Pov Alina“Alin, banyak wanita yang tak dapat punya anak, seperti Aisyah Radhiyallahu Anha. Beliau ibu umat muslim, dan beliau tak punya anak. Umma paham, awak ingin sangat punya anak. Tapi jika Tuhan tidak berkehendak. Nak kata apa?” Umma menjeda. Beliau mendaratkan pandangan pada sisi tembok kamar ini.“Manusia tidak akan dibiarkan merasa telah beriman padahal belum ada ujian padanya.” Umma mengutip satu ayat dalam Al-Quran.“Ikhlas Alin, pasrah.”“Saya sudah pasrah Umma, saya sudah sabar. Tapi yang sulit saya terima rencana bayi tabung selalu gagal. Apa saya kurang sabar? Saya terima Aisha, saya terima anak-anak Abang.”Umma diam menjeda. Menghela napas dengan sangat tenang. “Begitu ikhlas…? Tak… awak belum ikhlas. Awak masih terobsesi tuk hamil. Hidup ni tak da yang berat bila ikhlas. Pandai-pandailah Alin melihat hal positif dalam satu perkara. Ketika awak gagal untuk program bayi, oh mungkin bukan sekarang waktu yang Allah kehendaki, siapa tahu bila dipaksa malah gagal. Saat Ais
Aisha mengernyit. Dia yang tidak memakai penutup wajahnya terlihat heran. “Siapa yang mau menggugurkan? Aku memang tidak mau hamil, tapi bukan mau menggugurkan.” “Ha? Bukankah tadi Abang bilang dia mau menggugurkan kandunganmu?” “Tidak. Atau aku lupa?” Dia malah kebingungan. Aku menengok pada Bang Rasya yang sekarang sudah berdiri di pintu. Dia mengangkat alis dan mengernyit seperti bertanya, ‘kenapa?’. “Sudah kubilang jangan ke sini!” Teriak Aisha pada Abang. “Azka tolong suruh papamu pergi, umi tak mau melihat dia.” Azka yang duduk di kursi berdiri. Bang Rasya menutup pintu lagi. Dan Azka pun kembali duduk. “Ka, apa bayi umimu mau digugurkan?” Aku bertanya pada Azka untuk lebih jelasnya. “Saat tahu hamil umi memang ngamuk. Tapi tidak ada rencana untuk digugurkan. Papa juga marah kemarin, tapi hanya menggertak umi saja. Tidak ko, tidak akan digugurkan.” “Menggugurkan bayi itu sama dengan membunuh. Aku memang sakit, tapi tidak mungkin membunuhnya,” timpal Aisha. Lenggang. Aku
Pov Alina Esok harinya, aku kembali ke rumah sakit untuk menemani Aisha. Seperti yang Abang minta, aku harus memberinya dukungan. Wanita itu berbaring lemah dengan rautnya yang datar. Dia masih tidak mau melihat Bang Rasya. Entah karena bawaan hamil atau memang sebal. “Bagaimana sekarang, Aisha?” Aku duduk di samping wanita yang hanya memandangi plafon ini. Aisha sedikit melirik. “Agak mendingan,” katanya datar. Lalu kembali melihat plafon. “Umma tak bisa ke sini karena di luar rumah masih banyak virus,” jelasku, takut dia merasa tidak diperhatikan. “Aku tahu,” jawabnya pendek lagi. Aku diam, membiarkan keheningan menyelimuti kami. Bingung juga harus memberi dukungan mulai dari kalimat mana. Aisha terlihat malas bicara. Di kamar harum ini, aku menyalakan TV, lalu menonton bersama Azka di sofa. “Alin.” Aisha memanggil setelah diam lebih dari setengah jam. Aku kembali mendekat. “Ya.” Wanita berkerudung hitam ini menghela napas panjang. Seperti mengisi rongga dadanya agar lebi
Setelah seminggu di rumah sakit, Aisha diijinkan untuk pulang. Kami mempersiapkan kamar di bawah karena di atas terlalu bahaya untuk naik turun tangga. Dia akan menempati ruang di dekat kamar umma. Aisha dan Azka tiba di depan rumah. Devina sebagai sopirnya. Seorang suster ikut serta menemani. Abang merekrutnya untuk menjaga Aisha selama hamil. Bang Rasya datang dengan mobil yang berbeda. Dia tampak lemas dan kelelahan. Langsung jalan naik ke tangga. Aisha masih tidak mau melihat Abang. Dia bahkan selalu mual-mual setiap kali melihatnya. Jadi Abang terus menjaga jarak. Padahal, suamiku itu bisa saja memilih pulang. Tidur nyaman di rumah. Tapi tidak, Abang tetap saja siaga menunggu. Aku mengikuti Abang ke kamar, setelah memastikan semua bisa beristirahat dengan tenang. Saat aku membuka kamar, beliau terlihat berbaring tengkurap di atas kasur. Aku hanya menggeleng melihat karakternya. Semakin banyak berkorban semakin tak punya alasan aku untuk meninggalkannya. Dia memang bukan ber
