Pov AlinaHidup ini memang terkadang lucu. Sudut pandang bisa berubah-ubah hanya karena beda waktu. Dulu tubuhku serupa dibakar bara saat melihat Aisha dan Bang Rasya bersama. Sekarang malah aku yang memintanya untuk segera menemui Aisha padahal harusnya kami masih bercengkerama setelah berpisah sepuluh bulan lamanya.Aku memang tak mau diduakan. Tapi bukan berarti tidak punya perasaan. Keadaan seperti ini memang membuatku sakit hati. Tapi bukan berarti aku tak punya nurani. Aisha sedang sakit, mana mungkin aku bisa tertawa.Mobil itu melaju pergi. Membawa sepasang manusia yang hendak ikhtiar untuk kesembuhan. Bersama kepergiannya, aku mengucapkan doa, “Semoga Aisha lekas sehat.”.Remaja berkulit putih itu menendang bola dengan tenaga tinggi. Si bundar memantul keras di benteng dan kembali lagi pada pemiliknya. Menimbulkan suara yang mengganggu telinga. Azka mengulang tendangan, tembok bak bergetar karenanya."Apa begitu cara lelaki marah?" Aku duduk di kursi taman yang ada di sampin
Kami semua berkumpul di ruang utama. Abang memanggil kami semua setelah dia mendapatkan hasil diagnosa dokter. Satu hal yang aku pelajari dari pola kerja Abang. Saat ada masalah, dia akan mengajak semua yang terlibat untuk diskusi. Ini membuat kami saling perhatian antara satu dan lainnya. Sekarang, yang berkumpul bukan hanya keluarga, melainkan seluruh penghuni rumah termasuk para sekuriti. Aisha terlihat kacau sepulangnya dari rumah sakit. Dua irisnya terus menangis. Dia dipeluk dan ditenangkan oleh Umma. “Dengan berat saya nak capak pada awak semua. Bila Aisha sekarang sedang sakit. Dokter cakap dia didiagnosis Alzheimer.” Abang menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud Alzheimer, bahwa penyakit itu merupakan penyakit otak yang menyebabkan penurunan daya ingat, kemampuan berpikir, bicara, serta perubahan perilaku. Pria berkarisma ini meminta maaf jika istri pertamanya itu pernah memarahi orang rumah. Lebih lanjut dia meminta pengertian dan sama-sama mendukung Aisha untuk kese
Pov Teuku ArasyaKebas langkah kaki ini saat memasuki ruang UGD. Telinga serupa tuli. Bahkan mulut tetiba mengering. Aisha hamil, bagaimana bisa? Padahal dia sedang dalam masa pengobatan. Apa tidak mungkin obat-obat yang dia konsumsi akan mengganggu janinnya?Aku berusaha memperlakukan dua istri dengan cara berbeda. Alina dengan keinginan hamilnya, sementara Aisha sebisa mungkin untuk tidak hamil dulu. Tentu ini bukan perkara mudah, kadang aku tiba di satu malam yang menuntut berjuang keras, namun di malam lain aku harus ekstra menahan. Mungkin ada satu malam, saat mendatangi Aisha, aku kebablasan juga.Aku mendekati bed Aisha. Berdiri di sampingnya dengan tubuh membeku. Apa yang harus kukatakan. Masih teringat malam pertama kami, setelah bertahun-tahun berpisah. “Aku takut hamil,” katanya dengan raut takut.Aisha langsung berpaling saat menyadari kehadiranku. Gorden di sisi sana sepertinya lebih menarik dia pandangi. Itu cara terbaik untuk mengalihkan pandangan dari orang yang tak in
Aku berjalan cepat menyusuri tangga. Sejenak menarik diri dari mengurus Aisha. Kutitipkan istri pertama itu pada Devina dan Azka, sementara aku harus melihat dulu keadaan Alina.Pintu kamar kubuka dengan perlahan. Terlihatlah dia di sana. Duduk memeluk lutut di atas bed. Memakai kaus dan celana selutut. Alina tak menangis tapi rautnya kacau."Sayang." Aku mendekat. Duduk di depannya."Apa ada perlakuan berbeda pada saya dan pada Aisha?""Maksudnya?""Kenapa Aisha cepat hamil dan saya tidak?"Aku menghela napas. "Perlakuan berbeda...? ya ... ada. Dengan awak abang selalu berusaha agar cepat hamil. Dengan Aisha abang usahakan agar tak hamil. Itu berbeda kan?""Oh, iya. Aisha tetap hamil dan saya tetap tak hamil karena saya tak subur kan?""Bukan begitu maksud Abang, Sayang. Hamil itu kehendak--""Saya sudah sabar, Bang." Dia memotong. "Saya terima kalau saya memang tak subur. Tapi usaha kita untuk program bayi tabung kenapa selalu dipending? Dulu tunggu usia 35, tapi Aisha kembali. Sete
Pov Alina“Alin, banyak wanita yang tak dapat punya anak, seperti Aisyah Radhiyallahu Anha. Beliau ibu umat muslim, dan beliau tak punya anak. Umma paham, awak ingin sangat punya anak. Tapi jika Tuhan tidak berkehendak. Nak kata apa?” Umma menjeda. Beliau mendaratkan pandangan pada sisi tembok kamar ini.“Manusia tidak akan dibiarkan merasa telah beriman padahal belum ada ujian padanya.” Umma mengutip satu ayat dalam Al-Quran.“Ikhlas Alin, pasrah.”“Saya sudah pasrah Umma, saya sudah sabar. Tapi yang sulit saya terima rencana bayi tabung selalu gagal. Apa saya kurang sabar? Saya terima Aisha, saya terima anak-anak Abang.”Umma diam menjeda. Menghela napas dengan sangat tenang. “Begitu ikhlas…? Tak… awak belum ikhlas. Awak masih terobsesi tuk hamil. Hidup ni tak da yang berat bila ikhlas. Pandai-pandailah Alin melihat hal positif dalam satu perkara. Ketika awak gagal untuk program bayi, oh mungkin bukan sekarang waktu yang Allah kehendaki, siapa tahu bila dipaksa malah gagal. Saat Ais
Aisha mengernyit. Dia yang tidak memakai penutup wajahnya terlihat heran. “Siapa yang mau menggugurkan? Aku memang tidak mau hamil, tapi bukan mau menggugurkan.” “Ha? Bukankah tadi Abang bilang dia mau menggugurkan kandunganmu?” “Tidak. Atau aku lupa?” Dia malah kebingungan. Aku menengok pada Bang Rasya yang sekarang sudah berdiri di pintu. Dia mengangkat alis dan mengernyit seperti bertanya, ‘kenapa?’. “Sudah kubilang jangan ke sini!” Teriak Aisha pada Abang. “Azka tolong suruh papamu pergi, umi tak mau melihat dia.” Azka yang duduk di kursi berdiri. Bang Rasya menutup pintu lagi. Dan Azka pun kembali duduk. “Ka, apa bayi umimu mau digugurkan?” Aku bertanya pada Azka untuk lebih jelasnya. “Saat tahu hamil umi memang ngamuk. Tapi tidak ada rencana untuk digugurkan. Papa juga marah kemarin, tapi hanya menggertak umi saja. Tidak ko, tidak akan digugurkan.” “Menggugurkan bayi itu sama dengan membunuh. Aku memang sakit, tapi tidak mungkin membunuhnya,” timpal Aisha. Lenggang. Aku
Pov Alina Esok harinya, aku kembali ke rumah sakit untuk menemani Aisha. Seperti yang Abang minta, aku harus memberinya dukungan. Wanita itu berbaring lemah dengan rautnya yang datar. Dia masih tidak mau melihat Bang Rasya. Entah karena bawaan hamil atau memang sebal. “Bagaimana sekarang, Aisha?” Aku duduk di samping wanita yang hanya memandangi plafon ini. Aisha sedikit melirik. “Agak mendingan,” katanya datar. Lalu kembali melihat plafon. “Umma tak bisa ke sini karena di luar rumah masih banyak virus,” jelasku, takut dia merasa tidak diperhatikan. “Aku tahu,” jawabnya pendek lagi. Aku diam, membiarkan keheningan menyelimuti kami. Bingung juga harus memberi dukungan mulai dari kalimat mana. Aisha terlihat malas bicara. Di kamar harum ini, aku menyalakan TV, lalu menonton bersama Azka di sofa. “Alin.” Aisha memanggil setelah diam lebih dari setengah jam. Aku kembali mendekat. “Ya.” Wanita berkerudung hitam ini menghela napas panjang. Seperti mengisi rongga dadanya agar lebi
Setelah seminggu di rumah sakit, Aisha diijinkan untuk pulang. Kami mempersiapkan kamar di bawah karena di atas terlalu bahaya untuk naik turun tangga. Dia akan menempati ruang di dekat kamar umma. Aisha dan Azka tiba di depan rumah. Devina sebagai sopirnya. Seorang suster ikut serta menemani. Abang merekrutnya untuk menjaga Aisha selama hamil. Bang Rasya datang dengan mobil yang berbeda. Dia tampak lemas dan kelelahan. Langsung jalan naik ke tangga. Aisha masih tidak mau melihat Abang. Dia bahkan selalu mual-mual setiap kali melihatnya. Jadi Abang terus menjaga jarak. Padahal, suamiku itu bisa saja memilih pulang. Tidur nyaman di rumah. Tapi tidak, Abang tetap saja siaga menunggu. Aku mengikuti Abang ke kamar, setelah memastikan semua bisa beristirahat dengan tenang. Saat aku membuka kamar, beliau terlihat berbaring tengkurap di atas kasur. Aku hanya menggeleng melihat karakternya. Semakin banyak berkorban semakin tak punya alasan aku untuk meninggalkannya. Dia memang bukan ber