Abang dah penuh pun.” Aku meruncingkan bibir. “Oke, je.” Kami melanjutkan jalan ke kamar. Abang menghempaskan tubuh di kasur yang amat nyaman itu. “Rindu sangat Abang tidur kat sini.” Dua tangannya terlentang. “Hospital kasurnya tak empuk ya.” “Tak,” jawabnya sambil melihat plafon. Aku membuka kerudung dan abaya, lalu duduk dekat Abang. “Ni baju yang terakhir Abang beli kan?” “Hmmm.” “Cantik sangat.” “Apanya yang cantik?” “Dressnya.” Aku mendelik malas. “Adik belum cakap siapa lelaki di video.” Abang duduk dan menatap serius. “Kan sudah saya bilang, itu teman.” “Ya, siapa nama kah? Tinggal kat mana? Kenapa cakap dengan awak sambil jalan … hmmm
Pagi sebelum terdengar adzan subuh, aku berjalan ke kamar Aisha dengan mengenakan sarung. Ruang-ruang di sini gelap. Cahaya remang hanya dihasilkan lampu luar.Aku membuka pintu kamar secara perlahan. Wanita berhidung mancung kecil itu masih terlelap. Duduk aku di sampingnya. Melihat dia dengan rasa penuh dosa.Aku merasa serupa jiwa tak berharga jika di dekat Aisha. Kehadiranku tidak bisa menghadirkan bahagia untuknya. Dari belasan tahun pernikahan kami, hanya tiga bulan saja masa indah itu terukir. Setelahnya, kenapa ujian dan ujian lah yang ada?Dan yang menyakitkan adalah, kenapa ujian itu hanya pada Aisha. Tidak padaku juga. Apa mungkin karena jiwanya layak mendapatkan itu?Pernikahan adalah janji. Janji menjaga selamanya. Dari cantik sampai jelek. Dari pintar sampai bodoh. Dari muda sampai tua. Saat aku meminta dia pada ayahnya, semenjak itulah aku harus bertanggung jawab padanya.Sungguh menyesal aku telah membentaknya hari itu. Aku menyalahkan dia atas apa yang diluar kendali
Aku dan Aisha memasuki ruang pemeriksaan. Seorang dokter ahli saraf duduk di belakang mejanya. Memegangi pen dan membaca berkas. Bed pemeriksaan ada di sisi lain ruang luas bercat putih. Alat-alat canggih mengelilinginya. Dua orang perawat berdiri tak jauh darinya. Suhu dingin dari AC menyambut kami. Serupa mencengkeram tubuh, sampai terasa ke hati. Dokter langsung mempersilakan duduk. Bertanya seputar keluhan. Dia menggunakan bahasa inggris fasih. Aku menjadi penerjemah untuk Aisha. Banyak pertanyaan dilontarkan. Pria berjas putih ini menuliskan setiap detailnya. Dia menghempaskan punggung pada sandaran kursi. Diam sesaat dengan masih melihat berkasnya. Lalu Dokter menjelaskan kasus Aisha dengan sangat detail. "Ketika manusia mengalami trauma kepala, sistem kekebalan tubuh manusia akan menyebabkan peradangan di dekat lokasi cedera. Daerah otak yang terkena gegar otak mengalami kerusakan sementara dari struktur kecil di dalam dan di sekitar sel-sel itu. Selama waktu itu, sel-se