POV Teuku ArasyaAisha dan Alina memasuki ruang kerja. Mereka memilih-milih buku sambil mengobrol. Aisha mengambil salah satu buku, mendiskusikannya dengan Alina. Mereka saling melempar senyum lalu meninggalkan ruangan. Setidaknya begitu yang terlihat dari kamera CCTV.Aku segera mengalihkan rekaman CCTV pada titik yang lain. Titik-titik yang mungkin akan mereka lewati. Dua wanitaku itu berhenti di sofa bawah tangga. Mereka duduk berdekatan sambil membaca kitab. Aisha terlihat mendominasi bicara, sepertinya dia sedang mengajarkan Alina.Aku menyatukan punggung dengan sandaran kursi. Mata tidak beranjak dari layar monitor. Saat terlalu penat dengan pekerjaan, aku sering melihat ini. Membuka tampilan CCTV untuk melihat aktivitas orang-orang rumah.Ada hal yang menggelikan juga terhadap rutinitasku ini. Dulu, saat aku belum menikah dengan Alina. Diam-diam aku sering mengamatinya dari CCTV. Namun, suuttt! Ini cukup kita saja yang tahu.Aku menyimpan tangan di belakang kepala. Bersandar pa
Saat aku kembali, Alina sudah memakai perhiasannya. Dia sedang berkaca sambil lenggak-lenggok memerhatikan dress berwarna merah muda itu. Dia hanya menempelkan di pundak lalu serong kanan serong kiri. Padahal bisa langsung dicoba. Ck! Wanita. Aku segera ke ruang pakaian, lalu mengenakan piama. Saat ke luar, Alina masih saja begitu. Istriku itu mendekat dengan langkah manja. "Makasih, ya." Dia memeluk lengan. "Ya." "Kalau begini saya jadi ingin meluk terus." Alin mengecup pipiku dengan sedikit meloncat. Kami bukan pasangan romantis yang sering mendaratkan kecupan, tapi hal yang jarang ini terasa sangat berharga jika dia melakukannya duluan. Aku duduk di kasur. Mengusap pipi. Membersihkan jejak bibirnya. "Abaaang...," katanya gemas dengan nada manja. Lalu melanjutkan lagi kecupan di hampir seluruh wajahku. "Dah. Antarkan dulu punya Aisha." "Oke. Diam di sini jangan ke mana-mana!" Alina memakai penutup auratnya dengan gerakan cepat. Lalu pergi meninggalkan kamar. Aku segera me
POV Alina Tanganku bergetar saat menggendong bayi yang baru saja dipotong tali pusarnya ini. Tubuh kecilnya menggeliat diiringi tangis memekakkan telinga. Kehadirannya berhasil membuat dada yang tadi berpacu cepat jadi menghangat. Suhu pendingin ruang yang meniup tengkuk menjadi penghantar sempurna untuk rasa yang bergejolak dalam dada. Jabang bayi yang begitu kami khawatirkan ini akhirnya terlahir dengan sehat. Ada bahagia, kelegaan, dan syukur yang luar biasa. Sembilan bulan kami begitu mengkhawatirkan kehamilan Aisha. Sering sport jantung karena Aisha yang selalu lupa dan melakukan kegiatan yang berbahaya. Belum lagi saat sakit kepalanya kambuh, wanita yang perutnya semakin buncit itu biasanya hanya menangis sambil berbaring. Kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa ikut berurai air mata. Namun, betul yang suamiku bilang. Aisha memang wanita kuat. Dia tidak mengeluh secara berlebih. Bahkan hari ini saja. Dia merahasiakan perutnya yang ternyata sudah sakit dari sejak subu
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku